Selasa, 09 April 2024

UKW Gate Tak Tersentuh Media Mainstream


Hence Mandagi.


Oleh: Hence Mandagi.

Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Dugaan Korupsi Dana Hibah BUMN kepada Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) untuk program Uji Kompetensi Wartawan atau UKW Gate semakin marak diberitakan media non mainstream lokal dan nasional di beberapa hari terakhir ini. Sayangnya, media mainstream atau media arus utama nasional justeru menghilang dari peredaran bak ditelan bumi. 

Kawan-kawan pentolan organisasi pers non konstituen mulai terlecut bersuara keras atas desakan anggotanya menyikapi UKW Gate ini. Anehnya, Dewan Pers malah diam seribu bahasa dan lebih aneh lagi tidak ada satupun media nasional yang berani mengangkat dan mengawal kasus ini sampai ada pihak yang dinyatakan bertanggung-jawab atas penyalah-gunaan uang rakyat oleh organisasi tertua di republik ini. Yang ada, hanyalah berita siaran pers terkait skandal korupsi dana UKW di segelintir media mainstream nasional. 

Sebagai pimpinan organisasi dan pelaksana kegiatan Sertifikasi Kompetensi Wartawan, penulis sebetulnya memilih berdiam diri dan apatis karena yakin pengusutan UKW Gate ini bakal menguap. Pilihannya hanya satu, yakni bersuara. Karena kalau diam berarti setuju dan ikut melindungi kejahatan korupsi di kalangan wartawan. 

Pelaksanaan UKW selama ini memang jadi lahan subur penggunaan uang rakyat oleh Dewan Pers dan para organisasi konstituen. Miliaran rupiah dana UKW dari Kementrian Kominfo RI, dana APBD Pemda di berbagai daerah tak terhitung jumlahnya. 

Puncaknya, kisruh bagi-bagi 'kue’ dana UKW ternyata hanya nyangkut ke PWI. Pembagian ‘Kue’ lezat nan mewah bernilai miliaran rupiah uang rakyat dari BUMN rupanya tidak merata. Tak heran, UKW Gate ini mencuat gara-gara bagi-bagi jatah tidak merata. 

Dari sekian belas provinsi sebagai sasaran UKW, ternyata hanya 10 Provinsi yang nyangkut dana tersebut. Media nasional seolah malu-malu kucing mengangkat kasus ini karena takut disebut ‘Jeruk Makan Jeruk’.

Masih segar dalam ingatan, ketika Dana Bansos yang disalurkan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menjelang Pemilu ramai-ramai diberitakan media nasional tanpa tahu asal-usul dana tersebut. Bahkan, komentar tokoh agama Romo Magnis saat menjadi saksi di sidang sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi baru-baru ini, bahwa perilaku Presiden Jokowi membagi-bagi Bansos itu seperti pencuri, justeru marak diberitakan media nasional dan menjadi tranding topik di mana-mana. 

Menteri yang terjerat kasus korupsi pun seringkali diblow up dari pagi, siang, malam selayaknya resep dokter bagi pasien minum obat 3 kali sehari. Berita korupsi Hakim Mahkamah Agung pun tak kalah heboh diliput media secara non stop.

Sayang sekali, ketika pelaku korupsi kali ini adalah pengurus lembaga atau organisasi pers yang fungsinya mengawasi dan melakukan sosial kontrol, berita yang maha dahsyat dan lebih menarik dari pada menteri, hakim dan aparat yang terlibat korupsi ini justeru didiamin oleh media nasional. 

Tak terkecuali, organisasi pers konstituen yang kritis sekelas AJI dan IJTI pun diam kayak orang amnesia.  Kalau sudah begini kondisinya, ini sama saja menempatkan wartawan seolah Gangster Mafia yang tak terjamah hukum. 

Jika sudah seperti ini kondisi pers di Indonesia, maka kepada siapa lagi rakyat mau menaruh kepercayaan ? Sekali lagi penulis menutup tulisan singkat ini : “tanyakan saja pada rumput yang bergoyang". *(HB)*

Penulis adalah Ketua Umum DPP SPRI dan Ketua LSP Pers Indonesia


Rabu, 21 Februari 2024

Catatan Kritis Atas Perpres Nomor 32 Tahun 2024


Wilson Lalengke.


Oleh: Wilson Lalengke.

Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Pemerintahan Joko Widodo baru saja menerbitkan Peraturan Presiden tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas. Setelah membaca dan mencermati isi Perpres Nomor 32 tahun 2024 yang diterbitkan pada 20 Februari 2024 kemarin, yang akan diberlakukan 6 bulan ke depan, sepanjang frasa 'platform digital' dimaknai sebagai segala bentuk media massa berbasis digital dan internet, seperti media-media online, termasuk media audio visual yang menggunakan media sosial sebagai backbone-nya, berikut tanggapan dan catatan saya:

1. Pada poin konsideran Perpres Nomor 32 Tahun 2024, dasar pertimbangan hukum dan rujukan perundangan sangat lemah dan kabur. Presiden Jokowi membuat peraturan hanya berdasarkan kewenangannya sebagai presiden, Pasal 4 ayat (1) UUD, yang terkesan Presiden bertindak sewenang-wenang, mentang-mentang diberi kewenangan.

2. Dewan Pers ditunjuk sebagai regulator. Ini merupakan sesuatu yang anomali terhadap keterangan presiden di Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor: 38/PUU-XIX/2021 tentang kedudukan Dewan Pers. Secara legal formal, Dewan Pers itu sesungguhnya sebuah lembaga yang tidak jelas, dia bukan lembaga negara, bukan lembaga sosial, bukan Ormas, bukan lembaga bisnis, bukan regulator serta kedudukan dan pembentukannya tidak jelas. Hal ini merujuk kepada keterangan praktisi hukum senior, Dolfie Rompas, .Sos., SH., MH.

3. Oleh Perpres Nomor 32 tahun 2024, jurnalistik dijadikan komoditi atau materi jualan alias bahan baku entitas bisnis, yang secara teori memegang prinsip ekonomi 'dengan modal sekecil-kecilnya meraup untung sebesar-besarnya’. Hasilnya, sudah pasti isi dunia Pers Indonesia adalah jurnalisme transaksional. Presiden lupa, bahwa Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dengan tegas menyatakan bahwa “Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia”.

4. Pasal 5 huruf (a) Perpres ini, tentang tidak memfasilitasi penyebaran konten berita yang tidak sesuai UU mengenai Pers, jelas tidak sejalan, jika terlalu ekstrim untuk mengatakan bertentangan, dengan Pasal 28F UUD 1945, TAP MPR Nomor 17 Tahun 1998 tentang HAM dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 40 tentang Pers, plus UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Seperti halnya UU ITE yang telah banyak melahirkan korban kriminalisasi, Pasal 5 huruf (a) tersebut dapat dikategorikan sebagai pasal karet super elastis yang siap menerkam siapa saja.

5. Perpres Nomor 32 Tahun 2024 jelas-jelas mencederai Hak Konstitusi Warga Negara, dalam kaitannya dengan hak-hak yang tertuang dalam Pasal 28 UUD 1945 dan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP. Terutama bagi masyarakat pers, Perpres Nomor 32 Tahun 2024 itu jelas bertentangan dengan Pasal 1 ayat (8) dan ayat (9) serta Pasal 4 ayat (1), (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Presiden Joko Widodo sebagai penanggung-jawab terbitnya Perpres dimaksud terbuka kemungkinan untuk dilaporkan ke aparat berwajib dengan dugaan pelanggaran Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 yang ancaman hukumannya 2 tahun kurungan dan denda Rp. 500 juta.

6. Semestinya, sebelum Pemerintah ikut cawe-cawe menjadi herder Dewan Pers, perlu sekali dan mendesak untuk dilakukannya revisi atau penyempurnaan UU Nomor 40 tahun 1999, terkait dengan Pasal 15 yang menjadi dasar pembentukan Dewan Pers agar tidak menimbulkan kerancuan peraturan dan ketatanegaraan. Ketidak-jelasan jenis kelamin dan proses melahirkan Dewan Pers yang sejalan dengan kehendak fundamental UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers yang notabene mengusung Kemeredekaan Pers dan perlindungan pekerja pers ini mestinya menjadi fokus Pemerintah dan DPR membenahinya.

7. Perpres Nomor 32 Tahun 2024, baik secara tersirat maupun tersurat dalam beberapa pasalnya, terang-terangan membatasi gerak kreatif para pekerja media. Perpres ini juga membuat garis pemisah alias diskriminasi antar warga negara yang beraktivitas di dunia jurnalisme dan publikasi media massa yang menggunakan platform digital.

8. Kepada para pekerja media, baik wartawan, pemilik media, maupun pengelola media massa berbasis digital yang berjumlah lebih dari 40-ribuan media online, tidak perlu resah. Mari menyatukan diri dalam sebuah ruang berpikir, bahwa kita adalah mitra kritis pemerintahan, siapapun pemerintahnya, kita perlu secara mandiri memperkuat basis ekonomi non-jurnalitik untuk membangun enterpreneurship di bidang keahlian non-jurnalistik, untuk tetap tampil independen dalam berkarya dan bermedia massa.

9. Pada akhirnya, dengan terbitnya Perpres Nomor 32 Tahun 2024 itu, menyadarkan kita, para wartawan, pewarta warga, kolumnis, content creator serta pemerhati dan masyarakat penikmat karya jurnalistik, bahwa ternyata Pemerintah Belanda, melalui Kedutaan Besarnya di Jakarta, lebih menghargai usaha keras dan kreativitas kreatif putra-putri bangsa ini dibandingkan pemerintahnya sendiri.

10. Saran konkrit saya, sebaiknya Presiden Joko Widodo mencabut Perpres Nomor 32 Tahun 2024 tersebut sebelum menjadi blunder un-faedah bagi bangsa dan negara Indonesia yang sedang membangun demokrasi menuju masyarakat yang adil, makmur, merata dan bermartabat. *(HB)*

Jakarta, 21 Februari 2024
Wilson Lalengke
Ketum PPWI
081371549165



BERITA TERKAIT:

Presiden Resmi Jadikan Dewan Pers Sebagai Regulator


Ketum SPRI Hence Mandagi usai tanda-tangani kerja-sama dengan pimpinan salah-satu Perusahaan Platform Digital di Jakarta


Oleh: Hence Mandagi – Ketua Umum SPRI

Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Masih segar dalam ingatan, Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo (Jokowi) menegaskan, bahwa fungsi Dewan Pers adalah sebagai fasilitator dan bukan sebagai lembaga pembentuk peraturan atau regulator. Hal itu, disampaikan Presiden selaku pihak pemerintah dalam Uji Materi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers Pasal 15 ayat (2) huruf f dan ayat (5) di Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2022 lalu. 

Mahkamah Konstitusi pun menggunakan pernyataan Presiden itu sebagai dasar pertimbangan hukumnya dalam memutus perkara Nomor: 38/PUU-XIX/2021. 

Sikap dan pandangan Presiden Jokowi selaku pemerintah yang dijadikan dasar pertimbangan hukum MK dalam memutus perkara Nomor: 38/PUU-XIX/2021 justru berbanding terbalik ketika Presiden menerbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung-jawab Perusahaan Platform Digital Untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas. 

Dalam Perpres ini, Presiden menempatkan kedudukan Dewan Pers sebagai lembaga regulator bukan lagi Lembaga Independen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pers. Pemerintah sepertinya kebablasan membuat regulasi tentang pers dengan menempatkan Dewan Pers sebagai pelaksana pemerintahan dan berwenang menetapkan Komite yang di dalamnya terdapat pemerintah. 

Hal ini jelas membatalkan independensi Dewan Pers sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pers. Sungguh ironis, Presiden menetapkan Perpres ini tidak melibatkan mayoritas masyarakat pers. 

Bagaimana mungkin, Dewan Pers yang hanya terdiri dari segelintir elit pers dengan pasukan konstituennya disokong Presiden dan memaksa puluhan ribu perusahaan pers di Indonesia tunduk pada Perpres tersebut tanpa pernah dibicarakan dengan mayoritas masyarakat pers sebelumnya.

Presiden mungkin ‘miskin’ informasi tentang keberadaan puluhan ribu media yang selama ini dihina dan dijadikan objekan Dewan Pers dan para konstituennya untuk menguasai ruang lingkup pers dengan anggaran puluhan miliar rupiah hanya sekedar melaksanakan UKW ‘abal-abal’ dan pemaksaan verifikasi perusahaan pers.  

Di satu sisi, Presiden tidak tahu, bahwa puluhan ribu Perusahaan Pers dan media di daerah selama ini hidup dari ‘mengemis’ iklan dan ‘menjual’ idealisme dengan kontrak kerja-sama dari pemerintah daerah.  Sementara segelintir konglomerat media, bos-bos para konsituen Dewan Pers dengan entengnya menikmati belanja iklan nasional mencapai ratusan triliun rupiah tanpa tersentuh regulasi anti monopoli. 

Ironisnya pula, Presiden menerbitkan Perpres tanpa meminta pendapat mayoritas masyarakat pers  yang selama ini ‘teraniaya’, terabaikan, terhina dan terdiskriminasi oleh kelompok elit Dewan Pers. Padahal, seluruh pemilik puluhan ribu media ini ikut membayar pajak.


Sementara, sasaran Perpres tersebut adalah kelompok yang selama ini dihina dan dimarjinalkan oleh Dewan Pers dengan sebutan media abal-abal dan perusak kemerdekaan pers. Bagaimana mungkin, Presiden menerbitkan Perpres ini sementara saat ini baru 2.000 perusahaan pers yang terverifikasi Dewan Pers. 

Padahal sudah selama 17 tahun sejak pertama kali puluhan organisasi pers membuat Peraturan tentang Standar Perusahaan Pers dan diterbitkan peraturannya oleh Dewan Pers tahun 2006, namun hingga kini tidak lebih dari 2000 perusahan pers yang mampu diverifikasi Dewan Pers. 

Dengan kondisi ini, maka Perpres ini menjadi tidak masuk akal untuk diterapkan. Puluhan ribu perusahaan pers dan media akan kalangkabut. Selama 17 tahun saja, Dewan Pers hanya mampu memverifikasi (mendata) 2 ribuan Perusahaan pers dan media. 

Bagaimana nasib puluhan ribu media yang belum terverifikasi dan menjadi sasaran dari Perpres tersebut. Ini menjadi pertanyaan yang harus dijawab Presiden, karena sebelumnya tidak melibatkan mayoritas masyarakat pers dalam menerbitkan Perpres. 

Di satu sisi, Peraturan Dewan Pers Nomor: 03/Peraturan-Dp/X/2019 Tentang Standar Perusahaan Pers merupakan peraturan yang disepakati oleh organisasi-organisasi pers dalam menentukan standar Perusahaan Pers bukan sebagai syarat mendirikan perusahaan pers. 

Peraturan Standar Perusahaan Pers ini justeru digunakan Dewan Pers sebagai alat untuk menjadikannya sebagai regulator berjubah verifikator dan ini jelas bertentangan dengan putusan MK terkait kedudukan Dewan Pers dalam UU Pers itu sendiri sebagai Lembaga Independen yang berfungsi sebagai fasilitator. 

Sedangkan Organisasi Pers yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang Pers sebagai Lembaga Regulator di bidang pers adalah pihak yang menjadi user atau pengguna Peraturan Pers yang difasilitasi Dewan Pers tentang Standar Perusahaan Pers, sehingga organisasi pers adalah pihak yang berhak menggunakan atau menerapkan Peraturan Pers terhadap anggotanya dan bukan oleh Dewan Pers. 

Dewan Pers sejatinya tidak perlu menjadi ‘genit’ saat mengajukan Draft Perpres tersebut ke pemerintah untuk mengemis peran sebagai regulator. Dan Presiden pun sewajibnya tidak terburu-buru menetapkan Perpres tersebut tanpa melibatkan mayoritas masyarakat pers sebagai pihak yang menjadi sasaran penerapan Perpres tersebut. 

Terlebih secara hukum, Perpres ini sangat bertentangan dengan Undang-Undang Pers karena esensi dari independensi pers telah ‘dirusak’ dengan terbitnya Perpres Nomor 32 Tahun 2024 ini. Sejarah Undang-Undang Pers itu diterbitkan tanpa ada turunan Peraturan Pemerintah di bawahnya karena Pemerintah, DPR dan masyarakat pers sepakat menjaga independensi pers dengan 'swa regulasi'. 

Menjadi rancu ketika Presiden menetapkan menetapkan Perusahaan Pers yang dimaksud dalam Perpres ini hanya yang terverifikasi Dewan Pers. Dengan begitu, Perusahaan Pers yang tidak atau belum terverifikasi Dewan Pers bukan menjadi bagian dari Perpres ini. 

Jadi Perusahaan Platform Digital selaku penyelenggara sistem elektronik lingkup privat yang menyediakan dan menjalankan Layanan Platform Digital tidak perlu menjalankan Perpres ini bagi Perusahaan pers yang belum atau tidak terverifikasi Dewan Pers. Karena, dalam Perpres ini tidak ada larangan atau sanksi pidana. 

Kerja-sama yang selama ini sudah berlangsung lama dengan puluhan ribu media online menjadi tidak perlu diterapkan Perpres ini. Karena komunitas yang diatur oleh Perpres ini hanya untuk kelompok elit media dan konstituen Dewan Pers. 

Namun demikian, jika ada Perusahaan Pers yang merasa dirugikan atau ingin membatalkan peraturan ini, dapat mengajukan gugatan Tata Usaha Negara (TUN) hingga mengajukan Hak Uji Materiil (HUM) di Mahkamah Agung. *(HB)*

Penulis opini ini adalah Hence Mandagi, Ketua Umum DPP Serikat Pers Republik Indonesia


BERITA TERKAIT:

Senin, 20 Februari 2023

Jebakan Batman Ranperpres, Dewan Pers Ingin Jadi Lembaga Pemerintahan


Hence Mandagi, Ketua Umum Serikat Pers RI.


Oleh: Hence Mandagi,
Ketua Umum Serikat Pers RI.

Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Kericuhan Dewan Pers dan para konstituennya saat pembahasan Rancangan Peraturan Presiden (Ranperpres) tentang Media Berkelanjutan, sempat menjadi tranding topic di sejumlah kalangan Insan Pers Tanah Air. Selain memalukan, Dewan Pers dan konstituen mempertontonkan silang pendapat para elit pers bak ‘Perang Bharatayuda’ di depan pejabat Kementrian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo RI) dan Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia (Kemenkopolhukam RI).

Entah kepentingan kelompok pers mana yang diduga tengah diperjuangkan dua kelompok elit pers yang biasanya terlihat mesra itu.

Yang pasti, ada 'bau-bau' kepentingan oligarki tercium di tengah pembahasan Ranperpres tersebut. Kue belanja iklan yang hanya 15 % (persen) dari total Belanja Iklan Nasional itu, diakal-akalin dengan kemasan isu monopoli 60 % (persen) Belanja Iklan oleh perusahaan platform digital asing, sehingga urgensi Perpres itu perlu dikebut. 

Padahal, yang justeru memonopoli Belanja Iklan di Indonesia adalah media televisi nasional yang menguasai 78 persen dari total Belanja Iklan Nasional. 

Pihak Dewan Pers sendiri sudah menyetor kepada Kemenkominfo Draft Rancangan Peraturan Presiden Tahun 2023 tentang "Tanggung-jawab Perusahaan Pers Platform Digital Untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas".

Kemenkominfo yang diduga dikejar setoran makin bergairah dan tancap gas untuk memenuhi perintah deadline dari Presiden RI Joko Widodo agar Perpres tersebut jangan lewat sebulan setelah perwakilan pers bertemu Kominfo. 

Perpres Media Berkelanjutan ini pun dikebut meski mendapat penolakan keras dari berbagai pihak termasuk  oleh sejumlah konstituen Dewan Pers sendiri. 

Ramai diberitakan, Ketua Umum Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Firdaus mengingatkan pihak pemerintah agar dalam penyusunan Draf Publisher Right Platform Digital tetap memperhatikan masukan-masukan Ketua Dewan Pers sebelumnya, almarhum Azyumardi Azra. 

Dia menandaskan, agar jangan ada agenda terselubung untuk membunuh perusahaan pers start up yang sekarang berkembang dan 2000 perusahaan pers di antaranya di bawah binaan SMSI. 

Sayangnya, Dewan Pers dan Kemenkominfo tidak menghiraukan semua masukan dan penolakan itu. Malah pembahasan terus berlanjut di lokasi berbeda. Bak pepatah kuno: "Anjing Menggonggong Khafilah Berlalu". 

Terlepas dari ‘perang saudara’ Dewan Pers dan para konstituennya, ada persoalan lain yang lebih substansial dari wacana penerbitan Perpres media berkelanjutan ini. 

Bahayanya, Perpres itu bakal mencederai dan menghianati perjuangan kemerdekaan pers tahun 1999. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 lahir dengan semangat swa regulasi demi menjamin kemerdekaan pers. 

Oleh sebab itu, tidak ada turunan peraturan ketika Undang-Undang Pers ini disahkan pada tahun 1999. Karena pada paragraf akhir dalam bagian Penjelasan Bab I Ketentuan Umum disebutkan : "Untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih, undang-undang ini tidak mengatur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya".

Dasar hukum dalam menerbitkan Perpres dengan nama kerennya Publisher Rights ini, salah-satunya adalah Undang-Undang Pers di samping Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Tentunya, Perpres ini akan jadi sangat bertentangan dengan Undang-Undang Pers itu sendiri. 

Parahnya, pada Draft Perpres yang diajukan Dewan Pers, terdapat banyak pasal yang justeru telah menempatkan Dewan Pers sebagai regulator, bukan lagi sebagai fasilitator atau lembaga independen sebagaimana diatur dalam Undang-Umdang Pers. Dan, itu jelas telah merubah fungsi Dewan Pers menjadi Lembaga Pemerintahan yang mengatur perijinan atau regulasi. 

Jika Perpres ini disahkan Presiden, maka pemerintah menempatkan Dewan Pers bukan lagi lembaga independen melainkan sebagai lembaga pemerintah. 

Pada Draft Perpres yang diajukan Dewan Pers, Pasal 5 ayat (1) disebutkan: "Perusahaan Platform Digital ditetapkan oleh Dewan Pers berdasarkan kehadiran signifikan dari Perusahaan Platofrm Digital di Indonesia".

Kemudian muncul lagi di Pasal 6: "Tata-cara dan mekanisme pengukuran kehadiran signifikan Persuahaan Platform Digital sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) ditetapkan oleh Dewan Pers".

Sementara pada Pasal 8 ayat (1) disebutkan: "Perusahaan pers yang berhak mengajukan permohonan kepada Dewan Pers atas pelaksanaan tanggung-jawab Perusahaan Platform Digital adalah Perusahaan Pers yang telah terverifikasi oleh Dewan Pers". Dan, ayat (2):  "Perusahaan Pers yang belum terverifikasi oleh Dewan Pers dapat mengajukan permohonan verifikasi kepada Dewan Pers".

Pada bagian akhir dibuat aturan, bahwa untuk mewujudkan kesepakatan bagi hasil antara perushaaan pers dan Perrusahaan Platform Digital, Dewan Pers yang membuat atau membentuk pelaksana. 

Mencermati kondisi ini, Dewan Pers dan Pemerintah mungkin lagi terserang penyakit "amnesia". Karena, baru-baru ini ada putusan Mahkamah Konstitusi terkait perkara nomor: 38/PUU-XIX/2021 tentang Uji Materiil Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers terhadap Undang-Undang Dasar tahun 1945. 

Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim MK menyatakan, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 yang mengatur jaminan kebebasan pers, yaitu poin ke sembilan: “Pengaturan mandiri (self regulation) dalam penyusunan peraturan di bidang pers dengan memberikan ruang bagi organisasi-organisasi pers dalam menyusun sendiri peraturan-peraturan di bidang pers dengan difasilitasi oleh Dewan Pers yang independen".

Pada bagian penting pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim MK mengutip keterangan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, bahwa ketentuan Undang-Undang Pers memiliki makna, bahwa fungsi Dewan Pers adalah sebagai fasilitator dalam penyusunan peraturan-peraturan di bidang pers dan bukan sebagai lembaga pembentuk peraturan (regulator). 

Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan, bahwa tujuan dibentuknya Dewan Pers adalah untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas serta kuantitas pers nasional. Tujuan tersebut dicapai antara lain dengan adanya peraturan-peraturan di bidang pers yang menjadi acuan dan standarisasi. Namun demikian, agar tetap menjaga independensi dan kemerdekaan pers, maka peraturan di bidang pers disusun sedemikian rupa tanpa ada intervensi dari pemerintah maupun dari Dewan Pers itu sendiri. 

Dengan adanya putusan MK tersebut, jika Perpres dipaksakan, maka akan bertentangan dengan putusan MK. Karena pemerintah melakukan intervensi dengan membuat Peraturan Presiden sebagai regulasi buat pers. 

Presiden, Kementrian Kominfo dan Dewan Pers harusnya menghormati putusan MK dan menjadikannya sebagai dasar pembentukan peraturan di bidang pers adalah swa regulasi atau hanya organisasi pers yang berhak menyusun peraturan pers. 

Dewan Pers saja tidak boleh membuat atau menentukan sendiri isi peraturan pers menurut Undang-Undang Pers, namun Presiden justeru hendak membuat peraturan pers. 

Kondisi ini memang tidak mengejutkan. sebab selama ini Pers Indonesia seolah-olah hanya milik elit pers. Tak heran Dewan Pers sering menjadi sasaran kritik pergerakan kebebasan pers. 

Regulasi media yang akan dibuat lewat Perpres Media Berkelanjutan itu pada intinya akan mengatur penyaluran iklan dari Perusahaan Platform Digital ke perusahaan pers. 

Selama ini platform digital milik asing menyalurkan iklan ke perusahaan pers secara langsung tanpa perantara. Meskipun penghasilan media online dari bekerja-sama dengan Platform Digital asing sangat minim, namun pembagiannya cukup merata di seluruh Indonesia. Atau ada ratusan ribu media online yang bergerak di bidang pers maupun non pers yang menerima iklan dari platform digital asing.

Tak ada regulasi yang mengatur kerja-sama tersebut. Penghasilan media tergantung dari kekuatan berita yang dipublish, apakah dibaca orang atau tidak. Sayangnya, penghasilan media yang sangat kecil dari paltform digital asing itu pun nantinya bakal dikuasai kelompok elit pers di Dewan Pers lewat pemberlakuan Perpres Media Berkelanjutan. 

Menyikapi kondisi ini, penulis menyarankan kepada Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, sebaiknya pemerintah membuat regulasi jangan tangung-tanggung. Gunakan saja dasar Undang-Undang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, sehingga tidak perlu menggunakan UU Pers. Selain itu, sebaiknya pemerintah menggunakan Undang-Undanh Kamar Dagang dan Industri sebagai tambahan dasar hukum Perpres. 

Sebagai masukan bagi pemerintah, monopoli Belanja Iklan Nasional oleh perusahaan lembaga penyiaran atau TV nasional justeru harus dibuatkan regulasi agar tidak ada praktek monopoli. 

Di negara ini ada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri yang mengatur tentang upaya mengembangkan iklim usaha yang sehat, meningkatkan pembinaan dunia usaha, mengembangkan dan mendorong pemerataan kesempatan yang seluasluasnya bagi masyarakat pengusaha untuk ikut serta dalam pelaksanaan pembangunan di bidang ekonomi berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945.

Daripada pemerintah sibuk mencampuri urusan pers yang sudah menutup ruang bagi pihak luar menyusun peraturan pers termasuk pemerintah, lebih baik pemerintah mengurus pemerataan Belanja Iklan Nasional yang kini dimonopoli oleh segelintir orang dan perusahaan yang berdomisili di Jakarta. 

Karena berbicara pelarangan persaingan usaha tidak sehat, maka pengusaha yang melanggar ketentuan itu yang harus diatur, dalam hal ini perusahaan Agency Periklanan dan pengusaha platform digital, baik lokal maupun asing. Lembaga yang paling tepat melakukan itu berdasarkan aturan perundang-undangan adalah Kamar Dagang dan Industri atau Kadin.

Kadin diberikan kewenangan oleh Undang-Undang Kadin, pada Pasal 7 huruf (f), untuk melakukan kegiatan: "Penyelenggaraan upaya memelihara kerukunan di satu pihak serta upaya mencegah yang tidak sehat di pihak lain di antara pengusaha Indonesia dan mewujudkan kerja-sama yang serasi antara usaha negara, koperasi dan usaha swasta serta menciptakan pemerataan kesempatan berusaha".

Kemudian pada huruf (g): "Penyelenggaraan dan peningkatan hubungan dan kerja-sama antara pengusaha Indonesia dan pengusaha luar negeri seiring dengan kebutuhan dan kepentingan pembangunan di bidang ekonomi sesuai dengan tujuan Pembangunan Nasional".

Dengan demikian, urusan perdagangan, perindustrian dan jasa, menurut perundang-undangan adalah kewenangan Kadin bukan Dewan Pers. Akan sangat rancu dan aneh jika Dewan Pers ‘kegenitan’ ingin diberi kewenangan mengatur urusan perdagangan, perindustrian dan jasa yang jelas-jelas merupakan domain Kadin.

