Selasa, 09 April 2024
UKW Gate Tak Tersentuh Media Mainstream
Rabu, 21 Februari 2024
Catatan Kritis Atas Perpres Nomor 32 Tahun 2024
Wilson Lalengke.
Presiden Resmi Jadikan Dewan Pers Sebagai Regulator
Ketum SPRI Hence Mandagi usai tanda-tangani kerja-sama dengan pimpinan salah-satu Perusahaan Platform Digital di Jakarta
Senin, 20 Februari 2023
Jebakan Batman Ranperpres, Dewan Pers Ingin Jadi Lembaga Pemerintahan
Rabu, 17 Februari 2021
Minta Dikritik Dan Revisi UU ITE, Ketua DPI Tantang Presiden Tegakkan Kemerdekaan Pers
Ketua Dewan Pers Indonesia Heintje Grontson Mandagie.
Minggu, 29 Desember 2019
Wartawan Dibutuhkan Sekaligus Dibenci, Mengapa?
Amran Muktar (kiri) dan Wilson Lalengke (kanan)
Kamis, 03 Januari 2019
Uji Kompetensi Jadi Senjata Maut Dewan Pers
Oleh: Ilham Akbar Rao
Membaca kekhawatiran Abangda Eka Putra terkait lelaku Bung Wilson Lalengke cs yang ia ungkap dengan judul tulisan “Kompetensi memisahkan kita dari wartawan abal-abal” (GoRiau, 25 Des 2018) menurut saya menarik untuk diulas.
Saya ingin mencoba mendudukan kerisauan abangda ini dalam dua hal. Pertama, terkait Uji Kompetensi Wartawan (UKW) sebagai keniscayaan wartawan profesional. Kedua, Tudingan Bung Wilson yang menyebut praktek UKW yang disponsori Dewan Pers adalah wahana pemerasan secara halus oleh beberapa organisasi wartawan.
Adapun terkait kritikan yang abangda sematkan secara pribadi kepada Bung Wilson, bukan domain adinda menelaahnya.
Sejak permulaan tulisan, Abangda Eka Putra sudah menunjukan watak antipati bahkan secara eksplisit membentang kesimpulan bahwa apa yang dilakukan Bung Wilson Lalengke bersama Bung Heintje G. Mandagie maupun gerakan Sekber Pers Indonesia yang menggugat salah satunya praktek Uji Kompetensi Wartawan (UKW), sebagai langkah lazim dikalangan wartawan abal-abal.
Sebetulnya kecemasan abangda terkait praktek UKW beserta eksesnya sudah terjawab tuntas dalam tulisan Bung Heintje “DPI Solusi dari Peraturan dan UKW Abal-Abal Dewan Pers” yang diterbitkan beberapa hari setelah tulisan abangda. Tulisan Bung Heintje menurut adinda lengkap dan bernas karena dilandasi aturan perundang-undangan untuk menguatkan pendapatnya. Jadi adinda tak perlulah menjelaskan secara detail kembali.
Disini adinda hanya ingin berbagi sedikit pengalaman selama mengenal Bung Wilson Lalengke dus pergerakannya. Harapannya, meminjam istilah abangda sendiri “jangan tendensius jika belum paham benar”.
Adinda bertemu langsung Bung Wilson dan Bung Heintje sekitar bulan Mei 2018 di PN Jakarta Pusat. Ketika itu, keduanya atas nama Ketua PPWI (Persatuan Pewarta Warga Indonesia) dan Ketua SPRI (Serikat Pers Republik Indonesia) hadir sebagai penggugat dalam sidang perdana gugatan melawan hukum terhadap Dewan Pers.
Bung Dolfie Rompas, kuasa hukum keduanya menyitir gugatan ini terkait kebijakan Dewan Pers dalam Uji Kompetensi Wartawan (UKW) maupun lembaga dan organisasi yang di tunjuk melakukan uji kompetensi tersebut, selain itu juga terkait verifikasi media massa yang dinilai mengekang kemerdekaan pers.
