Jumat, 02 September 2022

KPK Serahkan Memori Banding Perkara Mantan Bupati HSU Abdul Wahid


Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri.


Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Tim Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis 01 September 2022 telah menyerahkan memori banding perkara mantan Bupati Hulu Sungai Utara (HSU) Abdul Wahid kepada Panitera Muda (Panmud) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri (PN) Banjarmasin.

"Jaksa KPK Titto Jaelani (Kamis 01 September 2011) telah menyerahkan memori banding pada Panmud Tipikor PN Banjarmasin dalam perkara terdakwa Abdul Wahid (Bupati HSU)", terang Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri kepada wartawan, Jum'at (02/09/2022).

Ali menjelaskan, dalam memori banding itu, terdapat sejumlah alasan Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK mengajukan permohonan banding. Adapun alasan pertama dalam memori banding itu terkait dengan pembuktian Pasal 12 B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi soal penerimaan gratifikasi.

Yang mana, lanjut Ali Fikri, terdakwa Abdul Wahid mengakui menerima uang dari pihak kontraktor di sejumlah proyek di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Hulu Sungai Utara.

"Adapun yang menjadi argumentasi Tim Jaksa yang jabarkan dalam memori banding Tim Jaksa antara lain terkait dengan pembuktian pasal 12B (penerimaan gratifikasi) diakui Terdakwa karena menerima pemberian uang di antaranya dari pihak kontraktor yang mendapatkan proyek di Pemkab HSU", jelas Ali Fikri.

Ali Fikri juga mengungkap soal uang Rp. 4,1 miliar yang ditemukan KPK saat menggeledah kediaman Abdul Wahid yang seharusnya uang itu dilaporkan Abdul Wahid ke Direktorat Gratifikasi KPK terhitung 30 hari sejak diterimanya.

"Selain itu, uang tunai Rp. 4,1 miliar yang ditemukan di rumah Terdakwa saat dilakukan penggeledahan merupakan uang gratifikasi yang diberikan pada Terdakwa karena jabatannya selaku Bupati yang terhitung 30 hari kerja sejak diterima oleh Terdakwa tidak pernah pula melaporkan pada Direktorat Gratifikasi KPK", ungkap Ali Fikri.

Ali Fikri pun mengungkap soal hukuman uang pengganti senilai Rp. 26 miliar yang dituntut Tim JPU KPK yang semestinya sebagaimana tuntutan Tim JPU KPK, uang pengganti itu dibebankan kepada terdakwa Abdul Wahid.

"Termasuk soal pembayaran uang pengganti Rp. 26 miliar juga seharusnya tetap dibebankan pada Terdakwa karena telah dinikmati dan dibelanjakan dengan membeli berbagai aset berupa tanah dan bangunan", ungkap Ali Fikri pula.

KPK berharap, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi bakal menerima memori banding yang diajukan KPK. Sesuai dengan tuntutan yang semula disampaikan jaksa KPK.

"KPK berharap majelis hakim Pengadilan Tinggi akan memutus dan mengabulkan permohonan tim jaksa sebagaimana surat tuntutan", pungkas Ali Fikri penuh harap.

Sebelumnya, pada Selasa (23/08/2022) lalu, Ali Fikri menerangkan, Tim JPU KPK mengajukan upaya hukum banding atas Putusan Majelis Hakim yang dijatuhkan kepada Abdul Wahid.

"Jaksa KPK Titto Jaelani, hari Senin (22 Agustus 2022), telah menyatakan upaya hukum banding pada Panmud Tipikor PN Banjarmasin dengan terdakwa Abdul Wahid", terang Pelaksana-tugas (Plt.) Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri kepada wartawan, Selasa (23/08/2022).

Ali menjelaskan, upaya hukum banding itu diajukan oleh Tim JPU KPK di antaranya karena sanksi pidana yang dijatuhkan kepada Abdul Wahid selaku Bupati Hulu Sungai Utara (HSU) hanya 8 tahun penjara dan denda Rp. 500 juta.

Selain itu, upaya hukum banding itu diajukan juga karena Abdul Wahid lolos dari tuntutan Tim JPU KPK supaya dijatuhi hukuman membayar uang pengganti sebesar Rp. 26 miliar.

"Adapun alasan banding dari Tim Jaksa antara lain karena tidak dijatuhkannya putusan hakim terkait pembebanan kewajiban uang pengganti Rp. 26 miliar terhadap Terdakwa", jelas Ali Fikri.

Ali menegaskan, bahwa dalam Surat Tuntutan Tim JPU KPK telah diuraikan berbagai bentuk Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang dilakukan terdakwa Abdul Wahid, salah-satunya mengubah penerimaan menjadi berbagai aset bernilai ekonomis.

"Padahal, Tim Jaksa dalam Surat Tuntutannya telah menguraikan berbagai penerimaan Terdakwa yang kemudian juga diubah bentuk menjadi berbagai aset bernilai ekonomis tinggi", tegas Ali Fikri.

Ali kembali menegaskan, bahwa sanksi pidana membayar uang pengganti dan merampas aset itu merupakan salah-satu bentuk pemberian efek jera terhadap pelaku korupsi, disamping hukuman badan dan denda.

"Sebagai efek jera terhadap para koruptor, KPK tidak hanya memenjarakan pelakunya, namun upaya asset recovery melalui tuntutan uang pengganti dan perampasan asetnya menjadi fokus KPK saat ini", tegasnya pula.

Ali menandaskan, KPK berharap Majelis Hakim ditingkat banding dapat mengabulkan upaya hukum banding yang diajukan Tim JPU KPK.

"KPK berharap Majelis Hakim Pengadilan Tingkat Banding mempertimbangkan dan memutus sesuai dengan argumentasi hukum yang disampaikan Tim Jaksa sebagaimana Surat Tuntutan", tandas Ali Fikri, penuh harap.

Sementara itu, dilihat dari situs Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Banjarmasin dengan Nomor Perkara: 17/Pid.Sus-TPK/2022/PN Bjm, Abdul Wahid divonis 'bersalah' dengan sanksi pidana 8 tahun penjara dan denda Rp. 500 juta subsider 6 bulan.

Berikut di antara bunyi amar putusan yang dibacakan Hakim Ketua Yusriansyah:
•Menyatakan Terdakwa Drs.H.ABDUL WAHID HK, MM., M.Si, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Korupsi secara bersama-sama dan berlanjut dan Tindak Pidana Pencucian Uang secara berbarengan sebagaimana Dakwaan Kesatu alternatif pertama dan Dakwaan Ketiga alternatif Pertama;
•Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 8 (delapan) tahun dan denda sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan;
•Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
•Menetapkan Terdakwa tetap ditahan.

Sebagaimana diketahui, KPK kembali menetapkan Abdul Wahid selaku Bupati Hulu Sungai Utara sebagai Tersangka perkara dugaan penerimaan gratifikasi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) setelah sebelumnya menetapkannya sebagai Tersangka perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi (TPK) suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Utara tahun 2021–2022.

KPK kembali menetapkan Abdul Wahid selaku Bupati Hulu Sungai Utara sebagai Tersangka perkara dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pada Selasa 28 Desember 2021 setelah sebelumnya  menetapkan Abdul Wahid selaku Bupati Hulu Sungai Utara sebagai Tersanga perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi (TPK) suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) HSU Tahun 2021–2022 pada Kamis 18 November 2021.

Dalam perkara dugaan penerimaan gratifikasi dan TPPU, Abdul Wahid selaku Bupati Hulu Sungai Utara didakwa atas dua dakwaan. Yaitu, Dakwaan Pertama: Pasal 12 A Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 (1) ke-1 KUHP, jo Pasal 64 ayat (1) KUHP atau Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Dakwaan Kedua: Pasal 12B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 65 ayat (1) KUHP serta Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, jo Pasal 65 ayat (1) KUHP atau Pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Adapun penetapan Abdul Wahid selaku Bupati HSU sebagai Tersangka perkara dugaan TPK suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) HSU Tahun 2021–2022 merupakan pengembangan penyidikan perkara yang sebelumnya telah menjerat Maliki selaku Plt. Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPRP) Pemkab HSU, Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru.

