Sabtu, 29 Januari 2022

Ini Alasan Kasus Korupsi Di Bawah Rp. 50 Juta Tidak Diproses Hukum

Baca Juga


Jaksa Agung ST. Burhanuddin
.


Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia (RI) meluruskan polemik rencana rencana Jaksa Agung ST. Burhanuddin untuk menyelesaikan kasus korupsi dengan nominal di bawah Rp. 50 juta yang tidak perlu melalui proses hukum.

Kapuspenkum, Leonard Eben Ezer Simanjuntak menjelaskan, jika pernyataan itu disampaikan Jaksa Agung ketika Rapat Kerja dengan Komisi III DPR RI pada Senin 17 Januari 2022, lalu.

Berawal dari pertanyaan Anggota Komisi III DPR RI Benny K. Harman.

Saat itu, Benny menyampaikan kepada Burhanuddin untuk tidak memproses kasus korupsi di bawah Rp1 juta.

Alasannya karena masih banyak kasus korupsi di bawah Rp1 juta masih menjalani proses hukum.

Hal tersebut menyebabkan tumbuhnya stigma hukum di Indonesia tumpul ke atas tajam ke bawah.

Leonard mengungkapkan, saat rapat tersebut anggota Komisi III DPR RI Supriansa juga menyampaikan tidak sedikit kasus dana desa dengan nilai rendah. Karena masuk di pengadilan, sehingga akhirnya mereka mendapatkan pidana beberapa tahun penjara.

“Kalau dipikir-pikir, kalau nilainya kecil seperti itu, saya mengharapkan Jampidsus ada terobosan pengembalian uang daripada di penjara orang ini. Lebih banyak biaya makan dia didalam ketimbang dengan apa yang kita kejar. Toh juga bangsa ini memiliki keterbatasan soal ketersediaan Lapas yang sudah over capacity. Luar biasa kalau kita paksa masuk tapi nilainya rendah. Apa ada solusi atau memang kita harus lurus tegak memenjarakan orang meskipun nilainya cukup kecil?”, kata Leonard menirukan Supriansa dalam keterangannya, Jumat (28/01/2022).

Atas kedua pertanyaan tersebut, Leonard menjelaskan, jika Burhanuddin mengungkapkan terhadap perkara-perkara Dana Desa yang kerugiannya tidak terlalu besar dan perbuatan tersebut tidak dilakukan secara terus menerus. Maka dihimbau untuk diselesaikan secara administratif.

“Dengan cara mengembalikan kerugian tersebut dan terhadap pelaku dilakukan pembinaan melalui Inspektorat untuk tidak mengulangi perbuatannya", terangnya.

Selanjutnya, Leonard kembali menjelaskan terkait perkara korupsi dengan nilai kerugian keuangan negara Rp1 juta sesuai data hanya ada satu penyidikan yang dilakukan oleh Polresta Pontianak dalam perkara Pungutan Liar (Pungli) yang melibatkan seorang wasit dengan nilai Rp. 2,2 juta

“Dan saat ini perkara tersebut masih dalam tahap Pra-Penuntutan di Kejaksaan Negeri Pontianak. Perkara tersebut tidaklah berkaitan dengan kerugian keuangan negara, namun terkait dengan upaya pemberantasan pungutan liar (saber pungli)", ujarnya.

Oleh karenanya, Leonard mengungkapkan, penanganannya akan dilakukan secara profesional, memperhatikan hati nurani dan menggunakan instrumen lain selain Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Sedangkan untuk perkara Tipikor yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, Kejaksaan Agung telah memberikan himbauan kepada jajaranya untuk tindak pidana korupsi yang kerugian keuangan negaranya di bawah Rp50 juta untuk diselesaikan dengan cara pengembalian kerugian keuangan negara.

“Sebagai upaya pelaksanaan proses hukum secara cepat, sederhana dan biaya ringan", jelasnya.

Di sisi lain, Leonard mengatakan, rencana Jaksa Agung itu bertujuan untuk mencari solusi yang tepat dalam penindakan tindak pidana korupsi yang menyentuh baik pelaku dan masyarakat hingga level akar rumput.

“Yang secara umum dilakukan karena ketidaktahuan atau tidak ada kesengajaan untuk menggarong uang negara, dan nilai kerugian keuangan negaranya pun relatif kecil", katanya.

Seperti misalnya, dia mencontohkan, seorang Kepala Desa tanpa pelatihan tentang bagaimana cara pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, sementara harus mengelola dana desa senilai Rp. 1 miliar untuk pembangunan desanya.

“Hal ini tentunya akan melukai keadilan masyarakat, apabila dilakukan penindakan tindak pidana korupsi padahal hanya sifatnya kesalahan administrasi", ujarnya.

