Kamis, 03 Januari 2019

Uji Kompetensi Jadi Senjata Maut Dewan Pers

Baca Juga

(Menjawab tulisan sekaligus kekhawatiran Eka Putra)


Oleh: Ilham Akbar Rao

Membaca kekhawatiran Abangda Eka Putra terkait lelaku Bung Wilson Lalengke cs yang ia ungkap dengan judul tulisan “Kompetensi memisahkan kita dari wartawan abal-abal” (GoRiau, 25 Des 2018) menurut saya menarik untuk diulas.  

Saya ingin mencoba mendudukan kerisauan abangda ini dalam dua hal. Pertama, terkait Uji Kompetensi Wartawan (UKW) sebagai keniscayaan wartawan profesional. Kedua, Tudingan Bung Wilson yang menyebut praktek UKW yang disponsori Dewan Pers adalah wahana pemerasan secara halus oleh beberapa organisasi wartawan. 
Adapun terkait kritikan yang abangda sematkan secara pribadi kepada Bung Wilson, bukan domain adinda menelaahnya.

Sejak permulaan tulisan, Abangda Eka Putra sudah menunjukan watak antipati bahkan secara eksplisit membentang kesimpulan bahwa apa yang dilakukan Bung Wilson Lalengke bersama Bung Heintje G. Mandagie maupun gerakan Sekber Pers Indonesia yang menggugat salah satunya praktek Uji Kompetensi Wartawan (UKW), sebagai langkah lazim dikalangan wartawan abal-abal. 

Sebetulnya kecemasan abangda terkait praktek UKW beserta eksesnya sudah terjawab tuntas dalam tulisan Bung Heintje “DPI Solusi dari Peraturan dan UKW Abal-Abal Dewan Pers” yang diterbitkan beberapa hari setelah tulisan abangda. Tulisan Bung Heintje menurut adinda lengkap dan bernas karena dilandasi aturan perundang-undangan untuk menguatkan pendapatnya. Jadi adinda tak perlulah menjelaskan secara detail kembali.



Disini adinda hanya ingin berbagi sedikit pengalaman selama mengenal Bung Wilson Lalengke dus pergerakannya. Harapannya, meminjam istilah abangda sendiri “jangan tendensius jika belum paham benar”.   

Adinda bertemu langsung Bung Wilson dan Bung Heintje sekitar bulan Mei 2018 di PN Jakarta Pusat. Ketika itu, keduanya atas nama Ketua PPWI (Persatuan Pewarta Warga Indonesia) dan Ketua SPRI (Serikat Pers Republik Indonesia) hadir sebagai penggugat dalam sidang perdana gugatan melawan hukum terhadap Dewan Pers.

Bung Dolfie Rompas, kuasa hukum keduanya menyitir gugatan ini terkait kebijakan Dewan Pers dalam Uji Kompetensi Wartawan (UKW) maupun lembaga dan organisasi yang di tunjuk melakukan uji kompetensi tersebut, selain itu juga terkait verifikasi media massa yang dinilai mengekang kemerdekaan pers.

Seingat adinda, tak lebih dari 10 orang pemburu berita yang datang di sidang perdana kala itu. Alhasil, sidang ini pun lengang dan lekas habis dalam ingatan publik. 

Perjuangan Bung Wilson dan Bung Heintje justru mendapat porsi besar di hati banyak wartawan salah satunya saat tragedi kematian M. Yusuf, wartawan Kemajuan Rakyat yang ditahan karena tulisannya yang aktif menyoroti perlawanan warga Pulau Laut terhadap PT MSAM di Kalimantan Selatan. 

Alkisah, sebelumnya tulisan Yusuf ini sempat di screen Dewan Pers. Kesimpulan Dewan Pers menyayat hati karena salah satunya ialah merekom pihak yang merasa dirugikan untuk menempuh jalur hukum dengan menggunakan UU lain diluar UU Nomor 40/Tahun 1999 Tentang Pers.

