Senin, 26 November 2018

Sidang Ke-12 Terdakwa Bupati Non Aktif Mojokerto, JPU KPK Juga Ungkap Setoran Rutin Rp. 20 Juta Per Jumat Dan Jual Beli Jabatan

Baca Juga

Salah-satu suasana sidang ke-12 terdakwa Bupati non-aktif Mojokerto MKP, saat saksi Bambang Wahyuadi menjawab pertanyaan JPU KPK Joko Hermawan, Senin 26 Nopember 2018, di ruang Cakra kantor Pengadilan Tipikor Surabaya, jalan Juanda Kab. Sidoarjo – Jawa Timur.

Kota SURABAYA – (harianbuana.com).
Sidang lanjutan atau ke-12 (dua belas) perkara dugaan tindak pidana korupsi suap pengurusan Ijin Prinsip Pemanfaatan Ruang (IPPR) dan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) 22 (dua puluh dua) Tower BTS (Base Transceiver Station) atau Menara Telekomunikasi di Kabupaten Mojokerto tahun 2015 dengan dengan terdakwa Bupati non-aktif Mojokerto Mustofa Kamal Pasa, kembali di gelar hari ini, Senin 26 Nopember 2018, di Pengadilan Tipikor (tindak pidana korupsi) Surabaya jalan Juanda Sidoarjo – Jawa Timur.

Pada sidang lanjutan beragendakan 'Mendengarkan Keterangan (Para) Saksi' kali ini, Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang beranggotakan Djoko Hermawan, Eva Yustisiana, Ni Nengah Gina Saraswati, Mufti Nur Irawan dan Nur Haris Arhadi, menghadirkan terdakwa Bupati non-aktif Mojokerto Mustofa Kamal Pasa (MKP) dengan didampingi Tim Penasehat Hukum Terdakwa dari kantor hukum 'MARIYAM FATIMAH & PARTNER' yang beranggotakan Mariyam Fatimah, SH., MH.; Huhajir, SH., MH.; Akhmad Leksono, SH.; Husen Pelu, SH. dan Ramdansyah, SH.

Sedangkan Saksi yang dihadirkan Tim JPU KPK dalam persidangan kali ini, ada sebanyak 8 (delapan) orang Saksi, namun 1 (satu) orang Saksi diantaranya tidak hadir hingga berakhirnya persidangan. Ketujuh Saksi yang hadir, yakni:
1. Punggi Adi Wiranata, pekerjaan swasta, saat kejadian selaku Driver pada Badan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kabupaten Mojokerto;
2. Ismawan, pekerjaan PNS Pemkab Mojokerto, saat kejadian selaku PNS pada Satpol PP Kabupaten Mojokerto;
3. H. Moh. Sholeh Abidin, pekerjaan wiraswasta, saat kejadian sebagai pembantu rumah tangga Bupati Mojokerto, saat kejadian selaku pihak swasta penghubung Terdakwa;
4. Roksa Agung Efendy, saat kejadian selaku Staf Khusus (Ajudan) Bupati Mojokerto Bagian Administrasi;
5. Vivin Kurnia Andhiany, pekerjaan PNS pada Pemkab Mojokerto, saat kejadian selaku Staf pada Badan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kabupaten Mojokerto;
6. Lutfi Arif Muttaqin, saat kejadian selaku Staf Khusus atau Ajudan Bupati Mojokerto; dan
7. Bambang Wahyuadi, pekerjaan PNS pada Pemkab Mojokerto, saat kejadian selaku Kepala Badan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kabupaten Mojokerto.
Sementara saksi Nano Santoso Hudiarto alias NONO, tidak hadir hingga berakhirnya persidangan tanpa keterangan.

Menariknya, dalam persidangan perkara dugaan tindak pidana korupsi suap pengurusan IPPR dan IMB 22 (dua puluh dua) Tower BTS atau Menara Telekomunikasi di Kabupaten Mojokerto tahun 2015 dengan terdakwa Bupati non-aktif Mojokerto Mustofa Kamal Pasa kali ini, Tim JPU KPK juga mengungkap kegiatan rutin 'wajib setor' Rp. 20 juta setiap hari Jum'at bagi sejumlah instansi di lingkup Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Mojokerto di duga ke Terdakwa, diantaranya melalui Roksa Agung Efendi selaku Staf Khusus Bupati Mojokerto Bagian Adinistrasi atas perintah Lutfi Arif Musttaqin selaku Ajudan Bupati Mojokerto sekaligus penerima perintah langsung dari Terdakwa.


Salah-satu suasana sidang ke-12 terdakwa Bupati non-aktif Mojokerto MKP, saat saksi Vivin Kurnia Ardhiany menjawab pertanyaan JPU KPK Joko Hermawan, Senin 26 Nopember 2018, di ruang Cakra kantor Pengadilan Tipikor Surabaya, jalan Juanda Kab. Sidoarjo – Jawa Timur.

Sebagaimana  di beber oleh saksi Vivin Kurnia Ardhiany PNS pada Badan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kabupaten Mojokerto di hadapan Majelis Hakim yang diketuai I Wayan Sosisawan, SH., MH. dengan di bantu 2 (dua) Hakim Anggota (Ad Hoc) yakni Dr. Andriano dan John Dista., SH., saat menjawab pertanyaan Tim JPU KPK, bahwa 'setoran Wajib' tiap hari Jum'at itu ia kumpulkan dari 4 (empat) Bidang yang ada pada Badan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kabupaten Mojokerto. Ia pun mengaku, jika dirinya sendiri yang menyetorkan uang 'wajib setor' sebesar Rp. 20 juta setiap hari Jum'at yang sebelumnya dikumpulkan dari masing-masing Bidang pada instansi tempatnya bekerja tersebut.

"Setornya, sebenarnya Rp. 20 juta setiap hari Jum'at. Itu dikumpulkan dari teman-teman masing-masing Bidang, setelah terkumpul, saya sendiri yang menyetorkan setiap hari Jum'at ke mas Agung [Red: Roksa Agung Efendy, saat kejadian selaku Staf Khusus (Ajudan) Bupati Mojokerto Bagian Administrasi]. Kadang-kadang setor kurang dari Rp. 20 juta, karena setelah dikumpulkan tidak dapat memenuhi. Ya terpaksa, itu tetap kita setorkan apa adanya, karena memang tidak ada. Bahkan pernah tidak setor karena memang tidak ada, tapi itu tetap di tagih, diminta untuk bayar pada waktu setor Jum'at berikutnya", terang saksi Vivin menjawab pertanyaan JPU KPK Joko Hermawan dalam persidangan, Senin (26/11/2018) ini.

Atas keterangan saksi  Vivin Kurnia Ardhiany tersebut, JPU KPK Joko Hermawan langsung mengrosceknya ke saksi Bambang Wahyuadi selaku Kepala BPTPM Kabupaten Mojokerto.

"Baik. Untuk saksi Bambang Wahyuadi, saudara selaku Kepala BPTPM Kabupaten Mojokerto ya, apa benar apa yang diterangkan saksi Vivin Kurnia Ardhiany tentang adanya setoran Rp. 20 juta setiap hari Jum'at itu? Uang apa atau uang darimana yang disetorkan itu? Lalu bagaimana sikap saudara terkait setoran itu?", lontar JPU KPK Joko Hermawan ke saksi Bambang Wahyuadi.

Menanggapi pertanyaan JPU KPK Joko Hermawan tersebut, saksi Bambang Wahyuadi selaku Kepala BPTPM Kabupaten Mojokerto mengiyakannya. Bahkan, saksi Bambang Wahyuadi mengaku jika dirinya menentang atas adanya 'wajib setor' Rp. 20 juta tiap hari Jum'at itu.

"Ya kenyataannya memang seperti itu pak. Saya tidak mau memenuhinya, uang darimana saya? Makanya itu, dia (Red: saksi Vivin Kurnia Ardhiany) yang mengumpulkan dan menyetorkan. Waktu itu, dengan tegas saya menolaknya, saya ndak ngurus akibatnya, saya ndak ngurus entah nantinya mau ditempatkan (Red: di mutasi) dimana atau bahkan mungkin di non-jobkan saya ndak ngurus, terserah beliau (Red: Terdakwa). Bagi saya, jabatan adalah suatu amanah, dimanapun saya ditempatkan, saya tetap mengedapankan pelayanan masyarakat", ujar Bambang.


Salah-satu suasana sidang ke-12 terdakwa Bupati non-aktif Mojokerto MKP, saat saksi Lutfi Arif Muttaqin menjawab pertanyaan JPU KPK Joko Hermawan, Senin 26 Nopember 2018, di ruang Cakra kantor Pengadilan Tipikor Surabaya, jalan Juanda Kab. Sidoarjo – Jawa Timur.

Tak berhenti di sini, Joko Hermawan mengejar Bambang Wahyuadi dengan pertanyaan susulan tentang mutasi/pelantikan pejabat terkait dugaan adanya praktik jual-beli jabatan seperti halnya yang dialami saksi Vivin Kurnia Ardhiany dalam mendapat jabatan Kepala Seksie (Kasie) pada BPTPM Kabupaten Mojokerto yang sampai harus setor uang sebesar Rp. 50 juta.

"Baik, saudara saksi (Red: Bambang Wahyuadi) menolak dan tidak takut di mutasi, benar itu ya? Lalu apa yang saudara saksi ketahui, terkait saksi saudari Vivin (Red: Vivin Kurnia Ardhiany) sampai harus setor sejumlah uang untuk bisa dapat jabatan sebagai Kepala Seksi pada BPTPM, kan saudara Kepala BPTPM? Apakah itu melalui saudara?", kejar JPU KPK Joko Hermawan.

Atas pertanyaan tersebut, saksi Bambang Wahyuadi kembali menegaskan jika dirinya menolak kegiatan 'wajib setor' Rp. 20 juta tiap hari Jum'at itu, apapun resikonya. Bambang pun menegaskan, jika dirinya sama-sekali tidak terkait dengan peristiwa yang menimpa saksi Vivin Kurnia Ardhiany yang sudah setor uang Rp. 50 juta untuk menduduki jabatan sebagai Kepala Seksi (Kasie) pada BPTPM Kabupaten Mojokerto, namun hanya selama kurang-lebih 3,5 bulan saja dan setelah itu di non-job lagi.

