Minggu, 26 Maret 2023

Islam Itu Memang Agama Kemanusiaan: Kesalah-pahaman Terkait Puasa Ramadhan (1)

Baca Juga


Macharodji Machfud.


Oleh: Macharodji Machfud.

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
A’udzubillahiminasysyaithanirrajim.
Bismillahirrahmanirrahim

Hei Saudaraku, Islam memang agama kemanusiaan! Mengajarkan kepada manusia agar berpuasa, supaya  manusia dapat melatih dirinya untuk mampu mengendalikan, mengekang dan mengalahkan nafsunya. Karena nafsu senantiasa mengajak kepada manusia kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi Rahmat oleh Allah.

Kesalah-pahaman Terkait Puasa Ramadhan (1)

Melafadzkan niat puasa.
Melafadzkan niat puasa tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula tidak dicontohkan oleh para sahabat, tabi’in dan tidak pula oleh salah satu pun dari imam madzhab yang empat. Jika memang melafadzkan niat puasa itu baik dan sangat penting dan urgen untuk menuntun tekad dan kemantapan hati, tentu hal itu tidak akan luput dari penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun hanya satu hadits saja.

Lebih-lebih hal itu berkaitan dengan aspek yang sangat fundamental dalam puasa, yaitu rukun ibadah, bukan sekedar hal yang sunnah saja. Jika hal-hal yang sunnah dalam puasa saja beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam jelaskan, bagaimana mungkin beliau terluput dari menjelaskan hal esensial dalam rukun puasa, yaitu melafadzkan niat?

Oleh karena itu, tidak adanya penjelasan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, demikian pula tidak adanya praktek dari para sahabat. Hal ini, menunjukkan bahwa melafadzkan niat puasa tidak termasuk dalam perkara yang disyariatkan dalam agama ini. Tempat niat adalah di dalam hati, yaitu keinginan atau tekad untuk melaksanakan suatu ibadah.

Terdapat hadits yang shahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersyaratkan untuk memasang niat di malam hari sebelum terbit fajar untuk berpuasa wajib di bulan Ramadhan. Maksudnya adalah sebagai niat, tekad dan keinginan di dalam hati untuk berpuasa di keesokan harinya.

Sebagaimana yang diriwayatkan dari ibunda Hafshah radhiyallahu Ta’ala ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ، فَلَا صِيَامَ لَهُ
Artinya: “Barangsiapa yang tidak niat berpuasa sebelum fajar terbit, maka puasanya tidak sah", (HR. An-Nasa’i No. 2331, Ahmad 1/69, shahih).

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab, ia berkata, bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju", (H.R. Bukhari, No. 1 dan Muslim, No. 1907)

Definisi Niat.
Niat secara bahasa berarti al-qashd (keinginan). Sedangkan niat secara istilah syar’i, yang dimaksud adalah berazam (berkehendak/ bertekat bulat) mengerjakan suatu ibadah ikhlas karena Allah. Letak niat dalam batin (hati).

Al-Fadhl bin Ziyad v berkata: “Aku pernah bertanya kepada Abu Abdullah, yakni Ahmad, tentang niat dalam beramal. Aku bertanya: "Apakah niat itu?". Beliau menjawab: "Seseorang mengendalikan dirinya ketika hendak beramal agar tidak menginginkan pujian manusia", (Kitab Jami’ Al ‘Ulum Wa Al Hikam I/26).

Niat Letaknya Di Hati.
Niat itu berarti bermaksud dan berkehendak. Letak niat adalah di dalam hati. Ibnu Taimiyah v mengatakan: "Niat itu letaknya di hati, berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama", (Majmu’ah Al-Fatawa, 18:262).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan: “Siapa saja yang menginginkan melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah berniat. Semisal di hadapannya disodorkan makanan, lalu ia punya keinginan untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah berniat. Demikian ketika ia ingin berkendaraan atau melakukan perbuatan lainnya. Bahkan, jika seseorang dibebani suatu amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini adalah pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena setiap orang yang hendak melakukan suatu amalan yang disyariatkan atau tidak disyariatkan pasti ilmunya telah mendahuluinya dalam hatinya, inilah yang namanya niat", (Majmu’ah Al-Fatawa, 18:262).

