Rabu, 06 Juni 2018

Urai Soal Status Tanah Warga, DPRD Kota Mojokerto Konsultasi Ke Pusat

Baca Juga

Anggota Komisi II DPRD Kota Mojokerto, Junaedi Malik.

Kota MOJOKERTO - (harianbuana.com).
Komisi satu DPRD Kota Mojokerto bersama Badan Pendapatan dan Pengelola Keuangan Daerah (BPPKAD) Kota Mojokerto Bidang Aset melaksanakan konsultasi ke Kementrian Agraria Tata Ruang Wilayah, BPN dan Kementrian Perhubungan RI, Selasa 5 Juni 2018. Dimana, konsultasi tersebut dilakukan, lantaran para Wakil Rakyat Kota Mojokerto itu bermaksud mengurai persoalan status tanah warga Kota Mojokerto yang ada di 2 (dua) lokasi, yakni tanah egendom  bekas 'Pemakaman Cina' di Lingkungan Balong Rawe Baru (Baraba) Kelurahan Kedundung Kecamatan Magersari dan tanah yang ditempati sebagian warga Lingkungan Miji Baru Kelurahan Miji Kecamatan Kranggan Kota Mojokerto.

Anggota Komisi II DPRD Kota Mojokerto Junaedi Malik menerangkan, persoalan yang sudah berlangsung selama puluhan tahun itu hingga kini tak kunjung ada penyelesaian sebagaimana harapan warga, untuk bisa diajukan sertifikasi hak atas tanah yang diatasnya sudah dibangun rumah serta ditempati selama puluhan tahun itu. "Masyarakat Lingkungan Baraba sudah puluhan tahun menempati tanah egendom (Bong Cina) yang statusnya  sebagai Tanah Negara itu untuk tempat tinggal. Bahkan, diatas tanah tersebut, mereka sudah membangun rumah permanen dan menjadi pemukiman masyarakat yang padat penduduk", terang Anggota Komisi II DPRD Kota Mojokerto Junaedi Malik kepada Harian BUANA, Rabu (06/06/2018) pagi.

Dijelaskannya, khusus di Lingkungan Balong Rawe Baru (Baraba), ada sekitar 300 KK lebih yang menempati Tanah Negara tersebut. Disisi lain, Yayasan Podo Langgeng sebagai pengelola 'Makam Cina' dilokasi itu sudah habis masa Hak Guna Pakai atas Tanah Negara tersebut sejak 2003, dan Pemerintah Pusat tidak mengijinkan Pengajuan Perpanjangan Pengelolaannya. "Permohonan sertifikat hak atas Tanah Negara tersebeut sebenarnya sudah pernah diajukan ke Pusat, pertama kalinya tahun 1994 sampai tahuan 2000-an yang di fasilitasi Pemkot. Waktu itu, Wali Kota sudah mengeleuarkan SK untk upaya penyelesaian dan pengurusan tanah yang sudah ditempati warga selama puluhan tahun tersebut", jelas Junaedi Malik.


Foto salah-satu kegiatan Komisi II dan Komisi I DPRD Kota Mojokerto beserta Kabid Aset pada BPPKA Kota Mojokerto saat konsultasi ke Kementrian Agraria Tata Ruang Wilayah, BPN dan Kementrian Perhubungan RI, Selasa (05/06/2018).

Junaedi Malik menambahkan, saat itu DPRD juga mengeluarkan rekomendasi agar Pemkot segera melangkah menyelesaikan harapan masarakat dan menjadikan area itu sebagai pemukiman warga. "Saat tahap awal sudah ada sebagian permohonan warga yang berhasil di sertifikasi dan sisanya sampai hari ini belum ada kelanjutan bagaiman kejelasan penyelsaiannya", tambahnya.