"Ya itu tadi pak, waktu itu saya menolak setor tiap hari Jum'at sebesar Rp. 20 juta itu, dari mana saya dapat uang untuk setor sebesar itu? Kembali itu tadi pak, jabatan adalah amanah, saya ndak ngurus mau ditempatkan beliau dimana. Dimanapun saya ditempatkan, yang penting pelayanan kepada masyarakat. Tentang setoran mbak Vivin (Red: saksi Vivin Kurnia Ardhiany) menjadi Kasie, memang saya Kepala BPTPM, tapi saya tidak terkait sama-sekali. Karena waktu itu urusannya mbak Vivin dengan pak Noerhono. Dengar sih iya, tapi ndak tahu secara pasti. Yang saya tahu, mbak Vivin njabat Kasie hanya sekitar tiga setengah bulan, itu saja. Kan SK (Red: Surat Keputusan)-nya bukan saya yang tanda-tangan, tapi beliau (Red: MKP selaku Bupati Mojokerto)", tegas Bambang.

"Bahkan pernah begini pak, beberapa bulan menjelang pemilihan periode keduanya, beliau (Red: terdakwa MKP) kan tidak-aktif, saya kira sudah tidak ada setoran lagi. Setelah beliau menjabat, teman-teman di tagih lagi, termasuk yang kemarin-kemarin tidak setor waktu beliau tidak aktif itu di tagihi lagi", tambah saksi Bambang Wahyuadi.

Bambang Wahyudi pun mengaku, kalau pertama kali dirinya mengetahui diwajibkan memberi 'setoran wajib' Rp. 20 juta setiap hari Jum'at itu saat dirinya dilantik sebagai Kepala  BPTPM menggantikan Noerhono. Menurut Bambang Wahyuadi, saat itu Noerhono menyampaikan bahwa ada setoran ke Terdakwa. Namun, saksi Bambang Wahyuadi tidak menanggapinya, karena Bambang merasa tidak mampu setor uang sebayak Rp. 20 juta per Jum'at itu.

Selain 'setoran wajib' Rp. 20 juta tiap Jum'at itu pernah pernah disampaikan oleh Noerhono, saksi Bambang Wahyudi pun mengaku, bahwa hal itu juga pernah disampaikan langsung oleh Terdakwa pada saat dirinya bersama Noerhono menghadap Terdakwa.

“Waktu pak Noerhono menyampaikan ada setoran itu, saya diam saja. Pada suatu waktu, saat saya menghadap beliau (Red: Bupati Mojokerto MKP), di situ ada pak Noerhono,  pak Bupati mengatakan, Noerhono saja bisa masak kamu nggak bisa", kata Bambang Wahyudi seraya menirukan apa yang pernah disampaikan Terdakwa sebelumnya.


Salah-satu suasana sidang ke-12 terdakwa Bupati non-aktif Mojokerto MKP, saat saksi Punggi Adi Wiranata menjawab pertanyaan JPU KPK Joko Hermawan, Senin 26 Nopember 2018, di ruang Cakra kantor Pengadilan Tipikor Surabaya, jalan Juanda Kab. Sidoarjo – Jawa Timur.

Selanjutnya, JPU KPK Joko Hermawan kembali melontarkan pertanyaannya ke saksi Vivin Kurnia Ardhiany tentang dugaan pemberian uang terkait pelantikan saksi Vivin Kurnia Ardhiany sebagai Kepala Seksie (Kasie) di BPTPM Kabupaten Mojokerto pada Desember 2016 lalu.

"Sesuai dalam BAP saudari Vivin (Red: Vivin Kurnia Ardhiany) pada waktu dimintai keterangan penyidik KPK, saudari Saksi menerangkan, setelah dilantik sebagai Kepala Seksie (Kasie) pada BPTPM Kabupaten Mojokerto, saudari Saksi dimintai sejumlah uang. Apakah uang itu saudari Saksi serahkan sendiri kepada Terdwakwa? Berapa nominal uang yang saudari berikan? Lalu, uang apa atau uang dari mana yang Saksi berikan itu? Dan, sebelum saudari di lantik menjadi Kasie pada BPTPM Kabupaten Mojokerto, apakah ada kesepakatan terlebih dahulu? Misal, kamu saya jadikan Kasie, asalkan di beri imbalan uang sekian, lalu Saksi menyepakati", lontar JPU KPK Joko Hermawan kepada saksi Vivin Kurnia Ardhiany seraya memberikan pemisalan.

Menjawab pertanyaan JPU KPK Joko Hermawan tersebut, saksi Vivin Kurnia Ardhiany membenarkan keterangan yang telah ia berikan kepada penyidik KPK itu. Saksi Vivin Kurnia Ardhiany pun mengaku, jika uang yang ia berikan itu merupakan uang tabungannya yang semula akan digunakannya untuk menjalankan 'ibadah 'umroh'.

Lebih lanjut, saksi Vivin Kurnia Ardhiany membeberkan, bahwa dirinya di lantik menjadi Kasie di BPTPM pada Desember 2016 lalu, sebelumnya tidak ada kesepakatan terlebih dahulu dengan siapapun. Dimana, setelah Saksi di lantik menjadi Kasie, tahu-tahu diminta menghadap Kepala BKPP Kabupaten Mojokerto sambil memberikan uang sebesar Rp. 50 juta. Saksi pun menerangkan, saat itu ia bersama seorang temannya dengan maksud dan kepentingan yang sama, telah memberi uang kepada Kepala BKPP Kabupaten Mojokerto Susantoso, masing-masing sebesar Rp. 50 juta.

“Uang yang saya berikan itu sebenarnya uang tabungan untuk persiapan 'umroh'. Waktu itu saya punya tabungan sekitar Rp. 70 juta, lalu saya ambil Rp. 50 juta, ya uang yang saya berikan itu. Jadi begini pak, saya dilantik menjadi Kasie di BPTPM pada Desember 2016. Setelah di lantik, saya di minta menghadap pak Susantoso (Red: Kepala BKPP Kabupaten Mojokerto). Waktu itu, saya di minta pak Noehono, berdua, bersama teman menghadap pak Susantoso dengan membawa uang sebesar Rp. 100 juta, saya Rp. 50 juta teman juga sama Rp. 50 juta, sama-sama di lantik menjadi Kasie. Namun, pada waktu menghadap pak Susantoso itu tidak diperbolehkan masuk dua-duanya, sehingga yang masuk hanya teman saya dengan membawa uang Rp. 100 juta. Ya kelihatan dari sebelah, uangnya di serahkan pak Susantoso. Kan sekatnya ada kacanya, jadi saya bisa melihat kalau uang itu diserahkan ke pak Susantoso", beber Vivin tanpa tedeng aling-aling dihadapan Majelis Hakim.

Ironisnya, meski saksi Vivin Kurnia Ardhiany dan temannya telah memberi uang masing-masing sebesar Rp. 50 juta sehingga total  berjumlah Rp. 100 juta, namun setelah sekitar 3,5 bulan jabatan Kasie saksi Vivin Kurnia Ardhiany pada BPTPM kabupaten Mojokerto di copot  lagi tanpa sebab yang berproses.

Hal itu, tak luput dari sorotan Tim JPU KPK, hingga JPU KPK Joko Hermawan mengonfirmasi persoalan itu pada saksi Vivin Kurnia Ardhiany di hadapan Mejelis Hakim.

"Saudari Saksi tahu nggak, kenapa atau apa yang menjadi penyebab, sehingga baru sekitar 3,5 bulan jabatan Saksi sebagai Kasie di BPTPM di copot lagi? Lalu, setelah jabatan itu di copot, saudari Saksi ditempatkan di mana?", desak Joko Hermawan.

Menjawab desakan Tim JPU KPK tersebut, saksi Vivin Kurnia Ardhiany  menyatakan jika dirinya tidak-menahu ikwal persoalan yang menyebabkan dicopotnya lagi jabatannya sebagai Kasie pada BPTPM Kabupaten Mojokerto yang hanya disandangnya sekitar 3,5 bulan saja itu.

"Saya nggak tahu sebabnya, tiba-tiba saja jabatan saya di copot dan non-job. Saya tidak merasa melakukan kesalahan ataupun pelanggaran. Kalau seandainya karena saya ada kesalahan atau melakukan pelanggaran kan ada mekanismenya. Sebelumnya (Red: sebelum jabatan saksi sebagai Kasie di BPTPM Kabupaten Mojokerto di copot), saya nggak pernah dapat teguran atau peringatan baik dari BKPP maupun dari Inspektorat. Ya tiba-tiba saja di non-job", tandas saksi Vivin.

Selain itu, menjawab pertanyaan Tim JPU KPK tentang 'setoran wajib' Rp. 20 juta tiap hari Jum'at yang pernah di setorkan saksi Vivin Kurnia Ardhiany melalui saksi Roksa Agung Efendy selaku Staf Khusus (Ajudan) Bupati Mojokerto MKP di Bagian Administrasi ini, saksi Lutfi Arif Muttaqin selaku Ajudan Bupati Mojokerto mengakui pernah meminta saksi Roksa Agung Efendily selaku Staf Khusus (Ajudan) Bupati Mojokerto di Bagian Administrasi untuk menerima uang 'setoran wajib' tiap hari Jum'at tersebut. Permintaan itu dilakukan, karena saksi Lutfi Arif Muttaqin tengah mendampingi Terdakwa menghadiri suatu kegiatan.