Abdul Wahid selaku Bupati HSU ditetapkan KPK sebagai Tersangka perkara dugaan TPK suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) HSU Tahun 2021–2022 pada Kamis 18 November 2021. Sedangkan Maliki selaku Pelaksana-tugas (Plt.) Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPRP) Pemkab HSU, Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru ditetapkan KPK sebagai Tersangka pada Kamis 16 September 2021.

Dalam perkara dugaan TPK suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) HSU Tahun 2021–2022, KPK menetapkan 4 (empat) Tersangka. Abdul Wahid selaku Bupati HSU dan Maliki selaku Plt. Kepala Dinas PUPRP Pemkab HSU ditetapkan KPK sebagai Tersangka penerima suap. Sedangkan Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru ditetapkan KPK sebagai Tersangka pemberi suap. *(HB)*


BERITA TERKAIT:

Jumat, 13 Mei 2022

KPK Eksekusi Mantan Plt. Kadis PU Pemkab HSU Ke Lapas Banjarmasin

Ilustrasi Gedung KPK.


Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Tim Jaksa Kimisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeksekusi mantan Pelakasana-tugas (Plt.) Kepala Dinas (Kadis) Pekerjaan Umum (PU) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Hulu Sungai Utara (HSU) Maliki ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Banjarmasin – Kalimantan Selatan.

"Jaksa Eksekutor Leo Sukoto Manalu, Kamis (12/05/2022), telah selesai melaksanakan eksekusi pidana badan terpidana Maliki berdasarkan putusan Pengadilan Tipikor pada PN Banjarmasin Nomor: 4/Pid.Sus-TPK/2021/PN Bjm, tanggal 12 April 2022 yang berkekuatan hukum tetap", terang Pelaksana-tugas (Plt.) Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri dalam keterangan tertulisnya di Jakarta Selatan, Jum'at (13/05/2022).

Ali menjelaskan, selain hukuman badan, Maliki juga dihukum membayar denda senilai Rp. 250 juta. Jika Maliki tidak membayar denda tersebut, akan diganti dengan kurungan penjara selama 3 bulan.

"Dalam amar putusan Majelis Hakim dijatuhkan pembayaran pidana denda sejumlah Rp. 250 juta dengan ketentuan jika tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan", jelas Ali Fikri.

Dijelaskannya pula, bahwa Maliki juga dijatuhi hukuman tambahan diwajibkan membayar uang pengganti kerugian senilai Rp 195 juta yang harus dibayar paling lama 1 bulan setelah putusan memiliki kekuatan hukum tetap. Jika terpidana Maliki tidak mampu membayar, harta bendanya akan disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti itu.

"Jika Terpidana tidak mampu membayar, maka harta bendanya akan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut dan apabila juga tidak memiliki harta benda yang mencukupi maka di pidana penjara selama 1 tahun dan 6 bulan", jelasnya pula.

Ali menegaskan, terpidana Maliki akan menjalani masa hukuman penjaranya selama 6 tahun di Lapas Kelas IIA Banjarmasin. Masa hukuman tersebut akan dikurangi dengan masa penahanannya

Sebelumnya, Maliki selaku Plt. Kadis Pekerjaan Umum Pemkab Hulu Sungai Utara terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Tim Satuan Tugas (Satgas) Penindakan KPK.

Dari OTT tersebut, setelah dilakukan serangkaian proses pemeriksaan lebih-lanjut, Maliki beserta 2 (dua) orang lainnya ditetapkan KPK sebagai Tersangka perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi (TPK) suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Hulu Sungai Utara.

"Maka KPK meningkatkan status perkara ini ke tahap penyidikan dengan menetapkan tersangka sebagai berikut, MK (Maliki) Plt Kadis PU pada Dinas PUPR Kabupaten Hulu Sungai Utara sekaligus KPA dan PPK, serta MRH (Marhaini) pihak swasta selaku pemberi dan FA (Fachriadi) pihak swasta", terang Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK jalan Kuningan Persada – Jakarta Selatan, Kamis (16/09/2021) silam.

KPK menduga, Maliki diduga telah memberikan persyaratan lelang lebih dulu kepada Marhaini dan Fachriadi selaku calon pemenang dalam lelang 2 proyek irigasi dinas PU Hulu Sungai Utara. Masing-masing proyek tersebut bernilai Rp. 1,9 miliar dan Rp 1,5 miliar.

Terhadap Marhaini dan Fachriadi, KPK menetapkannya sebagai Tersangka pemberi suap dan disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b, atau Pasal 13 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 65 KUHP.

Sedangkan terhadap Maliki, KPK menetapkannya sebagai penerima suap dan disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 64 dan Pasal 65 KUHP. *(HB)*


BERITA TERKAIT:

> KPK Limpahkan Berkas Perkara Gratifikasi Dan TPUU Bupati HSU Ke Pengadilan

Selasa, 29 Maret 2022

KPK Limpahkan Berkas Perkara Gratifikasi Dan TPUU Bupati HSU Ke Pengadilan

Bupati Hulu Sungai Utara Abdul Wahid mengenakan rompi khas Tahanan KPK warna oranye usai ditetapkan sebagai Tersangka perkara dugaan TPK suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) HSU Tahun 2021–2022 pada Kamis 18 November 2021 dan langsung dilakukan penahanan, saat diarahkan petugas keluar dari dalam gedung Merah Putih KPK untuk menuju mobil tahanan yang akan membawanya ke Rumah Tahanan, Kamis 18 November 2021.


Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Tim Jaksa Komisi Pemerintah Korupsi (KPK) hari ini, Selasa 29 Maret 2022, telah melimpahkan berkas perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi (TPK) gratifikasi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terdakwa Abdul Wahid selaku Bupati Hulu Sungai Utara (HSU) ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Banjarmasin.

"Hari ini (Selasa 29 Maret 2022), Jaksa KPK Titto Jaelani telah selesai melimpahkan berkas perkara terdakwa Abdul Wahid ke Pengadilan Tipikor pada PN Banjarmasin", terang Pelaksana-tugas (Plt.) Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri kepada wartawan di Kantor KPK jalan Kuningan Persada – Jakarta Selatan, Selasa (28/03/2022).

Dijelaskannya, bahwa dengan pelimpahan tersebut, maka status penahanan Abdul Wahid telah menjadi wewenang Pengadilan Tipikor Banjarmasin. Tim Jaksa KPK saat ini menunggu penetapan jadwal sidang pertama dan penunjukan Majelis Hakim yang akan memimpin jalannya persidangan terdakwa Abdul Wahid.

"Penahanan terdakwa beralih dan menjadi wewenang Pengadilan Tipikor. Selanjutnya, Tim Jaksa menunggu jadwal persidangan berupa penetapan hari sidang dan penetapan penunjukan Majelis Hakim", jelas Ali Fikri.

Ali menegaskan, Abdul Wahid selaku Bupati Hulu Sungai Utara didakwa atas dua dakwaan. Yaitu, Dakwaan Pertama: Pasal 12 A Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 (1) ke-1 KUHP, jo Pasal 64 ayat (1) KUHP atau Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Dakwaan Kedua: Pasal 12B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 65 ayat (1) KUHP serta Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, jo Pasal 65 ayat (1) KUHP atau Pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Sebagaimana diketahui, KPK kembali menetapkan Abdul Wahid selaku Bupati Hulu Sungai Utara sebagai Tersangka perkara dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) setelah sebelumnya menetapkannya sebagai Tersangka perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi (TPK) suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Utara tahun 2021–2022.

