Baca Juga
Kasi Intelijen Kejari Mojokerto, DLM Oktario Hutapea.
Kab. MOJOKERTO — (harianbuana.com).
Meski mendapat protes keras dari kalangan DPRD Kabupaten Mojokerto, Kejari Mojokerto terus melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah anggota dewan atas kasus dugaan adanya penerimaan 'fee' proyek Jasmas sejumlah oknum anggota dewan Kabupaten Mojokerto.
Dikonfirmasi hal itu, Kasi Intelijen Kejari Mijokerto Devi Love Marhubal Oktario Hutapea menyatakan, bahwa pihaknya tak akan menghentikan proses penyelidikan yang sudah dilakukan selama 3 bulan ini. Bahkan, beberapa anggota dewan sudah diagendakan untuk dimintai keterangan. "Ada beberapa anggota dewan yang akan kita panggil untuk dimintai keterangan terkait hal itu", cetus Oktario.
Disebutkannya, hingga saat ini, pihaknya telah memeriksa 7 anggota dewan. Namun, dari 7 anggota dewan yang telah dipanggil untuk memberikan keterangan, satu orang anggota dewan tidak memenuhi panggilan Kejaksaan. "Dari tujuh anggota dewan yang kita panggil untuk memberikan keterangan, satu orang diantara 7 anggota dewan itu tidak memenuhi panggilan", sebutnya.
Didesak dengan pertanyaan berapa anggota dewan yang akan dimintai keterangan terkait dengan kasus dugaan penerimaan 'fee' pada proyek Jasmas itu...? Secara diplomatis, mantan Kasi Pidsus Kejari Kuala Kapuas ini menyatakan, bahwa tidak target khusus untuk itu. "Tidak ada target untuk itu. Jika memang dalam perkembangannya ada data maupun keterangan yang kita butuhkan, tentunya akan terus berkembang", kelitnya.
Mengenai protes yang diletupkan oleh Sekretaris Fraksi Gerindra DPRD Kabupaten Mojokerto Buddi Mulyo yang menuding bahwa proses pemanggilan yang dilakukan oleh pihak Kejaksaan tidak prosedural, Oktario menanggapinya bahwa itu merupakan pemahaman yang salah kaprah. "Sesuai dalam aturan, jika sudah masuk dalam tahap penyidikan, memang harus seijin Gubernur. Sedangkan ini masih dalam tahap penyelidikan", jelas Oktario.
Hal itu, sesuai dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang salah -satu poinnya menyebutkan, bahwa ijin dari Gubernur diperlukan oleh penegak hukum untuk melakukan penyidikan terhadap anggota DPRD Kabupaten/Kota.
Sementara itu, Sekretaris Fraksi Gerindra DPRD Kabupaten Mojokerto Buddi Mulyo sendiri beranggapan, bahwa aturan itu menyebutkan pemeriksaan terhadap anggota dewan harus mendapatkan persetujuan Gubernur. "Kalau memang hal ini masih dinilai debat-table, semua pihak harus menyadari aturan atau prosedur. Undang Undang ya harus ditegakkan dan bukan untuk dilanggar", ujar Buddi Mulyo.
Menurut Buddi Mulyo, seharusnya Kejari tak hanya mengacu pada Undang Undang saja. Melainkan, juga harus membaca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas Judicial Reviev tahun 2015. "Tidak mungkin semua pihak akan dipuaskan oleh aturan atau prosedur yang ada saja", jelas politisi partai Gerindra Kabupaten Mojokerto yang satu ini.
Meski memprotes prosedur pemeriksaan yang dilakukan pihak Kejari Mojokerto terhadap kalangan anggota dewan, namun Buddi mengaku tak bermaksud untuk menghambat langkah-langkah pihak Kejaksaan dalam melakukan penyelidikan atas kasus dugaan penerimaan 'fee' proyek Jasmas tersebut. "Bukannya kita memberontak. Hanya saja, jangan sampai langkah penegakan hukum justru melalui proses yang tidak-sesui dengan Undang Undang", sergahnya.