Perlukah Melafalkan Niat?
Melafalkan niat tidak ada asalnya (tidak memiliki landasan) dalam agama Islam. Akan tetapi, hanya merupakan salah paham beberapa orang dari perkataan Imam Syafi’i ketika beliau mengatakan bahwa seseorang tidak sah (untuk) melakukan sholat kecuali harus dengan ucapan. Maksud dari ucapan beliau adalah ucapan takbiratul ihram, tetapi mereka menafsirkan dengan tafsir yang salah, yaitu melafalkan niat.

Sebagai bukti maksud perkataan Imam Syafi’i adalah takbiratul ihram dan bukan melafalkan niat adalah sebagai berikut:

Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Imam Syafi’i sendiri langsung membahas masalah takbiratul ihram. Kemudian, tidak ada satu pun hadits yang shahih tentang melafalkan niat. Bahkan, tidak ada hadits yang lemah sekalipun tentang hal itu. Juga melafalkan niat tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah, para sahabatnya, para tabi’in dan empat imam mazhab sekalipun.

Orang-orang yang mengajarkan supaya melafalkan niat, ternyata berbeda-beda dalam lafalnya, padahal mereka semua mengaku bermadzhab Syafi’i. Ini menunjukkan, bahwa imam mereka memang tidak pernah mengatakan hal ini dan mereka hanya membuat-buat tanpa dasar (hanya berdasarkan akal mereka).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah v berkata: “Sebagian pengikut Imam Syafi’i telah salah memahami perkataan Imam Syafi’i ketika beliau menyebutkan perbedaan antara shalat dan ihram. Dalam penjelasannya itu Imam Syafi’I mengatakan: '…sholat permulaannya adalah ucapan'. Sebagian pengikutnya itu memahami, bahwa yang beliau maksudkan adalah mengucapkan niat, padahal yang beliau maksudkan tidak lain adalah takbiratul ihram", (Kitab Majmu’ Al-Fatawa XVIII/362).

Macam-Macam Niat.
Niat ada dua macam, yaitu (1). niat pada siapakah ditujukan amalan tersebut (al-ma’mul lahu) dan (2) niat amalan. Niat jenis pertama adalah niat yang ditujukan untuk mengharap wajah Allah dan kehidupan akhirat. Inilah yang dimaksud dengan niat yang ikhlas. Sedangkan niat amalan itu ada 2 (dua) fungsi:
1). Fungsi pertama adalah untuk membedakan manakah adat (kebiasaan), manakah ibadah. Misalnya adalah puasa. Puasa berarti meninggalkan makan, minum dan pembatal lainnya. Namun, terkadang seseorang meninggalkan makan dan minum karena kebiasaan, tanpa ada niat mendekatkan diri pada Allah. Terkadang pula maksudnya adalah ibadah. Oleh karena itu, kedua hal ini perlu dibedakan dengan niat.
2). Fungsi kedua adalah untuk membedakan satu ibadah dan ibadah lainnya. Ada ibadah yang hukumnya fardhu ‘ain, ada yang fardhu kifayah, ada yang termasuk rowatib, ada yang niatnya witir, ada yang niatnya sekedar sholat sunnah saja (sholat sunnah mutlak). Semuanya ini dibedakan dengan niat.

Ikhlash Syarat Diterimanya Amal.
Al-Fudhail bin ‘Iyadh menafsirkan firman Allah yang artinya: “…untuk menguji siapa di antara kamu yang paling baik amalnya", (Q.S. al-Mulk [67]: 2)
Beliau berkata: “Yakni, yang paling ikhlas dan paling benar dan (sesuai tuntunan Allah). Sesungguhnya amal itu apabila ikhlas tapi tidak benar maka tidak akan diterima; dan apabila benar tetapi tidak ikhlas juga tidak akan diterima. Jadi harus ikhlas dan benar. Suatu amalan dikatakan ikhlas apabila dilakukan karena Allah, dan yang benar itu apabila sesuai Sunnah Rasulullah", (Kitab Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam I/36).