Dewan Pers bahkan terang menyebut aktivitas Yusuf merupakan bentuk penyalahgunaan profesi wartawan. Karena itu tadi, Yusuf belum melaksanakan UKW dan media tempat ia bekerja juga tidak terverifikasi radar Dewan Pers. Secara eksplisit Dewan Pers seperti juga “nayaga” nya ingin menorehkan kesan bahwa M. Yusuf bagian dari wartawan abal-abal juga, jadi bukan domain Dewan Pers untuk membantunya dan penanganannya pun sudah sesuai dengan menggunakan UU diluar UU Pers.    

Rupanya kematian wartawan M. Yusuf dengan cepat mendapat perhatian luas publik tanah air bahkan dunia internasional. UNESCO salah satu Badan khusus PBB melalui Direktur Jendral Audrey Azoulay bahkan mengutuk kematian Yusuf dan meminta otorita berwenang untuk melakukan penyelidikan transparan terhadap hal-hal terkait kematiannya. 

Sementara di tanah air simpati atas kematian wartawan Yusuf datang dari beragam pihak. PWI sendiri membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) yang dikomandoi wartawan segudang pengalaman sekelas Ilham Bintang, Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat untuk menggali lebih jauh kematian Yusuf.

Dikutip dari Antara, TPF PWI Pusat ini juga meneliti apakah prinsip penanganan sengketa pers telah diperhatikan berkaitan dengan posisi Yusuf sebagai wartawan di sebuah media?. Hal ini adinda belum mendengar hasil kerja TPF.  

Lantas apa yang dilakukan Bung Wilson dan Bung Heintje? Keduanya bersama beberapa ketua organisasi pers dan ratusan wartawan bergerak melakukan aksi demonstrasi langsung di Sekretariat Dewan Pers, di Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Mereka mendesak agar Dewan Pers segera menghentikan berbagai rekomendasi yang justru merugikan pekerja pers itu sendiri. Aksi ini bahkan membawa keranda mayat sebagai rasa berkabung atas kematian M. Yusuf sekaligus simbol matinya kemerdekaan pers tanah air. Aksi ini mendapat liputan luas dan banyak memperoleh simpati. 

Ada yang menarik hati adinda dalam polemik Yusuf ini. Ialah pelabelan profesi wartawan secara kontekstual antara Dewan Pers dengan PWI Pusat yang sudah tak seiring. Dewan Pers tentunya memiliki beberapa alasan menentukan profesi Yusuf, yang acap kita dengar ialah belum UKW dan medianya tidak terverifikasi Dewan Pers. Nah, kalau PWI Pusat sendiri mengapa menyatakan Yusuf adalah wartawan, abangda tentu lebih elok untuk mengukur parameternya. 

Bukan berapriori kenyataannya Dewan Pers sering kali menelan ludahnya sendiri dengan tidak konsisten pada pendapatnya sendiri. 
Dalam kasus Yusuf, rekomendasi pertama kepada penyidik kepolisian ialah polemik Yusuf merupakan perkara jurnalis, namun rekomendasi berikutnya malahan menyarankan kepolisian menggunakan jerat lain dalam menangani tulisan Yusuf.   

Ini hanya satu contoh, tak terhitung sudah bagaimana katebelece Dewan Pers yang dirasa diskriminatif terhadap wartawan ketika berhadapan dengan hukum, khususnya pada wartawan yang belum UKW dan yang bukan dari media arus utama, meski sengketa hukumnya gegara tulisan sekalipun.

Namun lucunya, bila kasusnya sudah viral dan mendapat perhatian luas publik, Dewan Pers pun buru-buru turun tangan mengecam pihak-pihak yang dianggap mengeliminir kemerdekaan pers dengan membuat pernyataan pers (ingat yah, sebatas pernyataan pers).

Nah, kinerja Dewan Pers yang diskriminatif seperti inilah yang melatarbelakangi berdirinya Dewan Pers Independen yang dimotori salah satunya oleh Bung Wilson dan Heintje. 
Jadi adinda pikir, bukan organisasi yang menjadi konstituen Dewan Pers yang menjadi sasaran atau yang melatarbelakangi gerakan protes kepada Dewan Pers oleh Bung Wilson cs. Kalau terdapat beberapa “oknum” organisasi pers dimaksud ada yang tersungut, jangan salahkan bunda mengandung.   

