Selasa, 28 Maret 2023

Islam Itu Memang Agama Kemanusiaan: Kesalah-pahaman Terkait Puasa Ramadhan (3)


Macharodji Machfud.


Oleh: Macharodji Machfud.

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
A’udzubillahiminasysyaithanirrajim.
Bismillahirrahmanirrahim

Hei Saudaraku, Islam memang agama kemanusiaan! Mengajarkan kepada manusia agar berpuasa, supaya  manusia dapat melatih dirinya untuk mampu mengendalikan, mengekang dan mengalahkan nafsunya. Karena nafsu senantiasa mengajak kepada manusia kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi Rahmat oleh Allah.

Kesalah-pahaman Terkait Puasa Ramadhan (3).

Karena Tidak Membatalkan Puasa Mengumbar pendengaran dan penglihatan terhadap hal-hal yang diharamkan

Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Artinya: “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra’ [17]: 36).

Anggota badan yang dipercayakan kepada seorang hamba, semua akan dimintai pertanggung-jawaban atas apa yang telah diperbuat. Sebagian kaum muslimin terbiasa mendengar dan melihat hal-hal yang haram, seperti melihat wanita-wanita yang berdandan yang mengajak kepada fitnah.

Itu semua wajib ditinggalkan, baik di bulan Ramadhan atau di luar bulan Ramadhan. Tentu saja, pada bulan Ramadhan lebih ditekankan lagi, karena bulan ini adalah bulan keta'atan dan bulan ampunan.

Betapa indahnya kondisi seorang muslim jika dia menjadikan bulan Ramadhan sebagai sarana untuk meninggalkan berbagai syahwat pendengaran dan penglihatan yang haram dan juga semua syahwat lainnya. Sebagaimana dalam hadits qudsi:
يَدَعُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي
Artinya: “Dia menjauhi makanan, minuman, dan syahwatnya karena Aku.” (HR. Ahmad dalam Musnad no. 9112, shahih).

Semoga bemanfaat saudaraku. Wal afwu minkum. Wassalam. *(M2/HB)*


Senin, 27 Maret 2023

Islam Itu Memang Agama Kemanusiaan: Kesalah-pahaman Terkait Puasa Ramadhan (2)

Macharodji Machfud.


Oleh: Macharodji Machfud.

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
A’udzubillahiminasysyaithanirrajim.
Bismillahirrahmanirrahim

Hei Saudaraku, Islam memang agama kemanusiaan! Mengajarkan kepada manusia agar berpuasa, supaya  manusia dapat melatih dirinya untuk mampu mengendalikan, mengekang dan mengalahkan nafsunya. Karena nafsu senantiasa mengajak kepada manusia kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi Rahmat oleh Allah.

Kesalah-pahaman Terkait Puasa Ramadhan (2).

Mengucapkan kata-kata dusta dan perbuatan sia-sia, dianggap gak apa-apa karena bukan termasuk hal-hal yang membatalkan puasa. Artinya, tetap sah puasanya, walau ucapannya dusta dan melakukan perbuatan sia-sia. 

Perkataan dusta, serta semua ucapan dan perbuatan yang haram hendaknya dijauhi sejauh-jauhnya, apalagi di bulan Ramadhan.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Artinya: ”Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan yang haram, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minuman", (HR. Bukhari no. 1903).

Dalam riwayat lainnya disebutkan:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ وَالجَهْلَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Artinya: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan yang haram, juga berperilaku seperti perilaku orang-orang bodoh, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minuman", (HR. Bukhari no. 6057).

Dengan demikian, wajib bagi orang yang berpuasa untuk menjauhi ucapan-ucapan kotor, caci maki juga akhlak-akhlak yang jelek, seperti ghibah (menggunjing), adu domba, dusta atau kebohongan dan penyakit-penyakit lisan yang lainnya.

Hal itu sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قَالَ اللَّهُ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ، إِلَّا الصِّيَامَ، فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ، وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ، فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ
Artinya: ”Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ’Setiap amal anak adam adalah untuknya kecuali puasa. Puasa tersebut adalah untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya. Puasa adalah perisai. Apabila salah seorang dari kalian berpuasa maka janganlah berkata kotor, jangan pula berteriak-teriak. Jika ada seseorang yang mencaci dan mengajak berkelahi maka katakanlah, ’Saya sedang berpuasa’", (HR. Bukhari no. 1904 dan Muslim no. 1151).

Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ، إِنِّي صَائِمٌ
Artinya: “Tidaklah puasa itu hanya sekedar menahan dari makan dan minum. Akan tetapi, hakikat puasa adalah menahan diri dari ucapan kotor dan sia-sia. Jika ada seseorang yang mencacimu dan berbuat usil kepadamu, maka ucapkanlah, ‘Saya sedang berpuasa, saya sedang berpuasa", (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya no. 1996).

Orang yang sedang berpuasa wajib untuk menghindari semua hal di atas, demikian pula ketika sedang tidak berpuasa. Akan tetapi, hal ini lebih ditekankan lagi saat puasa Ramadhan mengingat keutamaan bulan Ramadhan dan ibadah puasa di bulan itu.

Semoga bemanfaat saudaraku. Wal afwu minkum. Wassalam. *(M2/HB)*


Artikel Terkait:

Minggu, 26 Maret 2023

Islam Itu Memang Agama Kemanusiaan: Kesalah-pahaman Terkait Puasa Ramadhan (1)


Macharodji Machfud.


Oleh: Macharodji Machfud.

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
A’udzubillahiminasysyaithanirrajim.
Bismillahirrahmanirrahim

Hei Saudaraku, Islam memang agama kemanusiaan! Mengajarkan kepada manusia agar berpuasa, supaya  manusia dapat melatih dirinya untuk mampu mengendalikan, mengekang dan mengalahkan nafsunya. Karena nafsu senantiasa mengajak kepada manusia kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi Rahmat oleh Allah.

Kesalah-pahaman Terkait Puasa Ramadhan (1)

Melafadzkan niat puasa.
Melafadzkan niat puasa tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula tidak dicontohkan oleh para sahabat, tabi’in dan tidak pula oleh salah satu pun dari imam madzhab yang empat. Jika memang melafadzkan niat puasa itu baik dan sangat penting dan urgen untuk menuntun tekad dan kemantapan hati, tentu hal itu tidak akan luput dari penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun hanya satu hadits saja.

Lebih-lebih hal itu berkaitan dengan aspek yang sangat fundamental dalam puasa, yaitu rukun ibadah, bukan sekedar hal yang sunnah saja. Jika hal-hal yang sunnah dalam puasa saja beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam jelaskan, bagaimana mungkin beliau terluput dari menjelaskan hal esensial dalam rukun puasa, yaitu melafadzkan niat?

Oleh karena itu, tidak adanya penjelasan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, demikian pula tidak adanya praktek dari para sahabat. Hal ini, menunjukkan bahwa melafadzkan niat puasa tidak termasuk dalam perkara yang disyariatkan dalam agama ini. Tempat niat adalah di dalam hati, yaitu keinginan atau tekad untuk melaksanakan suatu ibadah.

Terdapat hadits yang shahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersyaratkan untuk memasang niat di malam hari sebelum terbit fajar untuk berpuasa wajib di bulan Ramadhan. Maksudnya adalah sebagai niat, tekad dan keinginan di dalam hati untuk berpuasa di keesokan harinya.

Sebagaimana yang diriwayatkan dari ibunda Hafshah radhiyallahu Ta’ala ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ، فَلَا صِيَامَ لَهُ
Artinya: “Barangsiapa yang tidak niat berpuasa sebelum fajar terbit, maka puasanya tidak sah", (HR. An-Nasa’i No. 2331, Ahmad 1/69, shahih).

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab, ia berkata, bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju", (H.R. Bukhari, No. 1 dan Muslim, No. 1907)

Definisi Niat.
Niat secara bahasa berarti al-qashd (keinginan). Sedangkan niat secara istilah syar’i, yang dimaksud adalah berazam (berkehendak/ bertekat bulat) mengerjakan suatu ibadah ikhlas karena Allah. Letak niat dalam batin (hati).

Al-Fadhl bin Ziyad v berkata: “Aku pernah bertanya kepada Abu Abdullah, yakni Ahmad, tentang niat dalam beramal. Aku bertanya: "Apakah niat itu?". Beliau menjawab: "Seseorang mengendalikan dirinya ketika hendak beramal agar tidak menginginkan pujian manusia", (Kitab Jami’ Al ‘Ulum Wa Al Hikam I/26).

Niat Letaknya Di Hati.
Niat itu berarti bermaksud dan berkehendak. Letak niat adalah di dalam hati. Ibnu Taimiyah v mengatakan: "Niat itu letaknya di hati, berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama", (Majmu’ah Al-Fatawa, 18:262).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan: “Siapa saja yang menginginkan melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah berniat. Semisal di hadapannya disodorkan makanan, lalu ia punya keinginan untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah berniat. Demikian ketika ia ingin berkendaraan atau melakukan perbuatan lainnya. Bahkan, jika seseorang dibebani suatu amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini adalah pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena setiap orang yang hendak melakukan suatu amalan yang disyariatkan atau tidak disyariatkan pasti ilmunya telah mendahuluinya dalam hatinya, inilah yang namanya niat", (Majmu’ah Al-Fatawa, 18:262).

Perlukah Melafalkan Niat?
Melafalkan niat tidak ada asalnya (tidak memiliki landasan) dalam agama Islam. Akan tetapi, hanya merupakan salah paham beberapa orang dari perkataan Imam Syafi’i ketika beliau mengatakan bahwa seseorang tidak sah (untuk) melakukan sholat kecuali harus dengan ucapan. Maksud dari ucapan beliau adalah ucapan takbiratul ihram, tetapi mereka menafsirkan dengan tafsir yang salah, yaitu melafalkan niat.

