Jumat, 15 Februari 2019

Pembentukan Satgas Mengindikasikan Dewan Pers Menyerah

Baca Juga

Ketua Dewan Kehormatan organisasi wartawan Perserikatan Jurnalis Siber Indonesia (Perjosi), Fredrich Kuen, MSi. 


Kota Makassar – (harianbuana.com).
Pembentukan satuan tugas (Satgas) pengawasan portal berita online yang dilakukan Dewan Pers (DP) dengan melibatkan pihak lain mengindikasikan bahwa DP sudah menyerah dan tidak mampu lagi melakukan pembinaan kepada pers dan jurnalis di tanah air  sesuai perkembangan zaman.

"Idealnya yang dibentuk oleh Dewan Pers adalah Satgas Edukasi dan bukan Satgas Pengawasan dan penindakan terhadap portal online yang belum terverifikasi atau jurnalis yang belum mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang mereka sebut portal dan jurnalis Abal Abal", demikian penilaian Ketua Dewan Kehormatan organisasi wartawan Perserikatan Jurnalis Siber Indonesia (Perjosi), Fredrich Kuen, MSi. pada diskusi lepas tentang pers di salah-satu warung kopi yang menyatu dengan outlet Martabak di Makassar, Jumat (15/02/2019).

Harusnya DP melakukan otokritik (introspeksi diri) secara ksatria dan mengakui gagal mengemban tugas pembinaan terhadap Pers Indonesia karena berbagai keterbatasan dan mau menerima kritik positif sebagai masukan untuk meningkatkan kinerja serta menjadikan pengritik itu kawan dan bukan lawan yang harus dimusnahkan.

Data yang beredar, Indonesia diketahui negara dengan jumlah paling banyak di dunia pengguna media (cyber), yakni 43.300 media online. Sementara, memenuhi syarat sebagai Perusahaan Pers sebanyak 2.200 dan hanya 7 persen yang memenuhi standar profesional.

Data Dewan Pers Juni 2018 tercatat hingga kini wartawan yang telah lulus mengikuti Ujian Kompetensi Wartawan (UKW) di Dewan Pers berjumlah lebih dari 12.000 wartawan. Ujian dilakukan oleh 27 lembaga penguji yang terdiri dari perguruan tinggi, lembaga pendidikan, organisasi pers PWI, AJI dan IJTI. Sedangkan jumlah wartawan di Indonesia mencapai angka puluhan ribu lainnya belum mengikuti UKW.

Mengacu data yang dikeluarkan DP, maka wajar bila terhitung sejak era reformasi saat keluarnya UU Nomor 40 Tahun 1999  tentang Pers, DP memiliki kinerja minimalis sehingga wajar bila saat ini mulai menyerah dan menerapkan kebijakan keras untuk menekan insan pers yang seharusnya dibina.

Idealnya, menurut Fredrich yang juga  Penguji Kompetensi Wartawan, DP harus mencontohkan melakukan UKW massal berbiaya murah hingga gratis kepada 27 lembaga penguji yang diakui, walau diketahui lembaga itu sendiri bukan lembaga sertifikasi sesuai aturan yang ada. Ini, sebenarnya juga pelanggaran aturan yang harus dibenahi agar tidak menjadi lembaga penguji Abal Abal.

Kalau itu dilakukan, lanjutnya, maka angka wartawan ber UKW akan cepat meningkat, sekaligus semakin sedikit angka wartawan Abal Abal yang disebutkan Dewan Pers tanpa definisi yang jelas itu.

"Toh negara mengucurkan dana untuk DP. Harusnya itu digunakan untuk UKW massal gratis. Begitu juga kegiatan verifikasi harus dilakukan dengan biaya murah dan mudah. Bukanya semua serba sulit dengan biaya tinggi", ujarnya.

Saat ini, kalangan pers non UKW yang menjalankan fungsi kontrol sosial resah karena DP telah menjelma menjadi "mahluk menyeramkan". Rekomendasinya bisa mengubah Delik Pers menjadi Pidana Umum, sehingga jurnalis terkriminalisasi (kriminalisasi pers) hanya karena portal berita belum terverifikasi dan wartawan belum ikut UKW yang ujung-ujungnya terpenjara atau mati dalam penjara.

Padahal, harusnya UU Nomor 40 Tahun 1999 adalah Lex Specialist dengan hukuman bila terbukti melanggar adalah dengan hak jawab, hak koreksi atau bayar denda dan bukan pidana penjara. Fungsi pembinaan harus jelas, peningkatan ketrampilan jurnalis dilakukan oleh Perusahaan Pers dan Organisasi Pers, sedangkan kompetensi dilakukan DP tanpa komersialisasi agar dapat dilakukan secara massal.

"Program pembinaan pers tidak sulit, terutama bagi jurnalis yang menjalankan salah satu fungsi pers yakni kontrol sosial. Media dan jurnalisnya harus patuh terhadap UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers serta patuh terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Memberitakan sesuai fakta fisik atau fakta intelektual (statement), melakukan pemberitaan berimbang, melakukan check and recheck, patuh terhadap azas praduga tidak bersalah, tidak melakukan trial by the press dan bila diperlukan maka melakukan double check and recheck terhadap kebenaran suatu informasi (fakta), memberi kesempatan hak koeksi bila berita kurang benar serta hak jawab terhadap sumber yang keberatan sehingga sekeras apapun kontrol sosial yang dilakukan dapat terhindar dari delik pers (masalah hukum yang timbul akibat pemberitaan)", beber Fredrich Kuen.

"Jaman Now,  Jaman online"

Fredrich yang juga pemegang kartu Wartawan Utama ini menguraikan, jaman now (sekarang) tidak bisa lagi di bendung portal berita online sesuai perkembangan IT, portal berita akan banyak muncul, vlog, video amatir dan lainnya. Akan banyak jurnalis warga (citizen journalism), jurnalis otodidak dan jurnalis independen.

Khusus jurnalis independen, mereka berfungsi seperti Video Journalist (VJ) dengan kemampuan jurnalis yang bagus, terampil menulis, terampil membuat gambar Vidio, menyunting narasi dan gambar serta cenderung memiliki link ke newsroom media mainstream tetapi mereka bukan bagian dari media tersebut, namun berita dan gambarnya sering disiarkan.

Begitu juga hasil vlog yang banyak disiarkan stasiun TV dan jurnalisme warga serta video amatir yang disiarkan oleh media tulis dan TV pada kejadian kejadian luar biasa seperti bila terjadi bencana alam yang mereka jadi saksi atau korban selamat dan tidak ada wartawan di tempat itu.

"Ini semua harus mendapat sentuhan pembinaan ke depannya dan dari sekarang sudah harus dipikirkan caranya. Sebab mereka potensial menginformasikan kejadian yang terjadi untuk diketahui masyarakat luas. Semua pihak tidak bisa tutup mata terhadap perkembangan ini. Padahal wartawan yang ada sekarang saja belum mampu di bina secara maksimal", ungkap Fredrich Kuen.

"Untuk itu, DP dan Kementerian Kominfo harus buka diri, akomodir lembaga yang muncul dan kritis untuk menunjang pers yang merdeka dengan kebebasan pers yang beretika. Jangan menganggap semua pengkritik adalah lawan. Rangkul mereka dan sama sama melakukan pembinaan agar tidak ada lagi kriminalisasi terhadap pers", pungkasnya, tandas. *(FK/Pjs/HB)*