Selasa, 09 Februari 2021

Hanya Perayaan HUT, HPN Bukan Milik Semua Insan Pers

Baca Juga


Ketua Presidiun FPII Kasihhati.


Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) setiap tanggal 9 Februari, setiap tahun diadakan diberbagai kota di Indonesia. Tahun 2021 ini, HPN diadakan di Jakarta. Namun, dari tahun ke tahun usai digelarnya HPN tidak ada esensi yang membanggakan ataupun kinerja dari Dewan Pers yang dirasakan oleh para jurnalis untuk kesejahteraan maupun perlindungan bagi Insan Pers saat melakukan tugas jurnalistiknya.

Untuk siapa Dewan Pers ada di Republik Indonesia ini...? Hal tersebut sering menjadi pertanyaan para jurnalis saat menghadapi kendala dalam melakukan tugas jurnalistiknya di lapangan. 

Penganiayaan, pengusiran, penghadangan, bahkan hingga terjadi pembunuhan dan kriminalisasi lain yang dialami oleh para jurnalis di lapangan masih terjadi dan FPII tidak melihat tindakan yang dilakukan Dewan Pers terhadap kejadian-kejadian itu. Dewan Pers dinilai hanya diam dan tutup mata dengan apa yang dialami oleh para pencari berita di lapangan.

Padahal, tercantum dalam Bab V Pasal 15 UU Pokok Pers, Nomor 40 Tahun 1999.  yang berbunyi : 
1. Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen,
2. Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut:
a. Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain;
b. Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;
c. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;
d. Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan 
masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers;
e. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat dan pemerintah;
f. Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan;
g. Mendata perusahaan pers.

Menurut Ketua Presidiun FPII Kasihhati, dalam perjalannya Dewan Pers belum melakukan apa yang diamatkan UU Pers No. 40 Tahun 1999 dalam pembinaan maupun kesejahteraan, bahkan perlindungan bagi Insan Pers.

"Untuk apa HPN diadakan? Apa hanya untuk menyampaikan pengumuman berapa banyak Perusahan Pers dan Organisasi Pers yang diakui di Indonesia?", kata Kasihhati kepada Wartawan di Jakarta, Rabu (09/02/2021).

"Seharusnya, yang perlu dievaluasi dan dilakukan perbaikan setiap memperingati Hari Pers Nasional yaitu apa yang tertuang dalam Undang-Undang Pokok Pers Nomor 40 Tahun 1999 Bab II tentang Asas, Fungsi, Hak, Kewajiban dan Peranan Pers. Bukan soal klaim mengklaim mana yang diakui mana yang tidak diakui", tambah perempuan yang akrab dipanggil Bunda ini.

Menurut Bunda, kalau hanya ini yang dikerjakan Dewan Pers, sampai kapanpun keadaan Pers di Indonesia akan sulit maju dan berkembang. "Pasal II Undang-undang pokok Pers Nomor 40 tahun 1999 tersebut harus ditinjak lanjuti dalam bentuk tindakan nyata, dengan memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh organisasi jurnalis atau perusahaan Pers di Indonesia selama organiasi dan perusahaan Pers tersebut memenuhi legalitas yang sah yang diakui oleh negara", tuturnya.

Selain itu, Bunda Kasihhati juga mengritisi anggaran untuk mengadakan HPN maupun anggaran-anggaran terkait pembinaan wartawan.  "Berani tidak Dewan Pers membuka ke publik berapa besar anggaran yang diterima pertahun dan apa saja yang sudah dilakukan dengan anggaran tersebut", tantang Kasihhati.

Menurut kasihhati, apabila memakai standar Reporters Without Borders, LSM yang berfokus pada isu kebebasan pers, kondisi kebebasan pers di Indonesia sangat buram. Peringkat Indonesia berada pada urutan 124 dari total 180 negara. Bahkan, posisi Indonesia masih kalah dengan Timor Leste. “Itu di bawah 100 kan...? Liga underdog. Tergolong jelek”, ujar kasihhati.

Jokowi memang rutin hadir dalam perayaan Hari Pers Nasional (HPN) versi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Namun, terang kasihhati, hal itu tidak serta merta mewakili upaya untuk menguatkan kebebasan pers di Indonesia. “Acara bulan Februari yang diperingati PWI itu kan lebih banyak seremonial saja. Sangat tidak memadai untuk memperlihatkan bentuk keberpihakan", terangya. 

Ada banyak hal yang seharusnya bisa dilakukan oleh Jokowi daripada sekadar mengikuti acara seremonial Hari Pers Nasional. Misalnya, meminta Kemenkum HAM merevisi KUHP, tepatnya pasal-pasal baru yang bersifat "contempt of court. "Kehadiran rumusan ini bermasalah karena jurnalis dapat dipidana 5 (lima) tahun penjara apabila produk jurnalistiknya mempengaruhi keputusan hakim", tukasnya.

Selain itu, ada Pasal 494 tentang Tindak Pidana Pembukaan Rahasia. Begitu juga Pasal 309 ayat (1) yang berpotensi multitafsir serta rentan digunakan untuk mengkriminalisasi jurnalis. “Harusnya, kalau mau menujukan pembelaan, [bisa] menginisiasi lahirnya regulasi yang mendukung iklim kemerdekaan pers. Menganulir pasal-pasal yang selama ini membahayakan kemerdekaan pers karena terlalu karet", tandas Kasihhati.

Sementara itu, organisasi FPII yang dipimpinnya tidak memperdulikan  Dewan Pers. Karena, FPII punya Dewan Pers sendiri. Kasihhati mengaku bangga dengan FPII yang mampu berdiri sendiri, dibandingkan dengan organisasi pers yang dibiayai dari anggaran negara tetapi program kerjanya tidak jelas. 

Ia pun sangat yakin FPII akan dapat membawa perubahan bagi masa depan Kebebasan Jurnalisme di Indonesia. *(HB)*

Sumber: Presidium FPII