Senin, 17 Februari 2020

Ada Peluang Besar Di Antara "Pelacur Pers", "Pengemis Sakti" Dan Dewan Pers

Baca Juga

Ketua Umum DPP SPRI/ Dewan Pers Indonesia Heintje G. Mandagie saat memberi keterangan pers kepada sejumlah awak media.


Oleh :
Heintje G. Mandagie
Ketum DPP SPRI /
Ketua Dewan Pers Indonesia


Judul tulisan ini sesungguhnya tidaklah se ekstrim tudingan 'media abal-abal' yang terus dihembuskan Dewan Pers dan para pelayannya terhadap media lokal yang belum terverifikasi. Potret buruk media lokal yang menjadi corong informasi publik adalah menu utama propaganda  sekelompok elit politik yang ingin terus menguasai Dewan Pers demi mengontrol kekuasaan.

Pelaku pers nasional begitu rela diseret ke ruang gelap kemerdekaan pers, kelihatannya bangga sekali berada di kelompok elit media atau lebih dikenal dengan sebutan media mainstream. Bahkan, saat ini menjadi konstituen Dewan Pers bagi sebagian organisasi pers adalah ibarat barang langka dan mahal di pasaran.

Tak heran ada kelompok organisasi pers yang ikut berjuang menggelar Musyawarah Besar Pers Indonesia 2018 dan Konggres Pers Indonesia 2019 rela menjual idealisme dengan menjilat Dewan Pers hanya untuk memburu status menjadi konstituen Dewan Pers. 

Sudah menjadi rahasia umum "Pengemis Sakti" (baca wartawan media mainstream) bertahun-tahun sadar dijadikan "sapi perahan" para konglomerat media, namun tetap saja angkat kepala menjalankan profesi mulia ini. 

Amplop putih berisi lembaran rupiah masih saja menjadi teman setia di lapangan. Idealisme hanyalah label kamuflase wartawan yang punya merek UKW. 

Selama bertahun-tahun Pasal 10 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers tidak berlaku di republik ini. Bahwa, Pasal 10 UU Pers ini mengatur kesejahteraan wartawan wajib diberikan perusahaan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya. Namun, tidak pernah terimplementasi.

Faktanya, wartawan digaji rendah namun dituntut tetap idealis. Sementara antara gaji dan kebutuhan bulanan wartawan tidak imbang, bahkan cenderung minus. Dewan Pers  dan konstituennya yang memiliki kewenangan pengawasan hanya diam membisu. Wartawan dibiarkan "melacur" dan menjadi "pengemis sakti" selama bertahun-tahun. Sementara perusahaan pers meraup untung besar dibiarkan saja tidak memenuhi kewajibannya.

Sebagai wartawan yang pernah memimpin beberapa media mainstream lokal, penulis sudah paham betul dengan situasi pasrah dijadikan "sapi perahan" pemilik media, pada akhirnya "melacurkan diri" atau menjadi "pengemis sakti" menjadi pilihan untuk mengais rejeki dari menjalankan profesi sebagai wartawan.

Ini sudah menjadi rahasia umum di kalangan wartawan dan masih berlanjut hingga saat ini, bahkan terjadi di seluruh Indonesia. Alih-alih kondisi ini diatasi, Dewan Pers malah pura-pura sibuk mengurus verifikasi perusahaan pers dan Uji Kompetensi Wartawan. 

Bagaimana mungkin wartawan bisa kompeten jika praktek terima amplop masih jadi pilihan utama untuk menutupi biaya bulanan. Buntutnya idealisme pers harus tergadaikan. Ini bukti pers di Indonesia belum merdeka. Artinya, kita insan pers terpaksa harus berlumur "dosa" akibat menjual idealisme pers.

Padahal faktanya setiap tahun ada angka lebih dari 100 triliun rupiah perusahaan pers meraup pemasukan dari belanja iklan nasional. Tapi wartawan tidak pernah menerima hak kesejahteraannya yang dijamin Pasal 10 UU Pers. Wartawan justeru terseret konflik kepentingan akibat label konstituen dan non konstituen, lalu tanpa sadar saling menyerang lewat media. Maka jadilah jeruk makan jeruk.

Lantas upaya apa yang sudah dilakukan Dewan Pers untuk menjamin kemerdekaan pers? Justru sangat ironis. Bukannya memperjuangkan kesejahteraan wartawan, Dewan Pers malah asik menebar isu media abal-abal. 

UU Pers menugaskan Dewan Pers mendata perusahaan pers, tapi yang dilakukan adalah memverifikasi perusahaan pers. Perusahaan pers yang lahir di era kemerdekaan pers pasca disahkannya UU Pers tahun 1999, kini  terus bermunculan. Bahkan Dewan Pers sendiri mengklaim ada 43 ribu media yang belum terverifikasi. Itu artinya, Dewan Pers dengan kondisi personil yang hanya 9 orang, membuat kebijakan melakukan sendiri verifikasi perusahaan pers di seluruh Indonesia. 

Logikanya, apakah Dewan Pers mampu melakukan verifikasi faktual ke 40 ribuan media lokal di seluruh Indonesia?

Jawabannya sederhana. Kita coba ikuti permainan Dewan Pers. Katakanlah 10 tahun proses verifikasi media ini dilakukan Dewan Pers bersama kroni-kroninya.