KPK kembali menetapkan Abdul Wahid selaku Bupati Hulu Sungai Utara sebagai Tersangka perkara dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pada Selasa 28 Desember 2021 setelah sebelumnya  menetapkan Abdul Wahid selaku Bupati Hulu Sungai Utara sebagai Tersanga perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi (TPK) suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) HSU Tahun 2021–2022 pada Kamis 18 November 2021.

Penetapan Abdul Wahid selaku Bupati HSU sebagai Tersangka perkara dugaan TPK suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) HSU Tahun 2021–2022 ini merupakan pengembangan penyidikan perkara yang sebelumnya telah menjerat Maliki selaku Plt. Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPRP) Pemkab HSU, Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru.

Abdul Wahid selaku Bupati HSU ditetapkan KPK sebagai Tersangka pada Kamis 18 November 2021. Sedangkan Maliki selaku Pelaksana-tugas (Plt.) Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPRP) Pemkab HSU, Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru ditetapkan KPK sebagai Tersangka pada Kamis 16 September 2021.

Dalam perkara ini, KPK menetapkan 4 (empat) Tersangka. Abdul Wahid selaku Bupati HSU dan Maliki selaku Plt. Kepala Dinas PUPRP Pemkab HSU ditetapkan KPK sebagai Tersangka penerima suap. Sedangkan Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru ditetapkan KPK sebagai Tersangka pemberi suap. *(HB)*


BERITA TERKAIT:

Selasa, 18 Januari 2022

KPK Sita Lahan Tanah Rp. 10 Miliar Juga Uang Tunai Rp. 4,2 Miliar Terkait Perkara Bupati Hulu Sungai Utara Abdul Wahid


Plt. Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri.


Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Tim Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan upaya paksa penyitaan sejumlah barang milik Bupati Hulu Sungai Utara non-aktif Abdul Wahid (AW) berupa aset lahan tanah senilai Rp. 10 miliar, uang tunai Rp. 4,2 miliar juga kendaraan bermotor.

Pelaksana-tugas (Plt.) Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri menerangkan, aset-aset milik Abdul Wahid tersebut disita diduga berasal dari uang hasil melakukan tindak pidana korupsi.

"Tim penyidik KPK, telah melakukan penyitaan berbagai aset dari tersangka AW terkait dugaan adanya penerimaan suap, gratifikasi dan TPPU. Di mana uang-uang yang diterima oleh tersangka AW tersebut dipergunakan di antaranya dengan membeli beberapa aset dalam bentuk tanah dan bangunan serta kendaraan bermotor", terang Plt. Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri kepada wartawan, Selasa (18/01/2022).

KPK menduga, Abdul Wahid sengaja melakukan transaksi keuangan yang tidak sah hingga melakukan penyamaran dengan atas nama orang lain untuk menghindari terlacaknya harta kekayaan miliknya.

"Tim penyidik menduga kuat adanya kesengajaan tersangka AW dalam melakukan transaksi keuangan tidak melalui jasa layanan transaksi keuangan yang sah dan menyembunyikan hingga menyamarkan asal-usul harta kekayaannya dengan mengatas-namakan pihak-pihak lain", jelas Ali Fikri.

Ali menegaskan, barang-barang sitaan itu selanjutnya akan dikonfirmasi kepada para Saksi yang akan dipanggil, baik pada proses penyidikan maupun di persidangan.

"Seluruh barang bukti ini akan dikonfirmasi kepada para Saksi, baik saat proses penyidikan hingga proses pembuktian di persidangan", tegas Ali Fikri.

Ditegaskannya pula, bahwa penyitaan aset ini merupakan upaya KPK dalam melakukan pengembalian kerugian negara. KPK berharap, masyarakat bisa andil besar dalam memberikan laporan terhadap aset yang diduga berkaitan dengan suatu perkara korupsi.

"Aset-aset ini dalam putusan pengadilan yang berkekuatan hukum bisa dirampas untuk negara sehingga menjadi salah-satu capaian dan tambahan pemasukan bagi negara dari asset recovery Tindak Pidana Korupsi (TPK) maupun TPPU untuk dipergunakan bagi pembangunan", tegaanya pula.

"Dalam suatu penanganan perkara TPPU, KPK juga mengharapkan peran masyarakat jika mengetahui aset-aset lainnya yang diduga terkait dalam perkara ini, dapat menginformasikannya kepada KPK. Hal ini sebagai wujud keturut-sertaan masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi dan optimalisasi penerimaan negara melalui penegakan hukum", tandasnya.

Diketahui, KPK kembali menetapkan Abdul Wahid selaku Bupati Hulu Sungai Utara sebagai Tersangka pada Selasa 28 Desember 2021. Kali ini, KPK menetapkan Abdul Wahid selaku Bupati Hulu Sungai Utara sebagai Tersangka Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Abdul Wahid sebelumnya telah ditetapkan KPK sebagai Tersangka. KPK menetapkan Abdul Wahid selaku Bupati Hulu Sungai Utara (HSU) sebagai Tersangka perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi (TPK) suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) HSU Tahun 2021–2022 pada Kamis 18 November 2021.

Ali Fikri menerangkan, Tim Penyidik menemukan penerimaan yang disamarkan oleh Abdul Wahid. Penerimaan itu juga diduga dialihkan ke pihak lain.

"Diduga ada beberapa penerimaan tersangka AW yang dengan sengaja disamarkan dan diubah bentuknya serta dialihkan kepada pihak lain. Dari temuan bukti ini, KPK kembali menetapkan tersangka AW sebagai tersangka dalam dugaan perkara TPPU", terang Ali Fikri, Selasa (28/12/2021).

Ali menjelaskan, penerapan pasal TPPU terhadap Abdul Wahid selaku Bupati Hulu Sungai Utara telah dilengkapi bukti yang cukup. Dijelaskannya pula, bahwa diterapkannya pasal TPPU salah-satunya diduga karena ada beberapa bukti hasil tindak pidana korupsi yang diduga disamarkan dan terjadi perubahan bentuk.

"TPPU diterapkan karena diduga ada bukti permulaan yang cukup terjadi perubahan bentuk dari hasil tindak pidana korupsi kepada aset-aset bernilai ekonomis, seperti properti, kendaraan dan menempatkan uang dalam rekening bank", jelas Ali Fikri.

Dijelaskannya pula, bahwa ada pihak yang mencoba mengambil alih aset milik Abdul Wahid. "Informasi yang kami terima, diduga ada pihak-pihak yang dengan sengaja mencoba untuk mengambil alih secara sepihak aset-aset yang diduga milik tersangka AW", jelasnya pula.

Ali mengingatkan, agar tidak ada pihak-pihak yang mencoba menghalangi proses penyidikan perkara ini. Ditegaskannya, KPK tidak akan segan menerapan pasal merintangi penyidikan.

"KPK mengingatkan agar dalam proses penyidikan perkara ini, tidak ada pihak-pihak yang dengan secara sadar dan sengaja mencoba mencegah, merintangi atau menggagalkan penyidikan perkara ini karena kami tak segan terapkan sanksi pidana sebagaimana ketentuan Pasal 21 UU Tipikor", tandas Ali.

Dalam perkara TPK suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) HSU Tahun 2021–2022, KPK baru menetapkan 4 (empat) Tersangka. Keempatnya, yakni Abdul Wahid selaku Bupati HSU, Maliki selaku Pelaksana-tugas (Plt.) Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPRP) Pemkab HSU, Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru.

Penetapan Abdul Wahid selaku Bupati HSU sebagai Tersangka dalam perkara dugaan TPK suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) HSU Tahun 2021–2022 merupakan pengembangan penyidikan perkara tersebut yang sebelumnya menjerat Maliki selaku Pelaksana-tugas (Plt.) Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPRP) Pemkab HSU, Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru.