Dewan Pers hanya diberi fungsi oleh Undang-Undang Pers sesuai pasal 15 ayat (2). Di luar pasal itu, Dewan Pers harusnya tahu-diri dan tidak boleh bermimpi menjadi regulator. 

Presiden memiliki niat yang tulus untuk membuat regulasi agar terjadi pemerataan perolehan iklan bagi perusahaan pers di seluruh Indonesia. Jadi, informasi tentang monopoli Nelanja Iklan Nasional oleh Televisi Nasional juga perlu diketahui Presiden. 

Jangan-jangan selama ini Presiden tidak terinformasi soal Belanja Iklan Nasional hanya dimonopoli oleh segelintir pengusaha di Jakarta saja. Perputaran uang di bisnis ini kini mencapai lebih dari Rp. 200 triliun pertahun, namun tidak ada satu lembaga pun di negeri ini yang berani mengutak-atik. 

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sejatinya harus diberlakukan terhadap distribusi belanja iklan yang hanya terpusat di Kota Jakarta saja. Padahal, pada ketentuan umum undang-undang ini menyebutkan: “Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum".

Disebutkan pula dalam ketentuan umum undang-undang ini tentang: “Persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerja-sama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol".

Pada bagian yang sama, disebutkan pula: “Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha".

Yang melanggar pasal tentang monopoli dan persaingan usaha tidak sehat ada sanksi pidana dan denda yang cukup besar. 

Untuk mengatasi atau menghidari praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, maka Pemerintah telah membuat Undang-Undang Kadin untuk memberi peran strategis kepada Kadin dalam  memastikan tidak ada praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di lingkungan pengusaha dan perusahaan di Indonesia. 

Oleh karena yang ingin diatur Presiden adalah kerja-sama perusahaan platform digital asing dengan perusahaan pers, maka sistem yang berlaku adalah bisnis to bisnis. Jadi, bukan menyangkut karya jurnalistik yang menjadi domain Dewan Pers dan organisasi pers. 

Bagaimana mungkin Dewan Pers mau mengatur pengusaha media tentang  tata cara perusahaannya berbisnis dengan perusahaan asing? Fungsi pengaturan bisnis to bisnis tidak ada dalam fungsi Dewan Pers pada Undang-Undang Pers. 

Jika Presiden sampai memakai Draft Perpres yang disodorkan Dewan Pers, maka itu berpotensi mencoreng prestasi gilang-gemilang Jokowi selama dua periode pemerintahannya. Presiden Jokowi tidak boleh dijebak dan diperhadapkan dengan dilema untuk mengeksekusi Perpres versi Dewan Pers. Ini namanya Rancangan Peraturan Presiden atau Ranperpes bisa jadi 'Jebakan Batman' bagi Presiden Jokowi. 

Mayoritas pers di seluruh Indonesia justeru menunggu langkah berani Presiden Jokowi membuat regulasi agar Belanja Iklan Nasional tidak hanya dimonopoli oleh segelintir orang saja. Presiden harus mampu memberdayakan Kadin dalam masalah monopoli belanja iklan media agar dapat membantu pengusaha media lokal yang merupakan mayoritas masyarakat pers yang selama ini terabaikan dan termarjinalisasi. 

Karena banyak pemilik atau pengusaha media yang bukan berprofesi sebagai wartawan, sehingga tidak pas jika dipaksa berbisnis dengan menggunakan Undang-Undang Pers. Organisasi Perusahaan Pers yang menjadi bagian dalam Undang-Undang Pers  hanya berlaku untuk memastikan Perusahaan Pers menghasilkan karya jurnalistik yang bertanggun-jawab dan mematuhi Kode Etik Jurnalistik (KEJ). 

Ketika pengusahanya atau perusahaan itu bersentuhan dengan bisnis, maka aturan perundangan yang berlaku tentunya menggunakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri dan perlindungan usahanya menggunakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. *(HB)*


BERITA TERKAIT:

Rabu, 17 Februari 2021

Minta Dikritik Dan Revisi UU ITE, Ketua DPI Tantang Presiden Tegakkan Kemerdekaan Pers


Ketua Dewan Pers Indonesia Heintje Grontson Mandagie.


Ditulis oleh :
Heintje Grontson Mandagie, 
Ketua Dewan Pers Indonesia

Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) secara mengejutkan meminta pemerintahannya dikritik. Permintaan itu pun menuai beragam reaksi dari berbagai kalangan. Tak lama berselang, Presiden Jokowi kembali membuat pernyataan yang menggemparkan seantero penjuru tanah air. Secara tegas Presiden Jokowi meminta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE itu direvisi jika tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Pernyataan Presiden itu disampaikannya menyusul maraknya aksi saling lapor ke polisi yang menjadikan UU ITE sebagai rujukan hukumnya.  

Sikap Presiden tersebut patut diapresiasi. Sebab, kedua hal penting yang disampaikan Presiden Jokowi itu sangat relevan dengan persoalan serius yang sedang dihadapi insan pers di seluruh Indonesia. Pers yang selama ini menjadi korban penerapan UU ITE, kini memiliki harapan baru jika UU ITE tersebut benar-benar jadi direvisi. Namun  begitu, Presiden Jokowi sepertinya perlu ditantang agar lebih berani bertindak untuk menjamin penegakan kemerdekaan pers. 

Bagi insan pers, presiden seharusnya tidak perlu menunggu terlalu lama melakukan kajian tentang kemudzaratan penerapan UU ITE di masyarakat. Sebab, pada prakteknya, banyak sekali kepala daerah dan pejabat publik justeru menggunakan UU ITE sebagai tameng untuk melindungi dirinya dari kontrol pers dan memilih melaporkan wartawan dan media ke polisi dengan rujukan UU ITE bukan UU Pers ketika dirinya diberitakan terlibat dugaan korupsi atau penyimpangan anggaran.  

Presiden juga seharusnya mengetahui  di negeri ini ada harga ‘nyawa’ dan ‘jeruji besi’ untuk nilai sebuah berita. Karena tak sedikit wartawan dan perusahaan media yang memuat berita tentang dugaan korupsi kepala daerah atau pejabat publik dan pengusaha harus mendekam dibalik jeruji besi karena dikriminalisasi dengan rujukan UU ITE tersebut. Bahkan, di tahun 2018 lalu ada wartawan Muhammad Jusuf di Kalimantan Selatan tewas dalam tahanan akibat berita yang ditulisnya dijerat UU ITE.

Akibat dari itu, jaminan perlindungan hukum terhadap wartawan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjadi tidak berlaku karena penyidik Polri lebih memilih menggunakan UU ITE ketimbang UU Pers dalam menangani laporan tentang pelanggaran UU ITE terkait pemberitaan di media Online.  

Terkait permintaan kritik terhadap pemerintah yang disampaikan presiden untuk meningkatkan pelayanan publik, perlu ditanggapi serius. Sebab, insan pers pernah memiliki pengalaman buruk terkait kritik pelayanan publik yang diabaikan Presiden.  

Masih segar dalam ingatan, ketika semangat pergerakan kemerdekaan pers pada pelaksanaan Musyawarah Besar Pers Indonesia Tahun 2018 dan Kongres Pers Indonesia 2019 memicu pergerakan nasional kebebasan pers di berbagai daerah di Indonesia. Namun, sangat disayangkan, rekomendasi hasil keputusan insan pers melalui dua even besar tersebut diabaikan Presiden. Rekomendasi hasil Kongres Pers Indonesia tahun 2019 yang melahirkan 21 orang Anggota Dewan Pers Indonesia secara demokratis, sebetulnya telah diserahkan ke Presiden pada tanggal 16 April 2019, namun tidak digubris sama sekali.    

Untunglah, insan pers konstituen Dewan Pers Indonesia tidak marah atas sikap Presiden. Nyaris tidak ada media yang protes atau mempertanyakan sikap Presiden tersebut. Meskipun begitu, perjuangan menegakan kemerdekaan pers masih terus berlanjut. Penolakan terhadap pelaksanaan Uji Kompetensi Wartawan secara ilegal oleh Dewan Pers dan organisasi konstituennya dilawan dengan mekanisme pelaksanaan yang sesuai aturan perundang-undangan yakni penyusunan Standar Kompetensi Kerja Khusus Wartawan melalui Kementrian Ketenagakerjaan dan pendirian Lembaga Sertifikasi Profesi Pers Indonesia lewat pengajuan lisensi di Badan Nasional Sertifikasi Profesi atau BNSP.  

Semua persoalan tentang pers yang diulas di atas, sesungguhnya sudah pernah tertuang dalam satu Surat Terbuka kepada Presiden yang dilayangkan pada tahun 2018 lalu. Begitu viral surat terbuka tersebut dipublikasikan di ratusan media online se Indonesia, namun tak ada respon sama sekali dari Presiden. Padahal, kritikan dalam surat tersebut sangat jelas menggaris bawahi keresahan insan pers tanah air atas maraknya kriminalisasi pers di rezim ini.  

Sehina itu kah, puluhan ribu media online yang disebut abal-abal oleh Dewan Pers sehingga layak dikriminalisasi dan tidak layak diperhatikan oleh yang mulia Presiden RI Joko Widodo? Atau tidak berartikah upaya mayoritas masyarakat pers mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional melalui Mubes Pers Indonesia 2018 dan Kongres Pers Indonesia 2019 di mata Presiden RI Joko Widodo?

Presiden mungkin lupa, bahwa ketika bangsa ini nyaris terpecah dua akibat terpolarisasi dalam situasi pelaksanaan Pemilihan Presiden 2019 lalu, ribuan media online lokal justeru berperan aktif menyejukan suasana politik dengan pemberitaan yang netral karena takut dikriminalisasi. Media mainstream nasional justeru terlihat asik dengan liputan kerusuhan secara berulang-ulang di media televisi. Bahkan, konflik dan perbedaan politik menjadi komoditas industri media disaat Pilpres kemarin. Kini semua konflik sudah berlalu dan situasi sudah harmonis kembali.   

