Selasa, 21 November 2023

Pj. Gubernur NTB Lalu Gita Ariandi Dicecar KPK Soal IUP PT. Tukad Mas


Pj. Gubernur NTB Lalu Gita Ariandi saat memberi keterangan kepada wartawan usai menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK jalan Kuningan Persada Kavling 4 Setiabudi Jakarta Selatan, Selasa (21/11/2023).


Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Penjabat (Pj.) Gubernur NTB (Nusa Tenggara Barat) Lalu Gita Ariandi hari ini, Selasa 21 November 2023, memenuhi panggilan pemeriksaan Tim Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung Merah Putih KPK jalan Kuningan Persada Kavling 4 Setiabudi Jakarta Selatan.

Usai menjalani pemeriksaan sebagai Saksi perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi (TPK)  pengadaan barang dan jasa serta gratifikasi dengan tersangka Muhammad Lutfi selaku Wali Kota Bima,  Pj. Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Lalu Gita Ariandi kepada wartawan mengaku, dirinya ditanya 8 (delapan) pertanyaan oleh Tim Penyidik KPK.

Pj. Gubernur NTB Lalu Gita Ariandi menegaskan, pertanyaan yang disodorkan Tim Penyidik KPK tentang seputar izin usaha pertambangan (IUP) PT. Tukad Mas.

"Pertambangan batu. Sekitar 8 (delapan) pertanyaan berhubungan langsung dengan substansi bagaimana proses penerbitan izin dari usaha pertambangan operasi khusus PT. Tukad Mas", tegas Pj. Gubernur NTB Lalu Gita Ariandi di depan Gedung Merah Putih KPK jalan Kuningan Persada Kavling 4 Setiabudi Jakarta Selatan, Selasa (21/11/2023).

Gita AriandiIa mengatakan, saat proses perizinan itu dirinya menjabat sebagai Kepala Dinas DPMPTSP NTB. Gita AriandiIa mengungkapkan, bahwa dirinya dicecar 15 pertanyaan guna konfirmasi kelengkapan di dalam proses penerbitan izin.Di mana ada SOP di sana bahwa kami menerbitkan izin itu setelah adanya praktik teknis dari Dinas ESDM dan itu kita kerjakan sesuai dengan SOP", kata Gita Ariadila.

Gita AriandiIa mengaku, dirinya hanya ditanyai Tim Penyidik KPK perihal proses perizinan pertambangan. Gita menjelaskan, ia menjawab secara kompetensi selaku Kepala Dinas DPMPTSP Pemkab NTB.

"Pada saat itu, saya keluarkan 2 Oktober 2019, kemudian 19 Desember 2019 saya menjadi Sekda Provinsi NTB. Sehingga, proses setelah izin keluar saya tak ikuti perkembangannya. Sewaktu saya Kadis aman saja prosesnya, sesuai dengan SOP", ujar Lalu Gita AriandiIa.

Pj. Gubernur NTB Lalu Gita AriandiIa diperiksa Tim Penyidik KPK sekitar 2,5 jam dengan 15 pertanyaan termasuk situasi saat itu, kondisi serta tugas pokok dan fungsi jabatannya. “Juga hubungan saya dengan Pak Lutfi, kenal atau tidak dan lain sebagainya", ungkap Pj. Gubernur NTB Lalu Gita AriandiIa sembari meninggalkan pelataran Gedung Merah Putih KPK.

Diketahui, Pj. Gubernur NTB Lalu Gita AriandiIa tiba di Gedung Merah Putih KPK sekitar pukul 12.35 WIB dan keluar sekitar pukul 16.30 WIB. Lalu Gita AriandiIavmengenakan baju lengan panjang berwarna coklat dengan motif batik, bersama seorang lainnya memakai baju batik lengan panjang pula. *(HB)*


BERITA TERKAIT:

Kamis, 01 September 2022

KPK Ingatkan Para Kepala Daerah Se NTB Supaya Tidak Korupsi


Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron saat Rapat Koordinasi & Dengar Pendapat Pemberantasan Korupsi Terintegrasi bersama seluruh kepala daerah di wilayah Provinsi NTB serta pimpinan DPRD se Provinsi NTB yang berlangsung di Gedung Graha Bhakti Praja Kota Mataram Provinsi NTB,  Kamis (01/09/2022).


Kota MATARAM – (harianbuana.com).
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengingatkan para kepala daerah baik bupati, wali kota hingga gubernur di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi.

Peringatan itu disampaikan Nurul Ghufron pada Rapat Koordinasi & Dengar Pendapat Pemberantasan Korupsi Terintegrasi bersama seluruh kepala daerah di wilayah Provinsi NTB, pimpinan DPRD se Provinsi NTB yang berlangsung di Gedung Graha Bhakti Praja Kota Mataram Provinsi NTB. Kamis 01 September 2022.