Abdul Wahid selaku Bupati HSU ditetapkan KPK sebagai Tersangka perkara dugaan TPK suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) HSU Tahun 2021–2022 pada Kamis 19 November 2021. Sedangkan Maliki selaku Pelaksana-tugas (Plt.) Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPRP) Pemkab HSU, Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru ditetapkan KPK sebagai Tersangka pada Kamis 16 September 2021.

Dalam perkara dugaan TPK suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) HSU Tahun 2021–2022, Abdul Wahid selaku Bupati HSU dan Maliki selaku Plt. Kepala Dinas PUPRP Pemkab HSU ditetapkan KPK sebagai Tersangka penerima suap. Sedangkan Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru ditetapkan KPK sebagai Tersangka penerima suap.

KPK menyangka, Abdul Wahid selaku Bupati HSU diduga telah menerima di antaranya, yakni pada tahun 2019 sejumlah sekitar Rp. 4,6 miliar, tahun 2020 sejumlah sekitar Rp. 12 miliar serta tahun 2021 sejumlah sekitar Rp. 1,8 miliar. Sehingga, total sementara uang yang diterima Abdul Wahid selaku Bupati HSU mencapai sekitar Rp. 18,9 miliar.

Dalam perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi (TPK) suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) HSU Tahun 2021–2022, terhadap Maliki KPK menyangkakan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 64 dan Pasal 65 KUHP.

Terhadap Marhaini dan Fachriadi, KPK menyangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 65 KUHP.

Terhadap Abdul Wahid selaku Bupati Hulu Sungai Utara, KPK menyangkakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, jo Pasal 64 KUHP, jo Pasal 65 KUHP.

Adapun Dalam perkara dugaan TPPU, Abdul Wahid selaku Bupati Sungai Utara disangkakan melanggar Pasal 3 dan atau Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang. *(HB)*


BERITA TERKAIT:

Rabu, 05 Januari 2022

KPK Periksa 12 Saksi Terkait Perkara Dugaan TPPU Bupati HSU Non-aktif Abdul Wahid


Plt. Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Filri.


Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari ini, Rabu 05 Januari 2022, menjadwal pemeriksaan 12 (dua belas) Saksi perkara dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Bupati Hulu Sungai Utara (HSU) Abdul Wahid (AW).

"Pemeriksaan dilakukan di Polres Hulu Sungai Utara Kalsel", terang Pelaksana-tugas (Plt.) Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri dalam keterangan tertulisnya, Rabu (05/01/2022).

Dua belas Saksi tersebut, yakni Maulana Firdaus seorang PPAT,  pensiunan PNS Tajuddin Noor, wiraswasta/ pedagang mobil bekas atau HP Noor Elhamsyah, seorang staf (Pokja) di Dinas Bina Marga Pemkab HSU Hadi Hidayat (mantan Ajudan Bupati HSU) HM. Ridha dan Barkati alias Haji Kati selaku Direktur PT. Prima Mitralindo Utama, 

Berikutnya, Ferry Riandy Wijaya sales Honda, Muhammad Fahmi Ansyari (pemilik PT. Bangun Tata Banua, CV. Saila Rizky dan PT. Jati Luhur Sejati), H. Farhan pemilik PT. CPN/ PT Surya Sapta Tosantalina, Abdul Halim Perdana Kusuma (pemilik CV. Alabio), Abdul Hadi selaku Direktur CV. Chandra Karya dan Muhammad Muzzakir seorang kontraktor.

Seperti diketahui, pada Selasa 28 Desember 2021, KPK kembali menetapkan Abdul Wahid selaku sebagai Tersangka. Kali ini, Abul Wahid selaku Bupati Hulu Sungai Utara ditetapkan KPK sebagai Tersangka perkara dugaan TPPU.

Penetapan sebagai Tersangka perkara dugaanbTPPU tersebut merupakan pengembangan penyidikan perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi (TPK) suap pengadaan barang dan jasa di Kabupaten HSU Tahun 2021–2022  dan gratifikasi yang sebelumnya telah lebih dulu menjerat Abdul Wahid selaku Bupati HSU.

KPK menyangka, ada beberapa penerimaan uang yang oleh Abdul Wahid selaku Bupati HSU dengan sengaja disamarkan dan/atau diubah bentuknya serta dialihkan kepada pihak lain.

Pelaksana-tugas (Plt.) Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri menjelaskan, pasal TPPU diterapkan karena diduga ada bukti permulaan yang cukup tentang telah terjadi perubahan bentuk dari hasil tindak pidana korupsi terkait aset-aset bernilai ekonomis seperti properti, kendaraan dan menempatkan uang dalam rekening bank. 

"Informasi yang kami terima, diduga ada pihak-pihak yang dengan sengaja mencoba untuk mengambil alih secara sepihak aset-aset yang diduga milik tersangka AW", jelas  Plt.Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri, Selasa (28/12/2021) silam.

KPK dengan tegas mengingatkan agar dalam proses penyidikan kasus ini, tidak ada pihak-pihak yang sengaja mencoba mencegah, merintangi atau menggagalkan penyidikan perkara.

"Kami tak segan terapkan sanksi pidana sebagaimana ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Tipikor (Tindak Pidans Korupsi)", tegas Ali Fikri.

Pasal 21 UU Tipikor berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta".

Adapun KPK mengumumkan Abdul Wahid selaku Bupati Hulu Sungai Utara sebagai Tersangka perkara dugaan TPK suap pengadaan barang dan jasa di Kabupaten HSU Tahun 2021–2022  dan gratifikasi yang sebelumnya telah lebih dulu menjerat Abdul Wahid selaku Bupati Hulu Sungai Utara pada Kamis 18 November 2021. 

Penetapan Abdul Wahid selaku Bupati HSU sebagai Tersangka perkara dugaan TPK suap pengadaan barang dan jasa di Kabupaten HSU Tahun 2021–2022  dan gratifikasi itu sendiri merupakan pengembangan penyidikan perkara tersebut yang sebelumnya menjerat Maliki selaku Pelaksana-tugas (Plt.) Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPRP) Pemkab Hulu Sungai Utara, Marhaini dari pihak swasta (Direktur CV. Hanamas) dan Fachriadi dari pihak swasta (Direktur CV. Kalpataru).

Dalam konstruksi perkara, KPK menjabarkan, bermula dari tersangka Abdul Wahid selaku Bupati Hulu Sungai Utara dua periode (2012–2017 dan 2017–2022) pada awal 2019 menunjuk Maliki sebagai Pelaksana-tugas (Plt.) Kepala Dinas PUPRP Pemkab Hulu Sungai Utara.

KPK menduga, diduga ada penyerahan sejumlah uang oleh Maliki untuk menduduki jabatan tersebut, karena sebelumnya telah ada permintaan oleh tersangka Abdul Wahid.

KPK pun menduga, diduga ada penerimaan uang oleh Abdul Wahid selaku Bupati HSU di rumah Maliki pada Desember 2018 yang diserahkan langsung oleh Maliki melalui ajudan tersangka Abdul Wahid.

Pada sekitar awal 2021, Maliki menemui tersangka Abdul Wahid di rumah dinas jabatan Bupati HSU untuk melaporkan terkait plotting paket pekerjaan lelang pada bidang Sumber Daya Air Dinas PUPRP Hulu Sungai Utara Tahun 2021.

Dalam dokumen laporan paket plotting pekerjaan tersebut, Maliki telah menyusun sedemikian rupa dan menyebutkan nama-nama dari para kontraktor yang akan dimenangkan dan mengerjakan berbagai proyek tersebut.

Selanjutnya, tersangka Abdul Wahid menyetujui paket plotting tersebut dengan syarat adanya pemberian komitmen fee dari nilai proyek dengan persentase pembagian fee, yaitu 10 persen untuk tersangka Abdul Wahid dan 5 persen untuk Maliki.