Sebagai bukti maksud perkataan Imam Syafi’i adalah takbiratul ihram dan bukan melafalkan niat adalah sebagai berikut:

Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Imam Syafi’i sendiri langsung membahas masalah takbiratul ihram. Kemudian, tidak ada satu pun hadits yang shahih tentang melafalkan niat. Bahkan, tidak ada hadits yang lemah sekalipun tentang hal itu. Juga melafalkan niat tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah, para sahabatnya, para tabi’in dan empat imam mazhab sekalipun.

Orang-orang yang mengajarkan supaya melafalkan niat, ternyata berbeda-beda dalam lafalnya, padahal mereka semua mengaku bermadzhab Syafi’i. Ini menunjukkan, bahwa imam mereka memang tidak pernah mengatakan hal ini dan mereka hanya membuat-buat tanpa dasar (hanya berdasarkan akal mereka).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah v berkata: “Sebagian pengikut Imam Syafi’i telah salah memahami perkataan Imam Syafi’i ketika beliau menyebutkan perbedaan antara shalat dan ihram. Dalam penjelasannya itu Imam Syafi’I mengatakan: '…sholat permulaannya adalah ucapan'. Sebagian pengikutnya itu memahami, bahwa yang beliau maksudkan adalah mengucapkan niat, padahal yang beliau maksudkan tidak lain adalah takbiratul ihram", (Kitab Majmu’ Al-Fatawa XVIII/362).

Macam-Macam Niat.
Niat ada dua macam, yaitu (1). niat pada siapakah ditujukan amalan tersebut (al-ma’mul lahu) dan (2) niat amalan. Niat jenis pertama adalah niat yang ditujukan untuk mengharap wajah Allah dan kehidupan akhirat. Inilah yang dimaksud dengan niat yang ikhlas. Sedangkan niat amalan itu ada 2 (dua) fungsi:
1). Fungsi pertama adalah untuk membedakan manakah adat (kebiasaan), manakah ibadah. Misalnya adalah puasa. Puasa berarti meninggalkan makan, minum dan pembatal lainnya. Namun, terkadang seseorang meninggalkan makan dan minum karena kebiasaan, tanpa ada niat mendekatkan diri pada Allah. Terkadang pula maksudnya adalah ibadah. Oleh karena itu, kedua hal ini perlu dibedakan dengan niat.
2). Fungsi kedua adalah untuk membedakan satu ibadah dan ibadah lainnya. Ada ibadah yang hukumnya fardhu ‘ain, ada yang fardhu kifayah, ada yang termasuk rowatib, ada yang niatnya witir, ada yang niatnya sekedar sholat sunnah saja (sholat sunnah mutlak). Semuanya ini dibedakan dengan niat.

Ikhlash Syarat Diterimanya Amal.
Al-Fudhail bin ‘Iyadh menafsirkan firman Allah yang artinya: “…untuk menguji siapa di antara kamu yang paling baik amalnya", (Q.S. al-Mulk [67]: 2)
Beliau berkata: “Yakni, yang paling ikhlas dan paling benar dan (sesuai tuntunan Allah). Sesungguhnya amal itu apabila ikhlas tapi tidak benar maka tidak akan diterima; dan apabila benar tetapi tidak ikhlas juga tidak akan diterima. Jadi harus ikhlas dan benar. Suatu amalan dikatakan ikhlas apabila dilakukan karena Allah, dan yang benar itu apabila sesuai Sunnah Rasulullah", (Kitab Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam I/36).

Hadirkan Niat Ikhlash Saat Beramal.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata: “Dan wajib atas seseorang mengikhlaskan niat kepada Allah dalam seluruh ibadahnya dan hendaklah meniatkan ibadahnya semata-mata untuk mengharap wajah Allah dan negeri akhirat. Inilah yang diperintahkan oleh Allah ldalam firman-Nya, 'Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya'", [Q.S. al-Bayyinah (98)].
"Mengikhlaskan niat setiap amalan hanya kepada-Nya, hendaknya kita menghadirkan niat dalam semua ibadah, misalnya ketika wudhu, kita niatkan berwudhu karena Allah dan untuk melaksanakan perintah Allah. Tiga perkara berikut (yang harus dihadirkan dalam niat), yaitu (1). Berniat untuk beribadah; (2). Berniat beribadah tersebut karena Allah semata;dan (3). Berniat bahwa ia menunaikannya demi melaksanakan perintah Allah", (Kitab Syarah Riyadhus Shalihin I/10).

Pahala Amalan Bergantung Pada Niat.
Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya segala amalan itu tidak lain tergantung pada niat".
Imam An-Nawawi berkata: "Jumhur ulama berkata, ‘Menurut ahli bahasa, ahli ushul dan yang lain lafadz إِنَّمَا digunakan untuk membatasi, yaitu menetapkan sesuatu yang disebutkan dan menafikan selainnya. Jadi, makna hadits di atas adalah bahwa amalan seseorang akan dihisab (diperhitungkan) berdasarkan niatnya dan suatu amalan tidak akan dihisab bila tidak disertai niat'”, (Kitab Syarah Shahih Muslim XIII/47).

Abdullah bin al-Mubarak berkata: “Bisa jadi amal sholeh yang kecil dibesarkan nilainya oleh niat dan bisa jadi amal sholeh yang besar dikecilkan nilainya karena niat pula", (Kitab Jami’ al-‘Ulum Wa al-Hikam 1/35).

Berniat Tapi Terhalang.
Orang yang berniat melakukan amalan sholeh namun terhalang melakukannya bisa dibagi menjadi dua: Pertama, amalan yang dilakukan sudah menjadi kebiasaan atau rutinitas (rajin untuk dijaga). Lalu amalan ini ditinggalkan karena ada uzur, maka orang seperti ini dicatat mendapat pahala amalan tersebut secara sempurna. Sebagaimana Nabi bersabda: “Jika salah seorang sakit atau bersafar, maka ia dicatat mendapat pahala seperti ketika ia dalam keadaan mukim (tidak bersafar) atau ketika sehat", (H.R. Bukhari,no.2996). Kedua,  jika amalan tersebut bukan menjadi kebiasaan, maka jika sudah berniat mengamalkannya namun terhalang, akan diperoleh pahala niatnya (saja).

Dalilnya adalah seperti hadits yang kita bahas kali ini. Begitu pula hadits  mengenai seseorang yang diberikan harta lantas ia gunakan dalam hal kebaikan. Di mana ada seorang miskin yang berkeinginan yang sama jika ia diberi harta. Orang miskin ini berkata, bahwa jika ia diberi harta seperti si Fulan, maka ia akan beramal baik semisal dia. Maka Nabi bersabda: “Ia sesuai niatannya dan akan sama dalam pahala niatnya", (H.R. Tirmidzi no.2325. Syaikh  al-Albani mengatakan, bahwa hadits ini shahih).  (Lihat pembahasan Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dalam Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 1:36-37).

Semoga bemanfaat saudaraku.
Wal afwu minkum, wassalam. *(M2/HB)*


ARTIKEL TERKAIT:

Jumat, 24 Maret 2023

Islam Itu Memang Agama Kemanusiaan: Puasa Ramadhan (5)


Macharodji Machfud.


Oleh: Macharodji Machfud.

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
A’udzubillahiminasysyaithanirrajim.
Bismillahirrahmanirrahim
Hei Saudaraqu, Islam memang agama kemanusiaan! Mengajarkan kepada manusia agar berpuasa, supaya  manusia dapat melatih dirinya untuk mampu mengendalikan, mengekang dan mengalahkan nafsunya. Karena nafsu senantiasa mengajak kepada manusia kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi Rahmat oleh Allah.


Balasan Istimewa Bagi Orang Yang Menjalankan Ibadah Puasa Ramadhan:
1. Mendapat pahala/ganjaran yang tak terbatas;
2. Balasan pahala langsung dari Allah Swt. Sendiri;
3. Masuk surga dengan mudah;
4. Mendapatkan dua kebahagiaan;
5. Bau mulutnya harum mewangi dihadapan Allah Swt.;
6. Terlindung dari sengatan api Neraka;
7. Mendapat syafaat;
8. Diampuni dosa-dosanya;
9. Doanya makbul; dan
10. Menjadi muttaqin.


Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
Artinya: "Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipat-gandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): 'Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi'", (HR. Bukhari no. 1904, 5927 dan Muslim no. 1151).

Dari Sahl bin Sa’ad, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
إِنَّ فِى الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ ، يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ ، فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ ، فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ
Artinya: “Sesungguhnya di surga ada suatu pintu yang disebut 'ar rayyan'. Orang-orang yang berpuasa akan masuk melalui pintu tersebut pada hari kiamat. Selain orang yang berpuasa tidak akan memasukinya. Nanti orang yang berpuasa akan diseru, 'Mana orang yang berpuasa?' Lantas mereka pun berdiri, selain mereka tidak akan memasukinya. Jika orang yang berpuasa tersebut telah memasukinya, maka akan tertutup dan setelah itu tidak ada lagi yang memasukinya”, (HR. Bukhari no. 1896 dan Muslim no. 1152).

لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ
Artinya: “Orang yang berpuasa akan meraih dua kegembiraan, kegembiaran ketika berbuka puasa/berhari raya, dan kegembiraan ketika bertemu Tuhannya", (HR Muslim).

ما من عبد يصوم يوما في سبيل الله إلا باعد الله بذالك وجهه عن النار سبعين خريفا
Artinya: “Tidaklah seorang hamba yang berpuasa di jalan Allah kecuali akan Allah jauhkan dia (karena puasanya) dari neraka sejauh tujuh puluh musim”, (H.R. Bukhari dan Muslim).

قَالَ رَبُّنَا عَزَّ وَجَلَّ : الصِّيَامُ جُنَّةٌ يَسْتَجِنُّ بِهَا الْعَبْدُ مِنَ النَّارِ، وَهُوَ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
Artinya: “Rabb kita ‘azza wa jalla berfirman, Puasa adalah perisai, yang dengannya seorang hamba membentengi diri dari api neraka, dan puasa itu untuk-Ku, Aku-lah yang akan membalasnya”, (H.R. Ahmad, shahih).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
إِنَّمَا الصِّيَامُ جُنَّةٌ يَسْتَجِنُّ بِهَا الْعَبْدُ مِنَ النَّارِ
Artinya: ”Puasa adalah perisai yang dapat melindungi seorang hamba dari siksa neraka”, (H.R. Ahmad, shahih).