"Kalau tujuan menjadi pejabat adalah kekayaan, maka mari kita kembalikan ke tujuan awal. Karena sesungguhnya menjadi pejabat adalah menjadi Abdi Negara dan Abdi Rakyat", ujar Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron di Gedung Graha Bhakti Praja Kota Mataram Provinsi NTB, Kamis (01/09/2022).

Nurul Ghufron menyampaikan, perilaku koruptif menjauhkan diri dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Nurul Ghufron pun menyampaikan beberapa penyebab perilaku korup. Yang pertama, yakni pertama karena rusaknya pasar.

"Contoh, seorang doktor ekonomi sudah pasti mencari barang di pasar yang bagus. Begitu pula dengan ibu-ibu di pasar, sudah pasti akan mencari barang yang paling bagus dan harganya murah. Tetapi, bagi pelaku korupsi, bagaimana dia mencari barang jelek dan tidak bagus asal ada 'feedback' dan pasti diterima", ujar Nurul Ghufron.

"Kalau sudah begini, runtuh pilar jati diri kita sebagai harapan rakyat. Karena uang rakyat itu dikumpulkan penyelenggara negara supaya dibelanjakan secara efisien. Namun, di hadapan penyelenggara negara yang korup harganya berapa pun tidak masalah", tambahnya.

Kedua, lanjut Ghufron, perilaku korupsi karena rusaknya tatanan demokrasi. Contoh, untuk menjadi gubernur, bupati atau wali kota tidak cukup dengan uang Rp.10 miliar atau Rp. 30 miliar.

"Ini bukan KPK yang melansir, tapi Kementerian Dalam Negeri yang mengatakan. Untuk menjadi bupati minimal Rp. 30–50 miliar dan gubernur Rp. 100 miliar. Anggap saja gajinya gubernur Rp.100 juta sebulan, kali setahun Rp. 1,2 miliar, kali 5 (lima) sudah Rp. 6 miliar. Sementara biayanya Rp. 30 miliar sampai Rp. 50 miliar. Bagaimana tidak korupsi kalau sudah begini, korup bukan lagi potensi tapi pasti", lanjut Nurur Ghufron.

"Untuk itu, yang meruntuhkan dan mengoyak-koyak persatuan bangsa Indonesia bukan hanya teroris dan radikalisme, tetapi salah-satunya kalau penyelenggara negara korupsi", tandasnya.

Ghufron menegaskan, selama tahun 2022 saja, KPK sudah menangkap tidak kurang dari 1.400 orang. Mereka, di antaranya adalah gubernur 23 orang, bupati dan wali kota 44 orang dan anggota dewan sudah banyak.

"Apakah KPK bangga dengan ini? Tidak. KPK miris dan bersedih dengan angka-angka ini, karena KPK bukan pembuat wajah hukum Indonesia menjadi bopeng dan terhina. Tap, kami ingin wajah hukum Indonesia berwibawa di hadapan internasional karena penyelenggara negaranya tidak ada yang ditangkap karena korupsi", tegas Nurul Ghufron.

Ghuron menjelaskan, kehadiran KPK di Provinsi NTB ini dalam rangka pencegahan. Salah-satunya melalui peningkatan integritas, yakni meningkatkan dedikasi dan orientasi jabatan-jabatan publik. Yang mana, jabatan publik itu sejatinya adalah untuk rakyat. Selanjutnya, peningkatan sistem tata kelola pemerintahan yang baik dalam tata kelola keuangan negara maupun pemerintahan.

Dijelaskannya pula, bahwa untuk menghindari perilaku korupsi harus ada gagasan bersifat pasti, transparan dan terpadu, sehingga terhindar dari korupsi. Oleh karena itu, pihaknya berharap tidak ada lagi kepala daerah di Provinsi NTB yang ditangkap karena korupsi. KPK berkeinginan Indonesia bersih dari korupsi.

"Yang kami lakukan dan harapkan Indonesia itu bersih korupsi bukan karena ditangkap, tapi karena memang para penyelenggara negara sudah berintegritas dan tata kelolanya bersih dari korupsi", jelas Nurul Ghufron.

Kegiatan Rakor dan Dengan Pendapat tersebut diawali dengan pengukuhan Forum Penyuluh Antikorupsi & Pelantikan 28 Penyuluh Anti Korupsi di Provinsi NTB yang terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS), akademisi hingga mahasiswa.

Pada kesempatan tersebut juga dilakukan pengukuhan kepengurusan Komite Advokasi Daerah (KAD) Provinsi NTB. Adapun KAD dibentuk sebagai forum dialog yang memasilitasi pembahasan dan perumusan solusi atas permasalahan-permasalahan yang dihadapi pelaku usaha.

Pembentukan KAD merupakan bagian dari upaya KPK untuk membangun dunia usaha yang berintegritas tanpa suap yang disahkan berdasarkan Keputusan Gubernur.

Rakor dan Dengan Pendapat tersebut juga memaparkan Monitoring Centre for Prevention (MCP), yaitu sistem yang dibangun KPK. Yang mana, tahun 2022 implementasinya dimonitor bersama oleh Kemendagri & BPKP untuk melakukan monitoring, pendampingan & pengawasan atas implementasi 8 area perbaikan tata kelola Pemda.

Skor Monitoring Centre for Prevention (MCP) tahun 2021 Provinsi NTB cukup baik, yaitu 78,07. Skor tersebut lebih tinggi dari rata-rata nasional 2021 sebesar 71.0.

Tertinggi, dicapai Pemkot Mataram dengan skor MCP 91,68. Diikuti Pemkot Bima dengan skor MCP 85,25; Pemprov NTB dengan skor MCP 84,19; Pemkab Lombok Barat dengan skor MCP 82,06 dan Pemkab Bima dengan skor MCP 80,79.

Berikutnya, Pemkab Lombok Tengah dengan skor MCP 80,21; Pemkab Sumbawa Barat dengan skor MCP 79,06; Pemkab Sumbawa dengan skor MCP 75,34; Pemkab Dompu dengan skor MCP72,55; Pemkab Lombok Timur dengan skor MCP 69,32 dan Pemkab Lombok Utara dengan skor MCP 58,29. *(HB)*

Selasa, 28 Mei 2019

KPK Tetapkan Kakanim Kelas I Mataram Sebagai Tersangka

Alexander Marwata (tengah) saat konferensi pers tentang OTT Kakanim Imigrasi Kelas I Mataram, Selasa (28/05/2019).


Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Kurniadie (KUR) selaku Kepala Kantor Imigrasi (Kakanim) Kelas I Mataram sebagai Tersangka atas perkara dugaan tindak pidana korupsi suap penyalah-gunaan Ijin Tinggal Warga Negara Asing (WNA).

Sebagaimana diterangkan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat konferensi pers di kantor KPK jalan Kuningan Persada – Jakarta Selatan pada Selasa 28 Mei 2019 malam, bahwa Kurniadie merupakan salah-seorang yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada Senin (27/05/2019) malam hingga Selasa (28/05/2019) dini hari.

Selain Kurniadie, dalam perkara ini, KPK juga menetapkan Yusriansyah Fazrin selaku Kepala Seksi Intelijen dan Penindakan Kantor Imigrasi Kelas I Mataram dan Liliana Hidayat selaku Direktur PT. Wisata Bahagia sebagai Tersangka.

KPK menduga, ketiganya diduga terlibat dalam perkara dugaan tindak tindak pidana suap penyalah-gunaan Ijin Tinggal di lingkungan Kantor Imigrasi NTB tahun 2019.

KPK pun menduga, Kurniadie selaku Kakanim Kelas I Mataram bersama Yusriansyah Fazrin selaku Kepala Seksi Intelijen dan Penindakan Kantor Imigrasi Kelas I menerima suap dari  Direktur PT. Wisata Bahagia Liliana Hidayat sebesar Rp.1,2 miliar.

"KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan dan menetapkan tiga orang sebagai tersangka", tandas Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat jumpa pers di gedung KPK, Jl Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (28/05/2019).

Lebih lanjut, Alexander Marwata memaparka, kasus bermula saat Kantor Imigrasi Klas I Mataram menangkap 2 (dua) WNA berinisial BGW dan MK atas dugaan menyalah-gunakan Ijin Tinggal. Keduanya diduga menggunakan Izin Tinggal Turis Biasa, namun bekerja di Wyndham Sundancer Lombok.

Merespon penangkapan 2 pekerjanya itu, Liliana pun kemudian berupaya mencari cara untuk melepaskan 2 pekerjanya dari perkara tersebut.

Menyusul Kantor Imigrasi Klas I Mataram kemudian mengeluarkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) pada 22 Mei 2019. Yang mana, Yusriansyah kemudian menghubungi Liliana dan diminta untuk mengambil SPDP.

Tim penyidik KPK menduga, permintaan pengambilan SPDP itu hanya merupakan kode untuk meminta uang. "Permintaan pengambilan SPDP diduga hanyalah kode untuk menaikkan harga penghentian kasus", jelas Alex.

