Rabu, 25 Januari 2023

KPK Menilai, Anggaran Stunting Rawan Jadi Ajang Korupsi

Baca Juga


Koordinator Harian Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (STRANAS PK) Niken Ariati.


Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai, anggaran stunting pemerintah rawan jadi ajang korupsi. Terkait itu, KPK mengingatkan, supaya pemerintah menggunakan anggaran peningkatan gizi masyarakat itu secara transparan, akuntable dan tepat sasaran. Upaya percepatan penurunan prevalensi stunting terus digencarkan pemerintah. Salah-satunya, tentang pengalokasian dana untuk percepatan penurunan prevalensi stunting.

Tahun 2022 lalu, Pemerintah Pusat mengalokasikan belanja cukup tinggi untuk program tersebut, yaitu sebesar Rp. 34,1 triliun. Yang mana, rincian dana terbesar ada di Kementerian Sosial, yaitu sebesar Rp. 23,3 triliun. Disusul Kemenkes sebesar  Rp. 8,2 triliun, Kemen PUPR Rp. 1,3 triliun, BKKBN Rp. 810 miliar (sebagai koordinator pelaksana) serta tersebar di 17 kementerian/ lembaga lainnya.

“Pengalokasian dana yang cukup besar perlu diikuti pengelolaan dana yang baik. Hal ini yang menjadi titik rawan terjadinya korupsi, sehingga perlu upaya lebih-lanjut untuk dapat menciptakan penanganan stunting dan pengelolaannya yang bebas dari risiko korupsi", kata Koordinator Harian Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (STRANAS PK) Niken Ariati kepada wartawan, dalam momentum peringatan Hari Gizi Nasional di Gedung Merah Putih KPK jalan Kuningan Persada Kavling 4 Setiabudi Jakarta Selatan, Rabu (25/01/2023).

KPK melalui Kedeputian Koordinasi Supervisi juga mendapatkan informasi adanya laporan inspektorat pemerintah daerah terkait pengadaan pada program penurunan prevalensi stunting yang tidak memberikan manfaat optimal. Selain itu, penganggaran program ini juga bukan menjadi prioritas pada beberapa pemerintah daerah. Meskipun program ini menjadi prioritas nasional.

“Kemudian dari identifikasi yang KPK lakukan, terdapat beberapa praktik dalam upaya penanganan prevalensi stunting yang berisiko menimbulkan korupsi. Praktik tersebut dapat dilihat dari 3 (tiga) aspek, yaitu anggaran, pengadaan dan pengawasan", ungkap Niken.

Niken menegaskan, temuan lapangan pada aspek penganggaran menunjukkan adanya indikasi tumpang-tindih perencanaan dan penganggaran antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Selanjutnya pada aspek pengadaan, terdapat adanya pengadaan yang bersumber dari DAK non-fisik masih belum berjalan optimal.

Pada aspek pengadaan juga terdapat pengadaan barang yang tidak dibutuhkan. Sebagai contoh, untuk program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) yang diseragamkan ke seluruh daerah tanpa analisis kebutuhan objek. Hal ini, membuat pengadaan barang yang tidak berguna bagi masyarakat.

Pengadaan alat peraga (pendukung kampanye) juga bersifat sentralistis yang menyebutkan, bahwa terdapat keterbatasan peran vendor. Vendor yang menyediakan alat tersebut harus mendapat lisensi dari BKKBN. Selain itu, pada aspek pengawasan, belum ada pedoman teknis untuk APIP dalam melakukan audit atau pengawasan khusus terkait pelaksanaan program.

“Praktik-praktik dalam aspek tersebut sangat berisiko menimbulkan penyimpangan yang berujung pada tindak pidana korupsi. Hal ini tidak bisa disepelekan, karena akan berdampak pada pelayanan kesehatan gizi yang masyarakat dapatkan", tegas Niken.

Dari berbagai temuan tersebut, Niken kembali menegaskan, KPK kemudian menyampaikan beberapa rekomendasinya. Yakni, pada aspek penganggaran, KPK merekomendasikan adanya integrasi perencanaan dan pelaksanaan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk mencegah terjadinya tumpang tindih alokasi dana. Ke depannya, juga dibutuhkan peran Kementerian Dalam Negeri dalam menyusun Pedoman Penyusunan APBD-nya.

“Tim Stranas PK akan mendorong integrasi perencanaan dan penganggaran melalui format digital mulai dari level desa hingga pusat, termasuk monitoring proses penyusunan RKP, Renja, RKA dan DIPA. Sehingga, ke depan tagging anggaran untuk stunting benar-benar mendukung penurunan prevalensi Stunting", tegas Niken pula.

Selanjutnya, pada aspek pengadaan perlu adanya kajian efektivitas dari barang yang dihasilkan dan beban administrasi dengan mempertimbangkan kebutuhan objek, sehingga dapat bermanfaat. K/L juga perlu mempersiapkan dengan baik Juknis dan koordinasi dengan LKPP terkait kesesuaian barang yang tampil di e-katalog.

“Selain itu, diperlukan pedoman teknis yang akan digunakan inspektorat untuk melakukan pengawasan program percepatan penurunan prevalensi stunting ini. Rekomendasi-rekomendasi ini diharapkan dapat mencegah adanya penyimpangan dalam upaya percepatan penurunan prevalensi stunting", tandas Niken. *(HB)*