Baca Juga
Kota JAKARTA - (harianbuana.com).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan, bahwa pengusutan perkara dugaan tindak pidana korupsi 'suap' proyek pembangunan Pembangkit Lisrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1 di Provinsi Riau tak berhenti hanya sampai pada penetapan tersangka dan penahanan Wakil Ketua Komisi VII DPR-RI Eni Maulani Saragih (EMS) dan Johannes Budisutrisno Kotjo (JBK) selaku pemilik saham Blackgold Natural Recourses (BNR) saja.
Sebagaimana dinyatakan Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, bahwa pihaknya akan mendalami aliran dana dugaan 'suap' dalam proses pengerjaan proyek pembangunan PLTU Riau-1 di Provinsi Riau terkait kontrak kerjasama pembangunan PLTU Riau-1 di Provinsi Riau. Termasuk, akan memeriksa Pimpinan dan Anggota Komisi VII DPR-RI lainnya.
"Itu sudah pasti. Sementara hari ini belum kami lakukan, mungkin setelah ini akan dilakukan pemanggilan-pemanggilan", ujar Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, di kantor KPK jalan Kuningan Persada - Jakarta Selatan, Sabtu (14/07/2018) kemarin.
Di Komisi VII DPR-RI yang membidangi energi, riset, tekhnologi dan lingkungan hidup, bukan hanya EMS saja yang menjabat sebagai Wakil Ketua, melainkan ada wakil ketua yang lainnya, yakni Herman Khaeron, Syaikhul Islam Ali dan Tamsil Linrung. Sedang untuk posisi Ketua Komisi VII DPR-RI, dijabat oleh Irawan Pasaribu.
KPK menduga, ada kemungkinan uang suap sebesar Rp 4,8 miliar yang diterima EMS dari JBK itu juga mengalir ke unsur pimpinan Komisi maupun ke Anggota Komisi VII DPR-RI lainnya.
"Yang lain-lain masih mungkin terjadi, karena kita tahu, uang Rp. 4,8 miliar secara keseluruhan, sementara yang sudah diterima. Apakah ini ke mana? Untuk sementata kami belum bisa memberikan informasi itu", terang Wakil Ketua KPK Basaria penjaitan.
Menurut Wakil Ketua KPK, berdasarkan penyelidikan awal, uang sejumlah Rp. 4,8 miliar dari JBK itu hanya diterima EMS saja. Namun, bukan tidak mungkin dalam proses penyidikan nanti KPK akan menemukan pihak lain yang diduga berkaitan.
"Ya pihak yang diduga sebagai penerima itu selain disangkakan Pasal 12 a atau Pasal 11 juga dijunctokan Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Diduga, perbuatan ini tidak dilakukan sendirian. Dan, itulah yang nanti jadi ruang bagi pengembangan KPK melihat pihak-pihak lain", papar Basaria Panjaitan.
Dijelaskannya, bahwa untuk sementara, secara keseluruhan uang suap yang diterima EMS dari JBK berjumlah Rp. 4,8 miliar. Dimana, pemberian suap pertama terjadi pada Desember 2017, berjumlah Rp. 2 miliar. Kedua, pada Maret 2018, berjumlah Rp. 2 miliar. Ketiga, pada 8 Juni 2018, berjumlah Rp. 300 juta. Dan terakhir, pada Jum'at 13 Juli 2018, berjumlah Rp. 500 juta.
Suap diberikan, diduga sebagai pemberian komitmen fee yang disepakati sebelumnya sebesar 2,5 persen dari total nilai proyek terkait kesekapatan kontrak. Diduga, suap diberikan untuk memuluskan kesepakatan kontrak kerja sama proyek pembangunan PLTU Riau-1.
JBK diamankan tim KPK di ruang kerjanya di lantai delapan Graha BIP jalan Gatot Subroto - Jakarta Selatan pada Jumat 13 juli sore. Yang mana, dalam OTT ini, KPK juga mengamankan sekretaris JBK beserta tanda bukti penerimaan uang sebesar Rp. 500 juta kepada EMS yang diberikan melalui staf sekaligus keponakan EMS, Tahta Maharaya.
Atas pebuatannya, KPK menyangka Eni Maulani Saragih melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b, atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan terhadap Johannes Budisutrisno Kotjo, KPK menyangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b, atau Pasal 13 UU UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. *(Ys/DI/Red)*
BERITA TERKAIT :
*KPK Tahan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni M. Saragih Dan Pengusaha Johannes BK