Kamis, 09 Mei 2019

Soal Uang Rp. 10 Juta, Staf Menag Lukman Hakim Laporkan Ke KPK Sebagai Honor Tambahan

Baca Juga

Menag Lukman Hakim Syafiuddin saat menunggu dimulainya jadwal agenda pemeriksaan, di ruang lobi kantor KPK, jalan Kuningan Persada – Jakarta Selatan, Kamis 09 Mei 2019.


Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Uang Rp. 10 juta yang disebut-sebut diterima Menag Lukman Hakim Syaifuddin dari Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kementerian Agama (Kemanag) Provinsi Jawa Timur Haris Hasanuddin dan sudah dikembalikan ke KPK sekitar sebulan yang lalu itu, tidak akan diproses oleh KPK sebagai Laporan Gratifikasi. Alasannya, pengembalian gratifikasi tersebut dilakukan setelah OTT.

Kepala Biro Humas KPK menerangkan, bahwa staf Menag Lukman Hakim Syafiuddin melaporkan uang Rp. 10 juta yang diterima Lukman Hakim Syafiuddin dari Kakanwil Kemenag Prov. Jawa Timur Haris Hasanuddin itu sebagai honor tambahan. Keterangan itu disebutkan oleh staf Menag Lukman Hakim  dalam laporan gratifikasi ke KPK.

"Di laporan gratifikasi, yang disampaikan staf Menag tersebut ditulis, penerimaan Rp. 10 juta tersebut merupakan honor tambahan", terang Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah kepada wartawan, Kamis 09 Mei 2019.

Febri Diansyah menjelaskan, bahwa proses lebih lanjut terkait uang Rp 10 juta itu menunggu penanganan perkara. Dijelaskannya pula, bahwa laporan gratifikasi yang dilakukan setelah ada proses hukum, dalam hal ini OTT, maka laporan itu bisa tidak diproses.

"Nanti proses lebih lanjutnya harus menunggu penanganan perkara ini. Sekarang kami belum dapat menerbitkan SK penetapan status gratifikasi karena ada aturan yang berlaku kalau pelaporan gratifikasi dilakukan setelah proses hukum terjadi, apalagi setelah OTT, maka belum dapat ditindaklanjuti", jelas Febri Diansyah.
 
Lebih lanjut, Febri Diansyah memaparkan sejumlah alasan tentang 'mengapa laporan gratifikasi bisa tidak ditindaklanjuti jika sudah ada proses hukum terkait? Salah satunya untuk menghindari orang yang terkena OTT melaporkan penerimaannya seolah itu gratifikasi.

"Karena ada prinsip, tidak boleh ada meeting of mind atau hal-hal yang bersifat transaksional. Ini untuk menghindari orang yang kena OTT kemudian besok melapor seolah itu gratifikasi. Dan, itu banyak contoh dan ditolak sampai di pengadilan. Kedua, laporan gratifikasi dilakukan bukan setelah ketahuan, tapi sejak awal menduga itu menduga bukan penerimaan yang sah harus dilaporkan", paparnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Laode Mohammad Syarif telah menegaskan, bahwa pihaknya tidak akan memproses laporan gratifikasi Rp. 10 juta itu. Alasannya, pengembalian gratifikasi dilakukan setelah terjadinya OTT.

"Itu (uang pemberian Rp. 10 juta) dilaporkan sebagai gratifikasi, tapi setelah kejadian OTT. Oleh karena itu, kami tidak proses sebagai pelaporan gratifikasi", terang Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif di gedung KPK, jalan Kuningan Persada – Jakarta Selatan, Kamis (09/05/2019) kemarin.

Uang itu, disebut diberikan oleh Haris Hasanuddin selaku Kakanwil Kemenag Jawa Timur ketika Lukman Hakim Syaifuddin selaku Menteri Agama RI mengunjungi Pondok Pesantren (Ponpes) Tebuireng di Kabupaten Jombang Provinsi Jawa Timur pada 09 Maret 2019.

Sedangkan OTT terhadap Romahurmuziy, Haris Hasanuddin dan Muhammad Muafaq Wirahadi terjadi pada 15 Maret 2019. Sementara pengembalian uang itu ke KPK dilakukan pada 26 Maret 2019. 

Dalam perkara ini, KPK telah menetapkan mantan Ketua Umum PPP yang juga Anggota non-akti Komisi XI DPR-RI  Romahurmuziy alias Romi sebagai Tersangka penerima suap total Rp. 300 juta pada Sabtu 16 Maret 2019 lalu.

Sedangkan terhadap Muhammad Muafaq Wirahadi selaku Kepala Kemenag Kabupaten Gresik dan Haris Hasanuddin selaku Kepala Kanwil Kemenag Provinsi Jawa Timur, KPK menetapkan keduanya sebagai Tersangka pemberi suap.

KPK menduga, Romahurmuziy membantu Haris Hasanuddin dalam seleksi jabatan Kepala Kantor Wilayah Kemenag Provinsi Jawa Timur dan Muhammad Muafaq Wirahadi dalam seleksi jabatan Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik.

KPK pun menduga, Romahurmuziy bersama pihak Kementerian Agama diduga telah menentukan hasil seleksi jabatan Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik dan Kepala Kantor Wilayah Kemenag Provinsi Jawa Timur.

KPK juga menduga, Muhammaf Muafaq Wirahadi telah memberi uang sebesar Rp. 50 juta kepada Romahumuziy pada Jum'at 15 Maret 2019 pagi terkait jabatannya sebagai Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik.

Sementara Haris Hasanuddin diduga KPK telah memberi uang Rp. 250 juta kepada Romahurmuziy pada Rabu 06 Pebruari 2019 silam, terkait jabatannya sebagai Kepala Kanwil Kemenag Provinsi Jawa Timur.

Terhadap Romahurnuziy, KPK menyangka, tersangka Romahurmuziy diduga telah melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 1e huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sedangkan terhadap Muhammad Muafaq Wirahadi dan Haris Hasanuddin, KPK menyangka, keduanya diduga telah melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Selain itu, KPK menemukan bahwa Romi tak hanya bermain pada proses jual beli jabatan di Kanwil Kemenag Jawa Timur. KPK mengaku menerima banyak laporan bahwa Romi bermain di banyaj daerah di Tanah Air. KPK pun berjanji akan mendalami hal tersebut.

KPK menduga, dalam memainkan pengisian jabatan di Kemenag, Romi dibantu pihak internal Kemenag. KPK pun sudah mengantongi nama oknum tersebut. Hanya saja, KPK masih menutup rapat-rapat siapa oknum dimaksud.

Selain uang Rp 10 juta itu, ada juga uang Rp. 180 juta dan USD 30 ribu yang disita KPK dari laci meja-kerja di ruang-kerja Menag Lukman Hakim Syaifuddin. Yang mana, terkait uang sitaan KPK dari laci meja-kerjanya tersebut, Lukman Hakim masih belum memberi penjelasan. *(Ys/HB)*