Seingat adinda, tak lebih dari 10 orang pemburu berita yang datang di sidang perdana kala itu. Alhasil, sidang ini pun lengang dan lekas habis dalam ingatan publik.
Perjuangan Bung Wilson dan Bung Heintje justru mendapat porsi besar di hati banyak wartawan salah satunya saat tragedi kematian M. Yusuf, wartawan Kemajuan Rakyat yang ditahan karena tulisannya yang aktif menyoroti perlawanan warga Pulau Laut terhadap PT MSAM di Kalimantan Selatan.
Alkisah, sebelumnya tulisan Yusuf ini sempat di screen Dewan Pers. Kesimpulan Dewan Pers menyayat hati karena salah satunya ialah merekom pihak yang merasa dirugikan untuk menempuh jalur hukum dengan menggunakan UU lain diluar UU Nomor 40/Tahun 1999 Tentang Pers.
Dewan Pers bahkan terang menyebut aktivitas Yusuf merupakan bentuk penyalahgunaan profesi wartawan. Karena itu tadi, Yusuf belum melaksanakan UKW dan media tempat ia bekerja juga tidak terverifikasi radar Dewan Pers. Secara eksplisit Dewan Pers seperti juga “nayaga” nya ingin menorehkan kesan bahwa M. Yusuf bagian dari wartawan abal-abal juga, jadi bukan domain Dewan Pers untuk membantunya dan penanganannya pun sudah sesuai dengan menggunakan UU diluar UU Pers.
Rupanya kematian wartawan M. Yusuf dengan cepat mendapat perhatian luas publik tanah air bahkan dunia internasional. UNESCO salah satu Badan khusus PBB melalui Direktur Jendral Audrey Azoulay bahkan mengutuk kematian Yusuf dan meminta otorita berwenang untuk melakukan penyelidikan transparan terhadap hal-hal terkait kematiannya.
Sementara di tanah air simpati atas kematian wartawan Yusuf datang dari beragam pihak. PWI sendiri membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) yang dikomandoi wartawan segudang pengalaman sekelas Ilham Bintang, Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat untuk menggali lebih jauh kematian Yusuf.
Dikutip dari Antara, TPF PWI Pusat ini juga meneliti apakah prinsip penanganan sengketa pers telah diperhatikan berkaitan dengan posisi Yusuf sebagai wartawan di sebuah media?. Hal ini adinda belum mendengar hasil kerja TPF.
Lantas apa yang dilakukan Bung Wilson dan Bung Heintje? Keduanya bersama beberapa ketua organisasi pers dan ratusan wartawan bergerak melakukan aksi demonstrasi langsung di Sekretariat Dewan Pers, di Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Mereka mendesak agar Dewan Pers segera menghentikan berbagai rekomendasi yang justru merugikan pekerja pers itu sendiri. Aksi ini bahkan membawa keranda mayat sebagai rasa berkabung atas kematian M. Yusuf sekaligus simbol matinya kemerdekaan pers tanah air. Aksi ini mendapat liputan luas dan banyak memperoleh simpati.
Ada yang menarik hati adinda dalam polemik Yusuf ini. Ialah pelabelan profesi wartawan secara kontekstual antara Dewan Pers dengan PWI Pusat yang sudah tak seiring. Dewan Pers tentunya memiliki beberapa alasan menentukan profesi Yusuf, yang acap kita dengar ialah belum UKW dan medianya tidak terverifikasi Dewan Pers. Nah, kalau PWI Pusat sendiri mengapa menyatakan Yusuf adalah wartawan, abangda tentu lebih elok untuk mengukur parameternya.
Bukan berapriori kenyataannya Dewan Pers sering kali menelan ludahnya sendiri dengan tidak konsisten pada pendapatnya sendiri.
Dalam kasus Yusuf, rekomendasi pertama kepada penyidik kepolisian ialah polemik Yusuf merupakan perkara jurnalis, namun rekomendasi berikutnya malahan menyarankan kepolisian menggunakan jerat lain dalam menangani tulisan Yusuf.