“Saya sebelumnya memang di perintah beliau menerima itu. Kebetulan waktu mbak Vivin menyerahkan uang itu, saya sedang menemani beliau pada saat menghadiri kegiatan. Saya meminta Agung (Red: saksi Roksa Agung Efendy selaku Staf Khusus Bupati Mojokerto di Bagian Administrasi) untuk menerimanya", kata saksi Lutfi Arif Muttaqin menjawab pertanyaan JPU KPK  dan ketika hal itu dikonfirmasi ke saksi Roksa Agung Efendy, tak dibantah oleh saksi Agung.


Salah-satu suasana sidang ke-12 terdakwa Bupati non-aktif Mojokerto MKP, saat saksi Ismawan menjawab pertanyaan JPU KPK Joko Hermawan, Senin 26 Nopember 2018, di ruang Cakra kantor Pengadilan Tipikor Surabaya, jalan Juanda Kab. Sidoarjo – Jawa Timur.

Pengakuan saksi Vivin Kurnia Ardhiany, saksi Roksa Agung Efendy maupun pengakuan saksi Lutfi Arif Muttaqin terkait kegiatan 'wajib setor' Rp. 20 juta setiap hari Jum'at tersebut seolah lebih dikuati dengan pengakuan saksi Ismawan yang juga selaku Ajudan Bupati Mojokerto MKP dan yang sebelumnya berdinas di Satpol PP Kabupaten Mojokerto. Bahkan, saksi Ismawan menyebutkan sejumlah instansi yang rutin setor Rp. 20 juta disetiap hari Jum'at itu. Diantaranya 2 (dua) RSUD yang ada di Kabupaten Mojokerto, Perijinan juga Sarpol PP.

Sementara kesaksian dari saksi H. Moh. Sholeh Abidin yang dalam perkara ini terindikasi sebagai penghubung atau perantara Terdakwa dengan pihak lain yang turut terlibat dalam pengurusan perijinan dan/atau pemilik tower, sepertinya tidak-memberikan kesaksian yang sejujurnya tentang pengetahuannya terkait perkara dugaan tindak pidana korupsi suap pengurusan IPPR dan IMB 22 Tower BTS atau Menara Telekomunikasi ini. Bahkan, soalah-olah dirinya tidak tahu apa-apa dengan banyak mengatakan 'lupa saya' juga 'apa itu' dan seolah-olah dalam kondisi tidak sehat termakan usia, hingga JPU KPK Joko Hermawan harus meminta saksi H. Moh. Sholeh Abidin untuk mengingat-ingatnya kembali dengan mengatakan: "Ayo di ingat-ingat lagi Mbah...!" dan menanya usia saksi H. Moh. Sholeh Abidin "Usia Mbah Sholeh sekarang ini berapa?" yang di jawab oleh saksi H. Moh. Sholeh Abidin "51 tahun".

Bahkan, hingga setelah JPU KPK Joko Hermawan memperdengarkan rekaman pembicaraan saksi H. Moh. Sholeh dengan pihak lain yang nada pembicaraannya tengah membicarakan "Tawar-menawar nominal suap pengurusan perijinan tower" yang terdengar begitu gagah dan lantangnya saksi H. Moh. Sholeh Abidin membalas pertanyaan pihak lain itu, saksi H. Moh. Sholeh Abidin menanggapinya dengan kata-kata: "Lupa Saya".

"Yok opo... Bos' e njaluk pira...? (Red: Bhs. Jawa = bagaimana..., Bos-nya minta berapa...?", tanya pihak lain dalam rekaman pembicaraan seluler yang diperdengarkan JPU KPK Joko Hermawan dalam ruang sidang, yang langsung di jawab oleh saksi H. Moh. Sholeh Abidin dengan begitu cepat dan kerasnya "Telung atus...! (Red: Bhs. Jawa = tiga ratus...!).

Begitu rekaman pembicaraan tersebut di tutup, JKPU KPK Joko Hermawan kembali menanya saksi H. Moh. Sholeh Abidin terkait pengetahuannya tentang perkara dugaan tindak pidana korupsi suap pengurusan IPPR dan IMB 22 Tower BTS atau Menara Telekomunikasi di Kabupaten Mojokerto tahun 2015 tersebut.

"Bagaimana Mbah Sholeh, apa sudah ingat? Itu tadi kan benar suara anda?", tanya JPU KPK Joko Hermawan kepada saksi H. Moh. Sholeh Abidin. Yang di jawab oleh Saksi: "Iya itu suara saya. Tapi, lupa saya".

"Memangnya usia Mbah Sholeh sekarang ini berapa tahun ya?", lanjut JPU KPK Joko Hermawan. Langsung di jawab dengan singkat oleh saksi H. Moh. Sholeh Abidin: "Lima puluh satu tahun".

Keterangan saksi Bambang Wahyuadi dalam pesidangan kali ini tampak menguatkan Dakwaan Tim JPU KPK. Hal itu, mulai terlihat ketika saksi Bambang Wahyuadi tak menolak saat di kroscek dengan keterangan mantan Wakil Bupati Malang Ahmad Subhan yang dihadirkan pada sidang sebelumnya (ke-11). Diantaranya, Bambang Wahyuadi mengiyakan ketika dikonfirmasi JPU KPK Joko Hermawan terkait pertemuan saksi Bambang Wahyuadi dengan mantan Wakil Bupati Malang Ahmad Subhan pada tanggal 20 Mei 2015 silam.

"Ya benar. Waktu itu pak Subhan menemui saya, pak Subhan menyampaikan bahwa pihak PT. Protelindo sanggup memberikan uang untuk biaya pengurusan ijin termasuk fee untuk beliau (Red: terdakwa Bupati Mojokerto Mustofa Kamal pasa). seluruhnya sebesar Rp. 2.200.000.000,00 (dua milyar dua ratus juta rupiah). Ada 11 tower, per towernya sebesar Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Dan, waktu itu pak Subhan sanggup akan memberikan uang muka terlebih dahulu sebesar Rp. 550.000.000,00 (lima ratus lima puluh juta rupiah) untuk beliau", ungkap Bambang Wahyuadi menjawab pertanyaan JPU KPK Joko Hermawan.

"Lantas apa yang saudara lakukan setelah pertemuan dengan saudara Ahmad Subhan itu?", desak JPU KPK Joko Hermawan.

Atas desakan JPU KPK tersebut, saksi Bambang Wahyuadi membeberkan, bahwa berselang 3 (tiga) hingga 4 (empat) hari berikutnya, Saksi menghadap Mustofa Kamal Pasa di kantor dinas Bupati Mojokerto untuk mengajukan permohonan rekomendasi dan mendapatkan disposisi atas pendirian 11 (sebelas) Tower BTS atau Menara Telekomunikasi milik PT. Protelindo.

"Kalau tidak salah, tiga atau empat hari setelah pertemuan dengan pak Subhan, kalau tidak salah tanggal 24 Juni 2015, saya menghadap beliau (Red: Bupati Mojokerto Mustofa Kamal Pasa), di ruang kerja beliau, untuk mengajukan permohonan rekomendasi pendirian 11 menara (tower) telekomunikasi milik PT. Protelindo supaya mendapatkan disposisi dari beliau. Waktu itu, sebelum memberikan disposisi, beliau menanyakan lagi fee seperti yang pernah ditanyakan oleh beliau sebelumnya. Waktu itu ya saya sampaikan kalau uang fee telah disanggupi oleh pihak Protelindo tetapi belum diberikan. Lalu beliau minta supaya fee secepatnya diminta, baru kemudian beliau memberikan paraf dan disposisi untuk di tindak-lanjuti", beber Bambang Wahyuadi.

"Baik. Setelah itu, benar kan, saudara Saksi pertemuan dengan saudara Ahmad Subhan dan Achmad Suhawi? Kapan itu dan dimana saudara Saksi pertemuan dengan saudara Ahmad Subhan dan Achmad Suhawi?", kejar JPU KPK Joko Hermawan.

Menjawab pertanyaan Tim JPU KPKersebut, saksi Bambang Wahyuadi membenarkannya dan menerangkan jika pertemuannya dengan Ahmad Subhan dan Achmad Suhawi itu dilakukan sehari setelah Saksi menghadap Bupati Mojokerto Mustofa Kamal Pasa untuk mengajukan rekomendasi dan mendapatkan diaposisi perijinan 11 Tower BTS milik PT. Protelindo tersebut.

"Ya, benar. Waktu itu, sehari setelah saya menghadap beliau (Red: Bupati Mojokerto Mustofa Kamal Pasa) untuk mengajukan rekomendasi supaya mendapatkan disposisi itu, kalau tidak salah pada tanggal 25 Juni 2015, saya bertemu pak Subhan (Red: Ahmad Subhan) dan pak Suhawi (Red: Achamd Suhawi). Waktu itu saya di jemput pak Subhan dengan mobil di depan masjid Meri yang selatan, ya setelah pak Subhan ambil uang di bank itu (Red: bank BRI Mojokerto Cabang Mojopahit) itu. Selanjutnya menuju masjid di perumahan Griya Permata Meri (Kota Mojokerto). Sesuai perintah beliau (Red: Bupati Mojokerto Mustofa Kamal Pasa) sebelumnya, agar uang fee diserahkan melalui pak NONO (Red: Nano Santoso Hudiarto alias NONO), maka saya menghubungi pak NONO meminta datang ke perumahan Griya Permata Meri - Mojokerto (Red: Kota Mojokerto) untuk mengambil uang tersebut. Waktu pak NONO datang, pak Subhan menyerahkan uang Rp. 550.000.000,00 (lima ratus lima puluh juta rupiah) yang diambilnya dari bank itu ke pak NONO", terang saksi Bambang Wahyudi.


Salah-satu suasana sidang ke-12 terdakwa Bupati non-aktif Mojokerto MKP, saat saksi H. Moh. Sholeh Abidin menjawab pertanyaan JPU KPK Joko Hermawan, Senin 26 Nopember 2018, di ruang Cakra kantor Pengadilan Tipikor Surabaya, jalan Juanda Kab. Sidoarjo – Jawa Timur.

Bergeser ke saksi Lutfi Arif Muttaqin, JPU KPK Joko Hermawan tampak memastikan keterangan Saksi yang  diberikan saat dimintai keterangan Penyidik KPK.

