Baca Juga
Bupati Hulu Sungai Utara (HSU) Abdul Wahid di depan Gedung Merah Putih KPK mengenakan rompi khas Tahanan KPK warna oranye usai ditetapkan sebagai Tersangka saat diarahkan petugas menuju mobil tahanan yang akan membawanya ke Rumah Tahanan, Kamis 18 November 2021,
"Tim KPK telah mengumpulkan berbagai informasi dan data serta keterangan mengenai dugaan tindak pidana korupsi dimaksud, sehingga KPK menindak-lanjutinya dengan melakukan penyelidikan yang kemudian ditemukan adanya bukti permulaan yang cukup dan KPK selanjutnya meningkatkan status perkara ini ke tahap penyidikan dengan mengumumkan Tersangka", terang Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK jalan Kuningan Persada – Jakarta Selatan, Kamis (18/11/2021) sore.
Lebih lanjut, Firli Bahuri membeber konstruksi perkara TPK suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) HSU Tahun 2021–2022 yang menjerat Abdul Wahid selaku Bupati Hulu Sungai Utara (HSU) tersebut.
Bermula dari Abdul Wahid selaku Bupati HSU 2 (dua) periode (2012-2017 dan 2017-2022) pada awal tahun 2019 menunjuk Maliki (MK) sebagai Plt. Kepala Dinas PUPRP Pemkab HSU.
"Diduga ada penyerahan sejumlah uang oleh MK (Maliki) untuk menduduki jabatan tersebut (Plt. Kepala Dianas PUPRP Pemkab HSU), karena sebelumnya telah ada permintaan oleh tersangka AW", beber Firli Bahuri.
Firli Bahuri pun membeber, penerimaan uang oleh Abdul Wahid dilakukan di rumah Maliki pada sekitar Desember 2018 yang diserahkan langsung oleh Maliki melalui ajudan Abdul Wahid.
Kemudian, pada sekitar awal tahun 2021, Maliki menemui Abdul Wahid di Rumah Dinas Bupati HSU untuk melaporkan terkait plotting paket pekerjaan lelang pada Bidang Sumber Daya Air pada Dinas PUPRP Pemkab HSU Tahun Anggaran 2021.
Dalam dokumen laporan paket plotting pekerjaan tersebut, Maliki telah menyusun sedemikian rupa dan menyebutkan nama-nama dari para kontraktor yang akan dimenangkan dan mengerjakan berbagai proyek dimaksud.
"Selanjutnya tersangka AW menyetujui paket plotting ini dengan syarat adanya pemberian komitmen fee dari nilai proyek dengan persentase pembagian fee yaitu 10% untuk tersangka AW dan 5% untuk MK", beber Firli Bahuri pula
Firli mengungkapkan, KPK menduga, penerimaan komitmen fee itu antara lain diduga diterima oleh Abdul Wahid melalui Maliki dari Marhaini dan Fachriadi dengan jumlah sekitar Rp. 500 juta.
"Selain melalui perantaraan MK, tersangka AW juga diduga menerima komitmen fee dari beberapa proyek lainnya melalui perantaraan beberapa pihak di Dinas PUPRP Kabupaten Hulu Sungai Utara", ungkap Firli.
Lebih jauh, Firli Bahuri merinci uang yang diduga telah diterima oleh Abdul Wahid selaku Bupati HSU. Di antaranya, yakni pada tahun 2019 sejumlah sekitar Rp. 4,6 miliar, tahun 2020 sejumlah sekitar Rp. 12 miliar serta tahun 2021 sejumlah sekitar Rp. 1,8 miliar. Sehingga, total sementara uang yang diterima Abdul Wahid sekitar Rp. 18,9 miliar.
"Selama proses penyidikan berlangsung, tim penyidik telah mengamankan sejumlah uang dalam bentuk tunai dengan pecahan mata uang rupiah dan juga mata uang asing yang hingga saat ini masih terus dilakukan penghitungan jumlahnya", rinci Firli.
Terhadap Abdul Wahid selaku Bupati HSU, KPK menyangkakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, jo Pasal 64 KUHP, jo Pasal 65 KUHP.
Dalam perkara ini, sebelumnya KPK telah menetapkan 3 (tiga) Tersangka. Ketigamya, yakni Maliki selaku Plt. Kadis Pekerjaan Umum (PU) Pemkab Hulu Sungai Utara ditetapkan KPK sebagai Tersangka penerima suap. Adapun Marhaini selaku Direktur CV. Hanamas dan Fachriadi selaku Direktur CV. Kalpataru ditetapkan KPK sebagai Tersangka pemberi suap.
Sebagai Tersangka penerima suap, Maliki disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 64 dan Pasal 65 KUHP.