Buddi Mulyo sendiri merupakan satu-satunya anggota DPRD Kabupaten Mojokerto yang berani memprotes proses penyelidikan yang dilakukan oleh Kejari Mojokerto. Buddi menuding, bahwa prosedur pemeriksaan yang dilakukan oleh Kejaksaan terhadap kalangan anggota DPRD Kabupaten Mojokerto tidak sesuai aturan. Menurutnya, proses pemeriksaan terhadap anggota DPRD Kabupaten/Kota 'harus mendapat restu dari Gubernur. "Aturannya, untuk memeriksa anggota DPRD baik Kabupaten mauoun Kota harus seijin Gubernur, sedangkan untuk memeriksa anggota DPR-RI harus mendapat persetujuan dari Presiden", pungkasnya.
Ketua DPD LSM Forum Komunikasi Indonesia Satu (FKI-1), Wiwit Haryono.
Sementara itu, pemeriksaan terhadap sejumlah oknum anggota DPRD Kabupaten Mojokerto itu sendiri berawal dari laporan yang disodorkan oleh Forum Komunitas Indonesia Satu (FKI-1). Yang mana, dalam laporannya, FKI-1 menduga telah terjadi permintaan sejumlah 'fee' proyek Jasmas yang sudah dicairkan kepada para konsituen oknum anggota DPRD Kabupaten Mojokerto yang besarannya mencapai 15% hingga 30%.
Menurut Wiwid, sesuai data yang dikantonginya, sejumlah oknum anggota DPRD Kabupaten Mojokerto diduga kuat telah memotong 15% hingga 30% dari dana yang diterima tiap kelompok masyarakat (Pokmas), lembaga ataupun Yayasan. Untuk itu, para oknum anggota Dewan dimaksud harus segera diperiksa. "Keterangan para anggota DPRD sangat penting, sebab muaranya kesana", ujarnya, Rabu (03/08/2016) yang lalu.
Saat itu, secara panjang-lebar Wiwit memaparkan, bahwa DPRD harus bertanggung-jawab atas dugaan pemotongan dana sebagai uang 'fee' yang dituding masuk kekantong para oknum legislator sebagai imbalan atas rekomendasi para oknum anggota Dewan Kabupaten Mojokerto dalam persetujuan pengajuan bantuan. Selain butuh rekomendasi anggota Dewan, pengajuan dana hibah Bansos juga harus melalui verifikasi oleh instansi atau Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) sesuai kompetensi jenis kegiatan yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Mojokerto Tahun Anggaran 2015 itu.
Melalui Jasmas, setiap anggota DPRD Kabupaten Mojokerto mendapat jatah plot anggaran Rp. 600 juta yang harus dibagi kepada kelompok masyarakat dalam bentuk hibah Bansos. Jika dikali 50 anggota DPRD Kabupaten Mojokerto termasuk unsur pimpinan, total dana hibah Bansos tahun 2015 mencapai Rp. 30 milyar. Hanya saja, dari dana sebesar itu diperkirakan hanya terserap 80 persen saja, karena 'tidak semua' pengajuan bantuan diterima.
Nilai dana hibah Bansos yang diterima tiap Pokmas, lembaga ataupun Yayasan besarannya beragam, antara Rp. 100 juta hingga kurang lebih Rp. 300 juta. Yang mana, dana hibah Bansos tersebut diduga dipotong oleh oknum anggota dewan antara 15% sampai 30% per-penerima. Sedangkan modusnya, oknum dewan langsung meminta bagian setelah dana dicairkan dari bank. "Modus lainnya, oknum dewan diduga mendapat 'fee' dari kontraktor pelaksana proyek yang didapat dari pekerjaan pembangunan yang didanai dari dana hibah ataupun Bansos", papar Wiwit, Rabu (03/08/2016) yang lalu.
*(DI/Red)*