Ini hanya satu contoh, tak terhitung sudah bagaimana katebelece Dewan Pers yang dirasa diskriminatif terhadap wartawan ketika berhadapan dengan hukum, khususnya pada wartawan yang belum UKW dan yang bukan dari media arus utama, meski sengketa hukumnya gegara tulisan sekalipun.
Namun lucunya, bila kasusnya sudah viral dan mendapat perhatian luas publik, Dewan Pers pun buru-buru turun tangan mengecam pihak-pihak yang dianggap mengeliminir kemerdekaan pers dengan membuat pernyataan pers (ingat yah, sebatas pernyataan pers).
Nah, kinerja Dewan Pers yang diskriminatif seperti inilah yang melatarbelakangi berdirinya Dewan Pers Independen yang dimotori salah satunya oleh Bung Wilson dan Heintje.
Jadi adinda pikir, bukan organisasi yang menjadi konstituen Dewan Pers yang menjadi sasaran atau yang melatarbelakangi gerakan protes kepada Dewan Pers oleh Bung Wilson cs. Kalau terdapat beberapa “oknum” organisasi pers dimaksud ada yang tersungut, jangan salahkan bunda mengandung.
Adinda sendiri merasakan bagaimana “politik UKW” Dewan Pers bisa ikut mematikan pangsa pasar media yang adinda kelola. Pada pertengahan 2018 kemarin, adinda sempat beradu argumen dengan salah satu pejabat humas salah satu Pemda di Sumatera, karena media adinda ditangguhkan untuk melakukan kerjasama pada tahun anggaran kedua, alasannya media adinda belum terverifikasi dan adinda sendiri belum UKW. “Ini berdasarkan edaran Dewan Pers,” katanya.
Dengan kepala dingin adinda menjelaskan bahwa edaran Dewan Pers itu tidak mengikat dan apalagi masih dalam proses gugatan di PN Jakarta Pusat. Namun karena humas ini kukuh dengan pendapatnya, suara adinda sedikit meninggi dan menyarankan agar dirinya belajar dan kembali menelaah UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers Nasional, disitu terdapat apa fungsi dan kewenangan Dewan Pers. Karena belum juga ada titik temu, pembicaraan terakhir adinda sampaikan agar ia pindah ke Timor Leste saja jika tidak mengakui UU yang berlaku di Indonesia.
Abangda Eka Putra, adinda bukan alergi dengan UKW. Adinda rasa pendapat ini jamak pada sebagian besar wartawan di Indonesia, UKW bisa jadi wajib karena pekerjaan kita lebih mengandalkan otak ketimbang otot. Apalagi sebagai wartawan muda dan pemimpin sebuah media adinda justru sangat tertantang dengan ujian kompetensi tersebut.
Yang adinda tidak setuju ialah apabila praktek UKW dijadikan alat untuk menghambat kemajuan sebuah penerbitan. Seperti yang dilakukan Dewan Pers dengan mengirimkan surat ke berbagai instansi untuk hanya mengakomodir wartawan yang telah UKW dan medianya telah terverifikasi.
Dan dari pembicaraan gerakan Bung Wilson cs di WhatssApp Grup (WAG) Menggugat Dewan Pers (MDP) adinda sedikit sekali mendengar agar pelaksanaan UKW ditiadakan, memang ada sebagian kecil rekan-rekan di MDP tidak setuju adanya praktek UKW, namun ini bukan pendapat resmi. Mayoritas justru ingin merubah agar pelaksanaan UKW disesuaikan dengan UU yang berlaku. Jadi abangda tak perlulah risau berlebihan.
Ini sekaligus menjawab kekhawatiran abangda atas pernyataan Bung Wilson terkait praktek UKW yang diasosiasikan sebagai “pemerasan secara halus”. Come onn abangda, kita ini wartawan yang juga mengutamakan intuisi.
Bila pelaksanaan UKW yang dipelopori Dewan Pers, termasuk instansi yang mengeluarkan sertifikat kompetensi dalam prakteknya sudah menyalahi peraturan perundang-undangan, sementara edaran Dewan Pers kepada instansi pemerintah maupun swasta agar tidak melayani wartawan yang tidak UKW. Lalu apa bukan pemerasan namanya, bila masih juga memaksakan UKW? Jadi prakteknya yang menyalahi bukan substansi UKW nya abangda.