Adapun, pemberian komitmen fee yang diduga diterima oleh tersangka Abdul Wahid melalui Maliki, masing-masing dari Marhaini dan Fachriadi dengan jumlah sekitar Rp. 500 juta.

Selain melalui perantaraan Maliki, tersangka Abdul Wahid juga diduga menerima komitmen fee dari beberapa proyek lainnya melalui perantaraan beberapa pihak di Dinas PUPR Pemkab Hulu Sungai Utara, yaitu pada 2019 sekitar Rp. 4,6 miliar, pada 2020 sekitar Rp. 12 miliar dan pada 2021 sekitar Rp. 1,8 miliar. *(HB)*

 

BERITA TERKAIT:

Selasa, 28 Desember 2021

Kembali Jadi Tersangka, Kini KPK Tetapkan Bupati HSU Abdul Wahid Jadi Tersangka TPPU


Bupati Hulu Sungai Utara Abdul Wahid mengenakan rompi khas Tahanan KPK warna oranye usai ditetapkan sebagai Tersangka perkara dugaan TPK suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) HSU Tahun 2021–2022 pada Kamis 18 November 2021 dan langsung dilakukan penahanan, saat diarahkan petugas keluar dari dalam gedung Merah Putih KPK untuk menuju mobil tahanan yang akan membawanya ke Rumah Tahanan, Kamis 18 November 2021.


Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan Abdul Wahid selaku Bupati Hulu Sungai Utara sebagai Tersangka. Kali ini, Selasa 28 Desember 2021, KPK menetapkan Abdul Wahid selaku Bupati Hulu Sungai Utara sebagai Tersangka Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Abdul Wahid sebelumnya juga telah ditetapkan KPK sebagai Tersangka. KPK menetapkan Abdul Wahid selaku Bupati Hulu Sungai Utara (HSU) sebagai Tersangka perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi (TPK) suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) HSU Tahun 2021–2022 pada Kamis 18 November 2021,

Pelaksana-tugas (Plt.) Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri menerangkan, Tim Penyidik menemukan penerimaan yang disamarkan oleh Abdul Wahid. Penerimaan itu juga diduga dialihkan ke pihak lain.

"Diduga ada beberapa penerimaan tersangka AW yang dengan sengaja disamarkan dan diubah bentuknya serta dialihkan kepada pihak lain. Dari temuan bukti ini, KPK kembali menetapkan tersangka AW sebagai tersangka dalam dugaan perkara TPPU", terang Plt. Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri kepada wartawan, Selasa (28/12/2021).

Ali menjelaskan, penerapan pasal TPPU terhadap Abdul Wahid selaku Bupati Hulu Sungai Utara telah dilengkapi bukti yang cukup. Dijelaskannya pula, bahwa diterapkannya pasal TPPU salah-satunya diduga karena ada beberapa bukti hasil tindak pidana korupsi yang diduga disamarkan dan terjadi perubahan bentuk.

"TPPU diterapkan karena diduga ada bukti permulaan yang cukup terjadi perubahan bentuk dari hasil tindak pidana korupsi kepada aset-aset bernilai ekonomis, seperti properti, kendaraan dan menempatkan uang dalam rekening bank", jelas Ali Fikri.

Selain itu, lanjut Ali, ada pihak yang mencoba mengambil alih aset milik Abdul Wahid. "Informasi yang kami terima, diduga ada pihak-pihak yang dengan sengaja mencoba untuk mengambil alih secara sepihak aset-aset yang diduga milik tersangka AW", lanjutnya.

Ali mengingatkan, agar tidak ada pihak-pihak yang mencoba menghalangi proses penyidikan perkara ini. Ditegaskannya, KPK tidak akan segan menerapan pasal merintangi penyidikan.

"KPK mengingatkan agar dalam proses penyidikan perkara ini, tidak ada pihak-pihak yang dengan secara sadar dan sengaja mencoba mencegah, merintangi atau menggagalkan penyidikan perkara ini karena kami tak segan terapkan sanksi pidana sebagaimana ketentuan Pasal 21 UU Tipikor", tegasnya.

Adapun isi dari Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yakni:

"Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150 juta dan paling banyak Rp 600 juta".

Diketahui, berdasarkan data dalam situs elhkpn.kpk.go.id, Abdul Wahid melaporkan LHKPN pada 31 Maret 2021 dengan total harta sebesar Rp. 5.368.816.339,– (lima miliar tiga ratus enam puluh delapan juta delapan ratus enam belas ribu tiga ratus tiga puluh sembilan rupiah).

Abdul Wahid melaporkan memiliki 2 (dua) bidang lahan tanah dan bangunan di Kota Hulu Sungai Utara dari hasil sendiri dan dari hasil warisan senilai Rp. 4.650.000.000,– (empat miliar enam ratus lima puluh juta rupiah)

Mantan Wakil Ketua DPRD HSU ini juga melaporkan memiliki alat transportasi dan mesin, harta bergerak lain ataupun surat berharga. Ia pun melaporkan memiliki kas dan setara kas sebesar Rp. 718.816.339,– (tujuh ratus delapan belas juta delapan ratus enam belas ribu tiga ratus tiga puluh sembilan rupiah), sehingga total kekayaannya mencapai Rp. 5.368.816.339,–  (lima miliar tiga ratus enam puluh delapan juta delapan ratus enam belas ribu tiga ratus tiga puluh sembilan rupiah).

Dalam perkara ini, KPK baru menetapkan 4 (empat) Tersangka. Keempatnya, yakni Abdul Wahid selaku Bupati HSU, Maliki selaku Pelaksana-tugas (Plt.) Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPRP) Pemkab HSU, Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru.

Penetapan Abdul Wahid selaku Bupati HSU sebagai Tersangka dalam perkara ini merupakan pengembangan penyidikan perkara tersebut yang sebelumnya menjerat Maliki selaku Pelaksana-tugas (Plt.) Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPRP) Pemkab HSU, Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru.

Abdul Wahid selaku Bupati HSU ditetapkan KPK sebagai Tersangka pada Kamis 19 November 2021. Sedangkan Maliki selaku Pelaksana-tugas (Plt.) Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPRP) Pemkab HSU, Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru ditetapkan KPK sebagai Tersangka pada Kamis 16 September 2021.

Dalam perkara ini, Abdul Wahid selaku Bupati HSU dan Maliki selaku Plt. Kepala Dinas PUPRP Pemkab HSU ditetapkan KPK sebagai Tersangka penerima suap. Sedangkan Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru ditetapkan KPK sebagai Tersangka penerima suap.

KPK menyangka, Abdul Wahid selaku Bupati HSU diduga telah menerima di antaranya, yakni pada tahun 2019 sejumlah sekitar Rp. 4,6 miliar, tahun 2020 sejumlah sekitar Rp. 12 miliar serta tahun 2021 sejumlah sekitar Rp. 1,8 miliar. Sehingga, total sementara uang yang diterima Abdul Wahid selaku Bupati HSU mencapai sekitar Rp. 18,9 miliar.

Dalam perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi (TPK) suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) HSU Tahun 2021–2022, terhadap Maliki KPK menyangkakan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 64 dan Pasal 65 KUHP.

Terhadap Marhaini dan Fachriadi, KPK menyangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 65 KUHP.

Terhadap Abdul Wahid selaku Bupati Hulu Sungai Utara, KPK menyangkakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, jo Pasal 64 KUHP, jo Pasal 65 KUHP.