Lebih jauh, Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini memaparkan tentang tanah yang ditempati warga Miji Baru yang kurang lebih ada 100 KK. Warga Miji Baru yang ini juga mengajukan permohonan sertifikasi hak atas tanah yang sudah mereka tempati sekitar 60 tahun-an. "Kronologi sejarahnya, warga saat itu membeli pada Perangkat Desa setempat dengan keterangan tanah itu Tanah Negara yang merupakan hak untuk Perangkat Desa atau aparat saat itu. Bahkan, sejak masyarakat bangun rumah dan menempatinya sejak awal sampai hari ini masyarakat rutin bayar PBB sebagai kewajiban ke Pemerintah", papar Junaedi Malik.

Junaedi Malik membeberkan, sejak tahun 1998, telah beberapa kali warga mengajukan permohonan ke Pemerintah untuk dapat memfasilitasi  proses sertifikasi tanah yang mereka tempati. Namun, selama puluhan tahun itu belum berhasil dan berhenti ditengah jalan. Terkait ini, warga pun sudah membentuk 'Panitia Pengurusan' tanah tersebut sampai 4 generasi. "Hingga hari ini, Pemkot dan BPN serta instansi terkait tidak bisa berbuat banyak karena satu sisi PT. KAI mengklaim tanah  yang ditempati warga Miji Baru itu sebagai asetnya yang dikuasai warga. Tapi dalam upaya penyelesaian sengketa tanah tersebut, sejak awal sampai hari ini, PT. KAI tidak bisa membuktikan dokumen otentiknya yang menyatakan bahwa tanah tersebut adalah asetnya yang dikuasai sejak tahun 1928. Sampai hari ini pula, PT. KAI juga tidak pernah menggunakan dan melakukan kegiatan apapun dilokasi tanah tersebut", bebernya.

Sekira tahun 1990 silam, lanjut Junaedi Malik, Kepala Kantor Pertanahan setempat saat itu menyatakan, sesuai sesuai UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, tanah tersebut beralih status menjadi Tanah Negara bebas yang di kuasai langsung oleh Negara. "Saya selaku wakil rakyat berpendapat, sebenarnya dalam posisi sebagaimana keadaan tersebut, sesuai dengan regulasi Permen Agraria/BPN No. 3 Tahun 1997 Pasal 61 ayat (2) yang garis besar isinya yaitu dalam hak kepemilikan tanah tidak dapat di buktikan, maka penguasaan secara fisik atas bidang tanah selama 20 tahun berturut turut oleh yang bersangkutan dan para pendahulunya, sesuai PP Nomor 24 Tahun 97 Pasal 24 ayat (2), maka dapat digunakan sebagai dasar pembuktian tanah tersebut sebagai milik yang bersangkutan", lanjutnya.

Ditandaskannya, melihat persoalan warga Kota Mojokerto terkait status tanah di 2 (dua) tempat itu yang sudah sekian lamanya berhenti dan sampai hari ini belum ada kejelasan tindak-lanjut penyelesaiannya itu, maka pihak pihak Komisi II bersama Komisi I DPRD Kota Mojokerto yang membidangi pertanahan beserta eksekutif yang dalam hal ini Kepala Bidang (Kabid) Aset pada BPPKA Kota Mojokerto melakukan upaya konsultasi ke Pusat. "Kami mencoba untuk mengurai persoalan tersebut, dan berupaya kembali membuka pintu untuk memfasilitasi ke pihak terkait agar ada mediasi kembali untuk melanjutkan penuntasan persoalan warga yang sangat mendasar tersebut", tandasnya.

Ia berharap, upaya konsultasi ke Pusat tersebut akan didapat solusi yang jelas dan kongkrit, sehingga persoalan ratusan warga di dua tempat yang sudah puluhan tahun tersebut segera bisa terselesaikan.
"Kami berharap, adanya solusi yang jelas dan langkah kongkrit serta kebijakan dari semua pihak terkait agar harapan warga masyarakat bisa mengajukan permohonan sertifikasi hak atas tanah yang merupakan tanah negara bebas yang dikuasai negara tersebut bisa terwujud, sehingga warga mendapatkan kepastian hukum yang jelas. Dengan demikian, warga bisa menempati rumah dengan nyaman dan aman serta tenteram", harapnya. *(DI/Red)*