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
ﺍﻟﺼِّﻴَﺎﻡُ ﻭَﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥُ ﻳَﺸْﻔَﻌَﺎﻥِ ﻟِﻠْﻌَﺒْﺪِ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ، ﻳَﻘُﻮﻝُ ﺍﻟﺼِّﻴَﺎﻡُ : ﺃَﻱْ ﺭَﺏِّ، ﻣَﻨَﻌْﺘُﻪُ ﺍﻟﻄَّﻌَﺎﻡَ ﻭَﺍﻟﺸَّﻬَﻮَﺍﺕِ ﺑِﺎﻟﻨَّﻬَﺎﺭِ، ﻓَﺸَﻔِّﻌْﻨِﻲ ﻓِﻴﻪِ، ﻭَﻳَﻘُﻮﻝُ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥُ : ﻣَﻨَﻌْﺘُﻪُ ﺍﻟﻨَّﻮْﻡَ ﺑِﺎﻟﻠَّﻴْﻞِ، ﻓَﺸَﻔِّﻌْﻨِﻲ ﻓِﻴﻪِ، ﻗَﺎﻝَ : ﻓَﻴُﺸَﻔَّﻌَﺎﻥِ
Artinya: “Amalan puasa dan membaca Al-Qur’an akan memberi syafa’at bagi seorang hamba di hari kiamat. Puasa berkata: Wahai Rabb, aku telah menahannya dari makan dan syahwat di siang hari, maka izinkanlah aku memberi syafa’at kepadanya. Dan Al-Qur’an berkata: Aku menahannya dari tidur di waktu malam, maka izinkanlah aku memberi syafa’at kepadanya, maka keduanya pun diizinkan memberi syafa’at”, [HR. Ahmad, Shahih At-Targhib: 1429]

 ﺛﻼﺙ ﻻ ﺗﺮﺩ ﺩﻋﻮﺗﻬﻢ ﺍﻟﺼﺎﺋﻢ ﺣﺘﻰ ﻳﻔﻄﺮ ﻭﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﻌﺎﺩﻝ ﻭ ﺍﻟﻤﻈﻠﻮﻡ
Artinya: "Ada tiga doa yang tidak tertolak. Doanya orang yang berpuasa ketika berbuka, doanya pemimpin yang adil, dan doanya orang yang terzhalimi", [HR. Tirmidzi no.2528, Ibnu Majah no.1752, Ibnu Hibban no.2405, dishahihkan Al Albani di Shahih At Tirmidzi].

Dari Abu Hurairah Ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya: “Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni", (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim No. 860).

Semoga bermanfaat saudaraku.
Wal afwu minkum.
Wassalam. *(M2/HB)*


ARTIKEL TERKAIT:

Kamis, 23 Maret 2023

Islam Itu Memang Agama Kemanusiaan: Puasa Ramadhan (4)


Macharodji Machfud.


Oleh: Macharodji Machfud

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
A’udzubillahiminasysyaithanirrajim.
Bismillahirrahmanirrahim
Hei Saudaraqu, Islam memang agama kemanusiaan! Mengajarkan kepada manusia agar berpuasa, supaya  manusia dapat melatih dirinya untuk mampu mengendalikan, mengekang dan mengalahkan nafsunya. Karena nafsu senantiasa mengajak kepada manusia kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi Rahmat oleh Allah.


Puasa Ramadhan Fungsional.

Bahasan terdahulu telah membicarakan puasa Ramadhan secara struktural, yaitu puasa Ramadhan yang telah memenuhi syarat dan rukunnya. Sekarang, kita akan bahas hal yang urgen, yaitu puasa Ramadhan secara fungsional, yakni lebih kepada bahasan tentang fungsi dan tujuan ibadah puasa Ramadhan.

Sebagai gambaran ringkasanya fungsional itu adalah kepada fungsi dan tujuan kegiatan puasa Ramadhan. Jika kita punya TV baru beli lagi, ketika tombol on power ditekan, ternyata gambar keluar tapi gak bunyi atau bunyi keluar tapi gambar gak muncul ataupun gambar dan bunyi gak ada. Maka, TV itu tidak fungsional alias tidak berfungsi atau rusak.

Namun sebaliknya, jika kita punya TV sudah tua sekalipun, tapi ketika tombol on power ditekan kemudian keluar gambar dan suaranya, maka dikatakan bahwa TV tersebut berfunngsi atau memenuhi kategori baik secara fungsional.

Puasa Ramadhan secara fungsional, adalah puasa Ramadhan yang dijalankan seseorang sampai kepada fungsi dan tujuan puasa Ramadhan. Adapun tujuan ibadah puasa Ramadhan menilik dari nas-nas atau dalil-dalil Al-Qur’an dan al-Hadits agar setelah menjalankan puasa Ramadhan orang atau manusia itu menjadi orang yang bertaqwa. Menjadi orang yang secara servive menahan, mengekang dan mengendalikan nafsu yang ada pada dirinya.

Berdasarkan tuntungan agama Islam, taqwa itu dapat menghindari perbuatan dosa, berhati-hati dan menjaga diri agar tidak kena marah Gusti Allah dan tidak kena azab-Nya. Nah nafsu seseoranglah yang menjadi sebab orang berbuat dosa dan kejahatan sehingga tidak menjadi orang yang bertaqwa.

Sesungguhnya manusia berfungsi itu terletak kepada adanya ruh, jiwa, hati, akal, dan nafsu. Manusia bisa hidup dan beraktifitas serta berkarya, tapi jika ruh keluar alias mati, maka manusia menjadi tidak berfungsi, hanya ada jasad saja yang tergeletak dan tidak berfugsi sama sekali.

Jiwa manusia itu hakekatnya ada tiga, yaitu hati, akal dan nafsu. Tanpa nafsu manusia loyo, gak ada aktifitas, malas seolah dunia ini sepi gak ada apa-apanya. Dengan adanya nafsu manusia menjadi giat, semangat penuh dalam hidup, menikmati keindahan dan kehebatan dunia. Makan nasi, jagung, gandum, daging ayam, kambing, sapi, ular, kelinci, nyambik dll. Minum teh, kopi, air mineral, es campur, susu, cokelat, es juice mangga, jeruk, kelengkeng, jambu, alpukat, dll. Suka Wanita, punya istri dan ada punya yang banyak. Suka kuda, sepeda motor, mobil, pesawat dll.

Tapi, sayangnya nafsu manusia itu senantiasa mengajak kepada kejahatan, kejelekan dan dosa. Kecuali nafsu yang mendapat Rahmat dari Allah SWT.
Nafsu yang dirahmati Allah ini adalah Nafsu yang ada pada diri manusia berada pada posisi sebagai abdi, punggawa, bala tentara, pegawai saja yang mengeksekusi keinginan manusia. Sedangkan Akal pada posisi Perdana Menteri dan Hati sebagai Rajanya.

Gambaran Manusia yang bertaqwa adalah manusia yang mampu menjaga dan mengendalikan hawa nafsunya. Manusia yang rusak, penuh dosa, rakus, bengis, tidak manusiawi itu terjadi jika Nafsu dijadikan raja, otak dijadikan perdana Menteri dan Hati sebagai Punggawa saja. Rusak, hancur dan bejat jadinya...!

Bagi orang yang mengikuti, menjadikan nafsunya sebagai Raja itu salah jalan, bukan lewat jalan Tuhan Allah, akan tetapi menempuh jalan Setan. Tersesat dengan sesehat-sehatnya...!

Surat Al-Baqarah ayat 183:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Arab-Latin: "Yā ayyuhallażīna āmanụ kutiba 'alaikumuṣ-ṣiyāmu kamā kutiba 'alallażīna ming qablikum la'allakum tattaqụn".
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa".

Surat Yusuf ayat 53:
۞ وَمَآ أُبَرِّئُ نَفْسِىٓ ۚ إِنَّ ٱلنَّفْسَ لَأَمَّارَةٌۢ بِٱلسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّىٓ ۚ إِنَّ رَبِّى غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Arab-Latin: "Wa mā ubarri`u nafsī, innan-nafsa la`ammāratum bis-sū`i illā mā raḥima rabbī, inna rabbī gafụrur raḥīm".
Artinya: "Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang".

Surat Al-Mu’minun ayat 71:
وَلَوِ ٱتَّبَعَ ٱلْحَقُّ أَهْوَآءَهُمْ لَفَسَدَتِ ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ ۚ بَلْ أَتَيْنَٰهُم بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَن ذِكْرِهِم مُّعْرِضُونَ
Arab-Latin: "Wa lawittaba'al-ḥaqqu ahwā`ahum lafasadatis-samāwātu wal-arḍu wa man fīhinn, bal ataināhum biżikrihim fa hum 'an żikrihim mu'riḍụn"
Artinya: "Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu".

Surat Ar-Ra’d ayat 28:
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ ٱللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ
Arab-Latin: "Allażīna āmanụ wa taṭma`innu qulụbuhum biżikrillāh, alā biżikrillāhi taṭma`innul-qulụb".
Artinya: "(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram".

Surat Ar-Ra’d ayat 29:
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ طُوبَىٰ لَهُمْ وَحُسْنُ مَـَٔابٍ
Arab-Latin: "Allażīna āmanụ wa 'amiluṣ-ṣāliḥāti ṭụbā lahum wa ḥusnu ma`āb".
Artinya: "Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik".

Surat al-Fajr ayat 27-30:
يَٰٓأَيَّتُهَا ٱلنَّفْسُ ٱلْمُطْمَئِنَّةُ
Arab-Latin: "yā ayyatuhan-nafsul-muṭma`innah".
Artinya: "Hai jiwa yang tenang".

Surat Al-Fajr ayat 27:
Arab-Latin: "irji'ī ilā rabbiki rāḍiyatam marḍiyyah".
Artinya: "Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya".