Sekarang ini Presiden Jokowi harus tahu, bahwa di berbagai daerah masih banyak Pemerintah Daerah terjebak menggunakan Peraturan Dewan Pers menjadi syarat kerja-sama dengan perusahaan media, meskipun Peraturan Dewan Pers itu bukan merupakan bagian dari Peraturan Perundang-undangan. Bagaimana mungkin Pemerintah Daerah menggunakan peraturan lembaga independen menjadi syarat pengelolaan administrasi pemerintahan. Celakanya, dalam penyelesaian sengketa pers pun Dewan Pers sering membuat rekomendasi kepada penyidik Polri bahwa wartawan dan media yang menjadi teradu adalah tidak terdaftar atau belum terverifikasi Dewan Pers, sehingga pengadu bisa menempuh aturan hukum lain di luar UU Pers. Hal inilah yang menyebabkan maraknya praktek kriminalisasi pers di berbagai daerah.  

Bahkan, sadarkah presiden bahwa Indeks kebebasan pers Indonesia tahun 2020 menurut Lembaga Pemantau Reporters Without Borders tercatat masih berada pada level bawah yakni pada peringkat 119 dari 180 negara, dan tahun sebelumnya pada level 124. Dalam halaman resminya, Lembaga ini menyebutkan, Presiden Jokowi gagal memenuhi janji kampanyenya yang menjanjikan penghormatan terhadap kebebasan pers selama masa jabatan lima tahun pertamanya. 

Artinya, tanggung-jawab indeks kebebasan pers Indonesia dibebankan kepada Presiden Jokowi oleh Lembaga Pemantau Reporters Without Borders. Terlebih lagi, Presiden dan jajaran pemerintahannya mungkin lupa juga, bahwa puluhan ribu media online yang dihina oleh Dewan Pers dengan sebutan abal-abal dan didirikan untuk tujuan memeras, sesungguhnya adalah mayoritas masyarakat Pers Indonesia yang telah menciptakan ratusan ribu lapangan pekerjaan bagi wartawan yang ikut membayar pajak sebagai kontribusi nyata bagi pemasukan APBN. Bagaimana mungkin Presiden Joko Widodo tutup mata dengan nasib puluhan ribu perusahaan media berbadan hukum dan ratusan ribu wartawan ini yang kini berharap lebih kepada Dewan Pers Indonesia untuk memperjuangkan nasibnya.

Saat ini Dewan Pers Indonesia sedang fokus memperjuangkan belanja iklan nasional agar bisa ikut terserap ke daerah agar tidak hanya dimonopoli oleh media nasional. Sebagai kritik Dewan Pers Indonesia terhadap Presiden adalah sikap pemerintah yang selama ini melakukan pembiaran terhadap pelanggaran Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang dilakukan seluruh Lembaga Penyiaran Swasta Nasional yang masih melakukan kegiatan siaran secara nasional. Sejak tahun 2005, batas akhir Lembaga Penyiaran Swasta menyesuaikan operasional dan perijinannya dengan Undang-Undang Penyiaran, namun pelanggaran yang terjadi sesudah itu tidak pernah ditindak, termasuk oleh pemerintahan saat ini. Lembaga Penyiaran Swasta yang kemudian mendirikan perusahaan TV Lokal ternyata sebagian besar masih merelay siaran nasional melebihi batas prosentasi  jumlah siaran nasional yakni hanya 40 persen dan konten siaran lokal sebanyak 60 persen. 

Dampak dari pelanggaran UU Penyiaran ini, Lembaga Penyiaran Swasta bidang usaha Televisi dan Radio masih saja menyiar secara nasional. Padahal, hanya TVRI dan RRI yang boleh menyiar secara nasional. Selain dari pada itu, perusahaan TV dan radio swasta nasional yang sudah ada sebelumnya harus mendirikan perusahaan TV lokal dengan frekwensi wilayah penyiaran terbatas. 

Pelanggaran UU Penyiaran oleh Lembaga Penyiaran Swasta ini berpengaruh pada distribusi belanja belanja iklan nasional yang hanya terpusat di Jakarta dan dimonopoli oleh perusahaan media Televisi. Hal itu disebabkan pengguna jasa periklanan lebih memilih beriklan di media televisi yang jangkauan siaran dan relay siarannya mencakup seluruh wilayah Indonesia. Kondisi ini pun adalah praktek monopoli. Karena perusahaan agency periklanan di Jakarta saja yang menikmati tender belanja iklan nasional, sementara perusahaan agency lokal terpaksa gigit jari. Ada potensi pelanggaran Undang-Undang anti monopoli di situ. 

Padahal, jika seluruh Lembaga Penyiaran Swasta bidang usaha Televisi dan Radio sudah menjadi perusahaan lokal di setiap provinsi, maka pada gilirannya belanja iklan nasional akan secara otomatis terdistribusi ke daerah. Pengguna jasa periklanan akan memilih mendistribusi belanja iklan promosi produk melalui perusahaan-perusahaan media lokal. Hal inilah yang sedang diperjuangkan oleh Dewan Pers Indonesia melalui Serikat Pers Republik Indonesia di berbagai daerah bersama-sama dengan organisasi pers konstituen lainnya. 

Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Riau menjadi pilot project dengan program Diskusi Media bertema Monopoli Belanja Iklan nasional dan Rancangan Peraturan Daerah tentang Belanja Iklan Nasional. Respon yang sangat luar biasa dari Ketua DPRD Sumut dan jajarannya semakin memuluskan tindak lanjut dari hasil diskusi media yang digagas SPRI tersebut. Belanja iklan nasional yang menjadi sumber potensi Pendapatan Asli Daerah nantinya dapat diatur melalui Ranperda. Dan menariknya SPRI kini diminta oleh pimpinan DPRD untuk membuat kajian naskah akademis terkait penyusunan Draft Ranperda tentang Belanja Iklan dimaksud. 

Dari pemaparan di atas, ada beberapa poin penting yang harus dilakukan presiden. Presiden Jokowi harus berani memerintahkan aparat penegakan hukum dan Komisi Penyiaran Indonesia menindak tegas Lembaga Penyiaran Swasta yang melakukan pelanggaran pidana dan adminsitrasi terhadap pelaksanaan UU Penyiaran.  

Presiden juga perlu mendorong pemerintah daerah memfasilitasi perusahaan agency lokal untuk menyusun konsep promosi iklan produk nasional melalui perusahaan media lokal yang lebih efektif dan berbiaya terjangkau. Dan selain itu, Presiden bisa memerintahkan Menteri Dalam Negeri untuk mendukung langkah yang saat ini sedang ditempuh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara yang menginisiasi penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Belanja Iklan Nasional menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah sehingga bisa dilaksanakan secara nasional di seluruh Indonesia. 

Dengan cara ini maka perusahaan pers di daerah akan memiliki peluang besar mendapatkan jatah belanja iklan, sehingga tidak perlu lagi, maaf, ‘mengemis’ kontrak kerja sama dengan pemerintah daerah untuk menutupi biaya operasional media. Langkah ini akan sangat efektif menciptakan perusahaan media yang independen dan profesional. Pada gilirannya pers Indonesia bisa sejahtera dan negara akan maju karena fungsi kontrol sosial pers berjalan baik. *(HGM/HB)*

Minggu, 29 Desember 2019

Wartawan Dibutuhkan Sekaligus Dibenci, Mengapa?

Amran Muktar (kiri) dan Wilson Lalengke (kanan)


Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Menjadi wartawan, mungkin sebagian orang menilai tidaklah begitu penting. Sebagian pula menghindar dan membenci wartawan. Bahkan, ada yang memenjarakan wartawan dengan berbagai alibi. Namun ada yang sangat membutuhkan wartawan, yaitu orang-orang yang memiliki pola pikir profesional dan mengetahui persis tentang tugas wartawan atau jurnalis. Sebagai pekerja kontrol sosial, ada resiko besar dalam melaksanakan kewajiban sebagai wartawan.

Wartawan orang bebas. Dia bebas menulis apa yang ia lihat dan dengar berdasarkan hati nurani, namun tidak terlepas dari kode etik dan UU Pers. Meskipun wartawan dilindungi UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, tetapi masih saja ada yang sengaja membungkam atau mencekal wartawan dalam menjalankan fungsinya dengan berbagai pasal yang tidak sesuai UU Pers yang ada.

"Seorang wartawan tidak memiliki kategori status sosial yang pasti. Pagi ia bisa ngobrol dengan abang becak, siang dia bisa makan bersama para pejabat, sore bisa bincang-bincang dengan pemuka agama, dan malam dia juga bisa berada di cafe, diskotik, dan bar", ulas Pemred Portalindo.co.id, Amran Muktar, usai silaturahmi di kediaman Ketum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Wilson Lalengke, Minggu (29/12/19).

Wartawan, kata Amran, setiap hari menyapa publik dengan informasi. Tak peduli apakah informasi yang disajikan itu diapresiasi atau dicaci. Semuanya semata untuk memenuhi kewajibannya terhadap publik. Wartawan memberikan informasi berdasarkan kebenaran yang diyakininya benar dan hasil check and recheck.

“Terkadang risiko kehilangan nyawa tanpa ia sadari mengancam diri dan keluarganya", tambah Amran yang juga salah seorang aktivis PPWI Jakarta.

Wartawan tidak ada istilah libur meskipun tanggal merah. Sekalipun di hari raya nasional dan keagamaan, mereka tetap bertugas memburu berita. Bahkan, secara seloroh, pada saat datangnya kiamatpun, wartawan tetap bekerja memberitakan tentang peristiwa kiamat yang sedang berlangsung.

