Jumat, 19 Juli 2019

Usai Diperiksa KPK, Rizal Ramli Ungkap Soal BLBI

Baca Juga

Rizal Ramli saat memberi keterangan pers kepada sejumlah wartawan, usai menjalani pemeriksaan di Kantor KPK jalan Kuningan Psrsada – Jakarta Selatan, Jum'at (19/07/2019) siang.


Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Usai diperiksa tim Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rizal Ramli memberi keterangan kepada sejumlah wartawan tentang asal-mula munculnya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Mantan Menteri Koordinator Kemaritiman di era Presiden Joko Widodo (Jokowi)  ini pun menyinggung soal hutang di masa krisis tahun 1998 silam.


"Pada dasarnya (ditanyai) menyangkut misrepresentasi dari aset-aset yang disahkan. Jadi, seperti diketahui, pada saat krisis (1998), krisis itu dipicu karena swasta-swasta Indonesia pada waktu itu utangnya banyak sekali", terang Rizal Ramli kepada sejumlah wartawan, usai menjalani pemeriksaan di Kantor KPK jalan Kuningan Persada – Jakarta Selatan, Jumat (19/07/2019) siang.

Lebih lanjut, Rizal Ramli menjelaskan, bahwa ketika hutang-hutang itu membengkak, para pihak swasta mendapatkan pinjaman dari bank yang berada di grup perusahaan swasta itu sendiri. Rizal menyebut, jumlah hutang yang diberikan tidak main-main, karena memang pada waktu itu belum ada aturan batasan jumlah hutang pada grup internal perusahaan swasta. Yang mana, dalam kondisi seperti itu, International Monetary Fund (IMF) memaksa pemerintah Indonesia menaikkan bunga bank.

"Nah kemudian IMF menaikkan tingkat bunga bank. Paksa pemerintah Indonesia naikin dari 18 persen ke 80 persen. Begitu itu terjadi, banyak perusahaan-perusahaan nggak mampu bayar kan. Tapi, kenapa perusahaan-perusahaan ini dapat kredit dari bank? Akhirnya, banknya kolaps semua yang gede-gede semua bank besar. Akhirnya pemerintah terpaksa nyuntik apa yang disebut dengan dana BLBI", jelas Rizal Ramli.

Dijelaskannya pula, suntikan dana yang disebut BLBI itu berjumlah miliaran dolar AS. Bank-bank yang mendapat suntikan dana itu harus membayar utangnya secara tunai. Rizal menyebut, tetapi pada era BJ Habibie ada aturan pembayaran dapat menggunakan aset.

"Esensinya utang ini harusnya tunai bayarnya tunai, tapi pada masa pemerintahan Pak Habibie, Menteri Keuangan Bambang Subianto sama Kepala BPPN, waktu itu Glenn Yusuf, dilobi supaya nggak usah bayar tunai, tapi bayar aset. Nah kalau pengusahanya benar, lurus, dia serahkan aset yang bagus-bagus, tapi ada juga yang bandel dibilang aset ini bagus padahal belum atau aset busuk atau setengah busuk atau belum clean and clear", jelas Rizal Ramli pula.

Rizal Ramli memaparkan, valuasi aset saat itu dilakukan Lehman Brothers bank investasi raksasa asal Amerika Serikat yang saat ini sudah bangkrut atas permintaan BPPN. Namun, menurut Rizal, valuasi yang dilakukan Lehman Brothers sembrono.

"Lehman Brothers juga sembrono, masa dalam waktu 1 bulan dia udah bisa lakukan penilaian terhadap nilai aset dari ratusan perusahaan sehingga banyak kasus-kasus di mana ngaku sudah nyerahkan aset segini, kenyataannya nggak segitu", papar Rizal.

Menurut Rizal Ramli, jika BLBI tetap dianggap sebagai hutang tunai, pemerintah tidak akan rugi, karena jika tidak dibayar akan ada bunga. Rizal Ramli pun kemudian menyampaikan tentang upayanya memperkuat posisi pemerintah dalam menagih utang terkait BLBI itu lewat personal guarantee.

"Artinya apa? Tanggung jawab terhadap utang itu tidak hanya berhenti pada dia, tapi sampai cucu sampai anaknya sama cucunya nggak bisa lolos", ujar Rizal.

Rizal mengungkapkan, waktu itu banyak pengusaha yang menolak, tapi aturan itu tetap berlaku. Aturan itu kemudian tidak dijalankan dan personal guarantee itu dikembalikan lagi ke para pengusaha yang terkait BLBI pada pemerintahan baru setelah Presiden Abdurrahman Wahid.

"Pemerintahan Gus Dur jatuh, diganti sama pemerintah berikutnya, eh dibalikin lagi itu personal guarantee. Pemerintah Indonesia posisinya jadi lemah lagi. Jadi, kalau ada perdebatan hari ini tentang misrepresentasi dan lain-lain itu masalahnya itu tadi. Pertama, karena utang diubah jadi diganti dengan pembayaran aset. Yang kedua, posisi bargaining yang Indonesia dibikin lemah, dibikinlah personal guarantee dicabut lagi", ungkap Rizal Ramli.

Rizal Ramli berharap banyak penanganan kasus ini kepada KPK. Ia pun berharap, KPK tidak menunda-nunda penuntasan kasus dugaan korupsi dengan jumlah kerugian negara yang besar ini.

Sebagaimana diketahui, sebelumnya, KPK telah menjerat mantan Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai Tersangka hingga mendudukkannya sebagai Terdakwa dalam perkara ini.

Pada pengadilan tingkat pertama, Syafruddin divonis 'bersalah' yang kemudian dikuatkan oleh Putusan Hakim di tingkat banding. Namun, di Mahkamah Agung (MA), Syafruddin dibebaskan karena perbuatannya dinilai bukan merupakan tindak pidana.

Di sisi lain, KPK sudah menetapkan Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih S Nursalim sebagai Tersangka. KPK menduga, Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang mendapatkan BLBI diduga kongkalikong dengan Syafruddin, sehingga diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara Rp 4,58 triliun.

KPK pun menduga, kerugian itu lantaran piutang yang dijaminkan Sjamsul untuk membayar sisa BLBI berupa aset petambak kepada pemerintah, merupakan kredit macet. *(Ys/HB)*