Surat Asy-Syams, ayat 7-10:
 وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا (7) فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (8) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا (10)
Arab-Latin: :… dan jiwa serta penyempurnaannya (penciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya".

Surat At-Talaq ayat 2:
وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مَخْرَجًا
Arab-Latin: ".… wa may yattaqillāha yaj'al lahụ makhrajā".
Artinya: "…. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar".

Surat At-Talaq ayat 3:
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُۥٓ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمْرِهِۦ ۚ قَدْ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَىْءٍ قَدْرًا
Arab-Latin: "Wa yarzuq-hu min ḥaiṡu lā yaḥtasib, wa may yatawakkal 'alallāhi fa huwa ḥasbuh, innallāha bāligu amrih, qad ja'alallāhu likulli syai`ing qadrā".
Artinya: "Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu".

Surat Al-Hujurat ayat 13:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Arab-Latin: "Yā ayyuhan-nāsu innā khalaqnākum min żakariw wa unṡā wa ja'alnākum syu'ụbaw wa qabā`ila lita'ārafụ, inna akramakum 'indallāhi atqākum, innallāha 'alīmun khabīr".
Artinya: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal".

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
“Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipat-gandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat". Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), "Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi", (HR. Bukhari no. 1904, 5927 dan Muslim no. 1151).

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ
“Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan lagwu dan rofats. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, "aku sedang puasa, aku sedang puasa”, (HR. Ibnu Majah dan Hakim. Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 1082 mengatakan bahwa hadits ini shohih).
رُبَّ صَاىِٔمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوْعُ وَالْعَطَشُ
“Berapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga saja”, (HR. Ibnu Majah no.1690 dan Syaikh Albani berkata, ”Hasan Shahih".)
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلّٰهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَه
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan selalu mengamalkannya, maka Allah Ta’ala tidak butuh kepada puasanya”, (HR. Al-Bukhari no.1804).

Semoga bermanfaat saudaraku.
Wal afwu minkum.
Wassalam.
*(M2/HB)*



Rabu, 22 Maret 2023

Islam Itu Memang Agama Kemanusiaan: Puasa Ramadhan (3)


Macharodji Machfud.


Oleh: Macharodji Machfud.

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
A’udzubillahi minasysyaitha nirrajim.
Bismillahirrahmanirrahim.
Saudaraku, Islam itu memang agama kemanusiaan.

Salah-satunya, mengajarkan kepada manusia agar berpuasa supaya manusia dapat melatih dirinya untuk mampu mengendalikan, mengekang dan mengalahkan nafsunya. Karena nafsu senantiasa mengajak kepada manusia kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi Rahmat oleh Allah.

Ini hal-hal yang juga tidak membatalkan puasa:
1. Mandi keramas siang hari di bulan Ramadhan;
2. Suntik obat/Vaksinasi;
3. Menangis;
4. Keluar darah dari anggota badan, donor darah;
5. Gosok gigi;
6. Bekam;
7. Renang;
8. Mencicipi masakan bagi pemasak makanan dan minuman;
9. Bercumbu;
10. Berak disungan duburnya terbenam ke air sungai; dan
11. Marah-marah/ emosi.

Pada dasarnya, pembatal puasa itu ada 6 hal, yaitu:
1. Makan dan minum dengan sengaja;
2. Muntah dengan sengaja;
3. Haidh dan nifas;
4. Keluarnya mani dengan sengaja;
5. Berniat membatalkan puasa; dan
6. Jima’ (bersetubuh) di siang hari.

Sebagaimana telah terurai pada kajian sebelumnya.

 لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْعَرْجِ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ الْمَاءَ، وَهُوَ صَائِمٌ مِنَ الْعَطَشِ، أَوْ مِنَ الْحَرِّ
Artinya: “Sungguh aku menyaksikan Rasulullah Shallallhu ‘Alayhi wa Salam di ‘Araj menyiramkan air keatas kepalanya sedangkan beliau dalam keadaan berpuasa, karena dahaga dan panasnya cuaca", (HR. Abu Daud, Ahmad dan Al-Baihaqi).

أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كان يصبح جنباً، ثم يغتسل، ثم يصوم
Dari Aisyah RA disebutkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam ketika waktu shubuh masih dalam keadaan junub, kemudian ia mandi dan kemudian (melanjutkan) puasa", (HR Bukhari Muslim).

Saat ini, ada masalah kontemporer dan juga masalah nazilah, yaitu terkait suntikan vaksin corona. Seseorang yang mendapatkan vaksin corona di siang hari, apakah puasanya menjadi batal?

Jawabannya, ini tidak membatalkan puasanya. Karena suntikan vaksin corona ini termasuk suntikan pengobatan. Dan suntikan pengobatan tidak membatalkan puasa menurut pendapat yang rajih (yang lebih kuat). Karena suntikan pengobatan itu tidak termasuk makan, tidak termasuk minum dan tidak semakna dengan makan atau minum.

Sehingga, hukum asalnya, puasa orang tersebut sah. Dan, kita tidak berpaling dari hukum asal tersebut kecuali apabila ada perkara yang jelas memalingkan dari hukum asal tersebut. Oleh karena itu, menurut pendapat yang rajih, suntikan pengobatan tidak membatalkan puasa. Sehingga, kesimpulannya, suntikan vaksin Corona tidaklah mengapa bagi orang yang berpuasa dan tidak merusak (tidak membatalkan) puasanya.

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوءٍ
Artinya: “Seandainya tidak memberatkan umatku niscaya akan kuperintahkan mereka untuk menyikat gigi (bersiwak) setiap kali berwudhu", ( HSR.Bukhari , Ibnu Khuzaimah).
السِّوَاكَ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ
Artinya: “Bersiwak itu akan membuat mulut bersih dan diridhoi oleh Allah.” ( Riwayat Ahmad dan Nasa’i).


Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ ، وَهُوَ صَائِمٌ ، وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لإِرْبِهِ .
Artinya: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mencium dan mencumbu istrinya sedangkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berpuasa. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan demikian karena beliau adalah orang yang paling kuat menahan syahwatnya", ( Riwayat Bukharidan Muslim).

Dari Jabir bin ‘Abdillah, dari ‘Umar Bin Al Khaththab, beliau berkata:
هَشَشْتُ يَوْما فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَأَتَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقُلْتُ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْراً عَظِيماً قَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ ». قُلْتُ لاَ بَأْسَ بِذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « فَفِيمَ »
Artinya: “Pada suatu hari aku rindu dan hasratku muncul kemudian aku mencium istriku padahal aku sedang berpuasa, maka aku datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku berkata, 'Hari ini aku melakukan suatu kesalahan besar, aku telah mencium istriku padahal sedang berpuasa' Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, 'Bagaimana pendapatmu jika kamu berpuasa kemudian berkumur-kumur?' Aku menjawab: 'Seperti itu tidak mengapa'.Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Lalu, apa masalahnya?“, (Riwayat Ahmad).

Hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, beliau mendengar Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مِنْ خَيْرِ خِصَالِ الصَّائِمِ السِّوَاكُ
Artinya: "Diantara sebaik-baik perbuatan orang berpuasa adalah bersiwak", [HR Ibnu Mâjah no. 1677 dan dihukumi sebagai hadits lemah oleh al-Albâni dan Syu’aib al-Arnâuth karena adanya Mujâlad bin Sa’id].

Hadits ‘Âmir bin Rabi’ah Radhiyallahu anhu yang berkata:
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا لَا أُحْصِي يَسْتَاكُ وَهُوَ صَائِمٌ
Artinya: "Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak terhitung banyaknya bersiwak dalam keadaan beliau berpuasa", [HR Abu Dawûd ath-Thayalisi dalam al-Musnad no. 1144, Abdurrazaq dalam al-Mushannaf no. 7479 dan Ahmad dalam al-Musnad 3/445, Abu Dawûd no. 2364 dan at-Tirmidzi no. 725 dan dihukumi sebagai hadits lemah oleh al-Albâni dalam Dha’if Sunan Abi Dawûd].

Semoga bermanfaat saudaraku.
Wal afwu minkum, wassalsalam. *(M2/HB)*



Selasa, 21 Maret 2023

Islam Itu Memang Agama Kemanusiaan: Puasa Ramadhan (2)



Oleh: Macharodji Machfud.

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
A’udzubillahi minasysyaitha nirrajim.
Bismillahirrahmanirrahim.

Hei Saudaraku! Islam memang agama kemanusiaan. Mengajarkan kepada manusia agar berpuasa, supaya  manusia dapat melatih dirinya untuk mampu mengendalikan, mengekang dan mengalahkan nafsunya. Karena nafsu senantiasa mengajak kepada manusia kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi Rahmat oleh Allah.


Hal-hal yang tidak membatalkan puasa.
1. Makan dan minum dalam keadaan lupa;
2. Lupa Jimak;
3. Ihtilam (mimpi basah);
4. Menelan apa yang ada di sela gigi;
5. Muntah;
6. Menelan air liur; dan
7. Masuknya debu dan semisalnya ke tenggorokan.


Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ، فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ
Artinya: “Barang siapa yang lupa sedang ia dalam keadaan berpuasa lalu ia makan atau minum, maka hendaklah ia sempurnakan puasanya karena kala itu Allah yang memberi ia makan dan minum", ([1]).

Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ أَفْطَرَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ، وَلَا كَفَّارَةَ
Artinya: “Barang siapa berbuka di bulan Ramadan karena lupa maka tidak ada qada dan kafarat baginya", (HSR.Ibnu Hibban).

Dalam hadits tersebut, disebutkan secara umum “Barang siapa berbuka” dan jimak termasuk salah-satu yang membuat orang berbuka dari puasanya. (subulus salam). Kias terhadap orang yang makan dan minum karena lupa.(fathul bari).
Ihtilam adalah sesuatu yang tidak mampu seseorang untuk menghindarinya. Juga kita ketahui bahwasanya Allah ﷻ tidak akan membebani seseorang di luar batas kemampuannya.