Demi tugas sebagai agen sosial control dan untuk menyajikan berita bagi masyarakat, seorang wartan akan terus bekerja tanpa henti, tanpa jedah. Informasi tentang kondisi dan perkembangan lingkungan sekitar sangat dibutuhkan masyarakat. Termasuk berbagai kejadian, persitiwa dan fenomena di tempat lainnya di setiap sudut negeri, dunia dan alam semesta ini.

"Sungguh sebuah profesi yang amat agung, dimana seorang wartawan berperan besar dalam seluruh aspek kehidupan. Sejarah mencatat, kemerdekaan Indonesia dikumandangkan ke seantero dunia melalui media oleh para wartawan", ujar Amran yang juga menjabat Kabag Kemitraan Aliansi Wartawan Nasional Indonesia (AWNI).

Begitu penting peran wartawan dalam setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, namun mengapa kini wartawan banyak dipenjarakan dengan cara-cara yang sangat bertentangan dengan UU Pers, UU KIP, dan UU HAM.

"Wartawan tak perlu dibungkam, wartawan tak perlu dipidana. Wartawan itu hanya butuh dibina dan diawasi secara profesional. Jadikan UU Pers sebagai satu-satunya alat mengontrol, mengawasi dan mengembangkan kebebasan pers di negeri ini", tegas Amran.

Wartawan bukan untuk ditakuti. Wartawan bukan untuk dibasmi. Wartawan penentu masa depan sebuah negara. Wartawan mutlak diperlukan dalam mendorong kemajuan sebuah bangsa serta menjaga pertahanan dan keamanan negara.

"Saya sangat berharap kepada para pejabat di seluruh instansi, baik pemerintah maupun swasta agar memberi ruang kepada wartawan untuk menjalankan tugasnya. Jangan merasa alergi dan takut kepada wartawan, apalagi membencinya. Wartawan mengemban tugas sosial control bangsa, bahkan dunia", pinta Amran menambahkan.

Ia juga mengatakan, sebagai pemimpin redaksi, tentunya sangat memperhatikan apa yang menjadi kendala para wartawan di lapangan.

“Saya akan mengikuti jejak Ketum PPWI yang membela wartawan dari media manapun jika mendapatkan perlakuan yang tidak pantas, seperti yang sudah dilakukan Ketum PPWI, Wilson Lalengke, yang membela dan memperjuangkan para wartawan di tanah air selama ini,” tutup Amran penuh semangat. *(WL/HB)*

Kamis, 03 Januari 2019

Uji Kompetensi Jadi Senjata Maut Dewan Pers

(Menjawab tulisan sekaligus kekhawatiran Eka Putra)


Oleh: Ilham Akbar Rao

Membaca kekhawatiran Abangda Eka Putra terkait lelaku Bung Wilson Lalengke cs yang ia ungkap dengan judul tulisan “Kompetensi memisahkan kita dari wartawan abal-abal” (GoRiau, 25 Des 2018) menurut saya menarik untuk diulas.  

Saya ingin mencoba mendudukan kerisauan abangda ini dalam dua hal. Pertama, terkait Uji Kompetensi Wartawan (UKW) sebagai keniscayaan wartawan profesional. Kedua, Tudingan Bung Wilson yang menyebut praktek UKW yang disponsori Dewan Pers adalah wahana pemerasan secara halus oleh beberapa organisasi wartawan. 
Adapun terkait kritikan yang abangda sematkan secara pribadi kepada Bung Wilson, bukan domain adinda menelaahnya.

Sejak permulaan tulisan, Abangda Eka Putra sudah menunjukan watak antipati bahkan secara eksplisit membentang kesimpulan bahwa apa yang dilakukan Bung Wilson Lalengke bersama Bung Heintje G. Mandagie maupun gerakan Sekber Pers Indonesia yang menggugat salah satunya praktek Uji Kompetensi Wartawan (UKW), sebagai langkah lazim dikalangan wartawan abal-abal. 

Sebetulnya kecemasan abangda terkait praktek UKW beserta eksesnya sudah terjawab tuntas dalam tulisan Bung Heintje “DPI Solusi dari Peraturan dan UKW Abal-Abal Dewan Pers” yang diterbitkan beberapa hari setelah tulisan abangda. Tulisan Bung Heintje menurut adinda lengkap dan bernas karena dilandasi aturan perundang-undangan untuk menguatkan pendapatnya. Jadi adinda tak perlulah menjelaskan secara detail kembali.



Disini adinda hanya ingin berbagi sedikit pengalaman selama mengenal Bung Wilson Lalengke dus pergerakannya. Harapannya, meminjam istilah abangda sendiri “jangan tendensius jika belum paham benar”.   

Adinda bertemu langsung Bung Wilson dan Bung Heintje sekitar bulan Mei 2018 di PN Jakarta Pusat. Ketika itu, keduanya atas nama Ketua PPWI (Persatuan Pewarta Warga Indonesia) dan Ketua SPRI (Serikat Pers Republik Indonesia) hadir sebagai penggugat dalam sidang perdana gugatan melawan hukum terhadap Dewan Pers.

Bung Dolfie Rompas, kuasa hukum keduanya menyitir gugatan ini terkait kebijakan Dewan Pers dalam Uji Kompetensi Wartawan (UKW) maupun lembaga dan organisasi yang di tunjuk melakukan uji kompetensi tersebut, selain itu juga terkait verifikasi media massa yang dinilai mengekang kemerdekaan pers.

Seingat adinda, tak lebih dari 10 orang pemburu berita yang datang di sidang perdana kala itu. Alhasil, sidang ini pun lengang dan lekas habis dalam ingatan publik. 

Perjuangan Bung Wilson dan Bung Heintje justru mendapat porsi besar di hati banyak wartawan salah satunya saat tragedi kematian M. Yusuf, wartawan Kemajuan Rakyat yang ditahan karena tulisannya yang aktif menyoroti perlawanan warga Pulau Laut terhadap PT MSAM di Kalimantan Selatan. 

Alkisah, sebelumnya tulisan Yusuf ini sempat di screen Dewan Pers. Kesimpulan Dewan Pers menyayat hati karena salah satunya ialah merekom pihak yang merasa dirugikan untuk menempuh jalur hukum dengan menggunakan UU lain diluar UU Nomor 40/Tahun 1999 Tentang Pers.

Dewan Pers bahkan terang menyebut aktivitas Yusuf merupakan bentuk penyalahgunaan profesi wartawan. Karena itu tadi, Yusuf belum melaksanakan UKW dan media tempat ia bekerja juga tidak terverifikasi radar Dewan Pers. Secara eksplisit Dewan Pers seperti juga “nayaga” nya ingin menorehkan kesan bahwa M. Yusuf bagian dari wartawan abal-abal juga, jadi bukan domain Dewan Pers untuk membantunya dan penanganannya pun sudah sesuai dengan menggunakan UU diluar UU Pers.    

Rupanya kematian wartawan M. Yusuf dengan cepat mendapat perhatian luas publik tanah air bahkan dunia internasional. UNESCO salah satu Badan khusus PBB melalui Direktur Jendral Audrey Azoulay bahkan mengutuk kematian Yusuf dan meminta otorita berwenang untuk melakukan penyelidikan transparan terhadap hal-hal terkait kematiannya. 

Sementara di tanah air simpati atas kematian wartawan Yusuf datang dari beragam pihak. PWI sendiri membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) yang dikomandoi wartawan segudang pengalaman sekelas Ilham Bintang, Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat untuk menggali lebih jauh kematian Yusuf.

Dikutip dari Antara, TPF PWI Pusat ini juga meneliti apakah prinsip penanganan sengketa pers telah diperhatikan berkaitan dengan posisi Yusuf sebagai wartawan di sebuah media?. Hal ini adinda belum mendengar hasil kerja TPF.  

Lantas apa yang dilakukan Bung Wilson dan Bung Heintje? Keduanya bersama beberapa ketua organisasi pers dan ratusan wartawan bergerak melakukan aksi demonstrasi langsung di Sekretariat Dewan Pers, di Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Mereka mendesak agar Dewan Pers segera menghentikan berbagai rekomendasi yang justru merugikan pekerja pers itu sendiri. Aksi ini bahkan membawa keranda mayat sebagai rasa berkabung atas kematian M. Yusuf sekaligus simbol matinya kemerdekaan pers tanah air. Aksi ini mendapat liputan luas dan banyak memperoleh simpati. 

Ada yang menarik hati adinda dalam polemik Yusuf ini. Ialah pelabelan profesi wartawan secara kontekstual antara Dewan Pers dengan PWI Pusat yang sudah tak seiring. Dewan Pers tentunya memiliki beberapa alasan menentukan profesi Yusuf, yang acap kita dengar ialah belum UKW dan medianya tidak terverifikasi Dewan Pers. Nah, kalau PWI Pusat sendiri mengapa menyatakan Yusuf adalah wartawan, abangda tentu lebih elok untuk mengukur parameternya. 

Bukan berapriori kenyataannya Dewan Pers sering kali menelan ludahnya sendiri dengan tidak konsisten pada pendapatnya sendiri. 
Dalam kasus Yusuf, rekomendasi pertama kepada penyidik kepolisian ialah polemik Yusuf merupakan perkara jurnalis, namun rekomendasi berikutnya malahan menyarankan kepolisian menggunakan jerat lain dalam menangani tulisan Yusuf.   

Ini hanya satu contoh, tak terhitung sudah bagaimana katebelece Dewan Pers yang dirasa diskriminatif terhadap wartawan ketika berhadapan dengan hukum, khususnya pada wartawan yang belum UKW dan yang bukan dari media arus utama, meski sengketa hukumnya gegara tulisan sekalipun.

Namun lucunya, bila kasusnya sudah viral dan mendapat perhatian luas publik, Dewan Pers pun buru-buru turun tangan mengecam pihak-pihak yang dianggap mengeliminir kemerdekaan pers dengan membuat pernyataan pers (ingat yah, sebatas pernyataan pers).

Nah, kinerja Dewan Pers yang diskriminatif seperti inilah yang melatarbelakangi berdirinya Dewan Pers Independen yang dimotori salah satunya oleh Bung Wilson dan Heintje. 
Jadi adinda pikir, bukan organisasi yang menjadi konstituen Dewan Pers yang menjadi sasaran atau yang melatarbelakangi gerakan protes kepada Dewan Pers oleh Bung Wilson cs. Kalau terdapat beberapa “oknum” organisasi pers dimaksud ada yang tersungut, jangan salahkan bunda mengandung.   

Adinda sendiri merasakan bagaimana “politik UKW” Dewan Pers bisa ikut mematikan pangsa pasar media yang adinda kelola. Pada pertengahan 2018 kemarin, adinda sempat beradu argumen dengan salah satu pejabat humas salah satu Pemda di Sumatera, karena media adinda ditangguhkan untuk melakukan kerjasama pada tahun anggaran kedua, alasannya media adinda belum terverifikasi dan adinda sendiri belum UKW. “Ini berdasarkan edaran Dewan Pers,” katanya.

Dengan kepala dingin adinda menjelaskan bahwa edaran Dewan Pers itu tidak mengikat dan apalagi masih dalam proses gugatan di PN Jakarta Pusat. Namun karena humas ini kukuh dengan pendapatnya, suara adinda sedikit meninggi dan menyarankan agar dirinya belajar dan kembali menelaah UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers Nasional, disitu terdapat apa fungsi dan kewenangan Dewan Pers. Karena belum juga ada titik temu, pembicaraan terakhir adinda sampaikan agar ia pindah ke Timor Leste saja jika tidak mengakui UU yang berlaku di Indonesia. 

Abangda Eka Putra, adinda bukan alergi dengan UKW. Adinda rasa pendapat ini jamak pada sebagian besar wartawan di Indonesia, UKW bisa jadi wajib karena pekerjaan kita lebih mengandalkan otak ketimbang otot. Apalagi sebagai wartawan muda dan pemimpin sebuah media adinda justru sangat tertantang dengan ujian kompetensi tersebut.

Yang adinda tidak setuju ialah apabila praktek UKW dijadikan alat untuk menghambat kemajuan sebuah penerbitan. Seperti yang dilakukan Dewan Pers dengan mengirimkan surat ke berbagai instansi untuk hanya mengakomodir wartawan yang telah UKW dan medianya telah terverifikasi.

Dan dari pembicaraan gerakan Bung Wilson cs di WhatssApp Grup (WAG) Menggugat Dewan Pers (MDP) adinda sedikit sekali mendengar agar pelaksanaan UKW ditiadakan, memang ada sebagian kecil rekan-rekan di MDP tidak setuju adanya praktek UKW, namun ini bukan pendapat resmi. Mayoritas justru ingin merubah agar pelaksanaan UKW disesuaikan dengan UU yang berlaku. Jadi abangda tak perlulah risau berlebihan.

Ini sekaligus menjawab kekhawatiran abangda atas pernyataan Bung Wilson terkait praktek UKW yang diasosiasikan sebagai “pemerasan secara halus”. Come onn abangda, kita ini wartawan yang juga mengutamakan intuisi.

Bila pelaksanaan UKW yang dipelopori Dewan Pers, termasuk instansi yang mengeluarkan sertifikat kompetensi dalam prakteknya sudah menyalahi peraturan perundang-undangan, sementara edaran Dewan Pers kepada instansi pemerintah maupun swasta agar tidak melayani wartawan yang tidak UKW. Lalu apa bukan pemerasan namanya, bila masih juga memaksakan UKW? Jadi prakteknya yang menyalahi bukan substansi UKW nya abangda.

Pada akhirnya adinda sematkan rasa takzim yang mendalam kepada abangda, atas kritik maupun saran abangda terhadap gerakan Sekber Pers Indonesia. Adinda yakin, abangda pasti masih kurang puas dengan penjelasan singkat adinda disini, ini masih ronde pertama abangda. 
 
Terakhir, adinda berharap dialog “batin” ini tidak berhenti disini. Adinda tunggu kabar benci tapi rindu dari Abangda Eka Putra selanjutnya. Wass bi Maaf. (Pondok Gede, 3 Januari 2019)     
 
*Pemimpin Redaksi Target Buser*

Jumat, 28 Desember 2018

DPI Solusi Dari Peraturan Dan UKW Abal-abal Dewan Pers

Heintje G. Mandagie, Ketua Umum DPP SPRI bersama Ketua Dewan Penasehat Sekber Pers Indonesia Laksamana TNI (Purn) Tedjo Edhi Purdijatno

Kota JAKARTA – Dewan Pers kerap menuding puluhan ribu media yang belum diverifikasi dan ratusan ribu wartawan yang belum ikut Uji Kompetensi Wartawan atau UKW, dengan sebutan abal-abal. Upaya Dewan Pers mencitrakan media dan wartawan abal-abal itu sukses membuat wartawan dan seluruh pemilik media kalang-kabut, sehingga terpaksa berduyun-duyun mengikuti proses verifikasi media dan kegiatan UKW dengan biaya tinggi sekalipun. 

Sangat sulit mencari pembenaran bahwa pelaksanaan UKW versi Dewan Pers tersebut memang murni untuk peningkatan kualitas dan standar profesi wartawan dan bukan untuk tujuan meraup lembaran rupiah di balik itu.

Tudingan abal-abal telah menjadi senjata Dewan Pers untuk menekan wartawan dan media agar mengikuti verifikasi media dan kegiatan bisnis UKW. Disadari atau tidak, Dewan Pers telah dengan bangganya menjadikan wartawan sebagai objek bisnis UKW abal-abal. 

Mengutip ulasan mengenai Definisi sertifikasi kompetensi kerja versi Badan Nasional Sertifikasi Profesi atau BNSP, bahwa Sertifikasi Kompetensi adalah proses pemberian sertifikasi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi yang mengacu kepada standar kompetensi kerja nasional Indonesia dan/atau internasional.

Untuk memastikan dan memelihara kompetensi diperlukan sistem sertifikasi yang kredibel  berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang ketenaga-kerjaan yang pembentukannya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Perlu diketahui juga, Lembaga Sertifikasi Profesi atau LSP yang merupakan kepanjangan tangan dari BNSP, proses pemberian lisensinya mengadopsi kepada standar ISO 17024.


Heintje G. Mandagie, Ketua Umum DPP SPRI berjabat-tangan dengan Menkominfo RI Rudiantara.

Nah, dari pertimbangan di atas dapat diketahui dengan jelas bahwa ke-27 LSP versi Dewan Pers tidak mengacu pada ketentuan tersebut atau tidak professional dan memenuhi standar ISO 17024 alias abal-abal.

Sejatinya, sertifikasi kompetensi berkaitan dengan pencapaian pengalaman dan kemampuan dari tenaga kerja professional. Jadi perlu digaris bawahi bahwa lembaga yang dapat menentukan seseorang bekerja atau tidak adalah industri atau perusahaan pers (bagi wartawan). BNSP bersama-sama dengan LSP  hanya berada pada posisi membantu industri (perusahaan pers) untuk meyakinkan pihak pelanggannya bahwa mereka menggunakan tenaga (wartawan) kompeten.

Dewan Pers sepertinya perlu mengetahui bahwa terdapat 3 (tiga) jenis penerapan sertifikasi kompetensi yaitu Penerapan Wajib Setifikasi, penerapan Disarankan Sertifikasi (advisory) dan penerapan Sukarela Sertifikasi (voluntary). Penerapan Wajib pada sertifikasi kompetensi dilakukan oleh otoritas kompeten sesuai bidang tekhnisnya berdasarkan regulasi perdagangan jasa antar negara (WTO) terutama GATS yang diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994, sehingga penerapan Wajib Sertifikasi harus mengacu pada perjanjian ini.

Penerapan Wajib Sertifikasi Kompetensi didasarkan pada hal-hal yang berkaitan dengan safety (keselamatan), security (keamanan), dan mempunyai potensi dispute (perselisihan) besar di masyarakat, dan seharusnya dinotifikasikan ke WTO.
Jadi sangat jelas dan terang benderang bahwa UKW bagi wartawan tidak wajib. Dengan begitu, sudah terbukti UKW yang dilaksanakan Dewan Pers ternyata tidak masuk pada jenis Penerapan Wajib Sertifikasi. Yang paling tepat UKW bagi wartawan diterapkan adalah jenis Penerapan Disarankan. Karena dalam program ini pemerintah memberikan insentif apabila masyarakat turut berpartisipasi dalam program ini, seperti bantuan sertifikasi, bantuan pengembangan kelembagaan dan sebagainya.

Sistem inilah yang paling banyak dilaksanakan di dalam negeri. Nah, sistem Penerapan Disarankan Sertifikasi inilah yang paling tepat diterapkan kepada wartawan untuk UKW. UKW seharusnya tidak dijadikan legitimasi seseorang disebut wartawan atau bukan wartawan.

Kebutuhan UKW ini sesungguhnya untuk meyakinkan pelanggan Koran atau pembaca media online, dan pemirsa televisi dan radio untuk percaya bahwa proses pembuatan berita tersebut layak dipercaya karena dikerjakan oleh wartawan professional yang bersertifikat UKW.

Dengan demikian publik atau masyarakat pembaca dan pemirsalah yang menjadi penentu rating maupun jumlah pembaca dan pemirsa dari berita media yang diyakini nilai kebenarannya. Semua akan terseleksi secara alamiah tanpa harus dibuat surat edaran ke mana-mana oleh Dewan Pers mengenai wartawan atau media mana yang harus dilayani. Seperti contoh mengenai regulasi tentang makanan, biasanya ada label halal dari MUI sehingga masyarakat tahu makanan apa dan restoran mana yang halal dikonsumsi.


Sejumlah Pengurus Sekber Pers Indonesia saat foto bersama Menkominfo RI Rudiantara.

