Rabu, 19 Februari 2020

Kunker Ke LKPP Jakarta, Dewan Dalami Regulasi Proyek Mangkrak Dan Putus Kontrak

Baca Juga



Kota MOJOKERTO – (harianbuana.cim).
Dalam upaya menyelesaikan masalah mangkrak dan diputus kontraknya sejumlah proyek Normalisasi Saluran Air tahun anggaran 2019, Komisi I DPRD Kota Mojokerto melakukan konsultasi ke Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) di jalan Epicentrum Tengah Lot 11 B – Jakarta Selatan.

Tiba di lokasi, rombongan Komisi I  DPRD Kota Mojokerto disambut oleh Kepala Sub Direktorat Pemerintah Daerah Wilayah Timur, Harry Sri Kahartan Kusuma Wijaya. Komisi DPRD Kota Mojokerto pun kemudian memaparkan fenomena penggunaan Dana Kelurahan yang 'hampir' terlaksana semuanya, juga soal mangkrak dan putus kontrak proyek Normalisasi Saluran Air tahun 2019.

Atas pemaparan persoalan Komisi I DPRD Kota Mojokerto tersebut, Harry menjelaskan, bahwa regulasi penggunaan Dana Kelurahan harus di atur lebih lanjut dalam Peraruran Wali Kota (Perwali) terlebih dahulu. Yang mana, dalam Perwali  dimaksud, harus disebutkan tentang  tindak-lanjut ketika suatu proyek mengalami 'gagal kontrak'.

“Perlu dipahami, gagal kontrak seperti apa? Perpres Nomor 16 Tahun 2018 tentang Dana Kelurahan atau Dana Desa, diatur lebih lanjut di Perkada (Peraturan Kepala Daerah). Mengacunya tidak jauh dari peraturan atasnya (Perpres). Pelaksana kegiatan adalah tim seperti PPK (Pejabat Pembuat Komitmen), dll. Yang memutus kontrak adalah PPK”, jelasnya.

Harry Sri Kahartan Kusuma Wijaya menegaskan, bahwa dalam hal pengadaan barang/jasa pada pemerintah yang dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), harus mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018. Sedangkan penggunaan Dana Kelurahan  atau Dana Desa, mengacunya pada Perkada.

“Sumber dana pengadaan barang/jasa pada pemerintah, bisa dari APBD, APBN atau alokasi langsung Dana Kelurahan. Kalau APBD/APBN mengacunya harus pada Perpres 16 Tahun 2018. Namun, kalau untuk Dana Kelurahan mengacu pada Perkada. Proses keduanya sama, mulai dari perencanan hingga eksekusi. Memang perencanaan harusnya baik agar waktu pelaksanaan dapat tepat waktu”, tegasnya.

Ketua Komisi I DPRD Kota Mojokerto Sulistiyowati menerangkan, bahwa solusi atas fenomena mangkrak dan proyek putus kontrak adalah pekerjaan itu harus direncanakan lebih baik, agar pelaksanaan pengadaan selesai sesuai jadwal.

“Dalam proses, ketika suatu proyek terlambat 10 % (sepuluh persen) di bulan pertama, dapat diterbitkan surat peringatan pertama. Setelah surat peringatan tersebut diluncurkan, diberi kesempatan satu bulan berikutnya. Jika  performanya tetap kurang atau jelek, dapat diberi surat peringatan kedua. Jika  performanya masih kurang atau jelek dapat diputus kontrak. Hal ini, mestinya sudah tercantum dalam perjanjian kontrak. Jadi, tidak perlu menunggu hingga batas akhir (masa kontrak) pekerjaan”, terang Ketua Komisi I DPRD Kota Mojokerto Sulistiyowati, Rabu (19/02/2020).

“Jika putus kontrak dan masih ada waktu, sebenarnya bisa ditender ulang. Kalau waktunya tidak cukup, dalam Perpres, bisa menunjuk pemenang cadangan berikutnya jika ada dan waktunya cukup. Jadi, penawaran berbeda tergantung nego, karena pekerjaan tidak dilakukan dari awal”, tambahnya.

Ditegaskannya, bahwa ketika suatu proyek itu melewati tahun anggaran, maka akan ada persoalannya di penganggaran. "Kalau dari sisi pengadaan, boleh dilakukan. Namun, kalau dananya dari APBD murni tidak bisa, harus memakai dana luncuran tahun 2020 dan harus ada audit dari APIP. Dana luncuran merupakan Silpa tahun 2019 yang dalam akuntansi belum tercatatkan. Jadi, pelaksanaannya harus  melalui PAK", tegasnya.

Lebih lanjut, Ketua Komisi I DPRD Kota Mojokerto Sulistyowati memaparkan, bahwa atas adanya 8 (delapan) pengerjaan proyek Normalisasi Saluran Air tahun 2019 mangkrak, bahkan 2 (dua) di antaranya putus kontrak, sangat mengganngu keamanan dan kenyamanan masyarakat. Terutama, di saat hujan dan pada jam-jam sibuk.

Fenomena tersebut membuat masyarakat mendesak agar proyek-proyek mangkrak  dan putus kontrak itu dilanjutkan dengan menggunakan anggaran pemeliharaan yang ada pada Dinas PUPR setempat, dengan prinsip 'tidak melanggar aturan yang berlaku'.

Untuk merealisasi desakan masyarakat itu, pihak LKPP tidak bisa serta-merta memenuhinya. Pasalnya, untuk menggunakan Dana Kelurahan, pihak LKPP harus mempelajari lebih-lanjut, karena merupakan dana transfer. Sementara wewenang LKPP hanya terkait pengadaannya saja.

"Untuk pekerjaan yang putus kontrak, jaminan 5 % akan ditransfer ke Kas Daerah, blacklist bagi rekanan tersebut dan pembayaran sesuai progress pekerjaan tersebut setelah diaudit", papar Ketua Komisi I DPRD Kota Mojokerto Sulistiyowati.

Hal senada, juga disampaikan oleh Sekretaris Komisi I DPRD Kota Mojokerto Febriana Meldyawati. Ia pun menandaskan, bahwa pihaknya telah berkonsultasi ke LKPBP di Jakarta terkait  fenomena 8 proyek Normalisasi Saluran Air  tahun 2019 'mangkrak' bahkan 2 di antaranya 'putus kontrak'.

“Kemarin kami juga berkonsultasi dengan LKPP terkait beberapa proyek infrastruktur mangkrak dan proyek putus kontrak yang memang saat ini marak akibat kurang maksimalnya program fisik. Terkait itu, bahwa sangat jelas kekurangan pekerjaan itu dan harus diaudit oleh APIP, agar bisa mengetahui sisa pekerjaan  tersebut untuk bisa dikerjakan di PAK”, tandas Melda, sapaan akrab Sekretaris Komisi I DPRD Kota Mojokerto Febriana Meldyawati. *(DI/HB)*