Sabtu, 14 Maret 2020

KPK Ungkap Aroma Kecurangan Klaim BPJS Kesehatan, Pemerintah Diminta Bertindak Tegas

Baca Juga

Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap alasan kenapa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan selalu mengalami defisit anggaran yang kemudian mengatasinya dengan menaikkan iuran pesertanya. Hal ini, disampaikan KPK dalam penyampaian hasil kajiannya atas Tata Kelola Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan di gedung Merah Putih KPK, jalan Kuningan Persada – Jakarta Selatan, Jum'at 13 Maret 2020.

Hasil kajian yang disampaikan dalam konferensi pers (Konpers) tersebut, KPK menyebut, bahwa pihaknya memberikan rekomendasi khususnya kepada pihak Kementerian Kesehatan dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dalam menutupi defisit anggaran BPJS. Terlebih, soal defisit anggaran BPJS tahun 2018 yang mencapai Rp. 12,2 triliun itu.

Dalam Konpers tersebut, KPK pun menyampaikan, bahwa langkah pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah, menurut KPK, adalah meminta kepada Menkes Terawan Agus Putranto agar mempercepat Pedoman Nasional Praktik Kedokteran (PNPK) esensial.

"Prioritas penyelesaian PNPK untuk penyakit yang berisiko dan biaya tinggi serta prioritas program. Sosialisasi PNPK pada fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan serta institusi pendidikan", kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan di Kantor  KPK, jalan Kuningan Persada –  Jakarta Selatan, Jum'at 13 Maret 2020.

Pahala Nainggolan menegaskan,  KPK meminta kepada pemerintah agar mengkaji opsi pembatasan manfaat untuk pelayanan yang menghabiskan biaya tinggi, sekaligus membatasi anggaran penyakit katastropik serta melakukan pembayaran sesuai dengan kinerja rumah sakit. KPK pun meminta, pemerintah mempercepat pelaksanaan pembagian pembiayaan atau cost sharing. Adapun rekomendasi KPK dilakukan dengan menerbitkan petunjuk teknis pelaksanaan urun biaya dengan asuransi swasta.

"Kita ambil contoh di Korea Selatan, sebetulnya klaim 20 persen bisa dicover swasta. Kami duga Rp 600 sampai 900 miliar bisa ditanggung swasta", tegas Pahala.

Dijelaskannya, Kemenkes dapat melakukan kerja-sama dalam pembayaran iuran dengan peserta. Seperti, peserta yang tergolong mampu, maka pemerintah bisa mewajibkan peserta membayar sebanyak 10 persen dari total biaya.

"Kita bayangkan kalau co-payment ini dijalankan, maka sebenarnya Rp. 2,2 triliun didapat oleh BPJS dalam bentuk kekurangan klaim", jelasnya.

Rekomendasi selanjutnya, KPK meminta Kemenkes dan Pemerintah Daerah mengevaluasi penetapan kelas rumah sakit. Menurut Pahala, perbaikan regulasi terkait dengan klasifikasi dan perizinan Rumah Sakit.

"Sebanyak empat dari empat rumah sakit tidak sesuai kelas dan mengakibatkan pemborosan pembayaran klaim sebesar Rp. 33 miliar pertahun", kata Pahala.

Pahala menandaskan, hal yang turut disoroti KPK adanya dugaan kecurangan dalam klaim BPJS. Untuk itu, KPK meminta pemerintah untuk menindak kecurangan yang terjadi dalam klaim BPJS Kesehatan. Ditandaskannya pula, bila si pelaku baru pertama kali melakukan kecurangan, maka pemerintah bisa meminta kembali klaim tersebut.

Namun, kata Pahala, bila fraud atau penipuan sudah terjadi berulang-ulang, maka pemerintah bisa melakukan pemutusan kontrak kerja sama. "Jadi, bila terjadi (fraud) secara terus menerus, baru ditindak secara pidana", tandas Pahala.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua KPK Nurul Gufron menegaskan, alasan kenapa BPJS Kesehatan selalu mengalami defisit anggaran dan kemudian mengatasinya dengan menaikan iuran pesertanya adalah bukan solusi untuk mengatasinya.

Ditegaskannya pula, bahwa dalam kajian KPK sejak tahun 2014 lalu, cara ini belum tentu berhasil menalangi dan menjadi solusi terkait defisit anggaran. Sebab 'ada kendala lain' yang bisa membuat anggaran BPJS Kesehatan selalu defisit. "Ini karena pengelolaan (anggaran BPJS Kesehatan) yang in-efisien (tidak-efisien)", tegas Gufron.

Lebih lanjut, Nurul Gufron memaparkan, bahwa ada 3 (tiga) hal yang jadi penyebab BPJS Kesehatan selalu defisit. Pertama, moral dan hasrat peserta BPJS Kesehatan mandiri. Yang dalam hal ini, KPK melihat tidak sedikit peserta BPJS Kesehatan mandiri yang menunda pembayaran iuran.

Dimisalkanya, seseorang yang belum mempunyai asuransi kesehatan divonis 'sakit jantung dan harus menjalani operasi'. Ia kemudian memanfaatkan BPJS Kesehatan agar mendapat bantuan. Yang mana, seseorang yang belum mempunyai asuransi ini, sengaja mendaftar BPJS kelas 1 untuk mendapatkan pelayanan. Namun, setelah menjalani operasi, beberapa bulan kemudian mereka tidak lagi membayar iuran. “Sehingga pada tahun 2019 kita defisit RP. 12,2 triliun", papar Gufron.

Kedua, Gufron melanjutkan, adanya masalah kelebihan pembayaran klaim dari pihak rumah sakit. Kasus ini terjadi, karena rumah sakit tidak memiliki kas yang cukup baik. Tidak sedikit rumah sakit kelas 2 yang mengklaim pembayaran dengan klaim kelas 1.

"Kasus ini terjadi, karena standarisasi kelas rumah sakit direkomendasikan oleh dinas tingkat pemerintah daerah. “Sehingga pembayarannya lebih tinggi", lanjutnya.

Ketiga, adanya fraud (tindak kecurangan) yang terjadi di lapangan. Indikasi kecurangan ini, biasanya terjadi pada status penyakit pasien. Misalnya, dalam penanganan penyakit DBD dibatasi dalam waktu 1 minggu. Sehingga dalam jangka waktu tersebut pasien dipaksa untuk sembuh.

Jika sudah satu minggu, pasien diminta pulang. Lalu, karena penyakitnya belum pulih sempurna, selang beberapa hari kemudian pasien kembali dirujuk ke rumah sakit yang sama. “Jadi ini klaim ulang terhadap penyakit yang sama dan pasien yang sama”, tandasnya.

Untuk itu, KPK menilai perlu ada pembenahan mulai dari pihak rumah sakit, peserta dan pengategorian penyakit yang dapat diklaim oleh BPJS Kesehatan. *(Ys/HB)*