Rabu, 20 Juni 2018

Politik Belah Bambu Ala Dewan Pers, Yang Satu Diangkat yang Satu Diinjak

Baca Juga

Ketua Umum Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI) Ozzy Sulaiman Sudiro yang juga selaku Sekjen Majelis Pers 

Oleh: Ozzy Sulaiman Sudiro.

Assalamualaikum Wr. Wb. Salam sejahtera bagi kita semua…Om swastiastu..Amitaba namo bhudaya..dan Salam jurnalis perdamaian….

ADANYA pemberitaan di sejumlah media cetak dan online terkait surat edaran Dewan Pers per tanggal 3 Februari 2017 lalu, yang ditujukan kepada TNI, POLRI hanya melayani beberapa media saja yang telah lulus verifikasi dan akan mendapatkan penyerahan barcode pada perayaan hari ulang tahun PWI di Ambon. Hal itu menuai kontra produktif dan membuat keresahan bagi umat pers di tanah air.

Ketua Umum Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI) Ozzy Sulaiman Sudiro yang juga selaku Sekjen Majelis Pers sangat menyayangkan sekali atas sikap Dewan Pers, menurutnya sangat prematur, wajar karena para komisionernya sekarang belum membaca buku sejarah berdiri Dewan Pers independen, sehingga tidak menghargai dan memahami nuansa kebatinan para pejuang pers reformis yang telah memberikan ruang kemerdekaan pers di alam reformasi dan demokrasi, hal itu juga sangat menodai dan menciderai kemerdekaan pers yang sudah kita perjuangkan bersama selama ini.

Bahkan, sudah 'memanipulasi image atau tepatnya the politics of denial', yaitu politik penyangkalan, peniadaan terhadap masyarakat, seolah olah kemerdekaan pers ini hanya diraih dan diperjuangkan oleh segelintir organisasi wartawan saja yang sepanjang sejarah pers indonesia, hidup dibawah bayang bayang masa lalu, fokus menari dipanggung orang lain dan bernyanyi-nyanyi di atas perjuangan orang lain.

Tentu patut diduga adanya upaya upaya secara masif dan sistemik untuk memasung kebebasan pers kembali seperti dimasa orde baru pers menjadi tunadaya terkooptasi oleh negara yang menjadi aktor dominasi yang sudah lama mati kini berenkarnasi bangkit seperti ‘zombi’ dan lebih ganas lagi.

Dewan Pers seharusnya berperan sesuai yang diamanahkan Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang salah-satu fungsinya membina pers, bukan membinasakan pers, apalagi bersikap peres. Sesuai Undang Undang Pers, tersebut juga Dewan Pers bukan sebagai lembaga legislasi dan verifikasi, penentu kelayakan organisasi maupun media. Yang ada membina organisasi wartawan dan mendata media perusahaan pers.

Sebagai pelopor organisasi wartawan reformis, KWRI yang lahir dari rahim reformasi yaitu pada tanggal 22 Mei tahun 1998, tepatnya satu hari ketika runtuhnya simbol simbol kekuasaan orde baru yang di warnai berbagai macam gejolak, sebagai pioner organisasi wartawan reformis, KWRI telah banyak andil memberikan kontribusi positif, terutama didalam memperjuangkan kemerdekaan pers yang independen melalui pergerakan aksi-aksinya baik di era Presiden B.J Habibi.

Diantaranya sebagai tim perumus pembentukan 'Kode Etik Wartawan Indinesia (KEWI) dan lahirnya majelis pers yang mengafiliasi 28 organisasi wartawan dengan merancang dan merumuskan RUU Pers yang membuahkan hasil lahirnya Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers yang mengamanahkan lahirnya Dewan Pers yang independen.

Dampak eksistensinya telah mendapat apresiasi Bapak Yunus Yosfiah selaku Menteri Penerangan dengan merekomendasi berkantor di Gedung Dewan Pers jakan Kebon Sirih 32/34 Jakarta, walaupun dalam perjalanan Departemen Penerangan dibubarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid.

Untuk meneruskan perjuangan pers tentu KWRI turut meratifikasi Kode Etik Wartawan Indoneaia (KEWI) menjadi Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan memberikan penguata-penguatan terhadap Dewan Pers. Tentu Kami sangat perihatin menyikapi pers Nasional khususnya di era kemerdekaan pers saat ini.