Allah ﷻ berfirman:
﴿لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا﴾
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya", (QS. Al-Baqarah: 286).

Dengan demikian, para ulama mematwakan, bahwa ihtilam tidak menyebabkan puasa seseorang menjadi batal. Al-Mawardi mengatakan hal ini sebagai ijmak.

Ibnul Mundzir berkata:
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَن لا شيءَ علَى الصَّائمِ فِيْمَا يَزْدَرِدُهُ مِمَا يَجْرِيْ مَعَ الرِّيْقِ مِمَا بَيْنَ أَسْنَانِه، فِيْمَا لَا يَقْدِرُ عَلَى الامْتِنَاعِ مِنْهُ
Artinya: “Para ulama ijmak (sepakat), bahwa tidak mengapa bagi orang yang berpuasa terhadap sesuatu di sela giginya yang tertelan bersama air liur, di mana dia tidak mampu untuk menghindarinya" (al-Ijma, Ibnul Mundzir).

Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنِ اسْتَقَاءَ عَامِدًا فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ , وَمَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ
Artunya: “Barang siapa yang sengaja menjadikan dirinya muntah, maka wajib mengqada puasanya. Dan barang siapa yang muntah tanpa disengaja maka tidak wajib qada baginya", (HSR.ad-Daruqutni).

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:
لا يُفَطِّرُ ابْتِلاعُ الرِّيقِ إذا لم يَجْمَعْه، بغيرِ خِلافٍ نَعْلَمُه؛ لأنَّه لا يُمْكِنُ التَّحَرُّزُ منه، أشْبَهَ غُبارَ الطّرِيقِ.
Artinya: “Menelan air liur yang tidak dikumpulkan tidak membatalkan puasa tanpa ada ikhtilaf berdasarkan sepengetahuan kami. Hal ini dikarenakan tidak mungkin untuk menghindarinya, seperti debu yang beterbangan di jalan", (sarah al-Kabr).

An-Nawawi rahimahullah berkata:
اتَّفَقَ أَصْحَابُنَا عَلَى أَنَّهُ لَوْ طَارَتْ ذُبَابَةٌ فَدَخَلَتْ جَوْفَهُ أَوْ وَصَلَ إلَيْهِ غُبَارُ الطَّرِيقِ أَوْ غَرْبَلَةُ الدَّقِيقِ بِغَيْرِ تَعَمُّدٍ لَمْ يُفْطِرْ
Artinya: “Ulama mazhab kami sepakat bahwa jika ada lalat, deb  dan butiran tepung masuk ke dalam tubuh tanpa sengaja, maka ini tidak membatalkan", (Al-Majmu’ Syahr al-Muhdzdzab).

Al-Buhuti berkata:
وَلَا إنْ طَارَ إلَى حَلْقِهِ ذُبَابٌ أَوْ غُبَارُ طَرِيقٍ أَوْ نَخْلِ نَحْوِ دَقِيقٍ أَوْ دُخَانٍ بِلَا قَصْدٍ لِعَدَمِ إمْكَانِ الْحِرْزِ مِنْهُ … لَمْ يَفْسُدْ صَوْمُهَا
Artinya: “Begitu juga jika ada lalat, debu, serangga sebesar tepung atau asap yang terbang masuk ke dalam tenggorokannya tanpa sengaja karena dia tidak bisa menghindarinya, maka hal ini tidak membatalkan puasa”, (Syarh Muntaha al-Iradat).

Jangan buang sisa-sisa minuman teh atau kopy manis kita ke saluran pembuangan air. Buanglah di pojok-pojok pagar rumah atau tempat di mana banyak semut di sana.

Jangan buang sisa nasi yang kita makan ketempat sampah. Cuci sisa nasi kita dengan air yang bersih lalu kita buang di atas genting atau taruh dalam tempayan, lalu letakkan di atas genteng di mana banyak burung yang singgah mencari makanan.

Karena kita tidak tau jalan keridhoan Allah pada diri kita. Tak ada yang tau kapan hidup akan berakir. Jangan biarkan waktu yang tersisa dalam hidup ini dengan sia sia. Jangan sepelekan perkara yang kelihatannya kecil, amal yang kelihatannya tidak terlalu bernilai justru akan memancing keridhoan Allah pada diri kita.

Waktumu hanya tinggal sebentar di dunia ini kawan. Teruslah berjuang ke jalan yang lurus demi masa depan di akhiratmu nanti, Agar kita tidak menyesal disaat nafas terakhir dalam hidupmu kawan. Semoga bermanfaat. Wal afwu minkum, wassalam. *(M2/HB)*



Senin, 20 Maret 2023

Islam Itu Memang Agama Kemanusiaan: Puasa Ramadhan (1)



Oleh: Macjarodji Machfud

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
A’udzubillahi minasysyaitha nirrajim.
Bismillahirrahmanirrahim.
Saudaraqu, Islam itu memang agama kemanusiaan.

Salah-satunya, mengajarkan kepada manusia agar berpuasa supaya manusia dapat melatih dirinya untuk mampu mengendalikan, mengekang dan mengalahkan nafsunya. Karena nafsu senantiasa mengajak kepada manusia kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi Rahmat oleh Allah.

Sunnah-sunnah dalam Puasa Ramadhan:
1. Makan sahur;
2. Menyegerakan buka puasa;
3. Mengakhirkan makan sahur
4. Melakukan amal shaleh, shadaqah, berdzikir, membaca Al-Qur’an, sholat sunnah, belajar agama, I’tikaf dll.

Anas bin Malik RA berkata, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السُّحُورِ بَرَكَةً
Artinya: "Makan sahurlah kalian karena sesungguhnya di dalam sahur itu terdapat berkah", (HR Bukhari).
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَصُومَ فَلْيَتَسَحَّرْ بِشَىْءٍ
Artinya: "Barangsiapa ingin berpuasa, maka hendaklah dia bersahur", (HR Ahmad).
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ
Artinya: "Sesungguhnya perbedaan antara puasa kita dan puasa ahli kitab adalah makan sahur", (HR Muslim).

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu berkata:
تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاةِ ، قَالَ : قُلْتُ : كَمْ بَيْنَ الأَذَانِ وَالسَّحُورِ ؟ قَالَ : قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةٍ
Artinya: "Kami pernah makan sahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu melaksanakan shalat. Anas berkata, 'Aku bertanya kepada Zaid': “Berapa jarak antara adzan dan sahur?”. Dia menjawab: ‘seperti lama membaca 50 ayat", (HR. Bukhari dan Muslim).
السَّحُورُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ، فَلَا تَدَعُوهُ، وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ
Artinya: "Makan sahur adalah berkah, maka janganlah kalian meninggalkannya, walau kalian hanya meminum seteguk air, karena Allah 'Azza wa Jalla dan para Malaikat bersalawat kepada orang yang makan sahur", (HR. Ahmad No. 11086), Syaikh Syu'aib Al Arnauth mengatakan: sanadnya shahih).

Dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَيَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ
Artinya: “Senantiasa manusia di dalam kebaikan selama menyegerakan bebuka”, [Hadits Riwayat Bukhari 4/173 dan Muslim 1093].
لاَيَزَالُ أُمَّتِي عَلَى سُنَّتِيْ مَالَمْ تَنْتَظِرْ بِفِطْرِ هَا النُّجُوْمَ
Artinya: “Umatku akan senantiasa dalam sunnahku selama mereka tidak menunggu bintang ketika berbuka (puasa)”, (HSR.Ibnu Hibban).

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَيَزَالُ الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ، لِأَنَّ الْيَهُوْدَ وَ النَّصَارَى يُؤَخِرُوْنَ
Artinya: “Agama ini akan senantiasa menang selama manusia menyegerakan berbuka [2], karena orang-orang Yahudi dan Nasrani mengakhirkannya”, [Hadits Riwayat Abu Dawud 2/305, Ibnu Hibban 223, sanadnya Hasan].
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ جِبْرِيلُ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ  
Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan, dan beliau bertambah kedermawanannya di bulan Ramadlan ketika bertemu dengan malaikat Jibril dan Jibril menemui beliau di setiap malam bulan Ramadlan untuk mudarosah (mempelajari) Al Qur’an", (HR Al Bukhari).
 مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ وَلَا يَقْبَلُ اللهُ إِلَّا الطَّيِّبَ وَإِنَّ اللهَ يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِيْنِهِ ثُمَّ يُرَبِّيهَا لِصَاحِبِهَا كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ حَتَّى تَكُوْنَ مِثْلَ الْجَبَلِ.
Artinya: “Siapa yang bershodaqoh dengan sebutir kurma dari hasil usaha yang halal, dan Allah tidak menerima kecuali yang halal, maka Allah akan menerima dengan tangan kananNya, lalu mengembang biakkannya sebagaimana seseorang dari kamu mengembang biakkan anak kudanya sehingga menjadi sebesar gunung”, ( HR Bukhari dan Muslim).
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ.
Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbuka dengan ruthab (kurma basah) sebelum shalat (maghrib), bila ruthab  tidak ada beliau berbuka dengan tamr (kurma kering), bila tidak ada juga beliau berbuka dengan air", [HR Abu Dawud dan lainnya].

Semoga bermanfaat, wal afwu minkum.
Wassalam.  *(M2/HB)*

Jumat, 10 Februari 2023

Kontroversi Data Belanja Iklan Nasional Di HPN 2023


Ketua Umum DPP Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI) Heintje Mandagie (tengah) bersama para assesor Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Pers Indonesia.


Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Hari Pers Nasional 2023 memunculkan kontroversi di kalangan insan pers tanah air, pasca Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan kesedihannya terkait 60 persen belanja iklan diambil oleh media digital, terutama oleh platform-platform asing. Atas dasar itu, Presiden RI Jokowi menyebutkan kalau 'dunia pers saat ini tidak sedang baik-baik saja'. 

Pernyataan Presiden Jokowi ini menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat pers. Sebab, ada dua data berbeda yang bergulir di masyarakat. Di Hari Pers Nasional (HPN) 2023 di Kota Medan Provinsi Sumatera Utara, Kamis (09/02/2023), Presiden Jokowi mengungkap, bahwa ada 60 persen belanja iklan diambil media digital, terutama platform asing.

