Baca Juga
Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengonfirmasi seorang jaksa, Sri Astuti sebagai Saksi untuk tersangka Nurhadi mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) dalam penyidikan atas perkara dugaan tindak pidana korupsi suap dan gratifikasi pengurusan perkara perdata di MA tahun 2011–2016, Selasa 07 Maret 2020.
Ia dikonfirmasi selaku Jaksa Pengacara Negara (JPN) yang saat itu diminta untuk menjadi 'Kuasa' gugatan perdata PT. Multicon Indrajaya Terminal (PT. MIT) terhadap suatu BUMN yakni PT. Kawasan Berikat Nusantara (PT. KBN) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara.
"Penyidik mengonfirmasi saksi seputar tugas yang bersangkutan yang saat itu selaku Jaksa Pengacara Negara (JPN) yang diminta oleh BUMN dalam hal ini PT KBN untuk menjadi kuasa dalam gugatan perdata PT. MIT di PN Jakarta Utara", terang Pelaksana-tugas (Plt.) Juru Bicara (Jubir) KPK Ali Fikri dalam keterangan tertulisnya saat dikonfirmasi wartawan di kantor KPK jalan Kuningan Persada – Jakarta Selatan, Selasa 07 April 2020.
"Keterangan saksi Sri, membantu Penyidik KPK untuk menguatkan pembuktian dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka NHD (Nurhadi)", tandasnya.
Dalam perkara ini, selain Nurhadi, KPK juga telah menetapkan 2 (dua) Tersangka lainnya. Ke-duanya dari unsur swasta, yakni Rezky Herbiyono (RHE) menantu Nurhadi dan Hiendra Soenjoto (HS) Direktur PT. MIT
Nurhadi dan Rezky ditetapkan sebagai Tersangka penerima suap dan gratifikasi senilai Rp. 46 miliar terkait pengurusan sejumlah perkara di MA, sedangkan Hiendra ditetapkan sebagai Tersangka pemberi suap.
Dugaan penerimaan suap dan gratifikasi tersebut diduga terkait pertama, perkara perdata antara PT. MIT melawan PT. KBN (Persero) pada tahun 2010.
Yang mana, pada awal 2015, tersangka Rezky menerima 9 lembar cek atas nama PT. MIT dari tersangka Hiendra untuk mengurus perkara Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Kasasi No: 2570 K/Pdt/2012 antara PT. MIT dan PT. KBN (Persero) dan dalam proses hukum dan pelaksanaan eksekusi lahan PT. MIT di lokasi milik PT. KBN oleh PN Jakarta Utara agar dapat ditangguhkan.
Untuk membiayai pengurusan perkara tersebut, tersangka Rezky menjaminkan 8 lembar cek dari PT. MIT dan 3 lembar cek milik Rezky untuk mendapatkan uang dengan nilai Rp. 14 miliar.
Namun, kemudian PT. MIT kalah dan karenanya pengurusan perkara tersebut gagal, maka tersangka Hiendra meminta kembali 9 lembar cek yang pernah diberikan tersebut.
Perkara kedua adalah pengurusan perkara perdata sengketa saham di PT. MIT. Yaitu, pada 2015 Hiendra digugat atas kepemilikan saham PT. MIT. Perkara perdata ini dimenangkan oleh Hiendra mulai dari tingkat pertama dan banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada Januari 2016.
Pada periode Juli 2015 – Januari 2016, yaitu ketika perkara gugatan perdata antara Hiendra dan Azhar Umar sedang disidangkan di PN Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Diduga, terjadi tpemberian uang dari tersangka Hiendra kepada Nurhadi melalui tersangka Rezky total senilai Rp. 33,1 miliar.
Penberian uang tersebut diduga dilakukan dalam 45 kali transaksi. Pemecahan transaksi tersebut diduga sengaja dilakukan agar tidak mencurigakan karena nilai transaksi yang begitu besar. Beberapa kali transaksi juga dilakukan melalui rekening staf Rezky.
KPK menduga, tujuan pemberian uang-uang tersebut adalah untuk memenangkan Hiendra dalam perkara perdata terkait kepemilikan saham PT. MIT.
Untuk perkara ketiga adalah dugaan adanya penerimaan gratifikasi terkait dengan pengurusan perkara-perkara lain di pengadilan.
KPK pun menduga, tersangka Nurhadi melalui Rezky menantu Nurhadi dalam rentang Oktober 2014 – Agustus 2016 diduga juga menerima sejumlah uang dengan total sekitar Rp. 12,9 miliar terkait dengan penanganan perkara sengketa tanah di tingkat kasasi dan PK di MA dan permohonan perwalian.
Penerimaan-penerimaan tersebut, tidak pernah dilaporkan oleh tersangka Nurhadi kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari kerja, terhitung sejak tanggal penerimaan gratifikasi. *(Ys/HB)*