Hadirkan Niat Ikhlash Saat Beramal.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata: “Dan wajib atas seseorang mengikhlaskan niat kepada Allah dalam seluruh ibadahnya dan hendaklah meniatkan ibadahnya semata-mata untuk mengharap wajah Allah dan negeri akhirat. Inilah yang diperintahkan oleh Allah ldalam firman-Nya, 'Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya'", [Q.S. al-Bayyinah (98)].
"Mengikhlaskan niat setiap amalan hanya kepada-Nya, hendaknya kita menghadirkan niat dalam semua ibadah, misalnya ketika wudhu, kita niatkan berwudhu karena Allah dan untuk melaksanakan perintah Allah. Tiga perkara berikut (yang harus dihadirkan dalam niat), yaitu (1). Berniat untuk beribadah; (2). Berniat beribadah tersebut karena Allah semata;dan (3). Berniat bahwa ia menunaikannya demi melaksanakan perintah Allah", (Kitab Syarah Riyadhus Shalihin I/10).

Pahala Amalan Bergantung Pada Niat.
Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya segala amalan itu tidak lain tergantung pada niat".
Imam An-Nawawi berkata: "Jumhur ulama berkata, ‘Menurut ahli bahasa, ahli ushul dan yang lain lafadz إِنَّمَا digunakan untuk membatasi, yaitu menetapkan sesuatu yang disebutkan dan menafikan selainnya. Jadi, makna hadits di atas adalah bahwa amalan seseorang akan dihisab (diperhitungkan) berdasarkan niatnya dan suatu amalan tidak akan dihisab bila tidak disertai niat'”, (Kitab Syarah Shahih Muslim XIII/47).

Abdullah bin al-Mubarak berkata: “Bisa jadi amal sholeh yang kecil dibesarkan nilainya oleh niat dan bisa jadi amal sholeh yang besar dikecilkan nilainya karena niat pula", (Kitab Jami’ al-‘Ulum Wa al-Hikam 1/35).

Berniat Tapi Terhalang.
Orang yang berniat melakukan amalan sholeh namun terhalang melakukannya bisa dibagi menjadi dua: Pertama, amalan yang dilakukan sudah menjadi kebiasaan atau rutinitas (rajin untuk dijaga). Lalu amalan ini ditinggalkan karena ada uzur, maka orang seperti ini dicatat mendapat pahala amalan tersebut secara sempurna. Sebagaimana Nabi bersabda: “Jika salah seorang sakit atau bersafar, maka ia dicatat mendapat pahala seperti ketika ia dalam keadaan mukim (tidak bersafar) atau ketika sehat", (H.R. Bukhari,no.2996). Kedua,  jika amalan tersebut bukan menjadi kebiasaan, maka jika sudah berniat mengamalkannya namun terhalang, akan diperoleh pahala niatnya (saja).

Dalilnya adalah seperti hadits yang kita bahas kali ini. Begitu pula hadits  mengenai seseorang yang diberikan harta lantas ia gunakan dalam hal kebaikan. Di mana ada seorang miskin yang berkeinginan yang sama jika ia diberi harta. Orang miskin ini berkata, bahwa jika ia diberi harta seperti si Fulan, maka ia akan beramal baik semisal dia. Maka Nabi bersabda: “Ia sesuai niatannya dan akan sama dalam pahala niatnya", (H.R. Tirmidzi no.2325. Syaikh  al-Albani mengatakan, bahwa hadits ini shahih).  (Lihat pembahasan Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dalam Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 1:36-37).

Semoga bemanfaat saudaraku.
Wal afwu minkum, wassalam. *(M2/HB)*


ARTIKEL TERKAIT: