Sabtu, 18 Juni 2016

Program Sertifikasi Guru Beraroma KKN, Jam Mengajar Guru Terindikasi Di Mark-Up

Baca Juga

  

Empat Koordinator Aliansi Rakyat Mojokerto Bersatu.


Kab. MOJOKERTO - (harianbuana.com).
Program pemberian tunjangan sertifikasi profesi guru, membuka celah terjadinya praktik Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) bagi oknum Kepala Sekolah. Keharusan dilampirankannya 'Surat Keterangan' dari Kepala Sekolah sebagai lampiran berkas syarat sertifikasi berpeluang besar menjadi ajang transaksional sesuatu yang bersifat khusus dan hanya diketahui oleh 'orang-orangnya khusus' pula.

Dalam upayanya untuk mengegolkan oknum-oknum guru yang menjadi kroni atau kaki-tangannya agar lolos mengikuti proses sertifikasi, salah-satunya dengan melakukan 'mark-up' atau mangatrol jumlah jam mengajar oknum guru yang menjadi kroni atau kaki-tangannya sehingga dapat sesuai dengan ketentuan yang dipersyaratkan, yakni minimal 24 jam pelajaran per-minggu. Padahal, oknum guru yang menjadi kroni dan kaki-tangannya dilembaga sekolah yang dipimpin sebenarnya okmum guru itu memiliki jam mengajar yang jauh dibawah batas minimal yang dipersyaratkan dalam proses sertifikasi dan atau oknum guru itu malas mengajar (sekak/catur, ngopi, ngetopros/ngerumpi, main game di HP atau melihat film dilaptop/kumputer).

Dengan pertimbangan demi kelancaran dan amannya 'kepentingan khusus' oknum Kepala Sekolah dari sekolah yang dikendalikannya, terindikasi kuat power si oknum Kepala Sekola mendominasi lahirnya 'surat keterangan bohong' untuk mengegolkan proses sertifikasi aknum guru yang menjadi kroni dan kaki tangannya dilembaga sekolah  yang dikelolanya. Yang mana, pada Surat Keterangan bohong dimaksud menyebutkan bahwa oknum guru itu mengajar (minimal) 24 jam pelajaran per-minggu dengan kategori 'Aktif Mengajar dan Baik'. "Padahal, oknum guru itu nyata-nyata jauh dari memenuhi persyaratan batas minimal kewajiban mengajar per-minggunya seperti yang telah ditetapkan, yakni minimal 24 jam pelajaran per-minggu. Misalnya saja, oknum guru itu hanya mengajar 16 jam per-minggu. Tapi, karena ada 'sesuatu yang khusus' (dalam tanda kutib), oknum Kepala Sekolah itu bisa saja membuatkan surat keterangan bohong bahwa oknum guru itu mengajar 26 jam per-minggunya dengan kategori aktif mengajar dan baik", papar Slamet Kusairi, Koordinator Aliansi Rakyat Mojokerto Bersatu (ARMB), Jum'at (17/06/2016) siang kemarin.

Ditandaskannya pula, bahwa oknum Kepala Sekolah bisa dengan leluasa membuatkan 'surat keterangan bohong' untuk kepentingan oknum guru yang menjadi orang dekat atau kroninya agar lolos dalam proses sertifikasi. Karena yang mengelelola data sertifikasi disekolah adalah kaki-tangan oknum Kepala Sekolah yang biasanya hanya bisa 'yes men' atau apa kata si oknum Kepala Sekolah saja. "Dalam hal ini, oknum Kepala Sekolah bisa dengan leluasanya membuatkan surat keterangan bohong untuk oknum guru yang menjadi 'kroni atau orang dekatnya' (tanda kutip). Kan bagian pengolah data sertifikasi disekolah itu orang terlatih dan orang kepercayaannya...!? Kasek tinggal perintah maka langsung jadi dan ditanda-tanganinya. Masalah diatasnya, kami menduga ini bagian dari lingkaran setan", tandasnya.

Lebih jauh, Toyek (sapaan akrab Slamet Kusairi Koordinator ARMB) menegaskan, bahwa oknum Kepala Sekolah itu akan berusaha keras untuk meloloskan 'pasukannya' meski harus mengabaikan hak guru lain yang benar-benar mengajar 24 jam per-minggu atau lebih. "Praktisnya, dia akan berusaha keras untuk meloloskan kroni dan kaki-tangannya dalam proses sertifikasi. Sementara guru lain yang benar-benar mengajar 25 jam pelajaran per-minggu malah dilaporkannya hanya mengajar 12 jam. Nah..., yang 13 jam itu dikemanakan oleh si oknum Kepala Sekolah...? Tentunya akan dimasukkan ke oknum guru yang menjadi kroninya. Buktinya, ada guru yang benar-benar mengajar 24jam pelajaran per-minggunya atau  lebih, tidak mendapatkan tunjangan sertifikasi yang pencairan pertamanya dibulan Mei lalu. Jelasnya, ini tengah kita telusuri. Dan karena menyangkut uang Negara, pastinya akan kita laporkan", tegasnya.

Menururt ARMB, berdasarkan informasi yang dikantonginya, belum tentu jika seorang guru yang memiliki jam mengajar kurang dari 24 jam per-minggu itu malas mengajar atau melalaikan tugas-tugasnya. Boleh jadi, guru yang bersangkutan sebenarnya memiliki dedikasi dan disiplin yang tinggi, namun porsi jam mengajar yang diberikan kepadanya sangat minim. Indikasinya, hal ini bisa terjadi karena 2 (dua) hal. Pertama, karena dianggap tidak bisa bekerja-sama 'secara khusus' untuk kepentingan oknum Kepala Sekolah dan yang kedua karena disekolah itu memiliki guru bidang studi sejenis dalam jumlah berlebihan. Sementara jumlah Rombel (Rombongan Belajar / kelas dan siswa) yang harus diajar kurang atau kecil. Sehingga, mereka harus rela berbagi jam pelajaran dengan rekan-rekannya. Untuk itu, Pemerintah harus adil dan bijaksana dalam menyikapi fenomena tersebut agar tidak timbul keresahan dan ketidak-jujuran dalam dunia pendidikan.

"Kalau berprinsip pada azas 'Keadilan' syarat batas minimal mengajar 24 jam pelajaran hendaknya jangan menjadi acuan utama dalam pemberkasan sertifikasi. Masalahnya, setiap sekolah tidak sama jumlah Rombel (red. Rombongan Belajar)nya. Sementara yang merekrut PNS Guru dan menempatkan para Guru disuatu sekolah adalah Pemerintah. Kalau ditempatkan disekolah yang Rombelnya besar dan guru Mapel (red. Mata Pelajaran)nya sedikit atau pas-pasan, 'normalnya' otimatis sertifikasinya tidak ada masalah. Sedangkan yang ditempatkan disekolah yang sebaliknya akan resah dan dapat menjadi pemicu munculnya inisiatif mark-up jam pelajaran. Dan, blundernya justru disini. Karena, secara tidak langsung diajari tentang ketidak-jujuran. Pun, dari tahun-ketahun akan timbul keresahan diantara para guru. Karena harus mempersiapkan berkas-berkas sertifikasi yang selalu diperbarui dari tahun-ketahunnya, semetara para guru juga wajib mempersiapkan materi belajar untuk para siswa", papar ARMB.

Lebih dalam, ARMB menguraikan, bahwa pejabat terkait harus jeli, adil dan bijaksana dalam melihat fenomena praktik mark-up jam mengajar oleh oknum guru dengan perantara power sang oknum Kepala Sekolah itu. Tidak tertutup kemungkinan fenomena itu muncul justru karena penerapan aturan yang kurang memperhatikan kondisi dilapangan. "Tidak tertutup kemungkinan, Kepala Sekolah terpaksa melakukan tindakan tak terpuji itu guna menyelamatkan kroni dan kaki-tangannya yang mestinya tidak mungkin dapat memenuhi persyaratan jam mengajar minimal, sementara guru yang benar-benar berhak malah ngaplo. Untuk laporpun takut dan bia-bisa malah di 'nol' kan jam mengajarnya. Kalau mau jujur-jujuran dan adil, pejabat terkait harusnya turun langsung kesekolah. Amati jumlah Rombel, amati jumlah guru Mapel, amati jadawal pelajaran dan turun kekelas-kelas untuk menanyakan secara langsung pada siswa. Tanyakan siapa guru mapelnya, berapa kali diisi dalam seminggu dan berepa menit waktu tiap jam pelajaran", urai ARMB.

Sementara itu, menurut ARMB pula, sejumlah guru yang mengaku mendapatkan perlakuan tidak-adil dan sewenang-wenang dari oknum Kepala Sekolah menyatakan tak berani berbuat banyak. Akan lapor takut dianggap mbalelo dan malah dipersalahkan lalu di 'nol' jam-kan, lebih-lebih untuk menyampaikan informasi keluar. "Kita sudah mengatongi sejumlah informasi tentang itu. Hanya saja, guru-guru yang mendapatkan perlakuan tidak adil dan tindakan sewenang-wenang dari oknum Kepala Sekolahnya belum mau membuka diri. Alasannya, rata-rata takut. Artinya, itu memang ada. Hanya saja, mereka masih takut bicara. Ya saya tidak bisa memaksanya. Sudah dulu ya..., nanti jika ada perkembangan lebih lanjut akan kami sampaikan", ARMB.
*(DI/Red)*


BERITA TERKAIT :