Kamis, 20 Juni 2019

KPK Pastikan Kasus BLBI Belum Daluwarsa, Otto: Sudah 21 Tahun

Baca Juga

Otto Hasibuan.


Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan kasus korupsi Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menjerat pemegang saham obligor Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya belum daluwarsa atau lewat waktu.

"Sebenarnya kasus BLBI ini cukup jelas ya. Dari aspek konstruksi hukum, putusan hakim khususnya untuk terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung dan di persidangan itu sangat jelas, bahwa kasus ini belum daluwarsa", terang Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah di kantor KPK, jalan Kuningan Persada – Jakarta Selatan, Rabu 19 Juni 2019.

Febri Diansyah menjelaskan, bahwa kasus BLBI memiliki waktu terjadinya tindak pidana atau tempus deliciti pada 2004 atau saat SKL diterbitkan oleh BPPN. Hal itu, jelas Febri, terdapat rangkaian peristiwa sebelum dan sesudah SKL BLBI dikeluarkan.

Disebutkan di Pasal 78 ayat (1) angka 4 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, memiliki masa daluwarsa selama 18 (delapan belas) tahun.

Atas dasar pasal tersebut, KPK meyakini proses hukum kasus dugaan korupsi SKL BLBI yang menjerat Sjamsul Nursalim sah dan sesuai dengan hukum acara yang berlaku.

"Kalau kita hitung daluwarsa 18 tahun, maka 18 tahun itu dihitung sejak tahun 2004 tersebut. Di mana, Syafruddin Arsyad Temenggung diduga bersama-sama dengan Tersangka yang sudah kita tetapkan saat ini", jelas Febri Diansyah.

"Termasuk juga belum daluwarsa karena aturannya sangat jelas daluwarsa adalah 18 tahun dan itu bisa dihitung dari tahun 2004 misalnya ketika SKL itu terbit", tandasnya.

Terpisah, Advokat Otto Hasibuan menilai, bahwa kasus SKL BLBI yang menjerat Sjamsul Nursalim telah daluwarsa. Sebab, KPK mengaitkan SKL yang diterbitkan tahun 2004 dengan mis-representasi yang diduga dilakukan Sjamsul Nursalim atas utang petambak pada 1998 saat Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA).

"Jadi, sudah 21 tahun. Karena sudah daluwarsa, maka kasus ini tidak boleh dilanjutkan", ujar Otto Hasibuan.

Otto Hasibuan sempat mempertanyakan mis-representasi yang disangkakan KPK kepada Sjamsul Nursalim. Otto Hasibuan sendiri menerima kuasa dari Sjamsul Nursalim sebagai Kuasa Hukum Sjamsul Nursalim terkait gugatan perdata di Pengadilan Negeri Tangerang.

Otto menandaskan, bahwa MSAA mis-representasi itu harus dibuktikan terlebih dahulu di Pengadilan Perdata. Sebab MSAA sendiri merupakan perjanjian perdata.

Ditandaskannya juga, bahwa dalam Letter of Statement tahun 1999, pemerintah berjanji dan menjamin tidak menuntut Sjamsul dalam bentuk apapun, termasuk tidak melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan secara pidana sebagaimana ditegaskan dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2002.

"Apabila KPK menganggap mis-representasi merupakan tindak pidana, maka hal itu pun tidak boleh lagi disidik dan dituntut, karena sudah dijanjikan dan dijamin oleh pemerintah", tandasnya.

Sebelumnya, KPK secara resmi menetapkan Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim sebagai tersangka atas perkara dugaan tindak pidana korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). KPK menduga, Sjamsul Nursalin diduga sebagai pihak yang diperkaya Rp. 4,58 triliun dalam kasus ini.

Dalam perkara ini, Sjamsul Nursalim dan istrinya disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. *(Ys/HB)*