"Baik. Geser ke saudara Lutfi Arif Muttaqin ya. Sesuai dalam BAP saudara waktu dimintai keterang penyidik KPK, benar ya saudara pernah menerima titipan uang dari saudara Nano Santoso Hudiarto alias NONO ya? Terkait hal ini, dimana saudara menerima titipan uang dari saudara Nano Santoso Hudiarto alias NONO untuk Terdakwa, dan berapa jumlahnya?", tanya JPU KPK Joko Herwaman kepada saksi Lutfi Arif Muttaqin.

Menjawab pertanyaan Tim JPU KPK tersebut, saksi Lutfi Arif Muttaqin membenarkan dirinya menerima titipan uang dari Nani Santoso Hudiarto alias NONO untuk diserahkan kepada Terdakwa. Hanya saja, Lutfi mengaku jika dirinya tidak tahu berapa jumlah titipan uang tersebut.

"Benar saya menerima titipan uang dari pak NONO untuk beliau (Red: Bupati Mojokerto Mustofa Kamal Pasa). Waktu itu, saya dihubungi pak NONO diminta menemuinya di sebuah Indomart di daerah Mojosari (Kabupaten Mojokerto). Kalau jumlahnya saya tidak tahu, tidak berani membuka pak. Tapi saya tahu kalau itu uang. Waktu itu pak NONO bilang, 'titip ini untuk bos'. Setelah itu, saya letakkan di meja ruang kerja beliau. Lalu saya menghubungi beliau 'pak ada titipan dari pak NONO', beliau menjawab 'iyo' (Red: Bhs. Jawa = iya)", urai saksi Lutfi Arif Muttaqin.

Sayangnya, Saksi yang terindikasi sebagai orang kerpercayaan Terdakwa, mantan Kepala Desa di Kabupaten Mojokerto yang juga salah-satu Tim Kampanye Terdakwa, yakni Nano Santoso Hudiarto alias NONO, tidak hadir dalam persidangan kali ini, sehingga tidak dapat di kronfrontir secara langsung antara kesaksian saksi Bambang Wahyuadi dan saksi Lutfi Arif Muttaqin dengan Nano Santoso Hudiarto alias NONO ini.

Ketidak-hadiran saksi Nano Santoso Hudiarto alias NONO tersebut, mendapat reaksi dari Ketua Majelis I Wayan Sosisawan, SH., MH. dengan mengeluarkan Perintah Pengadilan kepada saksi Bambang Wahyudi dan Lutfi Arif Muttaqin untuk kembali hadir dalam persidangan yang akan di gelar minggu depan tanpa surat panggilan.

“Untuk saksi saudara Bambang Wahyuadi dan saudara Lutfi Arif Muttaqin, ini Perintah Pengadilan ya, saudara berdua supaya hadir lagi dalam persidangan minggu depan. Karena ini Perintah Pengadilan, tanpa surat panggilan ya! Sekali lagi, ini perintah pengadilan, saudara Bambang Wahyuadi dan saudara Lutfi Arif Muttaqin supaya hadir kembali dalam persidangan minggu depan, akan kita konfrontir dengan saksi Nano Santoso Hudiarto alias NONO yang kali ini tidak hadir. Untuk Penuntut Umum, supaya dihadirkan saudara Nano Santoso Hudiarto alias NONO ini pada persidangan minggu depan", tegas Ketua Majelis Hakim I Wayan Sosisawan, SH., MH.

Sebelum menutup jalannya persidangan kali ini, Ketua Majelis Hakim memberikan kesempatan kepada terdakwa Bupati non-aktif Mojokerto Mustofa Kamal Pasa untuk memberikan tanggapannya atas keterangan yang disampaikan oleh para saksi.

"Terkait hal ini, Atas keterangan saudari Vivin, saya keberatan yang mulia, saya tidak pernah memerintahkan siapapun untuk melakukan setoran itu. Atas keterangan saudara Roksa, saya keberatan yang mulia, saya tidak pernah memerintah melakukan menerima apapun. Atas keterangan saudara Ismawan, saya keberatan yang mulia, saya tidak pernah memerintahkan menerima apapun, Atas keterangan suadara Lutfi, saya keberatan yang mulia, saya tidak pernah memerintahkan menerima ataupun menerima apapun, Atas keterangan saudara Bambang Wahyuadi, saya keberatan yang mulia, saya hanya memerintahkan untuk di urus yang prosedural satau sesuai prosesur saja", tegas terdakwa Bupati non-aktif Mustofa Kamal Pasa.

"Baik, intinya saudara Terdakwa keberatan atas keterangan para Saksi. Lalu bagaimana dengan Jaksa Penuntut Umum, apakah akan mengubah Dakwaan atau tetap pada Dakwaan semula?", ujar Ketua Majelis Hakim.

Atas pertanyan Ketua Majelis I Wayan Sosisawan, SH., MH. tersebut, JPU KPK Joko Hermawan menjawabnya dengan menyatakan tetap pada Dakwaannya semula. "Kami tetap pada Dakwaan semula yang mulia", tegas JPU KPK Joko Hermawan.

"Tetap pada pendirian masing-masing ya...!? Baik, sidang akan lanjutkan minggu depan dengan ageda mendengarkan keterangan Saksi", pungkas Ketua Majelis Hakim sembari menggetokan palu keadilan sebanyak tiga kali.

Dikonfirmasi usai persidangan terkait ketidak-hadiran Nano Santoso Hudiarto alias NONO dalam persidangan kali ini, JPU KPK Joko Hermawan menyatakan, pihaknya akan memanggil untuk kedua kalinya terhadap yang bersangkutan. Ditegaskannya, apabila saksi tidak hadir juga, tidak menutup kemungkinan akan dilakukan pemanggilan paksa.

“Kita akan panggil lagi, karena Nano (Red: Nano Santoso Hudiarto) alias NONO ini sangat penting untuk di dengar keterangannya. Kuncinya ada dalam ketiga saksi ini, yaitu Bambang, Lutfi dan Nano. Kalau tidak datang, ya dijemput paksa", tegas JPU KPK Joko Hermawan.


Salah-satu suasana sidang ke-12 terdakwa Bupati non-aktif Mojokerto MKP, saat saksi Roksa Agung Efendy menjawab pertanyaan JPU KPK Joko Hermawan, Senin 26 Nopember 2018, di ruang Cakra kantor Pengadilan Tipikor Surabaya, jalan Juanda Kab. Sidoarjo – Jawa Timur.

Sementara itu pula, dalam perkara ini, pada sidang ke-6 (enam) yang di gelar pada Senin 15 Oktober 2018 lalu, Tim JPU KPK menghadirkan 6 (enam) orang Saksi dari unsur pejabat dan PNS Pemkab Mojokerto. Keenam Saksi tersebut, yakni:
1. Suharsono selaku Kepala Satpol PP Pemkab Mojokerto;
2. Nurhono selaku mantan Kepala Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) Pemkab Mojokerto;
3. Didik Safiqo Hanim selaku mantan Kasatpol PP Kabupaten Mojokerto;
4. Joko Supangkat selaku Kasubag Umum pada Dinas Perizinan Pemkab Mojokerto;
5. Ahmad Samsul Bahri selaku Kabid Penertiban pada Satpol PP Pemkab Mojokerto; dan
6. Zaqi selaku staf pada Satpol PP Pemkab Mojokerto

Dalam persidangan ini, kesaksian keenam orang Saksi yang notabene dulunya adalah juga di kenal sebagai anak buah Bupati Mojokerto MKP itu seolah kompak memberikan keterangan yang nampak menyudutkan Terdakwa. Bahkan, bisa di bilang menguatkan Dakwaan JPU KPK terhadap Terdakwa.

Seperti halnya kesaksian mantan Kepala BPMPTSP Kabupaten Mojokerto Noerhono yang dalam persidangan saat itu menyatakan, bahwa penyegelan terhadap 22 Tower BTS atau Menara Telekomunikasi milik dua perusahaan itu sebagai dalih terdakwa Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto untuk meminta fee sebesar Rp. 200 juta per tower. Bahkan, saksi Noehono pun membeber terjadinya tawar-menawar fee hingga pada realisasinya kedua perusahaan itu sanggup membayar Rp. 170 juta per-tower, yang baru kemudian, disetujui oleh MKP.

“Awalnya beliau [(Red: terdakwa Bupati non-aktif Mojokerto Mustofa Kamal Pasa MKP)] malah minta Rp. 300 juta per-tower. Tapi, setelah negosiasi ketemu nilai itu (Rp. 170 juta), uang (fee) tersebut langsung diberikan kepada anak buah MKP", beber Kadis PMPTSP Pemkab Mojokerto Noerhono, menjawab salah-satu pertanyaan JPU KPK Djoko Hermawan pada persidangan, Senin (15/10/2018) lalu.

Pejabat Pemkab Mojokerto yang sempat dinon-jobkan oleh Bupati Mojokerto MKP yang terakhir kalinya hingg sampai pindah (di pindah) / mutasi (di mutasi) ke Pemkot Mojokerto ini bahkan mengungkapkan fakta lain tentang beberapa jenis 'upeti' lain yang rutin dia setorkan ke MKP selaku Bupati Mojokerto.

"Ada penerimaan setiap pengurusan izin dan itu sudah tradisi. Itu bukan uang resmi. Itu (setoran-setoran lain di luar perizinan) disetorkan rutin mingguan. Besarnya Rp. 20 juta (per setor)", ungkap Noerhono.

Dalam persidangan ini, seolah saat itu kesal dengan perilaku MKP selaku Bupati Mojokerto di masa lalu. Di hadapan Majelis Hakim yang diketuai I Wayan Sosisawan, SH., MH., mantan Kepala BPMPTSP Kabupaten Mojokerto ini bahkan menyebutkan kebiasaan MKP menerima setoran upeti jual beli jabatan. Bahkan, tanpa tedeng aling-aling, saksi Noerhono pun mengaku pernah menyerahkan upeti Rp. 850 juta kepada Kepala Badan Kepegawaian Pendidikan Dan Pelatihan (BKPP) Kabupaten Mojokerto Susantoso untuk diberikan kepada MKP. Noerhono pun mengaku jika dirinya juga pernah menyetor upeti sebesar Rp. 500 juta yang dititipkan melalui ajudan pribadi MKP, Lutfi Arif Muttaqin.