Dibidang politik, banyak insan Pers dengan sengaja meninggalkan kemerdekaannya, netralitas, independen, harga diri, dengan menggadaikan idealismenya menjadi alat komoditas partai politik tertentu dan sudah terjadi primordialisasi, yaitu kepentingan diatas kepentingan pribadi, kroni dan golongan, karena fenomenanya penguasa dan pengusaha pers banyak di dominasi para kapitalis dan politikus yang sudah jelas ada pretensi ‘udang dibalik rempeyek'. Dan yang sangat miris lagi, para jurnalisnya bukan berperan sebagai anjing pelacak 'watch dog' justru malah menjadi anjing penjaga 'under dog'.

Dunia hiburan dan media infotainment, kita lebih mengenal “Good News is A Bad News” berita baik sekaligus berita yang buruk, dengan para awak media yang dibekali ilmu jurnalis seadanya dengan menulis berita gosip, sensasi dan fitnah, mencuri perhatian masyarakat dengan target rating-sharing tak peduli berita itu berita busuk, koran kuning mencemarkan nama baik, fitnah dan seterusnya.

Semakin korbannya menderita maka ia merasa berhasil, dalam kategori jurnalis. Infotainment ini bukan merupakan bagian dari karya jurnalis karena bertentangan dengan prinsip kode etik jurnalistik, dan dalam persfektif Islam gosip (bergunjing membuka aib orang lain) merupakan dosa besar, diibaratkan sama saja memakan bangkai saudaranya sendiri, hal yang sama juga pernah disampaikan Gusdur bahwa infotainment adalah haram, dan sepatutnya MUI segera mengeluarkan fatwa terhadap media media tersebut.

Dunia komunikasi kita sebagai insan Pers dalam membuat sebuah berita tidak hanya dituntut memenuhi kebutuhan 5W+1H, tetapi sebagai pers yang bertanggung jawab, bahwa objektifitas sebuah berita tidak bisa disajikan secara utuh apabila akan berdampak negatif bagi masyarakat.

Namun apa yang terjadi pada media belakangan ini, mungkin kita sering melihat para presenter televisi, ketika dalam mewawancarai narasumber layaknya seorang hakim terhadap terdakwa cenderung menyudutkan pertanyaan-pertanyaan sugestif yang seharusnya klarifikatif dan alternatif bahkan narasumber mempunyai hak untuk tidak menjawab atau No coment apabila pertanyaannya dianggap pribadi dan sepatutnya narasumber diperlakukan VIP (khusus) yang dihormati.

Apalagi saat ini sedang maraknya berita-berita yang tidak bisa dipertanggung jawabkan dan berita tidak benar alias “HOAX ”, ironinya media komparador penebar fitnah dan dusta ini dilakukan media mainstream dijadikan kebenaran, dan defiasi sebagian media untuk menggiring opini kepada target pesanan sponsor dengan memonopoli kebenaran atas nama negara, NKRI, agama, dengan jargon menjual penderitaan rakyat.

Dengan memutarbalikan fakta, jangan harap seimbang beritanya (Cover Both side), bahkan lebih celaka “12” lagi, media semacam ini bukan hanya saja “trial by the press” tapi juga sudah merampas martabat harga diri bangsa. Sadar atau dengan tujuan yang sadar bahwa bangsa kita sudah terjangkit wabah virus hipokritisme yang penuh kepura-puraan dan kemunafikan atau dengan kata lain sudah terjadi “paradoks global” yang seolah olah benar namun esensinya tidak ada kebenaran hakiki.

Persoalan pers dan media tidak berhenti hanya sampai persoalan profesi saja, juga kita rasakan animo PUBLIK yang begitu antusias ingin menjadi jurnalis namun dengan cara yang instan, dengan pemahaman hanya profesi inilah yang mempunyai posisi tawar sebagai “berginig posisions”alat untuk memeras, memuluskan persoalan dengan menunjukan ID Pers, “belum tentu paham ilmu jurnalistiknya” atau yang lebih trend dengan istilah pasukan “wartawan bodrex”, tapi itulah hebatnya “bodrex” boleh diminum sebelum makan dan banyak juga bermunculan yang mengaku wartawan CNN dalam istilah sunda “Chan Nulis-Nulis” ngaku wartawan tapi ngga nulis-nulis.