Adinda sendiri merasakan bagaimana “politik UKW” Dewan Pers bisa ikut mematikan pangsa pasar media yang adinda kelola. Pada pertengahan 2018 kemarin, adinda sempat beradu argumen dengan salah satu pejabat humas salah satu Pemda di Sumatera, karena media adinda ditangguhkan untuk melakukan kerjasama pada tahun anggaran kedua, alasannya media adinda belum terverifikasi dan adinda sendiri belum UKW. “Ini berdasarkan edaran Dewan Pers,” katanya.

Dengan kepala dingin adinda menjelaskan bahwa edaran Dewan Pers itu tidak mengikat dan apalagi masih dalam proses gugatan di PN Jakarta Pusat. Namun karena humas ini kukuh dengan pendapatnya, suara adinda sedikit meninggi dan menyarankan agar dirinya belajar dan kembali menelaah UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers Nasional, disitu terdapat apa fungsi dan kewenangan Dewan Pers. Karena belum juga ada titik temu, pembicaraan terakhir adinda sampaikan agar ia pindah ke Timor Leste saja jika tidak mengakui UU yang berlaku di Indonesia. 

Abangda Eka Putra, adinda bukan alergi dengan UKW. Adinda rasa pendapat ini jamak pada sebagian besar wartawan di Indonesia, UKW bisa jadi wajib karena pekerjaan kita lebih mengandalkan otak ketimbang otot. Apalagi sebagai wartawan muda dan pemimpin sebuah media adinda justru sangat tertantang dengan ujian kompetensi tersebut.

Yang adinda tidak setuju ialah apabila praktek UKW dijadikan alat untuk menghambat kemajuan sebuah penerbitan. Seperti yang dilakukan Dewan Pers dengan mengirimkan surat ke berbagai instansi untuk hanya mengakomodir wartawan yang telah UKW dan medianya telah terverifikasi.

Dan dari pembicaraan gerakan Bung Wilson cs di WhatssApp Grup (WAG) Menggugat Dewan Pers (MDP) adinda sedikit sekali mendengar agar pelaksanaan UKW ditiadakan, memang ada sebagian kecil rekan-rekan di MDP tidak setuju adanya praktek UKW, namun ini bukan pendapat resmi. Mayoritas justru ingin merubah agar pelaksanaan UKW disesuaikan dengan UU yang berlaku. Jadi abangda tak perlulah risau berlebihan.

Ini sekaligus menjawab kekhawatiran abangda atas pernyataan Bung Wilson terkait praktek UKW yang diasosiasikan sebagai “pemerasan secara halus”. Come onn abangda, kita ini wartawan yang juga mengutamakan intuisi.

Bila pelaksanaan UKW yang dipelopori Dewan Pers, termasuk instansi yang mengeluarkan sertifikat kompetensi dalam prakteknya sudah menyalahi peraturan perundang-undangan, sementara edaran Dewan Pers kepada instansi pemerintah maupun swasta agar tidak melayani wartawan yang tidak UKW. Lalu apa bukan pemerasan namanya, bila masih juga memaksakan UKW? Jadi prakteknya yang menyalahi bukan substansi UKW nya abangda.

Pada akhirnya adinda sematkan rasa takzim yang mendalam kepada abangda, atas kritik maupun saran abangda terhadap gerakan Sekber Pers Indonesia. Adinda yakin, abangda pasti masih kurang puas dengan penjelasan singkat adinda disini, ini masih ronde pertama abangda. 
 
Terakhir, adinda berharap dialog “batin” ini tidak berhenti disini. Adinda tunggu kabar benci tapi rindu dari Abangda Eka Putra selanjutnya. Wass bi Maaf. (Pondok Gede, 3 Januari 2019)     
 
*Pemimpin Redaksi Target Buser*