Pada akhirnya adinda sematkan rasa takzim yang mendalam kepada abangda, atas kritik maupun saran abangda terhadap gerakan Sekber Pers Indonesia. Adinda yakin, abangda pasti masih kurang puas dengan penjelasan singkat adinda disini, ini masih ronde pertama abangda.
Terakhir, adinda berharap dialog “batin” ini tidak berhenti disini. Adinda tunggu kabar benci tapi rindu dari Abangda Eka Putra selanjutnya. Wass bi Maaf. (Pondok Gede, 3 Januari 2019)
*Pemimpin Redaksi Target Buser*
Jumat, 28 Desember 2018
DPI Solusi Dari Peraturan Dan UKW Abal-abal Dewan Pers
Kota JAKARTA – Dewan Pers kerap menuding puluhan ribu media yang belum diverifikasi dan ratusan ribu wartawan yang belum ikut Uji Kompetensi Wartawan atau UKW, dengan sebutan abal-abal. Upaya Dewan Pers mencitrakan media dan wartawan abal-abal itu sukses membuat wartawan dan seluruh pemilik media kalang-kabut, sehingga terpaksa berduyun-duyun mengikuti proses verifikasi media dan kegiatan UKW dengan biaya tinggi sekalipun.
Sangat sulit mencari pembenaran bahwa pelaksanaan UKW versi Dewan Pers tersebut memang murni untuk peningkatan kualitas dan standar profesi wartawan dan bukan untuk tujuan meraup lembaran rupiah di balik itu.
Tudingan abal-abal telah menjadi senjata Dewan Pers untuk menekan wartawan dan media agar mengikuti verifikasi media dan kegiatan bisnis UKW. Disadari atau tidak, Dewan Pers telah dengan bangganya menjadikan wartawan sebagai objek bisnis UKW abal-abal.
Mengutip ulasan mengenai Definisi sertifikasi kompetensi kerja versi Badan Nasional Sertifikasi Profesi atau BNSP, bahwa Sertifikasi Kompetensi adalah proses pemberian sertifikasi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi yang mengacu kepada standar kompetensi kerja nasional Indonesia dan/atau internasional.
Untuk memastikan dan memelihara kompetensi diperlukan sistem sertifikasi yang kredibel berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang ketenaga-kerjaan yang pembentukannya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Perlu diketahui juga, Lembaga Sertifikasi Profesi atau LSP yang merupakan kepanjangan tangan dari BNSP, proses pemberian lisensinya mengadopsi kepada standar ISO 17024.
Nah, dari pertimbangan di atas dapat diketahui dengan jelas bahwa ke-27 LSP versi Dewan Pers tidak mengacu pada ketentuan tersebut atau tidak professional dan memenuhi standar ISO 17024 alias abal-abal.
Sejatinya, sertifikasi kompetensi berkaitan dengan pencapaian pengalaman dan kemampuan dari tenaga kerja professional. Jadi perlu digaris bawahi bahwa lembaga yang dapat menentukan seseorang bekerja atau tidak adalah industri atau perusahaan pers (bagi wartawan). BNSP bersama-sama dengan LSP hanya berada pada posisi membantu industri (perusahaan pers) untuk meyakinkan pihak pelanggannya bahwa mereka menggunakan tenaga (wartawan) kompeten.
Dewan Pers sepertinya perlu mengetahui bahwa terdapat 3 (tiga) jenis penerapan sertifikasi kompetensi yaitu Penerapan Wajib Setifikasi, penerapan Disarankan Sertifikasi (advisory) dan penerapan Sukarela Sertifikasi (voluntary). Penerapan Wajib pada sertifikasi kompetensi dilakukan oleh otoritas kompeten sesuai bidang tekhnisnya berdasarkan regulasi perdagangan jasa antar negara (WTO) terutama GATS yang diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994, sehingga penerapan Wajib Sertifikasi harus mengacu pada perjanjian ini.
