Sabtu, 20 Februari 2016

Perbedaan Sistem Pendidikan di Indonesia dan Jerman

Baca Juga

ARTIKEL PENDIDIKAN.

Oleh, TC Krisna, mahasiswa program Doktoral salah-satu Universitas di Jerman.

Kota MOJOKERTO~LEIPZIG – (harianbuana.com).

   Sebelum secara panjang-lebar memaparkan sistem pendidikan di Jerman, baiknya penulis kupas tentang sistem pendidikan di Indonesia terlebih dahulu. Yang mana, berbicara tentang sistem pendidikan di Indonesia, tentunya tak terlepas dari adanya kemajemukan problematikanya. Dan, dengan mengetahui adanya suatu problem dimaksud, niscaya akan didapatkan solusi untuk memecahkannya. Itupun, jika ditangani secara serius dan  penuh komitmen.
   Sebagai negara berkembang, tentunya mutu pendidikan di Indonesia belum bisa menyamai mutu pendidikan yang ada dinegara-negara maju. Apalagi sekelas Jerman yang mutu pendidikan berada jauh diatas Indonesia. Namun, penulis yakin, jika ditangani secara penuh keseriusan dan komitmen yang tinggi, niscaya dalam waktu yang tidak lama, setidaknya akan setara dengan sesama negara ASEAN.
   Hal ini, karena selama ini pendidikan di Indonesia belum dapat berfungsi secara maksimal. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia harus segera diperbaiki agar mampu melahirkan generasi-generasi yang memiliki keunggulan dalam berbagai bidang saint maupun teknologi, agar bangsa Indonesia dapat bersaing dengan bangsa lain dan agar tidak semakin tertinggal karena arus global yang berjalan demikian cepatnya.
   Untuk itu, diperlukan sistem pendidikan yang responsif terhadap perubahan dan tuntutan zaman. Maka, tentunya harus dimulai dari perbaikan sistem itu sendiri. Sebab, dalam hal apapun, jika sistemnya kurang tepat, mustahil akan diperoleh suatu hasil yang memadai, apalagi maksimal. Itupun jika sistemnya masih dikategorikan "kurang tepat". Jika sistemnya dikategorikan tidak tepat atau salah, otomatis tidak akan ada hasilnnya sama-sekali. Bahkan, bisa dipastikan akan merugi.
   Perlu kita garis bawahi, bahwa masa depan suatu bangsa sangat tergantung pada kualitas sumber daya manusianya dan kemampuan peserta didiknya untuk menguasai ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Maka dari itu, Pemerintah Indonesia harus mengambil kebijakan yang tepat sehingga dapat mengatasi masalah-masalah pendidikan.
   Sejatinya, banyak hal yang berbeda antara sistem pendidikan di Jerman dengan Indonesia. Berawal dari tinjauan sistem saja, pendidikan di Jerman itu telah berbeda dengan lazimnya di Indonesia. Di Jerman, jenjang pendidikan pra Perguruan Tinggi itu hanya ada 2 macam, yakni Pendidikan Dasar (Grundschule) dan Pendidikan Lanjutan (Gymnasium,Realschule, atau Berufschule). Sedangkan kalau di Indonesia, untuk pendidikan pra Perguruan Tinggi, meskipun ada 2 macam namun memiliki 4 jenjang tingkatan, yaitu TK-SD-SMP-SMA/SMK.
   Ditinjau dari sisi waktu pun juga berbeda. Di Indonesia, memerlukan waktu 12 tahun (normal) sebelum menapak ke jenjang Perguruan Tinggi, sedangkan di Jerman dibutuh waktu selama 13 tahun. Hanya saja, titian secara detail tentang Sistem Pendidikan Jerman tidak penulis paparkan disini, melainkan akan penulis uraikan pada episode tema berikutnya. Hanya saja, pada episode ini, yang akan penulis bahas bukanlah masalah "teknis" dari pendidikan itu sendiri, seperti tertulis di atas. Namun, penulis justru tertarik tentang konsep ataupun sistem dunia pendidikan yang ada di Jerman.
   Sebagaimana yang penulis ketahui, konsep pendidikan di Jerman adalah cenderung pada "Pemerataan Hak Mendapatkan Pendidikan". Ini, berlaku untuk keseluruhan, baik warga asing maupun warga Jerman yang tinggal di Jerman itu sendiri. Artinya, secara konsep, yang diutamakan adalah "Pemerataan Pendidikan Daripada Pencapaian Puncak-puncak Hasil Pendidikan".
