Jumat, 10 Mei 2019

Saksi Ahli Hukum Pidana: KPK Tetap Dapat Terus Melakukan Penyidikan

Baca Juga

Tim Biro Hukum KPK dalam sidang praperadilan membawa koper berisi dokumen terkait perkara Romahurmuziy, satu-persatu diperlihatkan kepada Hakim yang memimpin jalannya persidangan, Kamis 09 Mei 2019.


Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Sidang praperadilan lanjutan yang diajukan mantan Ketua Umum PPP Rohmahurmuziy terkait penanganan perkara mulai proses penangkapan, pemeriksaan serta prosedur penetapannya sebagai Tersangka hingga penahanannya, berlanjut hingga Kamis 09 Mei 2019 kemarin, di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.

Persidangan kali ini, Tim Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan Saksi seorang ahli hukum pidana, Mahmud Mulyadi.

Dalam kesaksiannya di persidangan, Mahmud Mulyadi berpendapat, KPK tetap dapat melakukan penyidikan terhadap Romahurmuziy, meskipun poin-poin dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi tidak terpenuhi seluruhnya.

Ditegaskannya, meskipun pada kasus Romahurmuziy tidak memenuhi unsur kerugian negara, KPK dapat tetap terus melakukan penyidikan, sebab unsur penyelenggara negara terpenuhi.

“Pasal 11 itu sebenarnya dia antara a dan b, c prinsipnya alternatif. ‘Koma’ yang ada di berbagai pasal khususnya di hukum pidana itu ‘koma’ dibaca atau jadi prinsipnya alternatif, tapi memang kadang ada dan atau itu bisa kumulasi atau alternatif", kata Mahmud.

Dijelaskannya, dalam perkara ini, Romahurmuziy dikenakan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Yang mana, bunyi dari pasal tersebut, yakni "Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c. Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang:
a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi: yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; 
b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat dan atau;
c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rumah)", jelasnya. *(Ys/HB)*