Senin, 03 Juni 2024

Terkait Revisi UU Polri, KPK Tegaskan, Tidak Perlu Minta Restu Lembaga Lain Untuk Mengangkat Penyidik - Penyelidik

Baca Juga


Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.


Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata menegaskan, KPk tidak perlu meminta restu dari lembaga lain seperti Polri untuk merekrut penyidik dan penyelidiknya. Hal ini disampaikan Alex merespons Pasal 16 Ayat (1) dalam draf Revisi Undang-Undang (RUU) Polri yang mengatur proses rekrutmen Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di kementerian/ lembaga harus mengantongi rekomendasi Polri.

"KPK tidak perlu meminta restu dari lembaga lain untuk mengangkat Penyelidik maupun Penyidik KPK", tegas Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat dihubungi wartawan, Senin (03/06/2014).

Alex kembali menegaskan, bahwa KPK berwenang merekrut penyidik maupun penyelidiknya sendiri. Koordinasi dengan lembaga lain seperti Polri dan Kejaksaan Agung dilakukan ketika melatih penyelidik dan penyidik yang baru direkrut.

Ditandaskan Alexander Marwata, bahwa kewenangan KPK merekrut penyidik dan penyelidiknya sendiri berkaitan dengan independensi lembaga KPK yang dijamin undang-undang (UU).

"Satu hal yang tidak bisa diganggu adalah persoalan independensi KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang KPK", tandas Alexander Marwata.

Alex mengritik Pasal 14 ayat (1) b draft RUU Polri yang menyebut Polri berwenang mengawasi dan membina PPNS. Menurutnya, undang-undang justru memberikan mandat kepada KPK untuk mengawasi aparat penegak hukum (APH) lain. "Jadi, jangan dibolak-balik", ujarnya.

Sebelumnya, Ketua Lembaga Bantuan Hukum - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBH-YLBHI) Muhamad Isnur mengatakan, bila draf Rancangan Undang-undang (RUU) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia lolos dan disahkan menjadi undang-undang, polisi dikhawatirkan akan menjadi lembaga 'super body'.

"Jadi, kalau kita membaca definisi ini, maka kemudian dia jadi super body. Bahasa hukumnya mungkin kalau dalam agama jadi Majelis Syuro gitu, Majelis Tinggi penyidik lembaga-lembaga lain", kata Ketua LBH-YLBHI Muhamad Isnur kepada wartawan  Minggu (02/06/2024).
 
Isnur mengungkapkan, dalam draf RUU Nomor 2 Tahun 2022 itu, pada Pasal 14 ayat (1) b, ada klausul yang menyebut, bahwa polisi berwenang mengawasi dan membina teknis kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan penyidik lain yang ditetapkan undang-undang.

Isnur juga mempertanyakan Pasal 16 ayat (1) yang menyebut, kementerian/ lembaga yang merekrut PPNS harus mendapatkan rekomendasi polisi. Menurut YLBHI, dengan pasal itu, polisi akan ikut campur dalam kasus-kasus yang ditangani penyidik mulai dari kementerian, KPK hingga Jaksa Agung.

"Karena berarti Jaksa Agung sebagai penyidik di Undang-Undang HAM Berat, KPK sebagai penyidik undang-undang korupsi harus berkoordinasi, dibina, diawasi oleh penyidik kepolisian", ungkap Isnur.
 
Dengan adanya pasal itu dalam draf RUU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, ia mengaku sulit membayangkan kerja-kerja para Penyidik KPK hingga Jaksa Agung dapat melaksanakan tugasnya dengan mudah. Apalagi ketika Penyidik KPK dan Kejaksaan Agung yang rata-rata menangani kasus-kasus besar yang melibatkan pejabat negara.

Ditandaskannya, bahwa pemberian kewenangan kepada kepolisian untuk mengawasi lembaga-lembaga penyidik lain seperti PPNS, KPK maupun Jaksa Agung, tandas Isnur, bertentangan dengan harmonisasi antar-lembaga. 

"Kita bisa membayangkan, bagaimana konsekuensi dari Penyidik KPK yang harus dibina, diawasi, berkoordinasi kepada penyidik kepolisian. Bagaimana Jaksa Agung dalam hal ini memeriksa Jiwa Sraya, memeriksa timah, sekarang yang terbaru Antam?", tandasnya. *(HB)*


BERITA TERKAIT: