Selasa, 12 Maret 2019

Kehadiran Dewan Pers Indonesia, Jawaban Untuk Melawan Tirani Dewan Pers

Baca Juga


Oleh :  Heintje Mandagie, Ketua Umum SPRI

Setelah melewati proses yang cukup panjang dan melelahkan, Dewan Pers Indonesia atau DPI akhirnya resmi disahkan melalui keputusan Kongres Pers Indonesia 2019.  Kehadiran DPI telah membawa angin segar bagi insan pers tanah air yang berada di luar konstituen Dewan Pers.

Reaksi keras Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo atas kehadiran DPI sungguh di luar dugaan. Keberadaan DPI rupanya begitu diperhitungkan oleh Dewan Pers sehingga langsung membuat pernyataan pers yang kemudian diberitakan secara sepihak oleh jaringan media konstituen Dewan Pers tanpa ada perimbangan berita atau cover both side. Yosep mengancam akan melayangkan somasi terhadap DPI. Selain itu, ada upaya hukum lain yang akan diambil oleh pihak Dewan Pers.

Tanpa disadari reaksi keras Ketua Dewan Pers ini sebetulnya telah memberi penghargaan yang luar biasa atas hasil kerja yang dicapai ribuan wartawan dan pimpinan media yang berada di luar konstituen Dewan Pers. Betapa tidak, Yosep dengan beraninya membuat pernyataan yang mengagetkan semua pihak.

Pembentukan DPI dituding adalah upaya kejahatan berupa pengangkangan terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sikap itu membuat publik jadi tahu betapa arogannya Dewan Pers dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Tadinya kita berpikir bahwa Dewan Pers tidak akan menggubris terbentuknya DPI karena selama ini kerap menggembar-gemborkan di berbagai media mainstream bahwa organisasi-organisasi pers yang berada di Sekber Pers Indonesia adalah bukan konstituen Dewan Pers. Seolah-olah pergerakan Sekber dan ribuan wartawan di daerah tidaklah penting bagi Dewan Pers. Dan ketika ditanggapi berlebihan justeru berdampak positif bagi DPI karena makin viral di mana-manna kelahiran DPI termasuk ke telinga elit politik. Yosep perlu mendapat jempol kali ini.

Bagaimanapun juga DPI hadir melalui proses panjang lewat tahapan Musyawarah Besar Pers Indonesia pada penghujung tahun 2018 lalu dan baru-baru ini sekitar 600 lebih peserta ikut hadir pada Kongres Pers Indonesia 2019 di Gedung Serba Guna Asrama Haji Pondok Gede Jakarta.

Ini fakta bukan hoax. Ribuan wartawan dan pimpinan media yang hadir di Mubes dan Kongres terlalu sering ditolak dan dihina dengan sebutan abal-abal oleh Dewan Pers sehingga  mereka lebih memilih bergabung dan percaya kepada organisasi-organisasi pers yang berada di luar konstituen Dewan Pers.

Dewan Pers sendiri yang mengatakan ada 43.000 media yang belum diverifikasi dan ada ribuan wartawan yang belum disertifikasi merupakan media dan wartawan abal-abal. Bahkan tidak jarang aduan masyarakat terhadap media-media dan wartawan di luar konstituen Dewan Pers menjadi korban kriminalisasi lewat selembar surat rekomendasi Dewan Pers kepada pengadu untuk diteruskan ke proses pidana umum bukan dengan UU Pers.

Fakta inilah yang memicu pergerakan massif wartawan dan pimpinan media dari berbagai daerah mempercayakan dan menggantungkan nasib mereka kepada organisasi-organisasi pers yang berada di luar konstituen Dewan  Pers untuk memfasilitasi upaya memerangi kriminalisasi pers melalui wadah Sekretariat Bersama Pers Indonesia.

Yosep kemudian "berbohong" bahwa organisasi-organisasi pers yang membentuk DPI sebelumnya pernah mendaftarkan diri untuk bergabung dengan Dewan Pers. Namun tidak bisa memenuhi persyaratan-persyaratan mendasar, seperti beranggotakan 500 orang untuk sebuah organisasi wartawan dan 200 perusahaan untuk sebuah organisasi perusahaan pers.

Yosef mungkin tidak mengerti dan mengetahui sejarah bahwa ada beberapa organisasi pers yang ada di Sekber adalah Konstituen Dewan Pers yang ikut mendirikan kembali Dewan Pers pada saat dibubarkan dan terbitnya Undang-Undang Pers yang baru pada tahun 1999.

Serikat Pers Republik Indonesia dan Himpunan Insan Pers Seluruh Indonesia adalah contoh dua organisasi pers, dari sekian puluh organisasi pers, ketika itu yang ikut membidani pembentukan Dewan Pers pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2000. Sepertinya Yosep perlu membuka dokumen yang ada di Dewan Pers pasca berlakunya UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Ada puluhan organisasi pers yang tercatat menjadi konstituen Dewan Pers dan tercantum pada website resmi Dewan Pers selama bertahun-tahun. Namun di era Bagir Manan menjadi Ketua Dewan Pers, nama-nama organisasi pers tersebut menghilang.

Pengurus Dewan Pers yang ada sekarang juga lupa bahwa pada 14 Maret 2006 terdapat 29 Ketua Umum organisasi-organisasi wartawan dan perusahaan pers membuat kesepakatan Penguatan Peran Dewan Pers melalui keputusan Sidang Pleno II Lokakarya V yang dihadiri 29 Organisasi dan Dewan Pers.

Aneh bin ajaib, hampir seluruh organisasi pers yang ikut membidanani berdirinya Dewan Pers dan ikut memberi penguatan terhadap Dewan Pers tersebut kini tidak diakui lagi sebagai konstituen Dewan Pers. Padahal, Dewan Pers munggunakan keputusan Penguatan Peran Dewan Pers dari organiasi-organisasi tersebut untuk mendapatkan legitimasi.

Sejarah mencatat, Keputusan Penguatan Peran Dewan Pers tersebut justeru dipakai sebagai senjata Dewan Pers untuk menghilangkan hak-hak konstitusi organisasi-organisasi pers tersebut untuk tetap menjadi bagian dari konstituen Dewan Pers.

Sekarang ini pengingkaran dan penolakan yang dilakukan Dewan Pers terhadap perusahaan-perusahaan pers dan organisasi-organisasi wartawan yang berbadan hukum telah disikapi secara bijaksana dan konstitusional melalui pembentukan Dewan Pers Indonesia sebagai jawaban atas penolakan tersebut.

Kita perlu bercermin pada fakta ini bahwa tidak ada satu orang atau satu lembaga manapun di negeri ini yang berani atau tega menghina dan melecehkan profesi tukang jual bakso, tukang jual ikan dan pedagang kaki lima yang meski kerap dijumpai berjualan di tempat yang salah dengan sebutan abal-abal.

Pemerintah malahan dengan begitu intens berupaya menyediakan lokasi berdagang dan dukungan pembiayaan modal bagi para pedagang atau pelaku UKM tersebut. Namun, apa bedanya dengan profesi wartawan yang disandang oleh wartawan media online di luar konstituen Dewan Pers.

Wajarkah di negeri yang beradab ini warga negara yang memilih berprofesi sebagai wartawan, dikatakan abal-abal oleh sebuah Lembaga bernama Dewan Pers. Adakah anak bangsa di negeri yang merdeka ini boleh dihina dengan sebutan abal-abal tanpa memberi solusi ?

Pada akhirnya kita wartawan, media dan seluruh organisasi pers yang berada di luar konstituen Dewan Pers perlu bertanya kepada Presiden Republik Indonesia Bapak Ir H. Joko Widodo selaku Kepala Pemerintahan, Ketua DPR RI Bambang Susatyo, Ketua MPR RI Zulkifli Hasan, dan Ketua Mahkamah Agung RI Hatta Ali, SH., apakah itu upaya kejahatan dan pengangkangan terhadap UU Pers jika kita (organisasi-organisasi pers yang berbadan hukum) membentuk Dewan Pers Indonesia karena tidak diakui Dewan Pers ? Undang-Undang Pers pasal berapa yang menyebutkan Dewan Pers sebagai lembaga tunggal ?