Dalam perkara TPPU, Abdul Wahid selaku Bupati Sungai Utara disangkakan melanggar Pasal 3 dan atau Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang. *(Ys/HB)*


BERITA TERKAIT:

Kamis, 02 Desember 2021

KPK Berpeluang Kembangkan Dugaan Suap Dan Gratifikasi Bupati HSU Ke TPPU


Bupati Hulu Sungai Utara Abdul Wahid mengenakan rompi khas Tahanan KPK warna oranye usai ditetapkan sebagai Tersangka dan dilakukan penahanan, saat diarahkan petugas keluar dari dalam gedung Merah Putih KPK untuk menuju mobil tahanan yang akan membawanya ke Rumah Tahanan, Kamis 18 November 2021.


Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berpeluang mengembangkan perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi (TPK) suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Hulu Sungai Utara tahun 2021–2022 dan gratifikasi yang menjerat Abdul Wahid selaku Bupati Hulu Sungai Utara ke perkara dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

"Apabila ke depan ditemukan adanya alat bukti dugaan menyamarkan asal usul harta benda yang mengarah ke TPPU, maka tim penyidik tentu akan menindak-lanjutinya", ujar Pelaksana-tugas Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri dalam keterangan tertulis, Kamis (02/12/2021).

Ali Fikri menjelaskan, pengembangan suatu perkara TPK suap dan gratifikasi ke TPPU bisa dilakukan jika ada indikasi terjadi perubahan bentuk dan/atau penyamaran hasil dari perbuatan dugaan TPK suap dan gratifikasi untuk pembelian aset-aset bernilai ekonomis seperti properti maupun aset lainnya.

"Sebagai pemahaman bersama, bahwa penerapan TPPU dilakukan apabila ada dugaan terjadi perubahan bentuk dan penyamaran dari dugaan hasil tindak pidana korupsi kepada pembelian aset-aset bernilai ekonomis, seperti properti maupun aset lainnya", jelas Ali Fikri.

Ditegaskannya, KPK kini tengah 'mendalami' sejumlah aset yang dimiliki oleh Bupati Hulu Sungai Utara non-aktif Abdul Wahid yang terindikasi tidak sesuai dengan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

Di antara langkah-langkah pendalaman itu, Tim Penyidik KPK telah menyita beberapa aset milik Abdul Wahid, seperti 1 (satu) unit bangunan, mobil dan sejumlah uang dalam bentuk mata uang rupiah dan asing.

"Tim penyidik sementara ini masih terus melakukan pendalaman terkait dengan dugaan penerimaan suap dan gratifikasi oleh tersangka AW (Abdul Wahid). Data LHKPN yang dilaporkan tersebut, menjadi salah-satu referensi bagi Tim Penyidik untuk menelusuri aset-aset lainnya", tegasnya.

Diketahui, berdasarkan data dalam situs elhkpn.kpk.go.id, Abdul Wahid melaporkan LHKPN pada 31 Maret 2021 dengan total harta sebesar Rp. 5.368.816.339,– (lima miliar tiga ratus enam puluh delapan juta delapan ratus enam belas ribu tiga ratus tiga puluh sembilan rupiah).

Abdul Wahid melaporkan memiliki 2 (dua) bidang lahan tanah dan bangunan di Kota Hulu Sungai Utara dari hasil sendiri dan dari hasil warisan senilai Rp. 4.650.000.000,– (empat miliar enam ratus lima puluh juta rupiah)

Mantan Wakil Ketua DPRD HSU ini juga melaporkan memiliki alat transportasi dan mesin, harta bergerak lain ataupun surat berharga. Ia pun melaporkan memiliki kas dan setara kas sebesar Rp. 718.816.339,– (tujuh ratus delapan belas juta delapan ratus enam belas ribu tiga ratus tiga puluh sembilan rupiah), sehingga total kekayaannya mencapai Rp. 5.368.816.339,–  (lima miliar tiga ratus enam puluh delapan juta delapan ratus enam belas ribu tiga ratus tiga puluh sembilan rupiah).

Dalam perkara ini, KPK baru menetapkan 4 (empat) Tersangka. Keempatnya, yakni Abdul Wahid selaku Bupati HSU, Maliki selaku Pelaksana-tugas (Plt.) Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPRP) Pemkab HSU, Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru.

Penetapan Abdul Wahid selaku Bupati HSU sebagai Tersangka dalam perkara ini merupakan pengembangan penyidikan perkara tersebut yang sebelumnya menjerat Maliki selaku Pelaksana-tugas (Plt.) Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPRP) Pemkab HSU, Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru.

Abdul Wahid selaku Bupati HSU ditetapkan KPK sebagai Tersangka pada Kamis 19 November 2021. Sedangkan Maliki selaku Pelaksana-tugas (Plt.) Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPRP) Pemkab HSU, Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru ditetapkan KPK sebagai Tersangka pada Kamis 16 September 2021.

Dalam perkara ini, Abdul Wahid selaku Bupati HSU dan Maliki selaku Plt. Kepala Dinas PUPRP Pemkab HSU ditetapkan KPK sebagai Tersangka penerima suap. Sedangkan Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru ditetapkan KPK sebagai Tersangka penerima suap.

KPK menyangka, Abdul Wahid selaku Bupati HSU diduga telah menerima di antaranya, yakni pada tahun 2019 sejumlah sekitar Rp. 4,6 miliar, tahun 2020 sejumlah sekitar Rp. 12 miliar serta tahun 2021 sejumlah sekitar Rp. 1,8 miliar. Sehingga, total sementara uang yang diterima Abdul Wahid selaku Bupati HSU mencapai sekitar Rp. 18,9 miliar.

Terhadap Abdul Wahid selaku Bupati HSU, KPK menyangkakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, jo Pasal 64 KUHP, jo Pasal 65 KUHP.

Terhadap Maliki KPK menyangkakan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 64 dan Pasal 65 KUHP.

Terhadap Marhaini dan Fachriadi, KPK menyangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 65 KUHP. *(Ys/HB)*


KPK Dalami Aset Bupati HSU Abdul Wahid Yang Diduga Berbeda Dari LHKPN


Bupati Hulu Sungai Utara Abdul Wahid mengenakan rompi khas Tahanan KPK warna oranye usai ditetapkan sebagai Tersangka dan dilakukan penahanan, saat diarahkan petugas keluar dari dalam gedung Merah Putih KPK untuk menuju mobil tahanan yang akan membawanya ke Rumah Tahanan, Kamis 18 November 2021.


Kota JAKARTA – (harianbuana com).
Tim Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami sejumlah aset yang dimiliki Bupati Hulu Sungai Utara non-aktif Abdul Wahid terkait penyidikan perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi (TPK) suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerimtah Kabupaten (Pemkab) Hulu Sungai Utara (HSU) tahun 2021–2022 dan gratifikasi yang menjerat Abdul Wahid selaku Bupati HSU.

"Tim penyidik sementara ini masih terus melakukan pendalaman terkait dengan dugaan penerimaan suap dan gratifikasi oleh tersangka AW (Abdul Wahid)", terang Pelaksana-tugas (Plt.) Juru Bicara Bidang Peninfakan KPK Ali Fikri melalui keterangan tertulis, Kamis (02/12/2021).

KPK menduga, sejumlah aset yang dimiliki Bupati HSU non-aktif Abdul Wahid diduga tidak sesuai dengan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang telah dilaporkan ke KPK 

"Data LHKPN yang dilaporkan tersebut menjadi salah satu referensi bagi Tim Penyidik untuk menelusuri aset-aset lainnya", ungkap Ali Fikri.

Ali menjelaskan, Tim Penyidik KPK juga telah menyita beberapa aset milik Abdul Wahid, seperti 1 (satu) unit bangunan, mobil dan sejumlah uang dalam bentuk mata uang rupiah dan asing.

DIjelaskannya pula, apabila ditemukan adanya alat bukti dugaan menyamarkan asal-usul harta benda yang mengarah ke Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Tim Penyidik KPK tentu akan menindak-lanjutinya.

