Baca Juga

Salah-satu suasana reses yang di gelar Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto dari Fraksi PKB Junaedi Malik di Kelurahan Kedundung Kecamatan Magersari, Selasa (16/03/2021).
Begitu mendapat kesempatan, Ketua RW 1 Lingkungan Randegan Kelurahan Kedundung Zulkarnain mempertanyakan aspirasinya yang telah disampaikan pada reses yang digelar beberapa tahun sebelumnya yang hingga kini belum juga direalisasi.
Hal senada, juga disampaikan Guntoro yang merupakan salah-seorang tokoh masyarakat di kawasan Kelurahan Kedundung. Guntoro pun mempertanyakan aspirasinya yang telah disampaikannya beberapa tahun lalu yang hingga saat ini belum direalisasi.
Menanggapi pertanyaan dua konstituennya tersebut, Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto Junaedi Malik menerangkan, bahwa pihaknya selama ini sudah berupaya keras memperjuangkan aspirasi, usulan, ide ataupun gagasan masyarakat yang menjadi konstituennya. Namun, perjuangannya itu terbentur hal lain 'para pemangku kebijakan'.
“Ada hal yang kurang bijak terkait program Pokir (Pokok Pikiran) yang dari awal saya sayangkan. Kenapa kok program Pokir yang dikurangi, malah program belanja rutin yang kurang bermanfaat untuk masyarakat lebih diutamakan. Itulah hal kurang bijak yang saya sesalkan”, terang Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto dari Fraksi PKB Junaedi Malik, menanggapi pertanyaan dua konstituennya dalam reses, Selasa (16/03/2021).
Lebih lanjut, Junaedi Malik menjelaskan tentang definisi program Pokir. Junaedi Malik pun menjelaskan dasar hukum program Pokir kepada masyarakat konstituennya.
“Untuk itu, apapun masukan-masukan, aspirasi maupun harapan-harapan dari masyarakat, kita input, kita tampung dan masuk perencanaan sebagai masukkan sistem Pokir. Dalam proses berikutnya, Bapekko yang survei dan sebagainya. Pokir ini masuk dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Kewajiban DPRD mendengarkan aspirasi dan memperjuangkan, memprogramkan sampai APBD. Jadi, memberikan masukan apapun, DPRD wajib mendengarkan”, jelasnya.
Ditegaskannya, bahwa terkait realisasi Pokir masyarakat (konstituen) itu sendiri tergantung dari komitmen legislatif dan eksekutif.
"Bicara soal komitmen, kalau kita objektif, penggunaan anggaran daerah yang ideal itu sebenarnya jika pembangunan itu merupakan usulan dari masyarakat, ketua RT, ketua RW dan tokoh masyarakat, karena mereka tahu kondisi riil di masyarakat. Jadi, sudah sewajarnya jika itu menjadi komitmen pimpinan”, tegasnya.
Lebih jauh Junaedi Malik menjelaskan, masalah ini sudah disampaikan dalam rapat yang dihadiri oleh Wali Kota, Pimpinan DPRD, para Ketua Fraksi, Ketua komisi dan ketua AKD.
“Ini dilema bagi anggota dewan. Semua aspirasi kita tampung, tapi kalau tidak direalisasi kan kita yang repot. Padahal, amanat UU 23 Tahun 2014, kita wajib menampung aspirasi masyarakat, memprogramkan, memperjuangkan, dan merealisasikan”, jelasnya.
Junaedi Malik mengungkapkan, bahwa yang paling ekstrim adalah Wali Kota ingin membatasi kegiatan serap aspirasi hanya 10 (sepuluh) titik saja. Menurut Junaedi Malik, hal itu akan membelenggu peran dan fungsi Dewan yang mewajibkan mendengar aspirasi masyarakat.
“Ini kan membelenggu fungsi peran DPRD. Tidak-ada satu pun yang membatasi DPRD menyerap aspirasi. Yang ada justru mewajibkan untuk mendengarkan aspirasi masyarakat", ungkapnya.. *(DI/HB)*