Kamis, 09 November 2023

KPK Temukan Potensi Korupsi Pada Industri Pariwisata

Baca Juga


Wakil Ketua KPK Johanis Tanak.


Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Tim Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan potensi korupsi pada industri pariwisata. Potensi korupsi ini disebabkan regulasi atau perangkat aturan perundang-undangan yang belum memadai. Hal itu disampaikan Wakil Ketua KPK Johanis Tanak usai menerima audiensi dari pelaku usaha pariwisata.

Kekosongan hukum dimanfaatkan oleh penyelenggara negara agar pengusaha mengeluarkan biaya ekstra. Biaya ekstra adalah korupsi", kata Wakil Ketua KPK Johanis di Gedung Merah Putih KPK jalan Kuningan Persada Kavling 4 Setiabudi Jakarta Selatan, Rabu (08/11/2023).

Johanis Tanak menjelaskan, saat ini terdapat sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik melalui sistem Online Single Submission (OSS). OSS berbasis risiko wajib digunakan oleh pelaku usaha, kementerian/ lembaga, pemerintah daerah, administrator kawasan ekonomi khusus dan badan pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas Pelabuhan Bebas (KPBPB).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021, terdapat 1.702 kegiatan usaha yang terdiri atas 1.349 klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia yang sudah diimplementasikan dalam sistem OSS berbasis risiko. Sistem ini dibuat, agar pelaku usaha tidak bertemu pejabat negara secara langsung dalam proses perizinan.

”(Dalam pelaksanaannya) internet rusak sehingga tidak bisa menindak-lanjuti permohonan. Akhirnya, didatangi agar apa yang disampaikan bisa tercapai. Bagi pengusaha, waktu adalah uang. Kalau terlambat, pengusaha gelisah. Agar cepat, akhirnya mengeluarkan uang", jelas Johanis Tanak.

KPK sudah mendapat informasi dari berbagai pihak, termasuk pengusaha. Terkait itu, KPK akan melakukan sejumlah upaya pencegahan. ”Kami sudah menerima masukan dari pengusaha, itu yang akan kami lakukan", tegasnya.

Sementara itu, Ketua Gabungan Industri Pariwisata (GIP) Hariyadi Sukamdani mengatakan, potensi korupsi pada industri pariwisata besar, karena ada regulasi yang bisa disalah-artikan atau tidak lengkap. Regulasi itu dimanfaatkan dan membuka potensi suap dan gratifikasi.

”Masalahnya, banyak oknum yang berkolaborasi antar-instansi untuk melakukan upaya pemerasan. Sementara untuk melaporkan kejadian ini masih tumpul karena pihak yang seharusnya menegakkan hukum malah bekerja sama di lapangan", kata Ketua GIP Hariyadi Sukamdani.

Hariyadi menegaskan, sektor pariwisata dan hiburan berbiaya tinggi. Besar tarif pajak hiburan, misalnya berkisar 40–70 % (persen). Pajak yang tinggi tersebut membuka peluang suap dan pemerasan.

Ditegaskan pula oleh Haryadi, untuk mencegah korupsi, perlu ada penegakan aturan dan pengawasan di lapangan. Sejauh ini, Gabungan Industri Pariwisata bekerja sama dengan KPK apabila ditemukan masalah suap di lapangan.

”Sejauh ini KPK membantu mediasi antara pelaku usaha dan pihak-pihak yang bermasalah di lapangan. Namun, tindak lanjut setelah pertemuan itu yang masih tidak jelas harus diapakan", tegasnya. *(HB)*