Rabu, 19 Juni 2019

Sidang Perdana Dugaan Suap Distribusi Pupuk, Marketing Manager PT. HTK Didakwa Menyuap Bowo Sidik Rp. 2,5 Miliar

Baca Juga

Salah-satu suasana sidang perdana perkara dugaan tindak pidana korupsi suap kontrak kerja-sama pengangkutan distribusi pupuk antara PT. HTK dan PT. Pilog, saat terdakwa  Asty Winasti  selaku Marketing Manager PT. HTK mengqidmat tim JPU KPK membacakan Surat Dakwaan, Rabu 19 Juni 2019, di Pengadilan Tipikor Jakarta, jalan Bungur Besar Raya – Jakarta Pusat.


Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Sidang perdana perkara dugaan tindak pidana korupsi suap kostrak kerja-sama pengangkutan distribusi pupuk antara PT. Humpuss Transportasi Kimia (PT. HTK) dengan PT Pupuk Indonesia Logistik (PT. Pilog) dengan terdakwa Asty Winasti selaku Marketing Manager PT. HTK) digelar hari ini, Rabu 19 Juni 2019, di Pengadilan Tipikor Jakarta, jalan Bungur Besar Raya – Jakarta Pusat.

Dalam sidang yang beragendakan 'Pembacaan Surat Dakwaan' ini, tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa, Asty Winasti didakwa menyuap anggota Komisi VI DPR-RI Bowo Sidik Pangarso sebesar 158.733 dollar Amerika Serikat atau setara Rp. 2,2 miliar (dua miliar dua ratus juta rupiah) dan Rp. 311.022.932,– (tiga ratus sebelas juta, dua puluh dua ribu sembilan ratus tiga puluh dua rupiah).

"Terdakwa memberi atau menjanjikan sesuatu, yaitu memberi uang sebesar 158.733 dollar Amerika Serikat dan Rp. 311.022.932,– (tiga ratus sebelas juta, dua puluh dua ribu sembilan ratus tiga puluh dua rupiah) kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara, yaitu Bowo Sidik Pangarso", lontar JPU KPK Kiki Ahmad Yani saat membaca Surat Dakwaan dihadapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang memimpin jalannya persidangan, Rabu 19 Juni 2019.

Tim JPU KPK membeberkan, bahwa pemberian uang kepada Bowo Sidik Pangarso itu dilakukan terdakwa Asty Winasti bersama Direktur PT. HTK Taufik Agustono.

"Bahwa, pemberian uang itu dimaksudkan agar Bowo Sidik Pangarso membantu PT. HTK untuk mendapatkan kerja-sama pekerjaan pengangkutan dan atau sewa kapal dengan PT. Pupuk Indonesia Logistik (PT PILOG)", bebernya.

Lebih lanjut, tim JPU KPK memaparkan, bahwa PT. HTK merupakan perusahaan yang mengelola kapal MT Griya Borneo. Yang mana, perusahaan ini sebelumnya memiliki kontrak kerja-sama dengan anak perusahaan PT. Petrokimia Gresik, PT. Kopindo Cipta Sejahtera (KCS) di bidang pengangkutan amonia dalam jangka waktu 5 (lima) tahun.

Bahwa, lanjut tim JPU KPK, pada tahun 2015, dibentuk perusahaan induk yang selanjutnya menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam bidang pupuk, yaitu PT. Pupuk Indonesia Holding Company (PT. PIHC).

Dengan terbentuknya perusahaan induk tersebut, kontrak kerja-sama PT. HTK pun diputus dan pengangkutan amonia dialihkan ke anak perusahaan PT. PIHC, yaitu PT. Pilog.

"Atas pemutusan kontrak itu, PT. HTK merasa keberatan masih berkeinginan melanjutkan kontrak kerja sama tersebut. Oleh karenanya, Terdakwa diminta oleh Taufik Agustono selaku Direktur PT. HTK untuk mencari solusinya", papar tim JPU KPK.

Bahwa, sekitar Oktober 2017, tim JPU KPK melanjutkan, terdakwa Asty menghubungi pemilik PT. Tiga Macan, Steven Wang. Steven menyarankan Asty untuk berkonsultasi dengan Bowo Sidik Pangarso yang menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi VI DPR.

Saran tersebut diberikan, karena Bowo Sidik Pangarso dianggap memiliki akses ke PT. PIHC, sehingga memungkinkan untuk bisa memenuhi keinginan terdakwa Asty Winasti dalam menjalin kontrak kerja-sama tersebut.

Asty dan Steven kemudian bertemu dengan Bowo Sidik di sebuah restoran di Jakarta. Dalam pertemuan itu, terdakwa Asty Winasti menyampaikan keinginannya kepada Bowo Sidik Pangarso supaya PT. Pilog menggunakan kapal MT Griya Borneo yang dikelola PT. HTK.

"Sedangkan kapal milik PT. Pilog, yaitu kapal MT Pupuk Indonesia akan dicarikan pasarnya oleh Terdakwa. Atas permintaan Terdakwa tersebut, Bowo Sidik Pangarso bersedia membantu", lanjutnya.

Tim JPU KPK menegaskan, selanjutnya Bowo Sidik Pangarso meminta terdakwa Asty Winasti menyiapkan kronologis kerja-sama sebelumnya dan hubungan kerja PT. HTK dengan PT. Pilog.

Sejak saat itu, Bowo Sidik Paangarso melakukan sejumlah pertemuan dengan pihak PT. PIHC untuk membatalkan pemutusan kontrak PT. HTK dan PT. KCS supaya kapal MT Griyo Borneo bisa digunakan kembali.

Ditegaskannya pula, bahwa Pihak PT. PIHC yang ditemui Bowo adalah Direkur Utama (Dirut) PT. PIHC Aas Sadikin Idat dan Direktur Pemasaran PT. PIHC Achmad Tossin Sutawikara.

Tim JPU KPK menandaskan, bahwa pada awal Desember 2017, Bowo Sidik Pangarso bersama terdakwa Asty Winasti bertemu dengan Taufik Agustono, Asikin dan Tossin Sutawikara. Kemudian ada pula General Manager Finance PT. HTK Mashud Masjono dan Komisaris PT. HTK Theo Lekatompessy.

Ditandaskannya pula, bahwa Bowo Sidik Pangarso mendorong agar kerja-sama sewa kapal PT. HTK dan PT. Pilog dilanjutkan. Kedua pihak perusahaan ini pun setuju.


Tim JPU KPK pun menyebutkan, bahwa Bowo Sidik Pangarso diduga meminta commitment fee atas realisasi perjanjian tersebut. Atas perintah Taufik Agustono, terdakwa Asty Winasti memberikan uang ke Bowo Sidik Pangarso sebanyak 5 (lima) tahap, terhitung sejak periode Oktober 2018 hingga Maret 2019.

Dalam Surat Dakwaan yang dibacakannya, tim JPU KPK menguraikan rangkaian 5 tahap pemberian uang Asty Winasti ke Bowo Sidik Pangarso atas peritah Direktur PT. HTK Taufik Agustono tersebut.

Rangkaian pemberian uang ini merupakan commitment fee ke Bowo Sidik karena telah membantu PT. HTK menjalin kontrak kerja sama penyewaan kapal dengan PT Pupuk Indonesia Logistik (PILOG). Penyewaan itu terkait kepentingan distribusi amonia.

"Bahwa Terdakwa telah memberikan uang commitment fee kepada Bowo Sidik Pangarso melalui Indung Andriani (orang kepercayaan Bowo) secara bertahap. Pertama, tanggal 1 Oktober 2018, sebesar Rp. 221.523.932,–", urai tim JPU KPK.

Diuraikannya pula, bahwa fee ini terkait sewa kapal MT Pupuk Indonesia bulan Juni, Juli, dan Agustus. Atas perintah Asty, uang diserahkan oleh seseorang bernama Muhamad Latif ke Indung di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI), Jakarta", kata JPU KPK Kiki Ahmad Yani membacakan Surat Dakwaan.

"Kedua, tanggal 1 November 2018, sebesar 59.587 dollar Amerika Serikat. Fee ini terkait pengangkutan amonia oleh Kapal MT Griya Borneo (kapal yang dikelola PT HTK) pada bulan Juli, Agustus dan September 2018", urainya pula.

Uang diserahkan Asty secara langsung kepada Indung di Coffee Lounge Hotel Grand Melia. Uang itu dibawa Indung ke rumah Bowo dan diserahkan ke istri Bowo, Budi Waluyanti.

"Ketiga, tanggal 20 Desember 2018, sebesar 21.327 dollar Amerika Serikat dengan rincian fee terkait sewa kapal MT Pupuk Indonesia bulan September 2018 dan Oktober 2018 digabung dengan fee untuk pengangkutan amonia oleh Kapal MT Griya Borneo bulan Oktober 2018", lanjutnya.

Yang mana, uang tersebut, kembali diserahkan oleh terdakwa Asty Winasti ke Indung, di Coffee Lounge Hotel Grand Melia.

"Keempat, tanggal 26 Februari 2019, sebesar 7.819 dollar Amerika Serikat. Fee ini terkait pengangkutan amonia oleh kapal MT Griya Borneo bulan November dan Desember 2018", tambahnya.

Selanjutnya, terdakwa Asty Winasti menyuruh seseorang bernama Benny Wiedhata Suryantara menyerahkan uang itu kepada Indung di kantor PT HTK.

"Terakhir, tanggal 27 Maret 2019, sebesar Rp. 89.449.000,–. Fee ini terkait sewa kapal MT Pupuk Indonesia untuk bulan Desember 2018. Asty menyerahkan secara langsung ke Indung di kantor PT. HTK. Sesaat setelah menerima fee ini, Indung Andriani ditangkap oleh petugas KPK", ungkap tim JPU KPK.

Atas perbuatannya, terdakwa Asty Winasti didakwa telah melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Pasal 64 ayat (1) KUHP. *(Ys/HB)*