Jumat, 20 Juli 2018

KPK Periksa Dirut PT. PLN Sofyan Basir

Baca Juga

Direktur Utama PT. PLN Persero, Sofyan Basir saat memberi keterangan pada sejumlah wartawan, usai menjalani pemeriksaan di kantor KPK Jakarta sebagai saksi untuk tersangka JBK, Jum'at (20/07/2018) sore.

Kota JAKARTA - (harianbuana.com).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pemeriksaan terhadap Sofyan Basir selaku Direktur PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero. Dia diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Johannes Budisutrisno Kotjo (JBK) selaku pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited terkait kesepakatan kontrak kerja-sama pembangunan PLTU Riau-1 di Provinsi Riau.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah menerangkan, terkait pemeriksaan terhadap Dirut PT. PLN Sofyan Basir, penyidik KPK ingin mendalami ada tidaknya peran dan arahan pimpinan PT. PLN tersebut terkait penunjukkan perusahaan Blackgold dalam pengerjaaa proyek PLTU Riau-1. "Kami dalami informasi-informasi pertemuan-pertemuan antara saksi dengan tersangka. Tentu dalam pertemuan itu juga digali lebih jauh apa yang dibicarakan", terang Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi di kantor KPK jalan Kuningan Persada - Jakarta Selatan, Jum'at (20/07/2018) sore.

Ditambahkannya, KPK juga menggali sejauh mana peran Sofyan Basir selaku Dirut PT. PLN dalam skema kerja-sama proyek pembangunan PLTU Riau-1 ini. KPK juga menyinggung proses penunjukkan langsung dalam proses lelang proyek ini. "Kami juga mendalami lebih jauh apa saja yang terjadi saat penunjukkan langsung itu. Itu salah satu poin. Skema yang lebih besar juga jadi concern KPK, karena nilai proyek ini kan sangat besar ya", tambahnya.

Ditegaskannya, bahwa saat ini penyidikan masih difokuskan pada keterlibatan penyelenggaraan negara yang diduga memberikan pengaruh dalam melancarkan proyek tersebut. Penyidikan juga tengah menelusuri adanya dugaan aliran dana ke sejumlah pihak lantaran nilai proyek PLTU Riau-1 di Provinsi Riau itu cukup besar. "Nilai proyeknya besar. Diduga, ada proses dalam proyek tersebut menggunakan pengaruh atau dugaan aliran dana pada penyelenggara negara", tegasnya.


Direktur Utama PT. PLN Persero, Sofyan Basir saat akan naik ke lantai 2 kantor KPK di Jakarta untuk menjalani pemeriksaan sebagai saksi untuk tersangka JBK, Jum'at (20/07/2018).

Sementara itu, dihari yang sama sekitar pukul 16.20 WIB, Dirut PT. PLN Persero Sofyan Basir baru selesai menjalani pemeriksaan. Kepada sejumlah wartawan, Sofyan mengaku pernah melakukan pertemuan dengan Eni Maulani Saragih, tersangka dalam perkara ini. Hanya saja, menurutnya, pertemuan itu sebatas pada fungsi Eni Maulani Saragih di Komisi VII DPR-RI. "Ya dulu-dulu pernah ketemulah (Red: dengan EMS)", ujar Dirut PT. PLN Persero Sofyan Basir dihadapan sejumlah wartawan usai menjalani pemeriksaan di kantor KPK, Jum'at (20/07/2018)

Meski mengaku pernah bertemu tersangka EMS, namun, soal adanya pertemuan atau kesepakatan yang dilakukan oleh tersangka EMS bersama tersangka JBK terkait kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1 di Provinsi Riau, Sofyan Basir  mengaku tidak tahu-menahu.

Sedangkang tentang penunjukkan langsung konsorsium dalam pengerjaan proyek ini, Sofyan menegaskan, jika hal itu sudah menjadi kewenangan PT. PLN Persero. Menurut dia, PLN menugaskan PT. Pembangkitan Jawa Bali (PJB) selaku anak perusahaan untuk membentuk konsorsium, sudah sesuai ketentuan. "Penunjukan langsung itu sudah sesuai ketentuan", kata Sofyan Basir.

Konsorsium proyek senilai 900 juta dolar Amerika Serikat ini terdiri dari PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB), PT. PLN Batu Bara, PT. Samantaka Batu Bara, China Huadian Engineering Co, Ltd. Dimana, PT. Samantaka Batu Bara merupakan anak perusahaan Blackgold Natural Resources Limited.

Sebagaimana diketahui, dalam perkara ini, setelah melakukan serangkaian pemeriksaan secara intensif sejak Jum'at (13/07/2018) sore hingga Sabtu (14/07/2018) malam, KPK menyandangkan status tersangka dan langsung melakukan penahanan terhadap Wakil Ketua Komisi VII DPR-RI EMS dan JBK selaku Bos PT. Blackgold Natural Recourses Limited.

KPK menduga, JBK telah memberikan uang 'suap' kepada Wakil Ketua Komisi VII DPR-RI EMS yang secara keseluruhan berjumlah sebesar Rp. 4,8 miliar. Yang mana, uang 'suap' sebesar itu diberikan JBK kepada EMS secara bertahap. Yakni, pemberian suap pertama terjadi pada Desember 2017, berjumlah Rp. 2 miliar. Kedua, pada Maret 2018, berjumlah Rp. 2 miliar. Ketiga, pada 8 Juni 2018, berjumlah Rp. 300 juta. Dan terakhir, pada Jum'at 13 Juli 2018, berjumlah Rp. 500 juta.

Perkara tersebut mencuat, setelah Tim Satgas Penindakan KPK melangsungkan OTT pada Jum'at 13 Juli 2018. Dimana, tim KPK berhasil mengamankan uang sebesar Rp. 500 juta yang diduga merupakan penerimaan 'suap' keempat EMS dari JBK sejak Desember 2017 lalu.

KPK menduga, suap diberikan, diduga sebagai pemberian komitmen fee yang disepakati sebelumnya sebesar 2,5 persen dari total nilai proyek terkait kesekapatan kontrak. Diduga, suap diberikan untuk memuluskan kesepakatan kontrak kerja sama proyek pembangunan PLTU Riau-1 di Provinsi Riau.

Dalam kegiatan OTT tersebut, Wakil Ketua Komisi VII DPR-RI EMS bersama seorang sopirnya diamankan KPK saat berada di rumah dinas Menteri Sosial Idrus Marham, dikawasan Widya Chandra - Jakarta Selatan pada Jum'at 13 Juli 2018 sore. Sedangkan Johannes Budisutrisno Kotjo ditangkap KPK saat berada di ruang kerjanya di Graha BIP dikawasan Jakarta Selatan.

Setelah menjalani serangkaian proses pemeriksaan yang berlangsung sejak Jumat (13/07/2018) sore, Johannes Budi Sutrisno (JBK) baru tampak keluar dari Gedung Merah Putih KPK pada Sabtu (14/07/2018) sekitar pukul 21.00 WIB dengan mengenakan rompi khas Tahanan KPK warna orange. Menyusul kemudian, sekitar pukul 21.55 WIB, Wakil Ketua Komisi VII DPR-RI Eni Maulani Saragih (EMS) tampak keluar gedung KPK juga dengan mengenakan rompi khas Tahanan KPK warna orange.

Atas pebuatannya, KPK menyangka Eni Maulani Saragih melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b, atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,  juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sedangkan terhadap Johannes Budisutrisno Kotjo, KPK menyangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b, atau Pasal 13 UU UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. *(Ys/DI/Red)*

BERITA TERKAIT :
*KPK Periksa Mensos Idrus Marham 12 Jam