Senin, 22 November 2021

KPK Panggil Anggota DPRD Dan 15 Saksi Lain Atas Perkara Bupati Hulu Sungai Utara

Baca Juga


Plt. Juru Bicara Bidang Penindakan Ali Fikri.


Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Tim Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Anggota Fraksi PDI-Perjuangan DPRD Kabupaten Tabalong Rini Irawanty (Jamela), Senin 22 November 2021. Rini dipanggil sebagai Saksi atas perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi (TPK) suap pengadaan barang dan jasa di lingkugan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Hulu Sungai Utara (HSU) tahun 2021–2022 untuk tersangka Abdul Wahid (AW) selaku Bupati HSU.

"Hari ini (Senin 22 November 2021), pemeriksaan Saksi TPK terkait pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalsel tahun 2021–2022, untuk tersangka AW", kata Pelaksana-tugas (Plt.) Juru Bicara Bidang Penindakan Ali Fikri kepada wartawan, Senin (22/11/2021).

Selain Rini, Tim Penyidik KPK juga memanggil 15 (lima belas) Saksi lain atas perkara tersebut. Mereka diperiksa di Markas Polres Hulu Sungai Utara.

Adapun 15 Saksi lain tersebut, yakni Gusti Iskandar dari PT. Khuripan Jaya, Erik Priyanto selaku Kontraktor/ Direktur PT. Putera Dharma Raya, Khairil dari CV. Aulia Putra, Kariansyah atau Haji Angkar dari CV. Khuripan Jaya dan Akhmad Farhani alias H. Farhan dari PT. CPN/ PT. Surya Sapta Tosantalina, 

Berikutnya, Akhmad Syaiho karyawan PT. Cahya Purna Nusaraya, Rohana dari PNS pada Dinas PTSP dan Penanaman Modal Pemkab Hulu Sungai Utara,
8. Wahyuni dari unsur sawata lainnya, mantan Plt. Kepala BKPP Kabupaten Hulu Sungai Utara Heri Wahyuni (Pensiunan PNS) dan Konsultan Pengawas Rehabilitasi Jaringan Irigasi DIR Banjang Desa Karias Dalam Kecamatan Banjang Ratna Dewi Yanti.

Kemudian, Kepala Seksi Penetapan Hak dan Pendaftaran pada BPN Kabupaten Amuntai Muhammad Mathori, Lukman Hakim (Swasta), Anshari alias Ahok (Swasta), Baihaqi Syazeli (Swasta)H dan idayatul Fitri (Swasta).

Sebelumnya, KPK telah menetapkan Bupati Hulu Sungai Utara Abdul Wahid sebagai tersangka terkait dugaan menerima suap Rp 18,9 miliar. Abdul Wahid juga ditahan.

Dalam perkara ini, pada Kamis 18 November 2021, KPK telah mengumumkan Abdul Wahid selaku Bupati HSU sebagai Tersangka perkara dugaan TPK suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemkab HSU TA 2021–2022.

Penetapan Abdul Wahid selaku Bupati HSU sebagai Tersangka merupakan pengembangan penyidikan perkara tersebut yang sebelumnya menjerat Maliki selaku Pelaksana-tugas (Plt.) Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPRP) Pemkab HSU, Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru.

Adapun Maliki selaku Plt. Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPRP) Pemkab HSU, Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru ditetapkan KPK sebagai Tersangka atas perkara tersebut pada Kamis (16/09/2021).

Dalam konferensi pers yang digelar di Gedung Merah Putih KPK jalan Kuningan Persada – Jakarta Selatan pada Kamis 19 November 2021, Ketua KPK Firli Bahuri membeber konstruksi perkara dugaan TPK suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemkab HSU Tahun 2021–2022 tersebut.

Bermula pada awal 2019, Abdul Wahid selaku Bupati Hulu Sungai Utara 2 (dua) periode (2012–2017 dan 2017–2022) menunjuk Maliki (MK) sebagai Plt. Kepala Dinas PUPRP Pemkab Hulu Sungai Utara.

"Diduga ada penyerahan sejumlah uang oleh MK (Maliki) untuk menduduki jabatan tersebut (Plt. Kepala Dianas PUPRP Pemkab HSU), karena sebelumnya telah ada permintaan oleh tersangka AW", beber Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi di Gedung Merah Putih KPK jalan Kuningan Persada – Jakarta Selatan, Kamis (19/11/2021).

Firli Bahuri pun membeber,  penerimaan uang oleh Abdul Wahid dilakukan di rumah Maliki pada sekitar Desember 2018 yang diserahkan langsung oleh Maliki melalui ajudan Abdul Wahid.

Kemudian, pada sekitar awal tahun 2021, Maliki menemui Abdul Wahid di Rumah Dinas Bupati HSU untuk melaporkan terkait plotting paket pekerjaan lelang pada Bidang Sumber Daya Air pada Dinas PUPRP Pemkab HSU Tahun Anggaran 2021.

Dalam dokumen laporan paket plotting pekerjaan tersebut, Maliki telah menyusun sedemikian rupa dan menyebutkan nama-nama dari para kontraktor yang akan dimenangkan dan mengerjakan berbagai proyek dimaksud.

"Selanjutnya tersangka AW menyetujui paket plotting ini dengan syarat adanya pemberian komitmen fee dari nilai proyek dengan persentase pembagian fee yaitu 10% untuk tersangka AW dan 5% untuk MK", beber Firli Bahuri pula

Firli mengungkapkan, KPK menduga, penerimaan komitmen fee itu antara lain diduga diterima oleh Abdul Wahid melalui Maliki dari Marhaini dan Fachriadi dengan jumlah sekitar Rp. 500 juta.

"Selain melalui perantaraan MK, tersangka AW juga diduga menerima komitmen fee dari beberapa proyek lainnya melalui perantaraan beberapa pihak di Dinas PUPRP Kabupaten Hulu Sungai Utara", ungkap Firli.

Lebih jauh, Firli Bahuri merinci uang-uang yang diduga telah diterima oleh Abdul Wahid selaku Bupati HSU. Di antaranya, yakni pada tahun 2019 sejumlah sekitar Rp. 4,6 miliar, tahun 2020 sejumlah sekitar Rp. 12 miliar serta tahun 2021 sejumlah sekitar Rp. 1,8 miliar. Sehingga, total sementara uang yang diterima Abdul Wahid sekitar Rp. 18,9 miliar.

"Selama proses penyidikan berlangsung, tim penyidik telah mengamankan sejumlah uang dalam bentuk tunai dengan pecahan mata uang rupiah dan juga mata uang asing yang hingga saat ini masih terus dilakukan penghitungan jumlahnya", rinci Firli.

Dalam perkara ini, Abdul Wahid selaku Bupati HSU dan Maliki selaku Plt. Kadis Pekerjaan Umum (PU) Pemkab Hulu Sungai Utara ditetapkan KPK sebagai Tersangka penerima suap. Sedangkan Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru ditetapkan KPK sebagai Tersangka pemberi suap.

Terhadap Abdul Wahid selaku Bupati HSU, KPK menyangkakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, jo Pasal 64 KUHP, jo Pasal 65 KUHP.

Terhadap Maliki KPK menyangkakan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 64 dan Pasal 65 KUHP.

Terhadap Marhaini dan Fachriadi, KPK menyangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 65 KUHP. *(Ys/HB)*