"Sebagai pemahaman bersama bahwa penerapan TPPU dilakukan apabila ada dugaan terjadi perubahan bentuk dan penyamaran dari dugaan hasil tindak pidana korupsi kepada pembelian aset-aset bernilai ekonomis, seperti properti maupun aset lainnya," ucap Ali.

Diketahui, berdasarkan data dalam situs elhkpn.kpk.go.id, Abdul Wahid melaporkan LHKPN pada 31 Maret 2021 dengan total harta sebesar Rp. 5.368.816.339,– (lima miliar tiga ratus enam puluh delapan juta delapan ratus enam belas ribu tiga ratus tiga puluh sembilan rupiah).

Abdul Wahid melaporkan memiliki 2 (dua) bidang lahan tanah dan bangunan di Kota Hulu Sungai Utara dari hasil sendiri dan dari hasil warisan senilai Rp. 4.650.000.000,– (empat miliar enam ratus lima puluh juta rupiah)

Mantan Wakil Ketua DPRD HSU ini juga melaporkan memiliki alat transportasi dan mesin, harta bergerak lain ataupun surat berharga. Ia pun melaporkan memiliki kas dan setara kas sebesar Rp. 718.816.339,– (tujuh ratus delapan belas juta delapan ratus enam belas ribu tiga ratus tiga puluh sembilan rupiah), sehingga total kekayaannya mencapai Rp. 5.368.816.339,–  (lima miliar tiga ratus enam puluh delapan juta delapan ratus enam belas ribu tiga ratus tiga puluh sembilan rupiah).

alam perkara ini, KPK baru menetapkan 4 (empat) Tersangka. Keempatnya, yakni Abdul Wahid selaku Bupati HSU, Maliki selaku Pelaksana-tugas (Plt.) Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPRP) Pemkab HSU, Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru.

Penetapan Abdul Wahid selaku Bupati HSU sebagai Tersangka dalam perkara ini merupakan pengembangan penyidikan perkara tersebut yang sebelumnya menjerat Maliki selaku Pelaksana-tugas (Plt.) Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPRP) Pemkab HSU, Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru.

Abdul Wahid selaku Bupati HSU ditetapkan KPK sebagai Tersangka pada Kamis 19 November 2021. Sedangkan Maliki selaku Pelaksana-tugas (Plt.) Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPRP) Pemkab HSU, Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru ditetapkan KPK sebagai Tersangka pada Kamis 16 September 2021.

Dalam perkara ini, Abdul Wahid selaku Bupati HSU dan Maliki selaku Plt. Kepala Dinas PUPRP Pemkab HSU ditetapkan KPK sebagai Tersangka penerima suap. Sedangkan Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru ditetapkan KPK sebagai Tersangka penerima suap.

KPK menyangka, Abdul Wahid selaku Bupati HSU diduga telah menerima di antaranya, yakni pada tahun 2019 sejumlah sekitar Rp. 4,6 miliar, tahun 2020 sejumlah sekitar Rp. 12 miliar serta tahun 2021 sejumlah sekitar Rp. 1,8 miliar. Sehingga, total sementara uang yang diterima Abdul Wahid selaku Bupati HSU mencapai sekitar Rp. 18,9 miliar.

Terhadap Abdul Wahid selaku Bupati HSU, KPK menyangkakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, jo Pasal 64 KUHP, jo Pasal 65 KUHP.

Terhadap Maliki KPK menyangkakan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 64 dan Pasal 65 KUHP.

Terhadap Marhaini dan Fachriadi, KPK menyangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 65 KUHP. *(Ys/HB)*


Rabu, 01 Desember 2021

Periksa Pengasuh Ponpes, KPK Dalami Dugaan Pembelian Sejumlah Mobil Bupati Hulu Sungai Utara Dari Hasil Korupsi


Bupati Hulu Sungai Utara (HSU) Abdul Wahid mengenakan rompi khas Tahanan KPK warna oranye usai ditetapkan sebagai Tersangka dan dilakukan penahanan, saat diarahkan petugas keluar dari dalam gedung Merah Putih KPK untuk menuju mobil tahanan yang akan membawanya ke Rumah Tahanan, Kamis 18 November 2021.


Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Tim Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memeriksa 2 (dua) Saksi perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi (TPK) suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerimtah Kabupaten (Pemkab) Hulu Sungai Utara (HSU) tahun 2021–2022 yang menjerat Abdul Wahid selaku Bupati HSU.

Dua Saksi itu didalami pengetahuannya soal pembelian sejumlah mobil oleh Abdul Wahid yang diduga dari hasil korupsi yang salah-satu di antaranya telah disita KPK dari Ketua DPRD Kabupaten HSU.

"Kedua Saksi hadir dan dikonfirmasi antara lain terkait dengan dugaan pembelian beberapa unit mobil oleh tersangka AW (Abdul Wahid) yang satu unit di antaranya telah disita oleh Tim Penyidik dari Ketua DPRD HSU", terang Pelaksana-tugas Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri kepada wartawan, Rabu (01/12/2021).

Adapun kedua Saksi tersebut, yakni pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Bobby Koesmanjaya dan Ferry Riandy Wijaya dari unsur swasta lainnya. Keduanya diperiksa di gedung Merah Putih KPK jalan Kuningan Persada – Jakarta Selatan pada Selasa (30/11/2021) kemarin.

Dalam perkara ini, KPK baru menetapkan 4 (empat) Tersangka. Keempatnya, yakni Abdul Wahid selaku Bupati HSU, Maliki selaku Pelaksana-tugas (Plt.) Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPRP) Pemkab HSU, Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru.

Penetapan Abdul Wahid selaku Bupati HSU sebagai Tersangka dalam perkara ini merupakan pengembangan penyidikan perkara tersebut yang sebelumnya menjerat Maliki selaku Pelaksana-tugas (Plt.) Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPRP) Pemkab HSU, Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru.

Abdul Wahid selaku Bupati HSU ditetapkan KPK sebagai Tersangka pada Kamis 19 November 2021. Sedangkan Maliki selaku Pelaksana-tugas (Plt.) Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPRP) Pemkab HSU, Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru ditetapkan KPK sebagai Tersangka pada Kamis 16 September 2021.

Dalam perkara ini, Abdul Wahid selaku Bupati HSU dan Maliki selaku Plt. Kepala Dinas PUPRP Pemkab HSU ditetapkan KPK sebagai Tersangka penerima suap. Sedangkan Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru ditetapkan KPK sebagai Tersangka penerima suap.

KPK menyangka, Abdul Wahid selaku Bupati HSU diduga telah menerima di antaranya, yakni pada tahun 2019 sejumlah sekitar Rp. 4,6 miliar, tahun 2020 sejumlah sekitar Rp. 12 miliar serta tahun 2021 sejumlah sekitar Rp. 1,8 miliar. Sehingga, total sementara uang yang diterima Abdul Wahid selaku Bupati HSU mencapai sekitar Rp. 18,9 miliar.

Terhadap Abdul Wahid selaku Bupati HSU, KPK menyangkakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, jo Pasal 64 KUHP, jo Pasal 65 KUHP.

Terhadap Maliki KPK menyangkakan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 64 dan Pasal 65 KUHP.

Terhadap Marhaini dan Fachriadi, KPK menyangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 65 KUHP. *(Ys/HB)*


Kamis, 25 November 2021

KPK Sita Mobil Ketua DPRD Diduga Terkait TPK Suap Pengadaan Di Hulu Sungai Utara


Ilustrasi gedung KPK.


Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Tim Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita 1 (satu) unit mobil milik Ketua DPRD Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) Almien Ashar pada Rabu 24 November 2021. Penyitaan dilakukan, diduga mobii tersebut terkait dengan perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi (TPK) suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) HSU tahun 2021–2022 yang menjerat Abdul Wahid selaku Bupati HSU

"Penyidik KPK telah menyita 1 (satu) unit mobil dari Ketua DPRD Kabupaten HSU", terang Pelaksana-tugas Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri dalam melalui keterangan, Kamis (25/11/2021).