   Sebagai contoh pemisalan, bahwa ketika hasil puncak dari pendidikan itu
rendah, maka seluruh Jerman akan merasa panik. Akan tetapi, ketika ada warga Jerman yang dalam suatu lomba mendapatkan hadiah ataupun penghargaan “The Best" dalam bidang sains, justru warga Jerman yang lainnya menganggapnya bahwa "Hal itu Biasa Saja". Ini, terbalik dengan kebiasaan di Indonesia yang merasa "sangat bangga" terhadap prestasi yang mengharumkan namanya.
   Contoh pemisalan yang lainnya, di Jerman, bahwa karier seseorang yang berkecimpung dalam lembaga pendidikan disebut "sukses", jika seseorang itu berpindah dari Kampus-kampus kecil di Kota kecil dan bisa merubah Kampus kecil di Kota kecil itu menjadi Kampus besar, meski berada di Kota kecil.
   Yang mana, secara prinsip, ialah dapat membuat pemerataan kualitas pendidikan terjadi secara alami. Dan, lagi-lagi, ini pun berbeda dengan lazimnya di Negara kita yang tercinta. Dimana, senantiasa cenderung memiliki dan bahkan membudayakan kebiasaan ataupun adat "Pintar Kumpul Pintar" ataupun "Kaya Kumpul Kaya" ataupun "Hebat Kumpul Hebat" dan seterusnya.
Jika hal ini langgeng terjadi, pertanyaannya, "Kapankah... Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia dapat terjadi.....?". Padahal, ini jelas tertera sebagai sila ke-lima dari Dasar Negara, PANCASILA.
   Menyimak kondisi di atas, membuat penulis tersenyum. Meski demikian, penulis merasa optimis dan yakin, bahwa kualitas pendidikan di Indonesia bisa meningkat secara drastis. Namun, tentunya tidak sekonyong-konyong seperti halnya membalikkan telapak tangan. Dan, tentunya pula, ini membutuhkan proses juga syarat, yang menurut penulis, syarat utamanya adalah adanya "pemeratan pendidikan dan penghargaan terhadap prestasi pendidikan".
   Bila syarat ini terpenuhi, penulis yakin, semakin banyak anak-anak Indonesia yang berprestasi di ajang internasional. Dan, semua anak Indonesia tanpa kecuali dapat mengeyam pendidikan secara maksimal. Berikut, penulis paparkan tentang pengalaman penulis saat menempuh studi program Doktor disalah-satu Universitas di Jerman. Namun, sebelumnya perlu kiranya penulis sampaikan hal-hal mendasar tentang perbedaan sistem perkuliahan di Jerman dan Indonesia.
   Singkat cerita, saat ini penulis saat ini sedang mengambil program Doktor (S3) di salah satu Universitas di Jerman. Dilatar belakangi oleh pengalaman penulis yang merasakan perbedaan sangat mencolok selama ini, maka tulisan ini dibuat untuk sekedar berbagi pengalaman dan tidak bermaksud menjelekkan pihak manapun.
   Berbicara pendidikan, tentunya tak bisa lepas tentang adanya kejelasan silabus dan perencanaan yang semuanya harus serba terarah. "Kalau di Indonesia sering nggak sesuai mas antara apa yang ada di silabus dan yang terjadi selama perkuliahan", begitu kata salah seorang kolega saya di sini yang sedang mengambil Master.
   Setelah saya renungkan, memang benar begitu. Dulu, ketika penulis mengambil program Bachelor dan Master, selama satu semester mengambil mata kuliah apapun itu, saya akan belajar tentang apa, tugasnya apa, referensinya dari mana dan sebagainya. Dosen pun memberi materi sepertinya  by accident, dipersiapkan mendadak dan terkadang rasanya kurang nyambung. Misalnya saja, saya sering diberi tugas untuk sekedar resume paper atau buku.
   Menurut penulis, ini kurang berguna. Bahkan, yang penulis rasakan, ini seperti tugas terjemahan bahasa saja. Apa gunanya buat kita...? Ingatan penulis mengenang ucapan teman ketika itu, tugas tersebut sering diberikan ketika dosen tidak masuk atau masuk sebentar lalu pergi entah kemana. Seringkali alasannya rapat, lalu memberikan tugas pamungkas itu.
