Kamis, 11 April 2024

Bantuan Rp. 4,6 Miliar FH BUMN Untuk UKW Liar Berpotensi Langgar UU Nomor 12 Tahun 2012

Baca Juga



Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Forum Humas Badan Usaha Milik Negara (FH BUMN) baru-baru ini membuat kegiatan dengan menggelontorkan bantuan dana Rp. 6 miliar kepada pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat untuk pelaksanaan Uji Kompetensi Wartawan (UKW). Pencairan dana miliaran rupiah tersebut merupakan realisasi kegiatan kerja-sama antara Forum Humas BUMN dengan pengurus PWI Pusat. 

Dari dana yang disiapkan sebesar Rp. 6 miliar untuk kegiatan UKW itu, sudah dicairkan sebesar Rp. 4,6 miliar secara bertahap untuk pelaksanaan UKW. Pelaksanaan UKW yang hanya di 10 provinsi dengan nilai Rp. 4.6 miliar itu memunculkan polemik di antara sesama pengurus PWI Pusat. 

Adapun pihak yang membongkar kasus ini ke media untuk pertama kali adalah Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat Sasongko Tedjo, gara-gara ada dugaan penyerahan cashback sebesar Rp. 2,9 miliar ke oknum pegawai BUMN. 

Yang mana, Sasonggko Tedjo dalam keterangan tertulisnya pada Sabtu 06 April 2204 di Jakarta secara tegas meminta kepada pengurus PWI Pusat agar bantuan yang diberikan untuk UKW gratis di 30 provinsi itu seharusnya disalurkan secara utuh. 

"Tidak ada yang namanya cashback, fee atau potongan apapun, karena bantuan ini langsung perintah Presiden ke Menteri BUMN saat pengurus PWI bertemu dengan Presiden di Istana Negara, 7 November 2023", kata Sasongko dalam keterangannya, Sabtu (06/04/2024).

Terkait hal itu, menurut Sasongko, beberapa pengurus PWI yang diduga terlibat dalam permasalahan ini, sudah dimintai klarifikasi dalam rapat Dewan Kehormatan. 

Pernyataan Ketua Dewan Kehormatan PWI langsung dijawab oleh Sekretaris Jenderal PWI Sayid Iskandarsyah melalui keterangan tertulis kepada media. Ia membantah telah memberikan keterangan kepada Dewan Kehormatan PWI. 

“Seluruhnya sudah diselesaikan oleh PWI Pusat dan telah dibuat laporan tertulis sesuai dengan isi perjanjian kerjasama antara PWI dengan FH BUMN. Pernyataan, bahwa sekitar Rp. 2,9 Miliar tidak jelas penggunaannya adalah keliru dan telah melahirkan fitnah. Saya tidak tahu angka itu didapat dari mana. DK harus meralat kesalahan tersebut karena salah", ungkap Sayid dalam keterangan tertulisnya, Minggu (07/04/2024), di Jakarta.  

Menyikapi persoalan ini, Ir. Soegiharto Santoso, SH. yang menjabat Ketua Dewan Pengarah Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Pers Indonesia dan juga Sekjen Perkumpulan Advokat Teknologi Informasi Indonesia (PERATIN) mengatakan, pelaksanaan UKW oleh PWI ini liar karena tidak memiliki perizinan dari Lembaga Pemerintah, dalam hal ini Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). 

“UKW yang difasilitasi Forum Humas BUMN menelan dana miliaran rupiah uang rakyat, seharusnya tidak boleh terjadi. Pelaksana UKW ini dapat dikategorikan sebagai kegiatan liar, karena sesungguhnya pelaksanannya melanggar ketentuan perundang-undangan dan ada implikasi pidananya", kata Hoky, sapaan akrab Ir. Soegiharto Santoso, SH, dalam keterangan tertulis, Kamis (11/4/2024), di Jakarta. 

Hoky menegaskan, berdasarkan ketentuan Pasal 44 dan 93 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi ada ketentuan pidananya. Ditegaskannya pula, bahwa bantuan Rp. 4,6 miliar FH BUMN untuk UKW liar itu sangat berpotensi melanggar undang-undang tersebut.