Selain itu, Noerhono juga mengaku, bahwa hal itu terpaksa ia lakukan, lantaran Saksi takut dinon-jobkan oleh MKP. "Yang terkumpul dari perizinan perizinan sebesar Rp. 850 juta, saya serahkan ke pak Suharsono, katanya sudah diserahkan ke Bupati. Uang-uang itu dari tabungan pribadi. Saya terpaksa (menyetor upeti), karena takut dinon-jobkan", aku Noehono dalam persidangan.

Sedangkan dalam sidang yang beragendakan Pembacaan Eksepsi Terdakwa, melalui Tim Penasehat Hukumnya, terdakwa Mustafa Kamal Pasa menyangkal tuduhan menjadikan Nurhono sebagai ‘sapi perah’. Terdakwa MKP melalui Tim Penasehat Hukumnya menyebutkan, bahwa saksi Noerhono hanya 4 (empat) kali memberikan uang selama menjabat Kadis PMPTSP Pemkab Mojokerto.

Itupun diakui MKP melalui Tim Penasehat Hukumnya hanya bersifat insidentil, bukan setoran rutin dan bukan untuk kepentingan pribadinya serta bukan hanya untuk Noerhono saja, melainkan juga pejabat lainnya. “Terdakwa (MKP) meminta sumbangsih dari dinas-dinas untuk kegiatan yang sifatnya insidentil seperti saat hari jadi Pemkab Mojokerto", ujar Tim Penasehat Hukum MKP dalam membacakan salah-satu poin Eksepsi Terdakwa pada sidang sebelumnya.

Sementara saksi Suharsono Kepala Satpol PP Pemkab Mojokerto  membenarkan jika penyegelan Tower BTS milik PT. Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo) dan PT. Tower Bersama Infrastructure (TBI) atas instruksi MKP selaku Bupati Mojokerto saat itu. Penyegelan dilakukan dengan dalih belum mengantongi perizinan.

Dalam kesaksiannya, Suharsono pun menjelaskan, ada 19 (sembilan belas) unit Tower BTS dari total 22 Tower BTS milik dua perusahaan telekomunikasi tersebut di Kabupaten Mojokerto yang di segel Pemkab Mojokerto. "Dari jumlah (22 unit) itu, 15 unit sudah berdiri. Yang 4 sedang dibangun", jelasnya.

Kesaksian Kepala Satpol PP Pemkab Mojokerto Suharsono tersebut, senada dengan Dakwaan Tim JPU KPK, bahwa penyegalan dengan dalih Menara Tekomunikasi belum mengantongi perijinan merupakan cara Terdakwa untuk mengundang kedatatangan suap dari PT. Protelindo dan PT. TBG.

Sebagaimana diketahui, dalam Surat Dakwaan Nomor Perkara: 139/Pid.Sus-TPK/2018/PN Sby; Tanggal Surat Pelimpahan: Senin, 03 September 2018 dan Nomor Surat Pelimpahan: 82/TUT/01.03/24/09/2018, yang dibacakan Tim JPU KPK secara bergantian dalam sidang perdana terdakwa Bupati non-aktif Mustofa Kamal Pasa yang di gelar pada Jumat 14 September 2018, di ruang Cakra kantor Pengadilan Tipikor Surabaya jalan Juanda Sidoarjo – Jawa Timur,  Tim JPU KPK mendakwa, terdakwa Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto diduga telah menerima uang seluruhnya sebesar Rp. 2.750.000.000,00 (dua miliar tujuh ratus lima puluh juta rupiah), yakni dari Ockyanto (OKY) selaku Permit and regulatory Division Head PT. Tower Bersama Infrastructure/Tower Bersama Grup (TBG) sebesar Rp. 2.200.000.000,00 (dua miliar dua ratus juta rupiah) dan dari Onggo Wijaya (OW) selaku Direktur Operasi PT. Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo) sebesar Rp. 550.000.000,00 (lima ratus lima juta rupiah) melalui Bambang Wahyuadi, Nano Santoso Hudiarto alias NONO dan Lutfi Arif Muttaqin.

Dalam Surat Dakwaannya, Tim JPU KPK mendakwa, terdakwa Mustofa Kamal Pasa selaku Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yakni sebagai Bupati Mojokerto periode tahun 2010-2015 berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 131.35-620 Tahun 2010 tanggal 27 Agustus 2010 tentang Pengangkatan Mustofa Kamal Pasa sebagai Bupati Mojokerto, bersama dengan Bambang Wahyuadi dan Nano Santoso Hudiarto alias NONO, pada bulan Juni 2015 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2015 bertempat di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Dlanggu - Mojokerto, di jalan Maret A-07 BSP Regency - Mojokerto (Red: Kabupaten Mojokerto) dan di Perumahan Griya Permata Meri - Mojokerto (Red: Kota Mojokerto) atau setidak-tidaknya di suatu tempat yang termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Surabaya, yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara ini, yang melakukan atau yang turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus di pandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, menerima hadiah atau janji, yaitu menerima uang seluruhnya sebesar Rp. 2.750.000.000,00 (dua miliar tujuh ratus lima puluh juta rupiah), yakni dari Okckyanto selaku Permit and regulatory Division Head PT. Tower Bersama Infrastructure/Tower Bersama Grup (TBG) sebesar Rp. 2.200.000.000,00 (dua miliar dua ratus juta rupiah) dan dari Onggo Wijaya selaku Direktur Operasi PT. Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo) sebesar Rp. 550.000.000,00 (lima ratus lima puluh juta rupiah) melalui Bambang Wahyuadi, Nano Santoso Hudiarto alias NONO dan Lutfi Arif Muttaqin.

Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannyayaitu Terdakwa mengetahui atau patut dapat menduga bahwa uang sebesar Rp. 2.750.000.000,00 (dua milir tujuh ratus lima puluh juta rupiah) tersebut diberikan supaya Terdakwa selaku Bupati Mojokerto memberikan rekomendasi Izin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atas beroperasinya Tower Telekomunikasi PT Tower Bersama Infrastructure/Tower Bersama Grup (TBG) dan PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo) yang ada di wilayah kabupaten Mojokerto, yang bertentangan dengan kewajibannya, yaitu bertentangan dengan kewajiban Terdakwa selaku Bupati Mojokerto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dan Pasal 5 angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme juncto Pasal 4 angka 8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, yang dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:

Bermula pada awal tahun 2015, terdakwa Mustofa Kamal Pasa (MKP) selaku Mupati Mojokerto mendapat laporan dari Suharsono selaku Kepala Satpol PP Kabupaten Mojokerto, bahwa di wilayah Kabupaten Mojokerto banyak ditemukan Tower BTS atau Menara Telekomunikasi yang telah beroperasi tetapi belum meiliki Izin Prinsip dan Penataan Ruang (IPPR) dan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Atas laporan itu, Terdakwa memerintahkan dilakukan pemetaan dan pendataan jumlah Tower BTS atau Menara Telekomunikasi di Kabupaten Mojokerto yang belum memiliki ijin.

Menindak-lanjuti perintah Terdakwa, Suharsono melakukan pemetaan dan menemukan 22 Tower BTS yang telah beroperasi tetapi belum memiliki IPPR dan IMB. Yakni 11 (sebelas) tower atas nama perusahaan PT. Tower Bersama Infrastruktur / Tower Bersama Goup (PT TBG) dan 11 (sebelas) tower lainnya atas nama PT. Profesional Telekomunikasi Indonesia (PT. Protelindo). Atas temuan tersebut, Suharaono melaporkan kepada Terdakwa, dimana Terdakwa kemudian memerintahkan agar dilakukan penyegelan atas tower-tower tersebut sampai ada IPPR dan IMB-nya.

Setelah dilakukan penyegelan atas tower-tower tersebut, Terdakwa memerintahkan Bambang Wahyuadi selaku Kepala Badan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM), bahwa terkait perijinan dari tower dimaksud harus ada fee untuk Terdakwa sebesar Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) per-towernya dan fee tersebut agar diserahkan melalui orang kepercayaan Terdakwa yakni Nano Santoso Hudiarto alias NONO.

Beberapa hari setelah dilakukan penyegelan 11 tower telekomunikasi milik PT. Tower Bersama Infrastructure/ Tower Bersama Grup (TBG), sekitar awal tahun 2015 Ockyanto meminta bantuan Nabiel Titawano untuk mengurus perijinan atas 11 tower yang di segel tersebut. Dimana dalam perjalanannya, pengurusan perijinan dibantu oleh Agus Suharyanto dan Moh. Ali Kuncoro.

Sekitar bulan April 2015, Agus Suharyanto dan Moh. Ali Kuncoro melakukan pertemuan dengan Bambang Wahyuadi. Dalam pertemuan itu, Bambang Wahyuadi menyampaikan, untuk mendapatkan IPPR dan IMB harus disediakan fee Rp. 220.000.000,00 (dua ratus dua puluh juta rupiah) per-tower dengan rincian Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) untuk Terdakwa dan Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) untuk UKL dan UKP, sehingga untuk 11 tower fee yang harus disiapkan sebesar Rp. 2.420.000.000,00 (dua miliar empat ratus dua puluh juta rupiah), permintaan mana disanggupi Agus Suharyanto dan Moh. Ali Kuncoro dan akan disampaikan kepada Nabiel Titawano selaku pihak yang mewakili PT. TBG. Beberapa hari setelah pertemuan, Agus Suharyanto menyampaikan hasil pertemuan tersebut kepada Nabiel Titawano dan disepakati oleh Nabiel Titawano.

