Kamis, 21 Juni 2018

TPF PWI Dituding Dibiayai Pengusaha ?

Baca Juga


Kota JAKARTA - (harianbuana.com).
Tim Pencari Fakta (TPF) yang diawaki oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dalam menelisik kasus tewasnya Mohammad Yusuf, wartawan Sinar Pagi Baru yang tewas dalam masa penahanan Kejaksaan Negeri (Kejari) Kotabaru di Lapas kelas IIB Kotabaru Provinsi Kalimantan Selatan, dituding dibiayai oleh pengusaha Haji Isam.

"Endingnya mudah ditebak, PWI akan mengeluarkan pernyataan bahwa almarhum meninggal secara wajar", ungkap Wilson Lalengke, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga  Indonesia (PPWI) melalui WA-nya di grup Menggugat Dewan Pers, Rabu (20/06/2018) malam, sekitar 22.30 WIB.

Menurut Wilson, aroma tidak sedap itu mencuat, berdasar informasi yang diperolehnya, dua hari setelah meninggalnya Mohammad Yusuf, ratusan wartawan di Kalsel "pesta pora" di rumah Gubernur Kalsel Sahbirin Noor yang notabene adalah paman kandung Haji Isam. "Walau tema acara buka puasa bersama, tapi H. Isam bagi-bagi ampau", ungkap Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 ini.

Wilson menyebut, wartawan junior dan kroco menerima angpao sebesar Rp. 500 ribu. Sedang Pemred maupun Owner Media diduga mencapai belasan juta. "Maksudnya apa itu? Tak masuk dalam nalar saya", tulisnya di WA, seraya menyebut para wartawan itu sebagai robot tanpa hati, para begundal Haji Isam.

Dengan nada geram bercampur jengkel,
Wilson menyebut mereka gerombolan pecundang gila. "Kawannya tewas di penjara, eh, malah mereka berbahagia dibagi THR oleh simafioso itu. Semua wartawan di sana penakut, penjilat pantat Isam", ujar Wilson Lalengke.

Terkait itu, Wilson Lalengke meminta agar para jurnaslis selalu waspada dan berhati-hati atas manuver PWI yang dinilainya pengkhianat pers. "Waspada dan siapkan semangat perlawanan", pinta Wilson kepada jajaran pers yang tidak tercatat pada PWI dan Dewan Pers.

Bukan tanpa alasan, menurut Wilson Lalengke, selama ini PWI tak pernah peduli terhadap wartawan yang bukan anggotanya jika tertimpa masalah pemberitaan. Sedangkan mendiang Mohammad Yusuf tidak tercatat sebagai anggota PWI, yang selalu dicibir dan dianggap sebelah mata sebagai wartawan abal-abal. "Lho kok, tiba-tiba mereka peduli menelisik kematian almarhum dengan membentuk TPF", ujar Wilson.


Ketua Umum DPP IPJI Taufiq Rachman.

Hal senada juga disampaikan Ketua Umum DPP - Ikatan Penulis dan Jurnalis Indonesia (IPJI), Taufiq Rachman SH, Ssos. Ia juga mensinyalir aroma ketidak-beresan PWI sebagai TPF. Salah-satu pasalnya, selama ini PWI tidak pernah membela wartawan yang bukan anggotanya saat menghadapi masalah.

"Setahu saya alm Yusuf itu bukan anggota PWI. Dan selama ini PWI ngak pernah membela wartawan yang bukan anggotanya saat menghadapi masalah. Nah, saat kasus kematian Yusuf bumming karena diduga ada pelanggaran HAM. Ujug-ujug PWI punya solidaritas tinggi sampai membentuk Tim Pencari Fakta segala. Ada apa ini ??????", ungkap Ketua Umum DPP IPJI Taufiq Rachman dalam grup WhatsApp MDP, Rabu (20/06/2018) malam.

Ungkapan tersebut, bukannya tanpa alasan. Selain selama ini PWI tak pernah membela wartawan yang bukan anggotanya dikala terlibat masalah pemberitaan, Sekjen PWI adalah salah-anggota Dewan Pers (DP).

"Maaf ya, kami nggak percaya sama Tim ini. Fakta apa lagi yang mereka mau cari? Ingat lo, Sekjen PWI adalah salah satu anggota DP, yang ikut memberikan rekomendasi bahwa kasus alm Yusuf tindak pidana, bukan delik pers", ujar Taufiq.

Ketua Umum DPP IPJI Taufiq Rachman menegaskan, Tim Pencari Fakta harusnya melibatkan banyak pihak dan independent. "Kalau mau fair, tim pencari fakta itu beranggotakan semua organisasi pers. Kalau begini caranya, kita semua bisa bikin atas nama organisasi kita masing-masing", tegas Ketua Umum DPP IPJI Taufiq Rachman.

Ditandaskannya, tewasnya Mohammad Yusuf tak bisa dilepaskan dari induk semangnya PWI, Dewan Pers. Sebab, Dewan Pers lah yang  memberikan rekomendasi kasus almarhum M. Yusuf ke kasus tindak pidana. Bukan delik pers. "Rekomendasi itu yang membuat penyidik menahan, sehingga tewas di tahanan", tandas Taufiq Rachman yang menyakini tidak adanya pembelaan dari Dewan Pers.

Menurut Taufiq, andai saja rekomendasi meminta H. Isam untuk melakukan bantahan sesuai Kode Etik Jurnalistik (KEJ), kasusnya tidak akan seperti itu. "Jika ada, saya yakin nasib Mohammad Yusuf tidak mengenaskan. Cuma, karena Dewan Pers memandang sebelah mata, ya akhirnya Allah punya cara lain membuka aib diskriminasi Dewan Pers pada wartawan di Indonesia", beber Taufiq Rachman.

Sementara itu, informasi yang dihimpun di lapangan meyebutkan, bahwa tudingan tersebut perlu dikaji kebenarannya. Sumber yang juga seorang wartawan menjelaskan, bahwa acara makan-makan bersama itu sudah dilakukan sejak belasan tahun yang lalu, dan seolah sudah menjadi agenda tahunan di bulan Ramadhan. "Tudingan itu tidak benar, karena kegiatan makan sahur (buka) bersama ini sudah belasan tahun digelar", jelas sumber.

Ditegaskannya, bahwa acara makan-makan bersama itu sudah dilakukan sejak sebelum Gubernur Kalsel yang sekarang ini menjabat dan tidak hanya melibatkan wartawan yang tergabung dalam organisasi pers PWI saja, melainkan juga dari organisasi pers lainnya. "Sahur (buka) bersama ini sudah belasan tahun digelar sebelum Gubernur Kalsel yang sekarang, dan bukan untuk wartawan anggota PWI (saja), tapi sahur dengan media yang juga ada dari organisasi wartawan lain", tegas sumber. *(IPJI/PPWI/Red)*