Pada sisi ini, masyarakat pers seolah terhentak dan heboh dengan data belanja iklan media yang diambil platform asing tersebut. Di sisi lain, ada data pembanding mengenai total belanja iklan di Indonesia yang dapat dijadikan rujukan, yakni  berdasarkan hasil riset PT. The Nielsen Company Indonesia, yakni sebuah perusahaan riset pasar global yang berkantor pusat di New York City, Amerika Serikat.

Berdasarkan riset Nielsen Indonesia pada tahun 2022 lalu, bukan media digital yang meraih iklan 60 persen dari total belanja iklan sebagaimana disebutkan Presiden Jokowi, melainkan peraih iklan terbesar adalah media Televisi Nasional.  

Dalam rilis laporan tahunannya, Nielsen menghitung gross rate belanja iklan untuk televisi, channel digital, media cetak dan radio mencapai Rp. 259 triliun sepanjang tahun 2021. Dalam laporan itu, disebutkan media televisi masih menjadi saluran iklan pilihan perusahaan pengguna jasa periklanan atau pengiklan dengan jumlah belanja iklan 78,2%. 

Belanja iklan untuk media digital hanya pada kisaran 15,9%, kemudian media cetak 5,5% dan radio 0,4% dari total belanja iklan tahun 2021 sebesar Rp. 259 triliun.

Pada penghujung tahun 2022, Nielsen Indonesia juga mencatat belanja iklan pada semester I (satu) saja sudah mencapai Rp. 135 triliun atau naik 7 (tujuh) persen dari periode yang sama tahun 2021 yakni sebesar Rp. 127 triliun. 

Perolehan itu masih dikuasai lagi-lagi oleh media televisi yang mendominasi sebesar 79,7 persen. Penyaluran belanja iklan melalui media digital hanya sebesar 15,2 persen, media cetak 4,8 persen dan radio hanya 0,3 persen dari total belanja iklan semester pertama tahun 2022 senilai Rp. 135 triliun. 

Berdasarkan data tersebut, makin jelas terungkap, bahwa Belanja Iklan itu justeru dikuasai oleh media TV Nasional, bukan media digital atau platform asing. 

Kontroversi dua data yang berbeda ini tentunya membuka mata publik pers tanah air untuk melihat dan menyikapi persoalan kondisi pers di Indonesia yang 'tidak baik-baik saja'. Jangan-jangan Presiden Jokowi tidak terinformasi secara menyeluruh terkait kondisi penyaluran belanja iklan nasional yang secara detail dan transparan saat pidato presiden disusun untuk peringatan HPN 2023 di Kota Medan pada Kamis 09 Februari 2023.

Pada kondisi ini, penulis setuju dengan pernyataan Presiden Jokowi bahwa 'Pers di Indonesia sedang tidak baik-baik saja'. Namun, kondisi itu bukan karena belanja iklan yang dikuasai 60 persen platform asing. Melainkan monopoli belanja iklan yang justeru dikuasai media TV nasional nyaris 80 persen setiap tahun yang mencapai angka di atas 100 sampai 200 triliun rupiah sejak tahun 2010. 

Yang saat ini diributkan sesungguhnya adalah angka 15 persen dari total belanja iklan yang diperoleh media digital atau sekitar Rp. 38 triliun. Dari angka tersebut, 60 persen katanya diambil platform asing atau sekitar Rp. 22,8 triliun.  

Bagaimana dengan 78 persen belanja iklan nasional yang dikuasai oleh media TV nasional sebesar kurang lebih Rp. 200 triliun? Smester I tahun 2022 saja, perusahaan media TV meraup Rp. 127 triliun. Semua tahu, bahwa pemilik perusahaan TV nasional hanya terdiri dari segelintir orang saja. 

Monopoli belanja iklan ini justeru tidak dipermasalahkan pemerintah. Padahal, penyaluran belanja iklan ke media TV terlalu besar dan jelas-jelas terjadi dugaan monopoli atau dugaan kartel yang berpotensi melanggar Undang-Undang Anti Monopoli atau 'Persaingan Usaha Yang Tidak Sehat'.

Menariknya, Lembaga riset Nielsen Indonesia mengklaim telah melakukan monitoring terhadap 15 stasiun televisi, 161 media cetak, 104 radio, 200 situs dan 3 media sosial. Ini artinya, puluhan ribu media online dan ribuan media cetak lokal tidak masuk dalam hitungan riset nielsen Indonesia.
 
Jadi, total belanja iklan yang mencapai Rp. 200 triliun lebih itu hanya dinikmati oleh para konglomerat media di Jakarta yang berjumlah tidak lebih dari 10 jari manusia. 

Bagaimana dengan puluhan ribu media lokal, online dan cetak yang mengais rejeki dari platform asing dari total Rp. 22.8 triliun itu? Tentunya setuju, jika Pemerintah Pusat membuat regulasi agar dana belanja iklan sebesar itu bisa turut dinikmati oleh media lokal. 

Sementara itu, Rancangan Peraturan Presiden atau Perpres pertama yakni Publisher Right atau Perpres tentang Kerjasama Perusahaan Platform Digital dengan Perusahaan Pers dan ancangan kedua yakni Perpres tentang Tanggung-jawab Perusahaan Platform Digital, saat ini tengah digodok pemerintah untuk mendukung jurnalisme yang berkualitas.

Bagi penulis, Presiden justeru perlu membuat Perpres yang mengatur kerjasama Agency Periklanan dengan Perusahaan Pers agar tidak terjadi monopoli penyaluran belanja iklan hanya kepada media mainstream atau media arus utama nasional, khususnya media TV. 

Meskipun pilihan penyaluran belanja iklan oleh pengiklan menggunakan media TV sebagai pilihan utama, namun perlu juga dibuat regulasi Perpres yang mengatur itu, agar tidak hanya media digital yang diatur. 

Rancangan Perpres tentang Kerjasama Perusahaan Platform Digital dengan perusahaan pers dan rancangan kedua yakni Perpres tentang Tanggung-jawab Perusahaan Platform Digital untuk mendukung jurnalisme yang berkualitas, perlu dibarengi dengan Perpres yang mengatur penyaluran belanja iklan nasional yang anti monopoli. 

Yang paling utama adalah bagaimana pemerintah membuat regulasi agar ada pemerataan penyaluran belanja iklan karena selama ini hanya terpusat di Kota Jakarta saja. Dari Rp. 200 triliun lebih total belanja iklan nasional, nyaris 90 persen hanya dinikmati perusahaan yang berdomisili di Jakarta. 

Padahal, produk yang diiklankan atau dipromosikan, sasaran konsumennya adalah masyarakat lokal yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Anehnya, perputaran uang hasil penjualan barang dan jasa tersebut seluruhnya tersedot ke DKI Jakarta. 

Anggaran belanja iklan nasional mestinya kembali ke daerah dalam bentuk pemerataan penyaluran belanja iklan daerah melalui perusahaan distributor atau perwakilan di setiap provinsi. 

Dengan demikian akan terjadi peningkatan kesejahteraan media dan perusahaan reklame di seluruh Indonesia ketika belanja iklan itu terdistribusi ke seluruh daerah. 

Perhitungannya mungkin tidak sampai merata secara keseluruhan, namun minimal bisa terdistribusi sebagian persen belanja iklan nasional itu ke seluruh Indonesia. Karena yang berbelanja produk barang dan jasa yang diiklankan adalah warga masyarakat atau konsumen lokal. 

Perusahaan pers lokal yang selama ini hanya berharap dari kerjasama dengan pemerintah daerah melalui penyaluran anggaran publikasi media, bisa mendapatkan peluang untuk meraup belanja iklan komersil dari belanja iklan. 

Jika regulasi ini bisa dibuat Pemerintah Pusat secara merata baik untuk media digital maupun media TV, maka peran strategis media lokal sebagai alat sosial kontor akan benar-benar terpenuhi. Selama ini media-media lokal mengalami kesulitan untuk menjalankan fungsi sosial kontrol media terhadap kebijakan Pemerintah Daerah karena sudah terikat dengan kontrak kerjasama media dengan Pemda. 

Dewan Pers sebagi lembaga independen yang memiliki akses untuk memberi saran dan masukan kepada Pemerintah Pusat terkait rencana penerbitan Perpres di maksud, seharusnya lebih proaktif dan peka terhadap persoalan monopoli belanja iklan nasional oleh konglomerat media. 

Yang dilakukan sekarang ini oleh Dewan Pers terkesan hanya untuk melindungi atau memperjuangkan kepentingan konglomerasi media yang terusik dengan platform media asing yang mendapatkan belanja iklan terbesar dari prosentase belanja iklan 15 persen di media digital. 

Semoga saja Perpres yang diperjuangkan Dewan Pers itu untuk kepentingan media online lokal dan bukan untuk kepentingan media arus utama yang masih menyasar atau mengincar penghasilan dari belanja iklan media digital yang 15 persen tersebut. *(HB)*

Penulis:
Heintje Mandagie
Ketua Umum DPP Serikat Pers Republik Indonesia

Rabu, 04 Januari 2023

Menjadi Orang Pemaaf Dan Berbagi Kebahagiaan



Oleh: Ustad Sugianto

Saudaraku, ALLAH Azza wa Jalla berfirman:

مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلا نَصِيرًا (١٢٣) وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا (١٢٤) 

"Barang siapa yang mengerjakan amal kejahatan, niscaya akan dibalas sesuai dengan kejahatan itu, dan dia tidak akan mendapatkan pelindung dan penolong selain ALLAH. Dan barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan dia dalam keadaan beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak dizalimi sedikit pun", (QS. An-Nisa': 123–124)

Saudaraku, setiap orang yang beramal itu akan diberikan imbalan sesuai dengan jenis amalannya. Sebagaimana dinyatakan dalam firman ALLAH Azza wa Jalla:

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ, وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

"Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat imbalannya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat imbalannya pula", (QS. Az-Zalzalah: 7–8).

