Selasa, 29 Mei 2018

Pengertian Musafir, Safar Yang Boleh Tidak Berpuasa Ramadhan

Baca Juga

Oleh: H. Machfud Machradji

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَ

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Audzubillahiminsy syaithanirrajim
Bismillahirrahmanirrahim.


Surat Al-Baqarah Ayat 184:

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

"(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui".


وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهم – يَقْصُرَانِ وَيُفْطِرَانِ فِى أَرْبَعَةِ بُرُدٍ وَهْىَ سِتَّةَ عَشَرَ فَرْسَخًا

“Dahulu Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum mengqashar shalat dan tidak berpuasa ketika bersafar menempuh jarak 4 burud (yaitu: 16 farsakh)”. (HR. Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad-. Diwasholkan oleh Al Baihaqi 3: 137. Lihat Al Irwa’ 565).
4 Burud = 16 farsakh = 48 mil = 88 km,

لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ

“Janganlah seseorang itu bersafar selama tiga hari kecuali bersama mahramnya". (HR. Bukhari no. 1086 dan Muslim no. 1338).


جَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tiga hari tiga malam sebagai jangka waktu mengusap khuf bagi musafir, sedangkan sehari semalam untuk mukim". (HR. Muslim no. 276).


عَنْ يَحْيَى بْنِ يَزِيدَ الْهُنَائِىِّ قَالَ سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنْ قَصْرِ الصَّلاَةِ فَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَ ثَلاَثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ ثَلاَثَةِ فَرَاسِخَ – شُعْبَةُ الشَّاكُّ – صَلَّى رَكْعَتَيْنِ

“Dari Yahya bin Yazid Al Huna-i, ia berkata, “Aku pernah bertanya pada Anas bin Malik mengenai qashar shalat. Anas menyebutkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menempuh jarak 3 mil atau 3 farsakh –Syu’bah ragu akan penyebutan hal ini-, lalu beliau melaksanakan shalat dua raka’at (qashar shalat).” (HR. Muslim no. 691).


عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رضى الله عنه – قَالَ صَلَّى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا ، وَبِذِى الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ

“Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di Madinah empat raka’at, dan di Dzul Hulaifah (saat ini disebut dengan: Bir Ali) shalat sebanyak dua raka’at.” (HR. Bukhari no. 1089 dan Muslim no. 690). Padahal jarak antara Madinah dan Bir Ali hanya sekitar tiga mil.
1 mil = 1,6 Km ; 3 mil = 3 X 1,6 Km = 4,8 Km.


Sebagaimana maklum, sebagaimana tersebut dalam ayat Al-=Qur’an diatas, bahwa seorang musafir ( orang bepergian atau orang dalam perjalanan ) boleh tidak berpuasa Ramadhan.
Kata musafir berasal dari kata kerja bahasa Arab safara yang berarti bepergian. Musafir berarti orang yang melakukan perjalanan. Kata safarin berarti perjalanan. Seperti tersebut dalam al-Quran:

وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ... [البقرة/283]

Dan jika kalian dalam perjalanan, dan tidak menjumpai seorang penulis, maka hendaklah hendaklah ada jaminan (yang bisa dipegang).

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, berapa jarak tempuh perjalanan, sehingga seseorang yang bepergian atau melakukan perjalanan termasuk kategori Musafir, sehingga mendapat keringatan boleh tidak puasa Ramadhan...?

Al-Qur’an tidak memberikan batasan yang rinci tentang batas minimal jauhnya perjalanan sehingga seseorang yang bepergian bisa disebut Musafir. Al-Hadist juga tidak membatas dengan jelas sehingga dapat dijadikan dasar syarat minimal jauhnya perjalanan sehingga disebut Musafir. Lihat beberapa hadits diatas.

Wajar kemudian para ulama, fuqaha berbeda pendapat tentang jauhnya jarak minimal perjalanan yang kemudiuan diskatagorikan safar dan pelakukan seorang Musafir. Oleh karena tidak ada batas minimal dari Rasulullah Saw, maka dapat diambil kesimpulan bahwa, “Tidak ada ketetapan yang meyakinkan mengenai batas jarak dan batas wakt  bagi seorang musafir".

Karena itu, ketika seseorang telah keluar dari rumahnya pergi ke tempat lain dan tidak bermaksud untuk bermukim di sana, berapapun jarak dan waktunya, maka dia disebut Musafir.  Selama suatu perjalanan disebut safar baik menempuh jarak dekat maupun jauh, maka pelakunya disebut Musafir. Semoga bermanfaat saudaraku.
Wassalam. *(M2/DI/Red)*