Ali Fikri menjelaskan, selain mobil milik Ketua DPRD Kabupaten HSU, Tim Penyidik KPK juga telah menyita lahan tanah dan bangunan diatasnya diduga milik Bupati non-aktif HSU Abdul Wahid.

“Lahan tanah dan bangunan berlokasi di Kelurahan Paliwara Kecamatan Amuntai Tengah Kabupaten HSU yang diperuntukkan untuk Klinik Kesehatan", jelas Ali Fikri.

Ditegaskannya, bahwa barang bukti yang disita itu selanjutnya akan dikonfirmasi kembali kepada saksi-saksi yang terkait dengan barang bukti perkara tersebut.

"Saat ini tim penyidik masih terus mengumpulkan dan melengkapi bukti-bukti terkait perkara ini", tegasnya.

Dalam perkara dugaan TPK suap pengadaan barang dan jasa di lingungan Pemkab Hulu Sungai Utara (HSU) tahun 2021–2022 ini, KPK baru menetapkan 4 (empat) Tersangka. Keempatnya, yakni Abdul Wahid selaku Bupati HSU, Maliki selaku Pelaksana-tugas (Plt.) Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPRP) Pemkab HSU, Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru.

Penetapan Abdul Wahid selaku Bupati HSU sebagai Tersangka dalam perkara ini merupakan pengembangan penyidikan perkara tersebut yang sebelumnya menjerat Maliki selaku Pelaksana-tugas (Plt.) Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPRP) Pemkab HSU, Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru.

Abdul Wahid selaku Bupati HSU ditetapkan KPK sebagai Tersangka pada Kamis 19 November 2021. Sedangkan Maliki selaku Pelaksana-tugas (Plt.) Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPRP) Pemkab HSU, Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru ditetapkan KPK sebagai Tersangka pada Kamis 16 September 2021.

Dalam perkara ini, Abdul Wahid selaku Bupati HSU dan Maliki selaku Plt. Kepala Dinas PUPRP Pemkab HSU ditetapkan KPK sebagai Tersangka penerima suap. Sedangkan Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru ditetapkan KPK sebagai Tersangka penerima suap.

KPK menyangka, Abdul Wahid selaku Bupati HSU diduga telah menerima di antaranya, yakni pada tahun 2019 sejumlah sekitar Rp. 4,6 miliar, tahun 2020 sejumlah sekitar Rp. 12 miliar serta tahun 2021 sejumlah sekitar Rp. 1,8 miliar. Sehingga, total sementara uang yang diterima Abdul Wahid selaku Bupati HSU mencapai sekitar Rp. 18,9 miliar.

Terhadap Abdul Wahid selaku Bupati HSU, KPK menyangkakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, jo Pasal 64 KUHP, jo Pasal 65 KUHP.

Terhadap Maliki KPK menyangkakan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 64 dan Pasal 65 KUHP.

Terhadap Marhaini dan Fachriadi, KPK menyangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 65 KUHP. *(Ys/HB)*


Rabu, 24 November 2021

Periksa 14 Saksi, KPK Dalami Penerimaan Uang Bupati Hulu Sungai Utara Dari ASN


Plt. Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri.


Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Tim Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memeriksa 14 (empat belas) Saksi perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi (TPK) suap pengadaan barang dan jasa di lingungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Hulu Sungai Utara (HSU) tahun 2021–2022 yang menjerat Abdul Wahid (AW) selaku Bupati HSU.

Selain Saksi perkara tersebut, di antara belasan Saksi itu ada juga yang didalami pengetahuannya terkait dugaan penerimaan uang ke AW selaku Bupati HSU dari para ASN yang akan menduduki jabatan struktural di lingkungan Pemkab HSU,

"Seluruh saksi hadir dan menerangkan antara lain terkait dengan dugaan penerimaan fee proyek oleh tersangka AW dan adanya penerimaan lain berupa uang dari para ASN yang akan menduduki jabatan struktural di Pemkab HSU", terang Pelaksana-tugas (Plt.) Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri kepada wartawan, Rabu (24/11/2021).

Dijelaskannya, bahwa para Saksi itu diperiksa Tim Penyidik KPK pada Selasa (23/11/2021) kemarin, di Markas Polres Hulu Sungai Utara. Para Saksi itu di antaranya adalah Syamsul Hamidan selaku pemilik CV. Agung Perkasa yang biasa melaksanakan pekerjaan pada Dinas PUPRP Pemkab HSU tahun 2021 dan Barkati/ Haji Kati selaku Direktur PT. Prima Mitralindo Utama yang biasa melaksanakan pekerjakan pada BPBD Kabupaten HSU.

Kemudian, Marhaidi selaku Wakil Direktur CV. Hanamas, H. Sapuani alias Haji Ulup selaku pemilik CV. Lovita, Muhammad Sam'ani selaku Direktur PT. Sapta Surya Tosan Talina, MuhammAd Muazakkir selaku Direktur PT. Cahaya Sambang Sejahtera, Rakhmadi Effendie alias H Madi selaku Direktur PT Seroja Indah Persada serta kontraktor Abdul Hadi.

Berikutnya, kontraktor H. Rusdi, swasta Abdi Rahman, Yandra staf SMP Negeri 8 Amuntai, Ina Wahyudiaty staf Bapelitbang Kabupaten HSU, Thamrin staf BPKAD Kabupaten HSU serta Hairiyah selaku Kepala Seksi (Kasi) Pembangunan dan Peningkatan Pengairan pada Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertanahan Pemkab HSU.

Dalam perkara dugaan TPK suap pengadaan barang dan jasa di lingungan Pemkab Hulu Sungai Utara (HSU) tahun 2021–2022 ini, KPK baru menetapkan 4 (empat) Tersangka. Keempatnya, yakni Abdul Wahid selaku Bupati HSU, Maliki selaku Pelaksana-tugas (Plt.) Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPRP) Pemkab HSU, Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru.

Penetapan Abdul Wahid selaku Bupati HSU sebagai Tersangka dalam perkara ini merupakan pengembangan penyidikan perkara tersebut yang sebelumnya menjerat Maliki selaku Pelaksana-tugas (Plt.) Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPRP) Pemkab HSU, Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru.

Abdul Wahid selaku Bupati HSU ditetapkan KPK sebagai Tersangka pada Kamis 19 November 2021. Sedangkan Maliki selaku Pelaksana-tugas (Plt.) Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPRP) Pemkab HSU, Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru ditetapkan KPK sebagai Tersangka pada Kamis 16 September 2021.

Dalam perkara ini, Abdul Wahid selaku Bupati HSU dan Maliki selaku Plt. Kepala Dinas PUPRP Pemkab HSU ditetapkan KPK sebagai Tersangka penerima suap. Sedangkan Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru ditetapkan KPK sebagai Tersangka penerima suap.

KPK menyangka, Abdul Wahid selaku Bupati HSU diduga telah menerima di antaranya, yakni pada tahun 2019 sejumlah sekitar Rp. 4,6 miliar, tahun 2020 sejumlah sekitar Rp. 12 miliar serta tahun 2021 sejumlah sekitar Rp. 1,8 miliar. Sehingga, total sementara uang yang diterima Abdul Wahid selaku Bupati HSU mencapai sekitar Rp. 18,9 miliar.

Terhadap Abdul Wahid selaku Bupati HSU, KPK menyangkakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, jo Pasal 64 KUHP, jo Pasal 65 KUHP.

Terhadap Maliki KPK menyangkakan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 64 dan Pasal 65 KUHP.

Terhadap Marhaini dan Fachriadi, KPK menyangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 65 KUHP. *(Ys/HB)*