“Misalnya kelebihan membayar kepada para tukang atau pembantu tukang dalam pelaksanaan pembangunan di desanya dan nilainya relatif kecil serta Kepala Desa tersebut sama sekali tidak menikmati uang-uang tersebut", tambahnya.

Leonard mencontohkan kasus lainnya, seperti seorang bendahara gaji membuat nilai gaji yang lebih besar dari yang seharusnya diterima oleh beberapa pegawai di suatu instansi pemerintah.

“Ini pun suatu maladministrasi, yang akan melukai keadilan masyarakat, jika kasus-kasus tersebut ditangani dengan menggunakan instrumen Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi", tuturnya.

Oleh karena itu Jaksa Agung mengambil langkah itu diambil sebagai upaya penegakan hukum tindak pidana korupsi yang mengutamakan nilai keadilan yang substantif selain kemanfaatan hukum dan kepastian hukum.

“Upaya preventif pendampingan dan pembinaan, terhadap Kepala Desa oleh jajaran Kejaksaan atau inspektorat kabupaten atau kota, menjadi hal yang sangat penting dan prioritas", ujarnya.

“Selain itu, upaya penyadaran kepada pelaku untuk secara sukarela mengembalikan kerugian keuangan negara yang timbul akibat perbuatannya merupakan hal-hal yang meringankan apabila pengembalian kerugian keuangan negara dilakukan pada tahap penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di persidangan", tambahnya.

Sementara langkah penyelesaian itu akan diambil apabila terduga pelaku kembalikan uang secara sukarela, sebelum tindakan penyidikan dan perkara itu sifatnya kesalahan administratif serta kerugian keuangan negara yang timbul juga relatif kecil.

“Untuk perkara yang model inilah Bapak Jaksa Agung RI wacanakan dalam bentuk himbauan untuk ditangani dengan menggunakan instrumen lain selain instrumen undang-undang tindak pidana korupsi", jelasnya.

Adapun, Leonard menegaskan bila rencana ini diambil bukan sebagai impunitas pelaku tindak pidana korupsi dengan kerugian keuangan negara yang relatif kecil. Melainkan untuk melihat perkara korupsi lebih jernih, dengan tujuan pemulihan kerugian.

“Tetapi wacana itu dibuka untuk dibahas ke publik agar penindakan tindak pidana korupsi pun berdasarkan pemikiran yang jernih atas hakikat penegakan hukum itu sendiri, yaitu pemulihan pada keadaan semula", tegasnya.

Kedua, Leonard menjelaskan terkait perkara korupsi dengan nilai kerugian keuangan negara di bawah Rp. 1 juta perkara tersebut tidaklah berkaitan dengan kerugian keuangan negara, namun terkait dengan upaya pemberantasan pungutan liar.

“Oleh karenanya, Bapak Jaksa Agung RI menyampaikan pada saat di DPR RI agar penanganannya diharapkan dilakukan secara profesional dengan memperhatikan hati nurani dan/atau menggunakan instrumen lain selain Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi", ucapnya.

Selanjutnya,Leonard mengatakan, langkah itu diambil berdasarkan pertimbangan analisa ekonomi antara beban biaya pengurusan perkara dengan nilai kerugian keuangan negara.

“Perlu menjadi perhatian aparat penegak hukum dimana dapat dibayangkan korupsi Rp50 juta harus ditangani oleh aparat penegak hukum. Dari penyidikan sampai dengan eksekusi, dengan biaya operasional penanganan perkara yang dikeluarkan oleh Negara bisa melebihi dari Rp. 50 juta", terangnya.

Atas pertimbangan itu, Leonard mengatakan, kerugian negara yang ditimbulkan tersebut akan menjadi beban pemerintah yang lebih besar, ketimbang pengusutan kerugian negara atas tindak pidana korupsi yang hanya di bawah Rp50 juta.

“Seperti biaya makan, minum dan sarana lainnya kepada Terdakwa apabila Terdakwa tersebut diproses sampai dengan eksekusi, di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas)", ujarnya.

“Artinya, analisis cost and benefit penanganan perkara tindak pidana korupsi juga penting menjadi pertimbangan dalam rangka mencapai nilai keadilan masyarakat dan nilai kemanfaatan hukum", tambahnya.

Dengan demikian, Leonard mengatakan, Kejagung telah memberikan himbauan kepada jajarannya untuk tindak pidana korupsi yang kerugian keuangan negaranya di bawah Rp50 juta, agar diselesaikan dengan pengembalian kerugian.

“Agar diselesaikan dengan cara pengembalian kerugian keuangan negara sebagai upaya pelaksanaan proses hukum secara cepat, sederhana dan biaya ringan", tutupnya. *(HB)*