Suka atau tidak suka, itulah wajah Pers Nasional kita, “multy player efec” dari ketidakpastian hukum terutama “rulle of the game” aturan hukum yang berlaku bagi umat pers hal ini yang menjadi akar persoalannya, problem solfingnya adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (leg spesialis), karena Undang Undang tersebut kami menilai belum disebut sebagai Undang Undang atau tepatnya belum bisa dijadikan Undang Undang tunggal yang mengatur tentang pers, karena ketentuan-ketentuan di dalamnya belum mengakomodir semua aspek pers, lebih-lebih tidak ada PP (Peraturan Pelaksana) misalnya, sehingga dalam hal ini sangat menyulitkan sekali para penegak hukum di dalam mengaflikasikan Undang-Undang tersebut. Kalau saya mengibaratkan “sama saja pake baju tapi tidak pake celana”, makanya kebanyakan sebagian wartawan urat malunya pada putus dan kata orang Betawi bilang “muka tembok”, apalagi sebagian wartawan yang sudah menganut mitos-mitos sesat menganggap dirinya “Superbody “dan “Untouchable” tidak dapat tersentuh hukum.

Jadi ketidaksempurnaan Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentang pers mengakibatkan pengabaian eksistensi terhadap Undang-Undang itu sendiri, hal itu terbukti kasus yang di alami media tempo, adalah pintu masuk kasus sengketa pers yang pertama kalinya menguji UU Nomor 40 Tahun 1999 bahwa pemilik perusahaan dituntut denda $1.000.000 dan pemimpin redaksinya dituntut 1 tahun penjara, karena berita. Mengacu Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentang pers, “bahwa sebuah karya jurnalistik tidak menganut kriminalisasi” bukti selanjutnya adalah adanya Nota kesepahaman yang dilakukan Dewan Pers kepada penegak hukum, apalah arti sebuah Nota kesepahaman karena bersifat insidensial bahkan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap.

Walaupun berbagai upaya yang dilakukan dewan pers yang memposisikan diri berkapasitas sebagai juru damai, juru selamat yang memfasilitasi ketika terjadi delik pers dan sengketa terhadap pers masih belum efektif dan tidak mampu juga menyelesaikan persoalan-persoalan pers ujung-ujungnya berakhir awak media di meja hijau karena berita.

Disini jelas, Lembaga dewan pers independen yang kita bidani bersama saat kelahirannya tidak mampu mereduksi efek-efek negatif yang tumbuh dari masyarakat pers itu sendiri, karena dewan pers belum refresentasi dan manifestasi Pers Nasional, hanya didominasi oleh konco-konco kartel politik konglomerasi media saja, dan tidak mampu meneruskan dan meluruskan kemerdekaan pers yang independen, memang selayaknya dibubarkan saja. Dan tetap yang menjadi agenda utama bagi umat pers adalah menyempurnakan Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai payung hukum bagi umat pers untuk mengembalikan Marwah pers Nasional yang sepanjang sejarah hanya mengenal pers perjuangan dan pers perlawanan, bukan pers (Kapitalis, Neo Liberalis) perjuangan atas Hak-Hak Rakyat dan perlawanan pada ketidak adilan,kebodohan dan kemiskinan.

Sebagai pelaku sejarah pers reformis, kami sampaikan permohonan maaf kepada seluruh masyarakat, memang kemerdekaan pers belum menjamin lahirnya pers-pers yang baik kinerjanya, sebagaimana sistem demokrasi di tanah air kita, tidak menjamin tegaknya kedaulatan, keadilan dan hak asasi, karena hitam putih Republik ini dapat tercermin melalui Pers. Dan kami mengharapkan kepada unsur Muspida, para pejabat sipil, militer dan polri untuk tetap bersinergi dan tidak diskriminasi “pilih-pilih tebu” kepada para insan pers baik cetak maupun elektronik, apapun forumnya, himpunannya, organisasinya dan medianya dalam melaksanakan tugas jurnalistik, dan kami mengajak para insan Pers dalam melaksakan tugas tugas jurnalisnya tetap berpegang pada kode etik jurnalistik, nilai-nilai kebenaran dan mengedepankan hati nurani, karena itu di atas segalnya, karena pers yang di emban sebagai alat pemersatu yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, mari kita kawal demokrasi ini dalam perspektif Pers sebagai Pilar Demokrasi. I Love You Pers Nasional. (*)

Ozzy Sulaiman Sudiro
Ketua Umum KWRI / Sekjen Majelis Pers