Penerapan Wajib Sertifikasi Kompetensi didasarkan pada hal-hal yang berkaitan dengan safety (keselamatan), security (keamanan), dan mempunyai potensi dispute (perselisihan) besar di masyarakat, dan seharusnya dinotifikasikan ke WTO.
Jadi sangat jelas dan terang benderang bahwa UKW bagi wartawan tidak wajib. Dengan begitu, sudah terbukti UKW yang dilaksanakan Dewan Pers ternyata tidak masuk pada jenis Penerapan Wajib Sertifikasi. Yang paling tepat UKW bagi wartawan diterapkan adalah jenis Penerapan Disarankan. Karena dalam program ini pemerintah memberikan insentif apabila masyarakat turut berpartisipasi dalam program ini, seperti bantuan sertifikasi, bantuan pengembangan kelembagaan dan sebagainya.
Sistem inilah yang paling banyak dilaksanakan di dalam negeri. Nah, sistem Penerapan Disarankan Sertifikasi inilah yang paling tepat diterapkan kepada wartawan untuk UKW. UKW seharusnya tidak dijadikan legitimasi seseorang disebut wartawan atau bukan wartawan.
Kebutuhan UKW ini sesungguhnya untuk meyakinkan pelanggan Koran atau pembaca media online, dan pemirsa televisi dan radio untuk percaya bahwa proses pembuatan berita tersebut layak dipercaya karena dikerjakan oleh wartawan professional yang bersertifikat UKW.
Dengan demikian publik atau masyarakat pembaca dan pemirsalah yang menjadi penentu rating maupun jumlah pembaca dan pemirsa dari berita media yang diyakini nilai kebenarannya. Semua akan terseleksi secara alamiah tanpa harus dibuat surat edaran ke mana-mana oleh Dewan Pers mengenai wartawan atau media mana yang harus dilayani. Seperti contoh mengenai regulasi tentang makanan, biasanya ada label halal dari MUI sehingga masyarakat tahu makanan apa dan restoran mana yang halal dikonsumsi.
Seharusnya, hal itu yang dilakukan Dewan Pers. Tidak perlu memusuhi dan mencela wartawan dan media dengan sebutan abal-abal. Cukup label terverifikasi Dewan Pers dan wartawan bersertifikat UKW dipampang di halaman depan media. Selebihnya biarkan masyarakat yang memilih dan menentukan media seperti apa yang layak dibaca dan ditonton serta didengarnya.
Berdasarkan pengalaman di lapangan, wartawan itu menjadi professional bukan karena ikut UKW abal-abal versi Dewan Pers, melainkan karena sebelum menjadi wartawan terlebih dahulu dilatih dan dididik oleh pimpinan di masing-masing media. Learning by doing atau belajar sambil mengerjakannya. Pendidikan dan peningkatan kualitas itu lazimnya dilakukan oleh level pimpinan redaksi atau redaktur kepada reporter dan Pimpinan redaksi kepada para redaktur di bawahnya. Itu mekanisme umum yang terjadi di keredaksian dalam menjalankan pekerjaan jurnalistik.
Kalau kemarin ada yang menulis bahwa UKW akan memisahkan antara wartawan professional dan wartawan abal-abal, tentunya terbantahkan. Parameter seperti itu justeru terlalu sempit dan tendensius.
Buktinya, sampai hari ini kita masih disuguhkan pemandangan media-media mainstream berskala nasional ‘melacurkan diri’ dengan menjual idealisme pers melalui pemberitaan yang terlalu berpihak kepada arah politik kelompok penguasa. Tulisan ini bukan anti penguasa tapi untuk membuktikan bahwa parameter professional media terverifikasi, dengan segudang wartawan UKW, tidak akan menjamin bahwa karya jurnalistik abal-abal tidak akan terjadi.
Berkaitan dengan verifikasi media yang dilaksanakan Dewan Pers, sudah menjadi pembahasan hangat di kalangan wartawan. Media yang belum di verifikasi Dewan Pers kerap mengalami tindakan diskriminasi dan kriminalisasi akibat pemberitaan.
Bahkan, surat edaran Dewan Pers ke seluruh pemerintah pusat dan daerah, dan ke perusahaan-perusahaan nasional dan daerah telah mengancam eksistensi perusahaan pers yang belum terverifikasi Dewan Pers. Dewan Pers telah menjelma menjadi lembaga tinggi negara yang memiliki kekuasaan penuh untuk mengatur pemerintah pusat di tingkat kementrian, pemerintah daerah dan bahkan perusahaan pelat merah dan swasta untuk melaksanakan ketentuan yang dibuatnya hanya melalui selembar Surat Edaran.
Begitu superiornya Surat Edaran Dewan Pers sehingga para menteri, gubernur, bupati, walikota, dan pemimpin perusahaan nasional dan daerah tidak berani melawan meskipun jelas-jelas itu (surat edaran Dewan Pers) melanggar dan mencederai kemerdekaan pers yang dijamin UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sudah sangat jelas bahwa Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers berbunyi : ‘Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers'.
Berbicara masalah hak, maka sebagus apapun peraturan Dewan Pers (menurut dia) jika melanggar hak asazi manusia maka akan berhadapan dengan pelanggaran konstitusi.
Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur lembaga-lembaga (bukan hanya lembaga negara) yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan lainnya sebagai berikut: “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepal Desa atau yang setingkat".
Kemudian, Pasal 8 ayat (2) UU. No. 12 Tahun 2011 selanjutnya mengatur bahwa: “Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan".
Dalam pasal 15 ayat (2) huruf F, Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers disebutkan Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut: "Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan".
Sangat jelas di situ, Dewan Pers tidak diberi kewenangan oleh Undang-Undang untuk membuat peraturan-peraturan sendiri. Bahkan dalam Undang-Undang Pers jelas tertulis bahwa fungsi Dewan Pers hanya ‘memfasilitasi.’ Jadi organisasi-organisasi pers lah yang berhak dan berwenang membuat peraturan-peraturan di bidang pers yang difasilitasi oleh Dewan Pers.
Patut diakui bahwa persoalan yang menjadi kekuatiran dan keresahan sekelompok elit yang mengaku pers professional, adalah dampak dari kemerdekaan pers yang dijamin Undang-Undang telah membuka peluang yang sangat luas dan mudah bagi warga masyarakat untuk mendirikan usaha media dalam skala kecil dan menengah. Dalam prakteknya, memang banyak kejadian memprihatinkan dimana sebagian kecil warga masyarakat yang keliru dan salah menggunakan media sebagai alat untuk memeras pejabat dan pengusaha.
Namun demikian, itu (penyalahgunaan media) bukan berarti secara global Dewan Pers bisa menggenaralisir dan mencitrakan negative terhadap 43 ribuan media yang belum diverifikasi sebagai media abal-abal yang didirikan dengan tujuan untuk memeras pejabat. Tugas untuk menindak dan menertibkan itu (kasus pemerasan) bukan urusannya Dewan Pers melainkan pihak kepolisian dan organisasi perusahaan pers dan organisasi wartawan.
Sudah sangat jelas bahwa Peraturan Dewan Pers sendiri Nomor 4/Peraturan-DP/III/2008 tentang Standar Perusahaan Pers pada poin ke 17 disebutkan : ‘Perusahaan Pers Media Cetak diverifikasi oleh organisasi perusahaan pers dan perusahaan pers media penyiaran diverifikasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia.’ Jadi verifikasi media itu tugas organisasi pers untuk menertibkan dan mengantisipasi agar tidak terjadi penyalahgunaan media.
Namun, pada prakteknya peraturannya dilanggar sendiri oleh Dewan Pers. Verifikasi media yang seharusnya dilakukan oleh organisasi perusahaan pers justeru diambil alih langsung oleh Dewan Pers.