Alex mengungkapkan, Liliana Hidayat awalnya menawarkan Rp. 300 juta untuk menghentikan perkara tersebut, namun Yusriansyah menolak. Diduga, karena jumlahnya terlalu sedikit.

Selanjutnya, negosiasi harga dilakukan dengan memakai modus tawar-menawar dengan menuliskan nominal uang di secarik kertas, hingga Yusriansyah dan Liliana akhirnya menyapakati harga untuk menghentikan perkara tersebut sebesar Rp 1,2 miliar. "Jadi, tak ada pembicaraan", ungkap Alex.

KPK menduga selama proses negosiasi hingga persetujuan harga tersebut, Yusriansyah selalu berkoordinasi dengan Kurniadie. Yang mana, penyerahan itu kemudian dilakukan secara bertahap.

Ketika proses penyerahan suap inilah tim KPK menangkap ketiga Tersangka tersebut dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) di NTB pada Selasa 28 Mei 2019.

Dalam perkara ini, KPK menetapkan Kurniadie selaku Kakanim Kelas I Mataram dan Yusriansyah Fazrin selaku Kepala Seksi Intelijen dan Penindakan Kantor Imigrasi Kelas I Mataram sebagai Tersangka penerima suap.

KPK menyangka, keduanya diduga melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sedangkan Liliana Hidayat, ditetapkan KPK sebagai Tersangka pemberi suap. KPK menyangka, Liliana Hidayat diduga melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. *(Ys/HB)*

OTT Di NTB, KPK Amankan Pejabat Imigrasi Terduga Penerima Suap Ijin Tinggal Turis Rp. 1 Miliar

Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah.

Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sementara ini telah mengamankan 8 (delapan) orang dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang digelar sejak Senin (27/05/2019) malam hingga Selasa (28/05/2019) pagi.

Selain delapan orang itu, dalam kegiatan super-senyap OTT tersebut, hingga Selasa (28/05/2019) pagi ini, tim Satgas Penindakan KPK juga berhasil mangamankan uang ratusan juta rupiahKomisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan giat operasi tangkap tangan (OTT) di Nusa Tenggara Barat (NTB).

KPK menduga, oknum pejabat Imigrasi diduga menerima suap terkait pengurusan izin tinggal warga negara asing berstatus turis di NTB.

"Diduga nilai suap terkait perkara izin tinggal turis di NTB tersebut lebih dari Rp. 1 miliar", ungkap Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah kepada wartawan, Selasa (28/05/2019).

Lebih lanjut, Febri Diansyah menjelaskan, bahwa KPK menyita uang ratusan juta rupiah diduga merupakan barang bukti suap untuk mengurus perkara keimigrasian di NTB. 

Selain itu, tim Satgas Penindakan KPK juga mengamankan 8 (delapan) orang di NTB yang terdiri dari unsur pejabat dan penyidik imigrasi serta pihak swasta.

"7 dari 8 orang yang diamankan, dari NTB akan dibawa mulai siang ini ke kantor KPK Jakarta", jelas Febri Diansyah.

KPK diberikan waktu 24 jam untuk menentukan status hukum pihak yang diamankan. Informasi lebih lengkap akan disampaikan saat konferensi pers di KPK. *(Ys/HB)*

OTT Di NTB, KPK Amankan 8 Orang Dan Uang Ratusan Juta Rupiah

Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif.


Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sementara ini telah mengamankan 8 (delapan) orang dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang digelar sejak Senin (27/05/2019) malam hingga Selasa (28/05/2019) pagi.

Selain delapan orang itu, dalam kegiatan super-senyap OTT tersebut, hingga pagi ini, tim Satgas Penindakan KPK juga berhasil mangamankan uang ratusan juta rupiah.

"Sampai pagi ini delapan orang dibawa ke Polda setempat untuk dilakukan pemeriksaan awal. Mereka terdiri dari unsur pejabat dan penyidik imigrasi serta pihak swasta", terang Wakil Ketua KPK Laode M  Syarif dalam keterangan tertulis, Selasa 28 Mei 2019 pagi.

Laode M. Syarif menegaskan, KPK menindak-lanjuti informasi dugaan pemberian uang kepada pejabat imigrasi setempat. Dugaan pemberian uang itu terkait dengan kepentingan izin tinggal warga negara asing (WNA).

"Diamankan uang ratusan juta yang diduga merupakan barang bukti suap untuk mengurus perkara di imigrasi tersebut. Informasi lebih lengkap, akan disampaikan saat konferensi pers di KPK", tegas Laode M. Syarif.

KPK memiliki waktu 1x24 jam untuk menentukan status hukum para pihak-pihak yang telah diamankan itu. *(Ys/HB)*