Selanjutnya, Nabiel Titawano menemui Ockyanto untuk menyampaikan bahwa ia sanggup mengurus ijin tower, tetapi harus disiapkan fee untuk Terdakwa sekaligus biaya operasional seluruhnya sebesar Rp. 2.600.000.000,00 (dua miliar enam ratus juta rupiah) dengan perhitungan per-towernya sebesar Rp. 260.000.000,00 (dua ratus enam puluh juta rupiah) dan disepakati oleh Ockyanto setelah berbicara dengan Herman Setyabudi selaku Presiden Direktur PT Tower Bersama Infrastructure.

Menindak-lanjuti kesepakatan itu, pada bulan Juni 2015 Ockyanto menyerahkan uang seluruhnya sebesar Rp. 2.600.000.000,00 (dua miliar enam ratus juta rupiah) kepada Nabiel Titawano melalui transfers bank BCA cabang Pondok Indah nomor rekening 04980347678 atas nama Nabiel Titawano dalam tiga tahap, yakni tanggal 10 Juni 2015 sebesar Rp. 780.000.000,00 (tujuh ratus delapan puluh juta rupiah); tanggal 17 Juni 2015 sebesar Rp. 780.000.000,00 (tujuh ratus delapan puluh juta rupiah) dan tanggal 30 Juni 2015 sebesar Rp. 1.040.000.000,00 (satu milyar empat puluh juta rupiah).

Dari total uang sebesar Rp. 2.600.000.000,00 (dua miliar enam ratus juta rupiah) yang di terima Nabiel Titawano tersebut, sebesar Rp. 2.410.000.000,00 (dua miliar empat ratus sepuluh juta rupiah) diserahkan kepada Agus Suharyanto secara bertahap dengan rincian sebagai berikut :
1. Sekitar awal bulan Juni 2015 diberikan secara tunai sebesar Rp. 220.000.000,00 (dua ratus dua puluh juta rupiah);
2. Tanggal 11 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Moh. Ali Kuncoro dengan nomor 6105090777 sebesar Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah);
3. Tanggal 11 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Dian Setiyawan dengan nomor 0331614687 sebesar Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah);
4. Tanggal 17 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Moh. Ali Kuncoro dengan nomor 6105090777 sebesar Rp. 220.000.000,00 (dua ratus dua puluh juta rupiah);
5. Tanggal 17 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Dian Setiyawan dengan nomor 0331614687 sebesar Rp. 220.000.000,00 (dua ratus dua puluh juta rupiah);
6. Tanggal 17 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Indung Beta Ria dengan nomor 8290529507 sebesar Rp. 220.000.000,00 (dua ratus dua puluh juta rupiah);
7. Tanggal 17 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Moh. Ali Kuncoro dengan nomor 6105090777 sebesar Rp. 220.000.000,00 (dua ratus dua puluh juta rupiah);
8. Tanggal 17 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Dian Setiyawan dengan nomor 0331614687 sebesar Rp. 220.000.000,00 (dua ratus dua puluh juta rupiah);
9. Tanggal 17 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Indung Beta Ria dengan nomor 8290529507 sebesar Rp. 220.000.000,00 (dua ratus dua puluh juta rupiah);
10. Tanggal 17 Juni 2015 melalui transfer ke rekening atas nama Vici Dwi Indarta sebesar Rp. 220.000.000,00 (dua ratus dua puluh juta rupiah).
Sedangkan sebesar Rp. 190.000.000,00 (seratus sembilan puluh juta rupiah) dinikmati Nabiel Titawano.

Dari total yang diterima Agus Suharyanto seluruhnya sebesar Rp. 2.410.000.000,00 (dua milyar empat ratus sepuluh juta rupiah) itu, sebesar Rp. 2.400.000.000,00 (dua milyar empat ratus juta rupiah) diserahkan kepada Moh. Ali Kuncoro secara bertahap, dengan rincian sebagai berikut:
1. Awal Juni 2015 di rumah Ali Kuncoro di jalan Maret A-07 BSP Regency Mojokerto sebesar Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah);
2. Awal Juni 2015 di kantor BPTPM Kabupaten Mojokerto sebesar Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);
3. Pertengahan Juni 2015 di rumah Ali Kuncoro di jalan Maret A-07 BSP Regency Mojokerto sebesar Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah);
4. Tanggal 30 Juni 2015 di rumah Ali Kuncoro di jalan Maret A-07 BSP Regency Mojokerto Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);
Sedangkan sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dinikmati Agus Suharyanto.

Dari total uang yang diterima Ali Kuncoro sebesar Rp. 2.400.000.000,00 (dua milyar empat ratus juta rupiah), selajutnya sebesar Rp. 2.200.000.000,00 (dua milyar dua ratus juta rupiah) diserahkan kepada Bambang Wahyuadi secara bertahap, yaitu :
1. Tanggal 11 Juni 2015 di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Dlanggu, Mojokerto sebesar Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah);
2. Tanggal 17 Juni 2015 di rumah Ali Kuncoro di jalan Maret A-07 BSP Regency Mojokerto sebesar Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah);
3. Tanggal 30 Juni 2015 di rumah Ali Kuncoro di jalan Maret A-07 BSP Regency Mojokerto sebesar Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);
Sedangkan sebesar Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) diserahkan kepada Khoirul Munif selaku Kepala Bidang Pelayanan Perijinan Terpadu yang mengurusi masalah pembayaran retribusi IMB, dan sebesar Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dinikmati Ali Kuncoro.

Berikutnya, sesuai perintah Terdakwa, Bambang Wahyuadi kemudian menyerahkan uang fee sebesar Rp. 2.200.000.000,00 (dua milyar dua ratus juta rupiah) kepada Nano Santoso Hudiarto alias NONO secara bertahap, yakni :
1. Sebesar Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) diserahkan di parkiran Indomart daerah Sanggrahan Kutorejo, pada bulan Juni 2015;
2. Sebesar Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) diserahkan di sekitar masjid di daerah Meri, Mojokerto pada bulan Juni 2015;
3. Sebesar Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) diserahkan di sekitar masjid Pacing, Mojokerto, pada tanggal 30 Juni 2015.

Selanjutnya, Nano Santoso Hudiarto alias NONO atas perintah Terdakwa menyerahkan fee itu kepada Lutfi Arif Muttaqin ajudan Terdakwa secara bertahap, yakni :
1. Sebesar Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) diserahkan di parkiran Indomart daerah Sanggrahan Kutorejo;
2. Sebesar Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) diserahkan di sekitar masjid di daerah Meri, Mojokerto;
3. Sebesar Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) diserahkan di sekitar masjid Pacing, Mojokerto.

Setelah menerima fee tersebut, Lutfi Arif Muttaqin menyimpannya di rumah dinas Terdakwa dan setelah itu melaporknnya kepada Terdakwa. Setelah fee diterima Terdakwa, kemudian dikeluarkan Izin Prinsip  Pemanfaatan Ruang (IPPR) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Tower Telekomunikasi PT. Tower Bersama Infrastructure/ Tower Bersama Grup (TBG), yakni Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang ( IPPR) atas nama Pemohon  Ir. Herman Setya Budi dengan Nama Badan Usaha  PT. Solusindo Kreasi Pratama.

Selain terkait soal uang suap, dalam Surat Dakwaannya, Tim JPU KPK juga menyebutkan sejumlah lokasi terkait Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang (IPPR) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Menara Telekomunikasi atas Nama Pemohon Ir. Herman Setya Budi/ nama Badan Usaha Solusindo Kreasi Pratama, sebagai berikut :

Izin Prinsip  Pemanfaatan Ruang (IPPR)
1. Di Desa Tanjungan Kecamatan Kamlagi, No: 503/1757/416-207.4/2015 , tanggal 19-06-2015;
2. Di Desa Canggu Kec. Jetis, No: 503/1758/416-207.4/2015 , tanggal 19-06-2015;
3. Di Desa Mlirip Kec. Jetis, No: 503/1755/416-207.4/2015 , tanggal 19-06-2015;
4. Di Desa Mojolebak Kec. Jetis, No: 503/1759/416-207.4/2015 , tanggal 19-06-2015;
5. Di Desa Ngabar Kec. Jetis, No: 503/1763/416-207.4/2015 , tanggal 19-06-2015;
6. Di Desa Jotangan Kec. Mojosari, No: 503/1761/416-207.4/2015 , tanggal 19-06-2015;
7. Di Desa Balongmojo Kec. Puri, No: 503/1760/416-207.4/2015 , tanggal 19-06-2015;
8. Di Desa Mojosulur Kec. Mojosari, No: 503/1765/416-207.4/2015 , tanggal 19-06-2015;
9. Di Desa Lolawang Kec. Ngoro, No: 503/1756/416-207.4/2015 , tanggal 19-06-2015;
10. Di Desa Penompo Kec. Mlirip, No: 503/1762/416-207.4/2015 , tanggal 19-06-2015; dan
11. Di Desa Jetis Kecamatan Jetis, No: 503/1764/416-207.4/2015 , tanggal 19-06-2015.

Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
1. Di Desa Tanjungan Kec. Kemlagi, No: 188/2053/416-207.4/2015, tanggal 30-06-2015;
2. Di Desa Canggu Kec. Jetis,  No: 188/2051/416-207.4/2015, tanggal 30-06-2015;
3. Di Desa Mlirip Kec. Jetis,  No: 188/2052/416-207.4/2015, tanggal 30-06-2015;
4. Di Desa Mojolebak Kec. Jetis,  No: 188/2104/416-207.4/2015, tanggal 3-07-2015;
5. Di Desa Ngabar Kec. Jetis,  No: 188/2050/416-207.4/2015, tanggal 30-06-2015;
6. Di Desa Jotangan Kec. Mojosari, No: 188/2102/416-207.4/2015, tanggal 3-07-2015;
7. Di Desa Balongmojo Kec. Puri, No: 188/2103/416-207.4/2015, tanggal 3-07-2015;
8. Di Desa Mojosulur Kec. Mojosari, No: 188/2105/416-207.4/2015, tanggal 3-07-2015;
9. Di Desa Lolawang Kec. Ngoro, No: 188/2101/416-207.4/2015, tanggal 3-07-2015; dan
10. Di Desa Penompo, Kec. Jetis, No: 188/2100/416-207.4/2015, tanggal 3-07-2015.

Selain itu, dalam Surat Dakwaan Nomor Perkara: 139/Pid.Sus-TPK/2018/PN Sby; Tanggal Surat Pelimpahan: Senin, 03 September 2018 dan Nomor Surat Pelimpahan: 82/TUT/01.03/24/09/2018 ini, Tim JPU KPK juga menyebut dugaan pengeluaran uang suap sebesar Rp. 3.030.612.247,00 (tiga miliar tiga puluh juta enam ratus dua belas ribu dua ratus empat puluh tujuh rupiah) yang dikeluarkan PT. Protelindo dalam proses pengurusan IPPR dan IMB 11 (sebelas) Tower BTS atau Menara Telekomunikasi di Kabupaten Mojokerto tahun 2015.

Atas penyegelan 11 tower telekomunikasi PT. Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo), Onggo Wijaya memerintahkan Indra Mardani dan Suciatin menyelesaikannya, kemudian Indra Mardani dan Suciatin meminta bantuan Achmad Suhawi, dimana Achmad Suhawi menyanggupinya asal disediakan biaya termasuk fee untuk Terdakwa. Akhirnya disepakati biaya pengurusan ijin termasuk fee untuk Terdakwa seluruhnya sebesar Rp. 3.030.612.247,00 (tiga milyar tiga puluh juta enam ratus dua belas ribu dua ratus empat puluh tujuh rupiah)

Lebih jauh lagi, dalam Surat Dakwaannya, Tim JPU KPK memaparkan, bahwa setelah ada kesepakatan, pada awal bulan Juni 2015 Achmad Suhawi menemui Terdakwa di vila milik Terdakwa, meminta bantuan terkait penyegelan tower telekomunikasi milik PT. Protelindo, dimana Terdakwa menyampaikan agar di urus melalui BPTPM Kabupaten Mojokerto.

Setelah pertemuan, Achmad Suhawi menemui Bambang Wahyuadi, dimana Bambang menyampaikan bahwa tower telekomunikasi di segel karena perijinannya belum lengkap, untuk itu agar dilengkapi dan di bayar dendanya, serta perijinan tidak bisa di proses sebelum ada disposisi dari Terdakwa.

Karena merasa kesulitan, Achmad Suhawi kemudian meminta bantuan pengurusan ijin tower Protelindo tersebut kepada Subhan Wakil Bupati Malang  periode 2010 - 2015, dimana Ahmad Subhan menyanggupinya. Untuk itu, Subhan kemudian menemui Bambang Wahyuadi meminta agar dibantu proses pengurusan ijin tower PT. Protelindo dimaksud. Dimana Bambang Wahyuadi menyampaikan, untuk pengurusan ijin tersebut disediakan fee untuk Terdakwa sebesar Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) per-towernya, sehingga untuk 11 (sebelas) tower fee yang harus disediakan sebesar Rp. 2.200.000.000,00 (dua milyar dua ratus juta rupiah).

Selanjutnya, Ahmad Subhan lalu menyampaikan kepada Achmad Suhawi, bahwa untuk pengurusan tower telekomunikasi tersebut diperlukan biaya termasuk fee untuk Terdakwa seluruhnya sebesar Rp. 2.460.000.000,00 (dua milyar empat ratus enam puluh juta rupiah). Atas informasi itu, Achmad Suhawi kemudian menyampaikan kepada Onggo Wijaya bahwa biaya pengurusan ijin termasuk fee Terdakwa yang dibutuhkan sebesar Rp. 3.030.612.255,00 (tiga milyar tiga puluh juta enam ratus dua belas ribu dua ratus lima puluh lima rupiah), lebih besar dari yang di minta Ahmad Subhan.

Atas permintaan Achmad Suhawi tersebut, Onggo Wijaya menyanggupinya, dan sebagai realisasinya, dalam rentan waktu bulan Mei sampai dengan Oktober 2015, Onggo Wijaya memberikan uang kepada Achmad Suhawi seluruhnya sebesar Rp. 3.030.612.255,00 (tiga miliar tiga puluh juta enam ratus dua belas ribu dua ratus lima puluh lima rupiah) secara bertahap melalui transfer ke rekening CV Sumanjaya Citra Abadi dengan rincian :
1. Tanggal 8 Mei 2015 sebesar Rp. 1.515.306.133,00 (satu milyar lima ratus lima belas tiga ratus enam ribu seratus tiga puluh tiga rupiah);
2. Tanggal 25 Juni 2015 sebesar Rp. 757.653.061,00 (tujuh ratus lima puluh tujuh juta enam ratus lima puluh tiga ribu enam puluh satu rupiah);
3. Tanggal 15 Oktober 2015 sebesar Rp. 482.142.857,00 (empat ratus delapan puluh dua juta seratus empat puluh dua ribu delapan ratus lima puluh tujuh rupiah);
4. Tanggal 22 Oktober 2015 sebesar Rp. 275.510.204,00 (dua ratus tujuh puluh lima juta lima ratus sepuluh ribu dua ratus empat rupiah);

Dari total uang yang diterima Achmad Suhawi sebesar Rp. 3.030.612.255,00 (tiga milyar tiga puluh juta enam ratus dua belas ribu dua ratus lima puluh lima rupiah), sebesar Rp. 2.460.000.000,00 (dua milyar empat ratus enam puluh juta rupiah) diberikan kepada Ahmad Subhan secara bertahap melalui cek dan transfer dengan rincian sebagai berikut :
1. tanggal 16 Juni 2015 sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) di hotel Utami Surabaya;
2. tanggal 17 Juni 2015 sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) di hotel Mercure Surabaya;
3. tanggal 23 Juni 2015 sebesar Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) di bank BRI cabang Jembatan Merah Surabaya;
4. tanggal 25 Juni 2015 secara tunai sebesar Rp. 850.000.000,00 (delapan ratus lima puluh juta rupiah) di bank BRI Mojokerto cabang Mojopahit;
5. tanggal 17 September 2015 melalui cek  sebesar Rp. 460.000.000,00 (empat ratus enam puluh juta rupiah) di gedung Bidakara;
Sedangkan sisanya sebesar Rp. 570.612.255,00 (lima ratus tujuh puluh juta enam ratus dua belas ribu dua ratus lima puluh lima rupiah) dinikmati Achmad Suhawi.

Dalam Surat Dakwaannya, Tim JPU KPK pun menguraikan, sebelum Ahmad Subhan menerima uang dari Achmad Suhawi, yakni pada tanggal 20 Mei 2015, Subhan menemui Bambang Wahyuadi, menyampaikan bahwa PT Protelindo sanggup memberikan uang untuk biaya pengurusan ijin termasuk fee untuk Terdakwa, seluruhnya sebesar Rp. 2.200.000.000,00 (dua milyar dua ratus juta rupiah) atau sebesar Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) per-towernya, dan ia akan memberikan uang muka terlebih dahulu sebesar Rp. 550.000.000,00 (lima ratus lima puluh juta rupiah) untuk Terdakwa.

Setelah pertemuan itu, Bambang Wahyuadi meminta Khoirul Munif untuk segera memfinalisasi berkas permohonan pengurusan ijin tower telekomunikasi milik PT. Protelindo yang berjumlah 11 tower.

Diuraikannya pula, pada tanggal 24 Juni 2015, Bambamg Wahyuadi menemui Terdakwa di ruang kerjanya mengajukan permohonan rekomendasi pendirian 11 menara (tower) telekomunikasi dari PT. Protelindo guna mendapatkan disposisi dari Terdakwa. Sebelum memberikan disposisi, Terdakwa menanyakan fee sebagaimana pernah disampaikan sebeumnya kepada Bambang Wahyuadi dan mendapat  jawaban uang fee telah disanggupi pihak Protelindo tetapi belum diberikan. Untuk itu, Terdakwa meminta agar fee secepatnya diminta, lalu Terdakwa memberikan paraf dan disposisi untuk di tindak-lanjuti.

Selanjutnya, pada tanggal 25 Juni 2015, Ahmad Subhan SUBHAN dan Achmad Suhawi melakukan pertemuan dengan Bambang Wahyuadi di perumahan Griya Permata Meri – Kota Mojokerto, guna menyerahkan uang muka sebesar Rp. 550.000.000,00 (lima ratus lima puluh juta rupiah) sebagai fee untuk Terdakwa.

Sebagaimana perintah Terdakwa sebelumnya, agar uang fee diserahkan melalui Nano Santoso Hudiarto alias NONO, maka Bambang Wahyuadi kemudian menghubungi Nano Santoso Hudiarto alias NONO meminta datang ke perumahan Griya Permata Meri - Mojokerto (Red: Kota Mojokerto) guna mengambil uang tersebut. Sesampainya, Nano Santoso Hudiarto alias NONO di tempat tersebut, Subhan kemudian menyerahkan uang sebesar Rp. 550.000.000,00 (lima ratus lima puluh juta rupiah) kepada Nano Santoso Hudiarto alias NONO.

Setelah menerima uang, Nano Santoso Hudiarto alias NONO meminta Lutfi Arif Muttaqin menemuinya di daerah Mojosari Kabupaten Mojokerto. Dan, setelah Lutfi Arif Muttaqin datang, Nano Santoso Hudiarto alias NONO menyerahkan uang sebesar  Rp. 550.000.000,00 (lima ratus lima puluh juta rupiah) itu kepada Lutfi Arif Muttaqin. Yang mana, oleh Lutfi Arif Muttaqin kemudian di simpan di meja kerja ruang dinas Terdakwa dan melaporkannya kepada Terdakwa.

Setelah uang fee di terima Terdakwa, Izin Prinsip Penataan Ruang (IPPR) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atas 11 Tower Telekomunikasi milik PT. Protelindo atas nama Pemohon Indra Mardhani / Prusahaan PT. Profesional Telekomunikasi Indonesia (PT. Protelindo) diterbitkan, seperti berikut :

Izin Prinsip Penataan Ruang (IPPR)
1. Lokasi Menara: di Desa Sooko Kec. Sooko; Nomor dan Tgl. IPPR: 503/2286/416-207.5/2015, Tgl. 19-08-2015;
2. Lokasi Menara: di Desa Gembongan Kec. Gedeg; Nomor dan Tgl. IPPR: 503/2291/416-207.5/2015, Tgl. 19-08-2015;
3. Lokasi Menara: di Desa Jetis Kec. Jetis; Nomor dan Tgl. IPPR: 503/2284/416-207.5/2015, Tgl. 19-08-2015;
4. Lokasi Menara: di Desa Padusan Kec. Pacet; Nomor dan Tgl. IPPR: 503/2290/416-207.5/2015, Tgl. 19-08-2015;
5. Lokasi Menara: di Desa Kepuhanyar Kec. Mojoanyar ; Nomor dan Tgl. IPPR: 503/2292/416-207.5/2015, Tgl. 19-08-2015;
6. Lokasi Menara: di Desa Tambakagung Kec. Puri; Nomor dan Tgl. IPPR: 503/2285/416-207.5/2015, Tgl. 19-08-2015;
7. Lokasi Menara: di Desa Pakis Kec. Trowulan; Nomor dan Tgl. IPPR: 503/2294/416-207.5/2015, Tgl. 19-08-2015;
8. Lokasi Menara: di Desa Peterongan Kec. Bangsal; Nomor dan Tgl. IPPR: 503/2287/416-207.5/2015, Tgl. 19-08-2015;
9. Lokasi Menara: di Desa Temon Kec. Trowulan; Nomor dan Tgl. IPPR: 503/2288/416-207.5/2015, Tgl. 19-08-2015;
10. Lokasi Menara: di Desa Watesnegoro Kec. Ngoro; Nomor dan Tgl. IPPR: 503/2289/416-207.5/2015, Tgl. 19-08-2015;
11. Lokasi Menara: di Desa Purwojati Kec. Ngoro; Nomor dan Tgl. IPPR: 503/2293/416-207.5/2015, Tgl. 19-08-2015;

Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
1. Lokasi Menara: di Desa Sooko Kec. Sooko; Nomor dan Tgl. IMB: 188/2757/416-207.4/2015, Tgl. 16-09-2015;
2. Lokasi Menara: di Desa Gembongan Kec. Gedeg; Nomor dan Tgl. IMB: 188/2767/416-207.4/2015, Tgl. 16-09-2015;
3. Lokasi Menara: di Desa Jetis Kec. Jetis; Nomor dan Tgl. IMB: 188/2758/416-207.4/2015, Tgl. 16-09-2015;
4. Lokasi Menara: di Desa Padusan Kec. Pacet; Nomor dan Tgl. IMB: 188/2759/416-207.4/2015, Tgl. 16-09-2015;
5. Lokasi Menara: di Desa Kepuhanyar Kec. Mojoanyar; Nomor dan Tgl. IMB: 188/2760/416-207.4/2015, Tgl. 16-09-2015;
6. Lokasi Menara: di Desa Tambakagung Kec. Puri; Nomor dan Tgl. IMB: 188/2761/416-207.4/2015, Tgl. 16-09-2015;
7. Lokasi Menara: di Desa Pakis Kec. Trowulan; Nomor dan Tgl. IMB: 188/2762/416-207.4/2015, Tgl. 16-09-2015;
8. Lokasi Menara: di Desa Peterongan Kec. Bangsal; Nomor dan Tgl. IMB: 188/2763/416-207.4/2015, Tgl. 16-09-2015;
9. Lokasi Menara: di Desa Temon Kec. Trowulan; Nomor dan Tgl. IMB: 188/2764/416-207.4/2015, Tgl. 16-09-2015;
10. Lokasi Menara: di Desa Watesnegoro Kec. Ngoro; Nomor dan Tgl. IMB: 188/2765/416-207.4/2015, Tgl. 16-09-2015;
11. Lokasi Menara: di Desa Purwojati Kec. Ngoro; Nomor dan Tgl. IMB: 188/2766/416-207.4/2015, Tgl. 16-09-2015.

Dalam Surat Dakwaannya pula, Tim JPU mendakwa, bahwa Terdakwa mengetahui atau patut dapat menduga bahwa uang seluruhnya sebesar Rp. 2.750.000.000,00 (dua milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah) yang diterimanya dari Okyanto Rp. 2.200.000.000,00 (dua milyar dua ratus juta rupiah) dan dari Onggo Wijaya sebesar Rp. 550.000.000,00 (lima ratus lima puluh juta rupiah) melalui Bambang Wahyuadi, Nano Santoso Hudiarto alias NONO dan Lutfi Arif Muttaqin, diberikan supaya Terdakwa selaku Bupati Mojokerto memberikan rekomendasi terbitnya Izin Prinsip Penataan Ruang (IPPR) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atas beroperasinya Tower Telekomunikasi PT. Tower Bersama Infrastrcture/ Tower Bersama Grup (TBG) dan PT. Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo) di wilayah Kabupaten Mojokerto, padahal bertentangan dengan kewajiban Terdakwa sebagaimana dimasud dalam:

• Pasal 5 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Angka 4 yang menyatakan: " Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme".
Angka 6 yang menyatakan: "Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk melaksanakan tugas dengan penuh tanggung-jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku".

•Pasal 4 angka 8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang menyatakan: "Setiap PNS dilarang: menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapa pun juga yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya.

Pada kesimpulan Surat Dawaannya, Tim JPK KPK mendakwa, perbuatan Terdakwa memenuhi unsur sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut Pasal 12 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junnto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.

Sebagaimana diketahui pula, dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi 'suap' pengurusan IPPR dan IMB 22 Tower BTS atau Menara Telekomunikasi di Kabupaten Mojokerto tahun 2015 ini, sebelumnya KPK telah menetapkan Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto bersama 2 (dua) orang lainnya sebagai tersangka, yakni Ockyanto dan Onggo Wijaya.

MKP selaku Bupati Mojokerto ditetapkan KPK sebagai Tersangka penerima suap. Sedangkan Ockyanto selaku Permit and Regulatory Division Head  PT. Tower Bersama Infrastructure Tbk (Tower Bersama Group)  dan Onggo Wijaya selaku Direktur Operasional PT. Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo), ditetapkan KPK sebagai tersangka pemberi suap. Sementara Nabiel Titawano, Achmad Suhawi dan Ahmad Subhan ditetapkan KPK sebagai Tersangka perantara suap

KPK menduga, MKP selaku Bupati Mojokerto di duga menerima 'suap' dari Ockyanto (OKY) selaku Permit and Regulatory Division Head  PT. Tower Bersama Infrastructure atau PT. Tower Bersama Group (TBG) dan dari Onggo Wijaya (OW) selaku Direktur Operasional PT. Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo) terkait pengurusan IPPR dan IMB 22 tower BTS (Base Transceiver Station) atau Menara Telekomunikasi kedua perusahaan tersebut diwilayah Kabupaten Mojokerto tahun 2015 bernilai sekitar Rp. 2,75 miliar dari yang disepakati sebesar Rp. 4,4 miliar.

Atas pebuatannya, KPK menyangka, Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.

Sedangkan terhadahap Ockyanto dan Onggo Wijaya, KPK menyangka keduanya melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.

Menyusul, penetapan 3 (tiga) Tersangka baru dan penahanan ketiganya oleh KPK pada Rabu 07 Nopember 2018. Ketiganya yakni Achmad Suhawi (ASH) selaku Direktur PT Sumawijaya serta mantan Wakil Bupati Malang Ahmad Subhan (ASB) dan Nabiel Titawano (NT) selaku pihak swasta. Ketiganya ditetapkan KPK sebagai Tersangka perantara suap. KPK menetapkan ketiganya sebagai Tersangka (baru) dalam perkara ini, berdasarkan hasil pengembangan penyidikan dan fakta yang muncul dalam persidangan terdakwa Bupati non-aktif Mojokerto Mustofa Kamal Pasa (MKP).

Terhadap tersangka Nabiel Titawano, Achmad Suhawi dan Ahmad Subhan, KPK menyangka, mereka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sementara itu pula, MKP selaku Bupati Mojokerto ditetapkan KPK sebagai tersangka atas 2 (dua) perkara dugaan tindak pidana korupsi. Yang pertama, Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto ditetapkan KPK sebagai tersangka atas perkara dugaan tindak pidana korupsi 'suap' pengurusan Ijin Prinsip Pemanfaatan Ruang (IPPR) dan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) puluhan tower BTS (Base Transceiver Station) atau menara telekomunikasi diwilayah Kabupaten Mojokerto tahun 2015 senilai Rp. 2,75 miliar.

Dalam perkara kedua, MKP selaku Bupati Mojokerto dan Zainal Abidin (ZAB) selaku Kepala Dinas (Kadis) Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Pemkab Mojokerto, ditetapkan KPK sebagai tersangka atas perkara dugaan tindak pidana korupsi 'gratifikasi' berupa penerimaan fee proyek-proyek infrastruktur Pemkab Mojokerto. Yang dalam hal ini, keduanya diduga menerima fee proyek infrastruktur jalan tahun 2015 sebesar Rp. 3,7 miliar. *(DI/HB)*

BERITA TERKAIT :
> Sidang Ke-11 Terdakwa Bupati Non Aktif Mojokerto, JPU KPK Hadirkan Mantan Wabub Malang Dan 2 Saksi Lainnya
> KPK Tahan Lima Tersangka Terkait Perkara Dugaan Suap Bupati Mojokerto
> KPK Tetapkan Tiga Tersangka Baru Terkait Perkara Dugaan Suap Bupati Mojokerto MKP
> Sidang Ke-9 Dugaan Suap Bupati Non Aktif Mojokerto MKP, Pengurusan Perijinan 11 Tower BTS Hanya 1 Hari ?