Baca Juga
Kota MOJOKERTO — (harianbuana.com) Kalangan anggota Komisi III DPRD Kota Mojokerto mengaku tak habis pikir atas masih banyaknya keluhan dari para Pedagang Kaki Lima (PKL) dan rasa ketidak-adilan yang diterima para PKL di Kota Mojokerto yang akhir-akhir ini sering 'diobrak' pasukan penegak Perda (Peraturan Daerah) Kota Mojokerto. Komisi yang salah-satunya membidangi persoalan ketenaga-kerjaan juga masalah sosial ini menilai, Pemda setempat lebih mementingkan gelar penghargaan saja, ketimbang memikirkan kondisi sosial masyarakat kecil yang bermata-pencaharian sebagai PKL.
Sebagaina yang disampaikan Ketua Komisi III DPRD Kota Mojokerto, Junaedi Malik kepada wartawan Harian BUANA pada Kamis (16/02/2017) siang, bahwa pihaknya telah beberapa kali memberikan buah pemikiran dan berbagai telaah terkait keberadaan warga Kota Mojokerto yang sendi-sendi penghidupannya didulang dari berjualan dipinggir-pinggir jalan menanti bakal calon pembeli lewat melihat barang dagangannya. "Sudah beberapa kali, kami dengan peran fungsi yang ada memberikan pemikiran, masukan dan dorongan kepada Pemkot dengan berbagai telaah, kajian dan dasar aturan", ungkap Junaedi Malik, Rabu (16/02/2017) siang.
Lebih jauh, Junaedi Malik menjelaskan, bahwa meski diperlukan adanya penataan Kota, namun dengan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 Tahun 2012 tentang Koodinasi Penataan dan Pemberdayaan Pesagang Kaki Lima, semestinya Pemkot tetap memberikan perlindungan dan ada keberpihakan kepada PKL. "PKL itu juga wajib diperhatikan. Secara aturan, dengan berpedoman Perpres Nomor 125 Tahun 2012, semestinya Pemerintah wajib memberikan keberpihakan terhadap keberadaan PKL dengan memberikan penataan, pemberdayaan, penguatan dan pengembangan serta pembinaan. Bukan malah selalu diobrak", jelasnya.
Junaedi memaparkan, bahwa PKL informal dibeberapa tempat pinggir jalan dan sudut Kota Onde-onde seharusnya tidak dipandang sebelah-mata. Malah-malah dianggap sebagai biang penghambat pembangunan yang dan dijustifikasi sebagai tokoh ketidak-tertiban, kumuh serta gaduh. Lebih parah lagi, jika dianggap merusak pandangan tata kota. "Justru Pemda harus bisa memberi ruang gerak yang lebih luas dengan perencanaan program kebijakan yg ada. Karena bisa menjadi potensi ekonomi kerakyatan yang tumbuh ditengah masyarakat. Disisi lain, bisa meringankan kewajiban Pemda yang belum bisa memberikan akses peluang lapangan kerja kepada masyarakatnya", paparnya.
Sementara, Perda Kota Mojokerto Nomor 5 Tahun 2005 tentang Penataan PKL, dianggapnya masih banyak kelemahan didalamnya dan tumpul dalam penerapannya. Pasalnya, yang terjadi hanya tindakan penertiban dan penggusuran tanpa memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum dan hak para PKL. "Kami himbau, stop merampas hak kemerdekaan ekonomi rakyat, mereka juga manusia. Seharusnya Pemda melakukan penataan, pendampingan, pengembangan dan pembinaan secara maksimal. PKL informal butuh kepastian hukum, butuh teridentifikasi, terverifikasi, terakomodir ditempat atau kawasan resmi yang diperbolehkan dengan menimbang kearifan lokal", tandasnya.
Menurut Junaidi Malik, masih banyak sejumlah oknum aparat yang terlalu berulah dengan hanya menertibkan, menggusur dengan sedikit intimidasi. "Penertiban yang ada belum bisa memberi rasa keadilan pada PKL. Karena ada yang ditertibkan, tapi di tempat lain di biarkan. Seharusnya, Pemda malakukan penataan, pendampingan, penguatan pengembangan dan pembinaan. Bukannya malah selalu mengobrak tanpa memberikan solusi agar mereka bisa melangsungkan hidupnya secara layak", pungkas Ketua Komisi III DPRD Kota Mojokerto, Junaedi Malik.
*(DI/Red)*