Demikian pula firman ALLAH Azza wa Jalla tentang orang-orang yang telah beriman dari kaumnya Fir'aun:

من عمل سيئة فلا يجزى إلا مثلها ومن عمل صالحا من ذكر أو أنثى وهو مؤمن فأولئك يدخلون الجنة يرزقون فيها بغير حساب

"Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan diberikan imbalan kecuali yang semisal dengan kejahatannya itu. Dan barangsiapa mengerjakan amal yang shaleh baik laki-laki dan perempuan sedang dia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka akan diberi rezeki di dalamnya tanpa hisab", (QS. Ghafir: 40).

Saudaraku, amal apapun yang kita lakukan, yang baik ataupun yang buruk, semua itu pasti akan mendapat imbalan yang sesuai dari ALLAH Azza wa Jalla.
ALLAH Maha Adil dan tidak akan pernah berbuat zalim terhadap hamba-hamba-NYA.

Saudaraku, merenunglah sejenak, berapa banyak dosa yang telah kita lakukan bersama tiap hembusan nafas kita? Sudahkah kita sadari bahwasanya itu adalah dosa? Sudahkah kita di saat menyadari akan sebuah dosa lalu kita memohon ampunan kepada ALLAH Azza wa Jalla dengan penuh penyesalan dan dibarengi dengan tetesan air mata kerinduan akan pengampunan dari ALLAH Azza wa Jalla? Jujurlah! Pernahkan kita meneteskan air mata karena menyesali dosa?

Saudaraku, ada sebagian orang yang tetap  bersikap baik kepada siapapun, dalam keadaan apapun, bahkan kepada orang yang telah menzaliminya. Ada sebagian orang yang bisa menahan amarahnya dan menggantikannya dengan senyuman sejuk untuk melegakan hati.

Ada sebagian orang yang senantiasa bersabar dan pandai bersyukur serta ikhlas menerima ketetapan-NYA. Ada sebagian orang yang bisa menolong sesama, membantu melakukan hal-hal kecil yang ternyata kesannya sangat besar.

Ada sebagian orang yang menjadi perantara rezeki bagi orang lain yang lebih memerlukan. Menjadi pengantar kebahagiaan. Menjadi penyebar inspirasi penuh manfaat. Menjadi penyebar semangat.

Saudaraku, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

من كانت له مظلمة لأخيه من عرضه أو شيء فليتحلله منه اليوم قبل أن لا يكون دينار ولا درهم إن كان له عمل صالح أخذ منه بقدر مظلمته وإن لم تكن له حسنات أخذ من سيئات صاحبه فحمل عليه

“Orang yang pernah menzalimi saudaranya dalam hal apapun, maka hari ini ia wajib meminta perbuatannya tersebut dihalalkan oleh saudaranya, sebelum datang hari di mana tidak ada dinar dan dirham. Karena jika orang tersebut memiliki amal shaleh, amalnya tersebut akan dikurangi untuk melunasi kezalimannya. Namun jika ia tidak memiliki amal shaleh, maka ditambahkan kepadanya dosa-dosa dari orang yang ia zalimi", (HR. Bukhari no. 2449)

Memaafkan dan saling meminta maaf bukan hanya sebuah tradisi sebagaimana keutamaan ikhlas dalam Islam. Namun, juga merupakan nilai yang harus ditanamkan. Islam mengajarkan sikap saling memaafkan merupakan kunci untuk menggalang ukhuwah serta menghindari api permusuhan. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

إن الله تجاوز لي عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه

“Sesungguhnya ALLAH telah memaafkan ummatku yang berbuat salah karena tidak sengaja, atau karena lupa, atau karena dipaksa", (HR Ibnu Majah, 1675, Al Baihaqi, 7/356, Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 4/4, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).

Semoga ALLAH Azza wa Jalla mengaruniakan hidayah-Nya kepada kita, sehingga kita tetap istiqamah senantiasa menjadi orang yang pemaaf dan berbagi kebahagiaan kepada orang lain untuk meraih ridha-Nya.
Amiin Ya Rabb...
Wallahua'lam bishawab.
*(Sg/DI/HB)*

Rabu, 14 September 2022

Hormati Putusan MK, DPP SPRI Segera Melapor Ke Dewan Pers


Ketum DPP SPRI Hence Mandagi (kiri) bersama Sekjen DPP SPRI Edi Anwar Asfar.


Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas perkara Nomor: 38/PUU-XIX/2021 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pers Republik Indonesia (DPP SPRI) menyatakan akan kembali menginduk ke Dewan Pers. Pernyataan itu disampaikan Ketua Umum DPP SPRI Hence Mandagi melalui siaran pers yang dikirim ke redaksi pada Selasa 13 September 2022, di Jakarta. 

Mandagi menegaskan, pertimbangan hukum MK yang menyatakan Dewan Pers itu single bar atau tunggal harus dihormati oleh seluruh masyarakat pers termasuk SPRI.

“Sejak awal kami sudah menyatakan menghormati putusan MK. Untuk itu, DPP SPRI sedang melalukan konsolidasi organisasi di seluruh tingkatan untuk membuat laporan tertulis tentang keberadaan organisasi SPRI kepada Dewan Pers dalam waktu dekat", ujar Mandagi. 

Mandagi juga menyerukan kepada seluruh jajaran pengurus SPRI dari pusat hingga ke daerah untuk menghentikan diskursus tentang fungsi Dewan Pers karena putusan MK sudah jelas.

"SPRI harus mengacu pada UU Pers untuk kembali berinduk ke Dewan Pers", tandas Mandagi. 

Mengenai peran SPRI dalam ke ikut-sertaan membentuk Dewan Pers Indonesia (DPI) melalui Musyawarah Besar Pers Indonesia 2018 dan Kongres Pers Indonesia 2019 adalah sejarah yang tetap harus dihormati dan dikenang.

"Namun DPP SPRI sudah memutuskan untuk menghormati dan melaksanakan putusan MK dan mengakui legalitas Dewan Pers", terang Mandagi. 

“Sekali lagi, kita akan segera membuat laporan ke Dewan Pers. Tentunya kami akan mengikuti kebijakan dan ketentuan Dewan Pers tentang Standar Organisasi Wartawan yang sudah dibuat oleh organisasi-organisasi pers", lanjutnya.

Menyangkut Uji Kompetensi Wartawan- UKW yang dilaksanakan oleh Dewan Pers, Mandagi mengatakan, hal itu juga sudah dipertimbangkan dalam putusan di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, bahwa UKW tersebut bukan Perbuatan Melawan Hukum dan MK juga sudah memasukannya dalam pertimbangan ketika memutus perkara uji materiil UU Pers. 

Terkait pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi Wartawan (SKW) yang dilaksanakan Lembaga Sertifikasi Profesi Pers Indonesia berlisensi Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), Mandagi menjelaskan, hal itu juga akan dilaporkan kepada Dewan Pers.

Menurut Mandagi, SPRI sebagai pendiri LSP Pers Indonesia perlu berkonsultasi dengan Dewan Pers terkait pelaksanaan SKW.

"Karena saat ini Dewan Pers tengah melakukan proses harmonisasi dengan BNSP, maka DPP SPRI juga akan berkoordinasi dengan BNSP dan Dewan Pers agar proses harmonisasi bisa berjalan sesuai ketentuan yang ada", terang Mandagi.

“Jadi, seluruh anggota SPRI yang ingin mengikuti UKW kami persilahkan dan yang akan dan telah mengikuti SKW tetap jalan. Sertifikat UKW Dewan Pers dan Sertifikat SKW BNSP adalah sah menurut Undang-Undang. Jadi tidak perlu diperdebatkan lagi", tegasnya.   

Mandagi juga menyatakan, dirinya selaku Ketua LSP Pers Indonesia juga akan mengikuti proses harmonisasi Dewan Pers di BNSP. “Kita akan berkoordinasi terkait LSP Pers Indonesia ke Dewan Pers agar menjadi bagian dalam proses harmonisasi di BNSP", tandas Mandagi. 

Sementara itu, Sekretaris Jenderal DPP SPRI, Edi Anwar Asfar mengatakan, sikap SPRI Kembali menginduk ke Dewan Pers, berangkat dari kepentingan yang lebih besar bagi Pers tanah air. Tujuan SPRI, kata Edi Anwar, bagaimana insan pers yang ada di SPRI sama-sama memberi penguatan bagi terciptanya iklim pers yang kondusif di tanah air. 

Menyinggung keputusan MK, lanjut Edi Anwar, keputusan itu sudah final dan harus dihormati oleh segenap insan pers dan stake holders lainnya. "Keputusan itu mestinya tidak perlu diperdebatkan lagi. Namun, di lapangan pasca keputusan MK itu, masih terjadi perdebatan yang sifatnya pro dan kontra", kata Edi Anwar lebih lanjut.

Edi menandaskan, di lapangan, para Gubernur dan Kepala Daerah masih saja mengunakan peraturan yang diterbitkan Dewan Pers sebagai rujukan untuk Pergub dan Perbup. Hal inilah, yang masih manjadi perdebatan di kalangan insan pers di daerah. "Artinya, peraturan-peraturan yang sudah ada, seyogianya sudah mesti dicabut ataupun tidak berlaku lagi", tandasnya.

Ditegaskan Adi Anwar, dalam Konstruksi Hukum, tidak hanya dilihat dari amar putusan saja, tetapi harus mencermati pertimbangan Majelis Hakim. "Pertimbangan Majelis Hakim itu lah menunjukan posisi mereka di dalam keputusan yang diambilnya", tegasnya. *(HB)*


BERITA TERKAIT:

Sabtu, 27 Agustus 2022

Menanti Putusan MK Kembalikan Hak Regulator Kepada Organisasi Pers


Ketua Dewan Pers Indonesia / Ketua Umum DPP SPRI Heintje Mandagi.