Seharusnya, hal itu yang dilakukan Dewan Pers. Tidak perlu memusuhi dan mencela wartawan dan media dengan sebutan abal-abal. Cukup label terverifikasi Dewan Pers dan wartawan bersertifikat UKW dipampang di halaman depan media. Selebihnya biarkan masyarakat yang memilih dan menentukan media seperti apa yang layak dibaca dan ditonton serta didengarnya. 

Berdasarkan pengalaman di lapangan, wartawan itu menjadi professional bukan karena ikut UKW abal-abal versi Dewan Pers, melainkan karena sebelum menjadi wartawan terlebih dahulu dilatih dan dididik oleh pimpinan di masing-masing media. Learning by doing atau belajar sambil mengerjakannya. Pendidikan dan peningkatan kualitas itu lazimnya dilakukan oleh level pimpinan redaksi atau redaktur kepada reporter dan Pimpinan redaksi kepada para redaktur di bawahnya. Itu mekanisme umum yang terjadi di keredaksian dalam menjalankan pekerjaan jurnalistik.

Kalau kemarin ada yang menulis bahwa UKW akan memisahkan antara wartawan professional dan wartawan abal-abal, tentunya terbantahkan. Parameter seperti itu justeru terlalu sempit dan tendensius.

Buktinya, sampai hari ini kita masih disuguhkan pemandangan media-media mainstream berskala nasional ‘melacurkan diri’ dengan menjual idealisme pers melalui pemberitaan yang terlalu berpihak kepada arah politik kelompok penguasa. Tulisan ini bukan anti penguasa tapi untuk membuktikan bahwa parameter professional media terverifikasi, dengan segudang wartawan UKW, tidak akan menjamin bahwa karya jurnalistik abal-abal tidak akan terjadi.

Berkaitan dengan verifikasi media yang dilaksanakan Dewan Pers, sudah menjadi pembahasan hangat di kalangan wartawan. Media yang belum di verifikasi Dewan Pers kerap mengalami tindakan diskriminasi dan kriminalisasi akibat pemberitaan.

Bahkan, surat edaran Dewan Pers ke seluruh pemerintah pusat dan daerah, dan ke perusahaan-perusahaan nasional dan daerah telah mengancam eksistensi perusahaan pers yang belum terverifikasi Dewan Pers. Dewan Pers telah menjelma menjadi lembaga tinggi negara yang memiliki kekuasaan penuh untuk mengatur pemerintah pusat di tingkat kementrian, pemerintah daerah dan bahkan perusahaan pelat merah dan swasta untuk melaksanakan ketentuan yang dibuatnya hanya melalui selembar Surat Edaran.

Begitu superiornya Surat Edaran Dewan Pers sehingga para menteri, gubernur, bupati, walikota, dan pemimpin perusahaan nasional dan daerah tidak berani melawan meskipun jelas-jelas itu (surat edaran Dewan Pers) melanggar dan mencederai kemerdekaan pers yang dijamin UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.  Sudah sangat jelas bahwa Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers berbunyi : ‘Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers'.

Berbicara masalah hak, maka sebagus apapun peraturan Dewan Pers (menurut dia) jika melanggar hak asazi manusia maka akan berhadapan dengan pelanggaran konstitusi.

Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan  mengatur lembaga-lembaga (bukan hanya lembaga negara) yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan lainnya sebagai berikut: “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepal Desa atau yang setingkat".

Kemudian, Pasal 8 ayat (2) UU. No. 12 Tahun 2011 selanjutnya mengatur bahwa: “Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan".

Dalam pasal 15 ayat (2) huruf F, Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers disebutkan Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut: "Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan".

Sangat jelas di situ, Dewan Pers tidak diberi kewenangan oleh Undang-Undang untuk membuat peraturan-peraturan sendiri. Bahkan dalam Undang-Undang Pers jelas tertulis bahwa  fungsi Dewan Pers hanya ‘memfasilitasi.’ Jadi organisasi-organisasi pers lah yang berhak dan berwenang membuat peraturan-peraturan di bidang pers yang difasilitasi oleh Dewan Pers.

Patut diakui bahwa persoalan yang menjadi kekuatiran dan keresahan sekelompok elit yang mengaku pers professional, adalah dampak dari kemerdekaan pers yang dijamin Undang-Undang telah membuka peluang yang sangat luas dan mudah bagi warga masyarakat untuk mendirikan usaha media dalam skala kecil dan menengah. Dalam prakteknya, memang banyak kejadian memprihatinkan dimana sebagian kecil warga masyarakat yang keliru dan salah menggunakan media sebagai alat untuk memeras pejabat dan pengusaha.

Namun demikian, itu (penyalahgunaan media) bukan berarti secara global Dewan Pers bisa menggenaralisir dan mencitrakan negative terhadap 43 ribuan media yang belum diverifikasi sebagai media abal-abal yang didirikan dengan tujuan untuk memeras pejabat. Tugas untuk menindak dan menertibkan itu (kasus pemerasan) bukan urusannya Dewan Pers melainkan pihak kepolisian dan organisasi perusahaan pers dan organisasi wartawan.

Sudah sangat jelas bahwa Peraturan Dewan Pers sendiri Nomor 4/Peraturan-DP/III/2008 tentang Standar Perusahaan Pers pada poin ke 17 disebutkan : ‘Perusahaan Pers Media Cetak diverifikasi oleh organisasi perusahaan pers dan perusahaan pers media penyiaran diverifikasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia.’ Jadi verifikasi media itu tugas organisasi pers untuk menertibkan dan mengantisipasi agar tidak terjadi penyalahgunaan media.

Namun, pada prakteknya peraturannya dilanggar sendiri oleh Dewan Pers. Verifikasi media yang seharusnya dilakukan oleh organisasi perusahaan pers justeru diambil alih langsung oleh Dewan Pers.

Sedangkan untuk media online yang saat ini berjumlah puluhan ribu media ternyata belum ada peraturannya sama sekali tentang verifikasi. Jadi, verifikasi media online yang dilakukan Dewan Pers sesungguhnya selain bertentangan dengan Undang-Undang, juga tidak memiliki dasar hukum.

Dengan segala pertimbangan dan acuan hukum di atas maka dapat kami simpulkan bahwa apa yang dilakukan Dewan Pers tentang Verifikasi Perusahaan Pers dan pelaksanaan kegiatan UKW bagi wartawan adalah tidak mengacu pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku alias abal-abal.

Persoalan lain yang tak kalah serius adalah sulitnya akses warga masyarakat di daerah yang menjadi korban pemberitaan dan atau wartawan lokal yang menjadi korban kekerasan atau diskriminasi dan pelarangan peliputan, untuk melapor ke Dewan Pers karena jarak dan biaya ke Jakarta cukup memberatkan.

Tak jarang pihak-pihak yang merasa dirugikan atau korban pemberitaan terpaksa melaporkan dan menyelesaikan sengketa pers melalui jalur pidana ke pihak kepolisian di daerah. Selama bertahun-tahun Dewan Pers membiarkan kondisi ini terus terjadi dan dialami wartawan dan media.

Bahkan Dewan Pers justeru ikut masuk di dalam persoalan kriminalisasi pers dengan membuat rekomendasi ‘sesat’ yang isinya menyatakan bahwa wartawan yang membuat berita bukan wartawan karena belum ikut UKW, dan media yang memberitakan belum diverifikasi, sehingga merekomendasikan kepada pihak pengadu agar meneruskan sengketa pers melalui jalur pidana umum atau pelanggaran UU ITE.

Sebagai solusi dari seluruh permasalahan di atas, baru-baru ini Sekretariat Bersama Pers Indonesia mengumpulkan ribuan wartawan dari berbagai penjuru tanah air untuk mengadakan Musyawarah Besar Pers Indonesia tahun 2018. Mubes ini bertujuan untuk memberi ruang seluas-luasnya bagi wartawan Indonesia untuk menentukan sendiri masa depannya. Mubes Pers Indonesia 2018 ini telah menghasilkan sebuah keputusan besar yakni Deklarasi Pembentukan Dewan Pers Independen atau DPI.

Keputusan untuk membentuk DPI ini adalah sebagai jawaban atas kinerja buruk Dewan Pers yang selama ini dianggap sebagai ‘perusak’ kemerdekaan pers. Ratusan milyar rupiah bahkan mungkin sudah triliunan rupiah anggaran negara selama bertahun-tahun habis melalui sekretariat Dewan Pers di Kementrian Kominfo untuk pengembangan kualitas pers nasional, namun masalah pers tidak juga terselesaikan.

Sebesar itu anggaran negara tercurah bagi sekretariat Dewan Pers namun masih ada saja sebutan abal-abal terhadap puluhan ribu media dan ratusan ribu wartawan oleh Dewan Pers.  Bahkan, akhir-akhir ini begitu marak kriminalisasi pers terjadi akibat peran rekomendasi Dewan Pers di dalamnya.

Satu buah berita seharga nyawa sudah terjadi di Kalimantan Selatan. Almarhum Muhammad Yusuf meregang nyawa dalam tahanan akibat dikriminalisasi karya jurnalistiknya. Ini bukti bahwa Dewan Pers bukan hanya gagal melindungi kemerdekaan pers tapi telah menjadi bagian dalam upaya mengkiriminalisasi pers.

Untuk itulah DPI akan hadir sebagai penyelamat kemerdekaan pers. Nantikan pemilihan Anggota Dewan Pers Independen oleh 51 anggota tim formatur yang akan mengadakan rapat pemilihan pada awal tahun 2019 nanti melalui Kongres Wartawan Indonesia 2019. Kita tentukan sendiri masa depan pers Indonesia menuju pers yang professional dan bertanggung-jawab.

Penulis:
Heintje G. Mandagie, Ketua Tim Formatur Pemilihan Dewan Pers Independen/
Ketua Umum DPP Serikat Pers Republik Indonesia