Selasa, 17 Maret 2020

Tarif Iuran BPJS Tidak Perlu Naik, KPK Minta Jalankan Rekomendasi

Baca Juga

KPK saat menyampaikan kajian atas Tata Kelola Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan di Kantor KPK jalan Kuningan Persada – Jakarta Selatan, Jum'at 13 Maret 2020.


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengeluarkan sejumlah rekomendasi untuk mengatasi defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan. Jika rekomendasi tersebut dijalankan, BPJS tidak perlu menaikkan iuran yang nantinya akan dibebankan kepada masyarakat.

Demikian kajian atas tata kelola Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan disampaikan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam konferensi pers di Kantor KPK jalan Kuningan Persada – Jakarta Selatan, Jum'at (13/03/2020) lalu.

Seperti diketahui, Mahkamah Agung (MA) baru saja mengabulkan uji materi Peraturan Presiden (Perpres) No. 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, khususnya aturan kenaikan iuran BPJS yang mencapai 100 persen per 1 Januari 2020.

Dalam putusannya, MA membatalkan aturan kenaikan iuran BPJS seperti tercantum dalam Pasal 34 ayat (1), (2) Perpres No.75 Tahun 2019 itu.

Keputusan pembatalan yang dikeluarkan oleh MA sejalan dengan temuan KPK pada 2018, bahwa BPJS Kesehatan mengalami defisit yang cukup parah. Yang mana, ada empat hal yang melatar belakanginya.

Ghufron menyebut hal pertama karena keterlambatan pembayaran klaim ke fasilitas kesehatan (faskes), belum lagi kolektabilitas iuran hanya ±50 persen pada segmen peserta mandiri atau peserta bukan penerima upah (PBPU).

“Defisit semakin meningkat hingga mencapai Rp12,2 triliun. Jumlah tersebut disebabkan oleh tunggakan iuran peserta mandiri sebesar Rp5,6 triliun atau sekitar 45 persen", tuturnya.

Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan menambahkan, masih terjadi overpayment sebesar Rp. 33 miliar per-tahun menjadi persoalan tersendiri bagi BPJS Kesehatan. Hal ini disebabkan empat dari enam rumah sakit bermain 'nakal' karena mengklaim tidak sesuai dengan kelasnya.

Menurut Pahala, KPK telah meminta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mempercepat penyusunan Pedoman Nasional Praktik Kedokteran (PNPK) esensial. Menurutnya pula, hingga Juli 2019 baru ada 32 PNPK, sedangkan target yang diminta oleh KPK pada 2015 sebanyak 80 PNPK.

Pahala menegaskan, ketiadaan PNPK itulah yang mengakibatkan unnecessary treatment atau pengobatan yang tidak perlu.

Ditegaskannya pula, KPK meminta Kemenkes agar memberikan opsi pembatasan manfaat untuk penyakit katastropik hingga akibat gaya hidup seperti jantung, diabetes, kanker, stroke, dan gagal ginjal.

Jika hal itu telah diatur, BPJS Kesehatan bisa mengurangi 5–10 persen potensi  unnecessary treatment sebesar Rp. 2,8 triliun dari total klaim pada 2018 sebesar Rp. 28 triliun.

Akselerasi coordination of benefit (CoB) dengan asuransi kesehatan swasta pun perlu dilakukan. Dengan begitu, BPJS bisa berbagi jika terdapat klaim dengan pihak asuransi swasta, seperti yang sudah diterapkan oleh pemerintah Jepang dan Korea Selatan.

“Dengan asumsi besaran CoB seperti yang diterapkan di Jepang dan Korea Selatan, yaitu 20-30 persen, dapat mengalihkan beban klaim peserta PPU (pekerja penerima upah) nonpemerintah dan PBPU sebesar Rp 600-900 miliar kepada asuransi swasta”, sebutnya.

Ghufron mengatakan KPK juga meminta kemenkes mengevaluasi penetapan kelas rumah sakit agar tak mengalami overpayment. Terkait ini, Ghufron menyebut, dari hasil riviu pada 2018, Kemenkes menemukan 898 rumah sakit dari 7.000 rumah sakit tidak sesuai kelas. *(Ys/HB)*