   Ketika kita berpikir pragmatis, tentu kita senang karena ini tugas mudah dan kita bisa dapat nilai bagus. Tapi kalau berpikir jernih, seberapa banyak ilmu yang kita dapat? Sayangnya, kebanyakan mahasiswa hanya menterjemahkan tanpa memahaminya. Dan, celakanya, ketika dosen masuk di pertemuan berikutnya ini tidak dibahas lagi. Yang mana, biasanya dosen akan memberikan materi baru lagi yang tidak ada kesinambungannya dengan materi sebelumnya.
   Lalu, apa bedanya dengan di Jerman...?
Kesan penulis, ketika pertama kali penulis mengikuti kuliah, sekedar informasi saja, karena bidang Bachelor dan Master penulis tidak nyambung dengan bidang Doktor penulis, maka penulis diwajibkan untuk mengikuti beberapa mata kuliah dan "harus lulus".
   Oke lah..., sedikit penulis cerita tentang mata kuliah Atmospheric Radiation (Radiasi Atmosfer). Ketika pertemuan pertama, untuk diketahui saja bahwa semua dosen disini adalah profesor, pertama-tama dosennya memberikan pengantar materi, lalu yang dilakukan berikutnya adalah membuka web institute hingga sampai pada mata kuliah kami ketika itu.
   Di dalam sistem itu ada silabus dan script atau hand book atau buku pegangan, yang dibuat oleh dosen tersebut. Dari 5 (lima) topik yang dibahas pada semester itu, semuanya nyambung. Contohnya, dimulai dari (1). Pengantar, (2). Dasar-dasar, (3). One Dimentional Properties, (4). Two Dimentional Properties dan (5). Radiative Transfer Model. Mendapati ini, penulis pun kemudian bertanya padanya, "Prof..., apa saja literatur yang harus kami pelajari untuk mata kuliah ini dan dimana kami bisa mendapatkannya...?", tanya penulis pada dosen.
   Yang membuat penulis terkesan sekali lagi, dalam menanggapi pertanyaan yang penulis lontarkan, dengan serius dan sedemikan terbukanya, dia pun menjawab, "Kalian tidak perlu cari literatur lain. Cukup kuasai dan pelajari script yang sudah saya siapkan, ditambah ikut kelas exercise", jawab dosen penulis, saat itu.
   Kontan saja, dalam benak penulis pun muncul luapan kesan kagum yang sedemikian kuatnya, "Woouw... ini keren sekali", demikian kira-kira laupan kesan kagum penulis pada dosen penulis. Jadi, ceritanya dia adalah menulis buku tentang Atmospheric Radiation dan dia menyiapkan script atau hand book untuk mahasiswanya. Dan bahkan, ketika pertemuan pertama itu sudah ditetapkan kapan ujiannya.
   Dapat penulis simpulkan, bahwa disini sangat well prepart dan semua serba  jelas arahnya serta sesuai dengan silabus. Ya... terang-terang saja, meskipun tingkat kesulitannya tinggi, tapi ini memberikan semacam haluan bagi kami ketika harus belajar ketika itu dan seperti yang sudah saya sebutkan di atas, bahwa materi yang diajarkan nyambung dari satu pertemuan ke pertemuan berikutnya, demikian juga dari bab satu ke bab lainnya.
   Perlu penulis jelaskan juga, bahwa kelas exercise itu biasanya berisi tugas-tugas dan pemantapan serta pemahaman yang diisi oleh asisten profesornya. Sedangkan untuk script, slide seminar, tugas dan kunci jawaban tugas, semuanya diupload ke dalam sistem dengan sedemikian rapinya. Dan satu hal lagi, bahwa 5 (lima) bab yang telah disusun di dalam silabus dan script itu selesai tepat waktu dan benar-benar dilaksanakan 100%.
   Andaikan sejak dulu di Indonesia tercinta hal demikian ini disajikan untuk seluruh anak-anak Indonesia. Alangkah majunya Indonesia Tanah Air ku, alangkah sejahteranya Bumi Pertiwi...
Hanya saja, merupakan hal yang hampir mustahil ketika penulis dulu mengambil program Bachelor dan Master. Akhirnya, semoga artikel ini menjadikan semangat bagi penyelenggara pendidikan di Indonesia, sehingga dapat segera menghantarkan seluruh rakyat Indonesia kedepan pintu kemerdekaan. Semoga.  *(TCKris/redaksi)*