Perlu diketahui Kongres Pers Indonesia telah menghasilkan sejumlah rekomendasi diantaranya :
1. Kongres Pers Indonesia 2019 adalah merupakan tindak-lanjut dari hasil pelaksanaan Musyawarah Besar Pers 2018 yang dihadiri oleh sekitar 3000 wartawan dan pimpinan media dari seluruh Indonesia di Gedung Sasono Adiguno Taman Mini Indonesia Indah Jakarta, 18 Desember 2018.
2. Bahwa terdapat 43.000 Perusahaan Pers berskala kecil masuk dalam kelompok Usaha Kecil dan Menengah atau UKM dan ratusan ribu wartawan berada di luar konstituen Dewan Pers.
3. Bahwa puluhan ribu UKM Media dan ratusan ribu wartawan (bukan konstituen Dewan Pers) tidak terlayani proses verifikasi dan sertifikasi kompetensi yang kini terancam dibredel dan dikriminalisasi oleh Dewan Pers.
4. Bahwa 12 organisasi pers berbadan hukum yang bergabung di Sekretariat Bersama Pers Indonesia bersepakat menghimpun dan mewadahi 43.000 UKM Media dan ratusan ribu wartawan tersebut dalam rumah Dewan Pers Indonesia.
5. Bahwa keberadaan media on-line yang belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers  berlu diberi payung hukum melalui lembaga Dewan Pers Indonesia.
6. Bahwa Dewan Pers Indonesia perlu dibentuk untuk memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam :
-mengimplementasi peraturan organisasi tentang Keanggotaan dan Sertifikasi Kompetensi, dan Verifikasi dan Sertifikasi Perusahaan Pers yang ditetapkan dalam Kongres Pers Indonesia 2019.
-memverifikasi 43.000 perusahaan pers yang berada di luar konstituen Dewan Pers.
-memfasilitasi 43.000 perusahaan pers mendapatkan belanja iklan nasional dari total 150 Triliun Rupiah setiap tahun.
-melayani ratusan ribu wartawan lokal di luar konstituen Dewan Pers mengikuti proses sertifikasi kompetensi melalui Lembaga Sertifikasi Profesi berlisensi resmi Badan Nasional Sertifikasi Profesi bukan dari LSP yang ditunjuk oleh Dewan Pers.
-melayani masyarakat di daerah malapor atau mengadu terkait pemberitaan pers melalui Dewan Pers Indonesia Perwakilan Provinsi, sehingga laporan atau aduan masyarakat tidak perlu lagi jau-jauh ke Dewan Pers di Jakarta atau ke kantor polisi untuk penyelesaian sengketa pers.
7. Bahwa dibentuknya Dewan Pers Indonesia sebagai lembaga yang independen adalah bagian dari implementasi pasal 15 Ayat (1) dan (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dimana Undang-Undang tersebut  tidak mengamanatkan wadah tunggal Dewan Pers, serta memberi hak konstitusi kepada organisasi-organisasi pers memilih Anggota Dewan Pers yang independen.
8. Bahwa Anggota Dewan Pers Indonesia yang terpilih berdasarkan hasil Kongres Pers Indonesia 2019 perlu ditindak-lanjuti sesuai Pasal 15 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. 
Rekomendasi ini nantinya akan disampaikan kepada Presiden Republik Indonesia untuk dikaji dan semoga disetujui. Sekarang ini nasib puluhan ribu media dan ratusan ribu wartawan dan pimpinan media bergantung pada keputusan presiden. Mari kita tunggu kebijaksanaan apa yang akan diambil Presiden menyikapi rekomendasi yang akan kita serahkan ke Presiden sesegera mungkin.

Yang pasti di akhir tulisan ini perlu ditegaskan kembali, bahwa kehadiran Dewan Pers Indonesia adalah jawaban untuk melawan tirani Dewan Pers.
***