Senin, 30 Juli 2018

Prof. Suherman Sadi: Sebutan Abal-Abal Bukti Dewan Pers Diskriminatif

Baca Juga

Prof Suherman Sadi, Rektor Universitas Attahariyah - Jakarta.

Kota JAKARTA - (harianbuana.com).
Penyebutan abal abal oleh Dewan Pers (DP) terhadap wartawan, media dan organisasi pers dalam surat edarannya yang ditujukan kepada beberapa instansi pemerintah mendapat kecaman dari pelbagai pihak. Surat edaran itu membuktikan DP diskriminatif dan melecehkan. "Jelas sekali surat itu melecehkan," jelas Prof Suherman Sadi, Rektor Universitas Attahariyah,  Jakarta.

Bahkan, menurut Prof Herman, sebutan abal-abal itu tendesius dan provokatif. "Apa iya, media, wartawan yang terdaftar di DP, jaminan profesional...!?", ujar Prof. Herman dengan nada penuh tanya sembari menggelengkan kepala.

Sekadar ilustrasi, lanjut Prof. Herman seraya memberikan contoh, cukup banyak wartawan senior yang karena media cetaknya oleng, membuka media online sendiri. "Mereka mengembangkan sendiri dengan modal apa adanya. Apakah mereka juga abal-abal karena tidak terdaftar di DP...?", sebutnya dengan nada penuh tanya lagi.

Menurut Ketua Bidang Pelatihan dan Pengembangan IPJI ini, terdaftar di DP hanyalah persyaratan administrasi saja, bukan menjadi ukuran profesionalitas. Alasannya, profesionalitas kewartawanan diukur kepada hasil karya. Bukan ditentukan oleh administrasi.

"Aneh, syarat administrasi menggerus profesionalisme", ujar Prof. Herman, sembari menyebut sebuah media online tidak bisa mendaftarkan ke DP sebelum enam bulan.

"Ketentuan ini saja, membuktikan regulasi DP berbelit. Tidak sederhana", tambahnya.

Menurut Herman, seyogianya DP kembali kepada khittahnya selaku "wasit" pengawas kode etik, tanpa harus menjadi regulator terhadap pers.

"Jadi, kalau ada menyalahi kode etik, ya sudah serahkan kepada si pengadu, tanpa perlu melebelkan UKW dan Non UKW ataupun tidak terdaftar di DP", jelasnya.

Ia juga setuju jika media maupun perusahaan pers harus berbadan hukum. Di sisi lain, Prof  tak menafikan UKW itu juga sangat diperlukan dalam meningkatkan profesional kewartawanan, tapi jangan sampai menjadi tolak ukur untuk dilindungi dan pembenaran.

Prof. Herman mengungkapkan, DP menerima kucuran dana miliaran dari negara. Dana itu, seyogianya bisa dialokasikan untuk meng-UKW-kan seluruh wartawan. "Lho, saya dengar biaya UKW saja, jutaan. Belum lagi akomodasinya, apa iya dia sanggup", ungkapnya, sembari lagi-lagi kepalanya menggeleng.

"Karena itu, katanya, yang  tidak UKW pun harus dilindungi jika karyanya sesuai kode etik, sekalipun medianya tidak terdaftar", tandasnya.

Ia pun menyebutkan, bahwa hak jawab maupun koreksi itu bukti pers melindungi seseorang dari kesewenangan pers. Apalagi pers wajib memuat hak bantah tersebut. "Sebenarnya dengan mengedepankan hak jawab, saya yakin tidak ada kriminalisasi pers", sebutnya.

Begitupun soal niatan DP UKW bertaraf internasional, dinilai pelbagai pihak mimpi. Alasannya, level Internasional hanya mengakui sertifikasi kompetensi dari lembaga resmi yang dibentuk negara, khususnya BNSP. Bukan LSP yang hanya di-SK- kan oleh DP.

"Modulnya gak jelas tidak melalui mekanisme SKKNI, seperti tujuan sertifikasi profesi dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga-kerjaan agar sertifikasi tersebut berstandar internasional", paparnya. *(TR/DI/Red)*