Penulis:
Heintje Mandagi,
Ketua Dewan Pers Indonesia / Ketua Umum DPP SPRI

Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Sidang perkara Nomor 38/PUU-XIX/2021 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 akan segera diputus oleh Mahkamah Konstitusi pada Rabu, 31 Agustus 2022 mendatang. Setelah melewati sidang yang berkepanjangan putusan perkara ini akhirnya akan segera dibacakan Majelis Hakim MK. 

Putusan MK terhadap uji materi Pasal 15 Ayat (2) Huruf f dan Ayat (5) UU Pers ini tentu sangat dinanti-nanti oleh seluruh insan pers tanah air yang berada di luar konstituen Dewan Pers. 

Betapa tidak, hak konstitusional wartawan yang tergabung dalam organisasi-organisasi pers untuk memilih dan dipilih sebagai anggota Dewan Pers, menyusun peraturan-peraturan di bidang pers, dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan, telah dirampas dan direnggut secara sepihak oleh institusi Dewan Pers sendiri melalui kaki tangan organisasi-organisasi pers berlabel Konstituen. 

Padahal, hak konstitusional adalah hak yang dimiliki oleh setiap warga negara sesuai dengan konstitusi yang berlaku di negaranya. Keberadaan hak konstitusional merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin pemenuhan dan perlindungannya dalam konstitusi negara.

Namun sayangnya, hak konstitusional itu derunggut secara licik oleh petinggi organisasi pers melalui kaki-tangannya di Dewan Pers dengan cara menghilangkan hak wartawan untuk memilih dan dipilih dengan cara menetapkan peraturan organisasi konstituen Dewan Pers.

Wartawan Indonesia yang menjadi anggota organisasi non konstituen Dewan Pers kehilangan hak konstitusionalnya karena disingkirkan oleh sistem regulasi yang dibuat sepihak oleh oknum-oknum pimpinan organisasi pers dan para anggota Dewan Pers sebelumnya untuk menguasai Dewan Pers.




Akibatnya, tak sedikit wartawan senior berpengalaman dari daerah dan pusat yang berasal dari organisasi pers berbadan hukum harus kehilangan haknya untuk memilih dan dipilih sebagai anggota Dewan Pers karena label ‘haram’ konstituen Dewan Pers. Hak konstitusional wartawan inilah yang ‘dirampas’ oleh Dewan Pers dan kroni-kroninya. 

Padahal, dalam sidang Uji Materi di MK, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo selaku pihak pemerintah telah menyampaikan keterangan secara tertulis dan tegas bahwa dewan Pers bukan regulator melainkan hanya fasilitator. 

Jika alasan Dewan Pers menerbitkan peraturan (Regulasi) sebagai bentuk implementasi dari kata memfasilitasi berdasarkan hasil kesepakatan bersama atau konsensus organisasi-organisasi pers, maka pendapat itu melanggar UU Pers itu sendiri yang hanya memberi fungsi kepada Dewan Pers sebagai Fasilitator bukan Regulator.

Dan pada prakteknya Dewan Pers menerbitkan Regulasi berdasarkan sederet Peraturan maka Dewan Pers sudah beralih fungsi menjadi Regulator Pers Indonesia. Padahal, fungsi dan kewenangan Regulator itu ada pada organisasi-organisasi pers sesuai UU Pers. 

Namun betapa bodoh dan naifnya, organisasi-organisasi pers selama ini dibiarkan menjadi objekan Dewan Pers. Sesungguhnya Wartawan tidak bisa terpisahkan dari organisasi pers. Sehingga domain regulator pers harusnya dikembalikan kepada wartawan.

Saat ini domain regulator diserahkan kepada Anggota Dewan Pers yang di dalamnya ada anggota yang bukan wartawan. Dan selama ini orang-orang itu merasa orang yang paling berkuasa mengatur-ngatur wartawan Indonesia. 

Memag benar UU Pers memberi ruang kepada Tokoh Masyarakat untuk menjadi Anggota Dewan Pers karena bertujuan agar Wartawan bisa difasilitasi oleh tokoh masyarakat bersama dengan wartawan senior dalam menjalankan fungsinya mengatur ruang lingkup pers. Bukan sebaliknya, Dewan Pers justeru berubah peran mengatur wartawan dan organisasi pers. 

UU Pers sudah jelas mengatur domain pihak-pihak yang terlibat dalam ruang lingkup pers pada Pasal 1 Ketentuan Umum. Pada pasal ketentuan umum ini Dewan Pers tidak dimasukan oleh penyusun UU Pers karena sejarah kelam masa lalu sengaja dihindari agar wartawan bisa mendapat jaminan kebebasan pers agar tidak diatur-atur oleh pihak di luar itu. 

Makanya keberadaan Dewan Pers hanya disisip pada Pasal 15 UU Pers dengan tujuan hanya untuk memberi fungsi memfasilitasi wartawan dan organisasi pers terjamin kemerdekaan persnya dalam menyusun regulasi dan meningkatkan kualitasnya. 

Kata kasarnya, saat itu pers Indonesia dikasih hadiah ‘Office Boy’ atau ‘pembantu rumah tangga’ yang wujudnya bernama Dewan Pers, oleh para penyusun UU Pers. Jadi ‘Big Bos’ sesungguhnya berdasarkan sejarah pers, pasca Dewan Pers dan Departemen Penerangan dibubarkan, adalah Wartawan, Perusahaan Pers, dan Organisasi Pers sebagaimana diatur dalam Ketentuan Umum Pasal 1 UU Pers. 

Pada prakteknya, saat ini si ‘Office Boy’ atau ‘pembantu rumah tangga’ itu sudah menguasai rumah majikan dengan alasan anggota keluarga menyetujui si ‘Office Boy’ atau ‘pembantu rumah tangga’ itu menjadi tuan tanah dan majikan baru regulator peraturan pers. 

Di dunia ini hanya di Indonesia sebuah profesi diatur-atur oleh lembaga yang tidak berwenang selaku regulator dan oleh orang-orang yang tidak mengerti tentang pers. Coba bayangkan jika organisasi Kedokteran diatur-atur oleh orang yang bukan dokter, atau organisasi pengacara diatur-atur oleh orang yang bukan pengacara, apa jadinya diperlakukan demikian ? 

Yang berhak mengatur ruang lingkup pers harusnya orang-orang yang berkecimpung di dunia pers. Dalam hal ini adalah organisasi pers. 

Jadi Dewan Pers kedudukannya merupakan lembaga independen dan berfungsi sebagai fasilitator bukan regulator bagi insan pers. Jika Dewan Pers menerbitkan Regulasi berupa Peraturan Dewan Pers maka lembaga ini bukan lagi fasilitator atau lembaga independen melainkan Lembaga Regulator bagi insan pers tanah air. 

Sangat disayangkan, ada Ketua Umum oragnisasi pers ‘Old School’ secara terang-terangan berkicau di media menuding Pelaksanaan UKW yang sah adalah lewat Dewan Pers. Dan pelaksanaan UKW di luar lembaga Dewan Pers adalah abal-abal. 

Sang ketum organisasi pers ‘jadul’ ini mengkalim UKW versi Dewan Pers lebih sah dari Sertifikasi Kompetensi Wartawan versi Lembaga Sertifikasi Profesi Pers Indonesia yang didirikan Serikat Pers Republik Indonesia berlisensi Badan Nasional Sertifikasi Profesi. 

Sertifikat yang berlogo burung Garuda Pancasila versi LSP Pers Indonesia dan BNSP dituding abal-abal. Sementara UKW ilegal versi Dewan Pers oleh Lembaga Penguji ilegal diklaim sah karena dasar penafsiran Pasal 15 Ayat (2) huruf f UU Pers. 

Rupanya si Ketum Organisasi ‘Jadul’ itu tidak mengerti bahwa UU Pers merupakan merupakan lex specialis dari KUH Pidana bukan kepada UU Ketenagakerjaan. Lex Specialis UU Pers untuk melindungi karya jurnalistik wartawan dan media agar tidak dikriminalisasi.

Namun bicara profesi harus tetap mengikuti aturan UU Ketenagakerjaan. KPK dan Polri aja tunduk pada peraturan BNSP dengan pendirian LSP KPK dan LSP Polri. 
Terlebih, di dalam UU Pers tidak ada pasal yang mengatur secara eksplisit tentang pelaksanaan UKW bahkan SKW. Bunyi Pasal 15 Ayat (2) huruf f UU Pers : memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan. 

Pasal ini jelas mengatur fungsi Dewan Pers hanya memberi fasilitas kepada organisasi-organisasi pers untuk : menyusun peraturan dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan. Jadi menyusun peraturan dan meningkatkan kualitas profesi itu domainnya organisasi-oragnisasi pers bukan fungsi Dewan Pers sebagaimana dikalim selama ini. 

Makanya, dalam uji materi di MK, pemohon menilai, Pasal 15 ayat (2) huruf f harus dimaknai 'dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers oleh masing-masing organisasi pers'. Sebab selama ini fungsi tersebut dimaknai oleh Dewan Pers sebagai kewenangannya untuk menyusun dan menetapkan peraturan di bidang pers

Selanjutnya Pasal 15 ayat (5) harusnya dimaknai ‘Keputusan Presiden bersifat administratif sesuai usulan atau permohonan dari organisasi-organisasi pers, perusahaan-perusahaan pers dan wartawan yang terpilih melalui mekanisme kongres pers yang demokratis'.

Jika tidak dimaknai demikian, maka hal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Karena pengujian Pasal 15 ayat (2) huruf f dan Pasal 15 ayat (5) UU Pers merupakan upaya hukum yang dijamin secara konstitusional, dalam rangka mengupayakan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara, termasuk wartawan.

Sebagai penulis yang kebetulan juga menjadi pemohon pada Uji Materi Pasal 15 ayat (2) huruf f dan Pasal 15 ayat (5) UU Pers di MK, tetap berharap MK bisa memutuskan secara profesional tanpa ada tekanan dari pihak manapun juga. 

Sehingga publik pers berharap MK membuat keputusan yang dapat mengembalikan hak regulator kepada organisasi-organisasi pers dan wartawan. *(HB)*