"Dalam ketentuan itu jelas mengatur bahwa perseorangan, organisasi atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan sertifikat kompetensi. Melanggar pasal ini akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)", tegas Hoky. 

Sebagai pendiri LSP Pers Indonesia dan selaku praktisi hukum, Hoky menambahkan, jika kerja-sama ini terus dilanjutkan, dikhawatirkan akan merusak nama baik Menteri BUMN Erick Thohir, karena terkesan membiarkan lembaganya bekerja-sama melaksanakan UKW liar dan tidak memiliki ijin resmi dari pemerintah untuk melakukan sertifikat kompetensi wartawan. 

“Saya yakin mungkin Pak Menteri BUMN Erick Thohir tidak memahami sebelumnya, bahwa pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi sebuah profesi harus memiliki ijin resmi dari pemerintah. Undang-Undang Ketenaga-kerjaan dan Undang-Undang Pendidikan Tinggi mengatur hal itu. Yang dilaksanakan oleh PWI itu menggunakan Lembaga Penguji Kompetensi yang tidak memiliki ijin dari BNSP dan dapat dikategorikan sebagai kegiatan liar, karena melanggar undang-undang", tandas Hoky, yang juga menjabat sebagai Waketum DPP SPRI.

Ia juga menjelaskan, institusi Polri dan KPK saja merupakan lembaga yang memiliki undang-undang sendiri terkait kinerja dan bidang tugasnya. Namun, menurut Hoky, ketika itu menyangkut kompetensi profesi, maka kedua lembaga penegak hukum itu wajib mengikuti ketentuan perundang-undangan dengan cara masing-masing mendirikan LSP Polri dan LSP KPK yang memperoleh liseni dari BNSP, karena memang telah jelas landasan dasar hukum pendirian BNSP dan LSP.

“Sehingga untuk pers juga sama, harus tunduk pada ketentuan tersebut. Jadi, wartawan harus mengikuti Sertifikasi Kompetensi Wartawan (SKW) melalui LSP yang memiliki ijin resmi dari BNSP yang telah diatur oleh undang-undang. Kalau Uji Kompetensi Wartawan (UKW) dilakukan bukan atas ijin atau tidak ada lisensi dari BNSP, sekali lagi saya katakan itu dapat dikategorikan sebagai kegiatan UKW liar", jelasnya.

Sebagaimana diketahui, ketentuan Pasal 44 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi menyebutkan:
(1) Sertifikat kompetensi merupakan pengakuan kompetensi atas prestasi lulusan yang sesuai dengan keahlian dalam cabang ilmunya dan/atau memiliki prestasi di luar program studinya;
(2) Serifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Perguruan Tinggi bekerja-sama dengan organisasi profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi kepada lulusan yang lulus uji kompetensi;
(3) Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan sebagai syarat untuk memperoleh pekerjaan tertentu;
(4) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan sertifikat kompetensi;
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat kompetensi diatur dalam Peraturan Menteri.

Adapun ketentuan pidananya, diatur pada Bab IX Pasal 93 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

"Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang melanggar Pasal 28 ayat (6) atau ayat (7), Pasal 42 ayat (4), Pasal 43 ayat (3), Pasal 44 ayat (4), Pasal 60 ayat (2), dan Pasal 90 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)", bunyi Pasal 93 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Sementara itu, Dasar Hukum Pendirian BNSP dan LSP adalah:
• Undang-Undang NO. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 18;
• Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 61;
• Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara tahun 1984 No. 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274);
• Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2012 tentang Sertifikasi Kompetensi dan Sertifikasi Usaha di bidang Pariwisata;
• Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2006 tentang Sistem Latihan Kerja Nasional;
• Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP);
• PerMenakertrans No. 22 / M * EN / I * X / 2009 tentang Penyelenggaraan Pemagangan Dalam Negeri;
• PerMenakertrans No. PER. 21 / M * EN / X / 2007 tentang Tata Cara Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia;
• PerMenakertrans No. PER - 17 / M * EN / V * I / 2007 tentang Tatacara Perizinan dan Pendaftaran Lembaga Pelatihan Kerja;
• Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. KEP-96A/MEN/VI/2004 tentang Pedoman Penyiapan dan Akreditasi Lembaga Sertifikasi Profesi.
*(HB)*