Sedangkan untuk media online yang saat ini berjumlah puluhan ribu media ternyata belum ada peraturannya sama sekali tentang verifikasi. Jadi, verifikasi media online yang dilakukan Dewan Pers sesungguhnya selain bertentangan dengan Undang-Undang, juga tidak memiliki dasar hukum.
Dengan segala pertimbangan dan acuan hukum di atas maka dapat kami simpulkan bahwa apa yang dilakukan Dewan Pers tentang Verifikasi Perusahaan Pers dan pelaksanaan kegiatan UKW bagi wartawan adalah tidak mengacu pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku alias abal-abal.
Persoalan lain yang tak kalah serius adalah sulitnya akses warga masyarakat di daerah yang menjadi korban pemberitaan dan atau wartawan lokal yang menjadi korban kekerasan atau diskriminasi dan pelarangan peliputan, untuk melapor ke Dewan Pers karena jarak dan biaya ke Jakarta cukup memberatkan.
Tak jarang pihak-pihak yang merasa dirugikan atau korban pemberitaan terpaksa melaporkan dan menyelesaikan sengketa pers melalui jalur pidana ke pihak kepolisian di daerah. Selama bertahun-tahun Dewan Pers membiarkan kondisi ini terus terjadi dan dialami wartawan dan media.
Bahkan Dewan Pers justeru ikut masuk di dalam persoalan kriminalisasi pers dengan membuat rekomendasi ‘sesat’ yang isinya menyatakan bahwa wartawan yang membuat berita bukan wartawan karena belum ikut UKW, dan media yang memberitakan belum diverifikasi, sehingga merekomendasikan kepada pihak pengadu agar meneruskan sengketa pers melalui jalur pidana umum atau pelanggaran UU ITE.
Sebagai solusi dari seluruh permasalahan di atas, baru-baru ini Sekretariat Bersama Pers Indonesia mengumpulkan ribuan wartawan dari berbagai penjuru tanah air untuk mengadakan Musyawarah Besar Pers Indonesia tahun 2018. Mubes ini bertujuan untuk memberi ruang seluas-luasnya bagi wartawan Indonesia untuk menentukan sendiri masa depannya. Mubes Pers Indonesia 2018 ini telah menghasilkan sebuah keputusan besar yakni Deklarasi Pembentukan Dewan Pers Independen atau DPI.
Keputusan untuk membentuk DPI ini adalah sebagai jawaban atas kinerja buruk Dewan Pers yang selama ini dianggap sebagai ‘perusak’ kemerdekaan pers. Ratusan milyar rupiah bahkan mungkin sudah triliunan rupiah anggaran negara selama bertahun-tahun habis melalui sekretariat Dewan Pers di Kementrian Kominfo untuk pengembangan kualitas pers nasional, namun masalah pers tidak juga terselesaikan.
Sebesar itu anggaran negara tercurah bagi sekretariat Dewan Pers namun masih ada saja sebutan abal-abal terhadap puluhan ribu media dan ratusan ribu wartawan oleh Dewan Pers. Bahkan, akhir-akhir ini begitu marak kriminalisasi pers terjadi akibat peran rekomendasi Dewan Pers di dalamnya.
Satu buah berita seharga nyawa sudah terjadi di Kalimantan Selatan. Almarhum Muhammad Yusuf meregang nyawa dalam tahanan akibat dikriminalisasi karya jurnalistiknya. Ini bukti bahwa Dewan Pers bukan hanya gagal melindungi kemerdekaan pers tapi telah menjadi bagian dalam upaya mengkiriminalisasi pers.
Untuk itulah DPI akan hadir sebagai penyelamat kemerdekaan pers. Nantikan pemilihan Anggota Dewan Pers Independen oleh 51 anggota tim formatur yang akan mengadakan rapat pemilihan pada awal tahun 2019 nanti melalui Kongres Wartawan Indonesia 2019. Kita tentukan sendiri masa depan pers Indonesia menuju pers yang professional dan bertanggung-jawab.
Penulis:
Heintje G. Mandagie, Ketua Tim Formatur Pemilihan Dewan Pers Independen/
Ketua Umum DPP Serikat Pers Republik Indonesia