Dari data yang diakses di situs Dewan Pers per 17 Februari 2020, tercatat baru 1216 yang terdata. Itupun belum semua dinyatakan terverifikasi faktual. Artinya, masih ada seribu lebih perusahaan pers yang sudah terverifikasi administrasi tapi belum terverifikasi faktual.

Fakta data membuktikan bahwa sudah selama 10 tahun Dewan Pers bekerja, tapi kenyataannya hanya mampu memverifikasi faktual dua ratusan media saja. Bagaimana mungkin, puluhan ribu bahkan ratusan ribu media bisa diverifikasi faktual jika kinerja 10 tahun saja fakta datanya seperti itu. Butuh berapa puluh tahun lagi bagi media yang belum terverifikasi mendapat gilirannya?

Sekarang perusahaan pers yang belum terverifikasi, pada kenyataannya malah dipotret buruk dengan sebutan abal-abal. Dan bahkan, sengaja dimunculkan propaganda negatif bahwa kerja-sama pemerintah dengan media yang belum terverifikasi akan berdampak pidana atau temuan. Meski BPK RI sudah membuat klarifikasi ke DPP Serikat Pers Republik Indonesia bahwa BPK belum menggunakan peraturan verifikasi Dewan Pers sebagai dasar audit keuangan pemerintah, namun berita hoax itu tetap saja dihembuskan. 

Sekarang kita coba mulai berpikir positif dan melihat peluang besar terhadap munculnya puluhan ribu media lokal berbasis online. 

Sebelum itu, kita runut dulu ke belakang tentang fakta bahwa ada ribuan media dan belasan organisasi pers yang merasa gerah dengan sikap Dewan Pers tersebut, kemudian memilih membentuk Dewan Pers Indonesia melalui keputusan Kongres Pers Indonesia 2019. Dewan Pers Indonesia dibentuk sebagai solusi menggantikan peran Dewan Pers yang dianggap tidak mampu menjalankan amanah sesuai UU Pers.

Lalu apa saja yang menjadi peluang besar dari keberadaan puluhan ribu media lokal tersebut?

Peluang besar itu adalah ketersediaan lapangan kerja makin besar untuk menyerap puluhan ribu tenaga kerja profesional di bidang pers. Selain itu, potensi belanja iklan nasional bisa terdistribusi ke seluruh Indonesia secara merata dan tidak hanya terpusat di Jakarta. Dengan begitu maka puluhan triliun anggaran belanja iklan nasional bisa kembali ke daerah lewat kerja sama perusahaan pengguna jasa periklanan dengan media-media lokal. 

Jika peluang besar ini bisa terwujud, maka ke depan nanti tidak akan ada lagi media lokal "mengemis" kerja sama dengan pemerintah daerah. Dan pada gilirannya wartawan bisa sejahtera dan media makin independen. 

Untuk mewujudkan peluang besar ini, Dewan Pers Indonesia telah membangun jaringan media melalui program sertifikasi media.  Media yang sudah disertifikasi otomatis telah menjadi bagian dari jaringan Media DPI. Dari langkah ini maka DPI memiliki keyakinan akan kekuatan jaringan media ini mampu mengontrol dan menciptakan opini publik dalam satu irama pemberitaan. Inilah bargaining yang harus kita ciptakan bersama. Beberapa kali berita yang direlease melalui jaringan media DPI mampu menciptakan opini publik di seantero penjuru tanah air. 

Kekuatan jaringan media DPI pada gilirannya akan setara atau bahkan lebih dahsyat dari media mainstream berskala nasional sekalipun. Ini patut dibanggakan atas kerja-sama semua pihak. Bahkan, ada salah-satu jaringan media DPI yang digawangi Hendri Kampai, telah menciptakan aplikasi media dan mampu menyatukan media-media lokal di seluruh Indonesia dalam satu sistem. Saat ini, tercatat sudah ada kurang lebih 3000 media masuk dalam sistem ini dan akan terus bertambah setiap hari.

Pemerintah Daerah dan jajaran Pemerintah Pusat seharusnya tidak mengindahkan propaganda negatif tentang media-media lokal. Sebab perusahaan pers yang bernaung di DPI sedang disertifikasi secara sah sesuai peraturan perundang-undangan melalui organisasi-organisasi pers (berbadan hukum) yang menjadi konstituen Dewan Pers Indonesia, termasuk SPRI.

Pemerintah dapat menjalin kerja sama dengan media-media yang sudah tersertifikasi DPI. Tidak perlu terpengaruh atau takut dengan ancaman Dewan Pers. Karena, DPI memiliki jaringan media sendiri yang sebagian sudah tersertifikasi dan layak mendapat hak atau akses ekonomi yang sama dengan media terverifikasi Dewan Pers. 

SPRI yang menerbitkan Sertifikasi Media adalah organisasi pers yang berbadan hukum resmi dari KemenkumHAM RI. Jadi, produk sertifikasi media SPRI yang turut disahkan DPI adalah sah sesuai peraturan perundang-undangan. Kalau ada yang mengatakan tidak sah maka itu akan berhadapan dengan hukum. 

Yang pasti negara sudah menjamin setiap orang berhak berusaha dan mendirikan perusahaan yang badan hukumnya disahkan pemerintah melalui Dirjen AHU KemenkumHAM RI. UU Pers hanya mengatur syarat mendirikan perusahaan pers adalah berbadan hukum Indonesia dan bukan verifikasi Dewan Pers atau bahkan Sertifikasi Media DPI sekalipun. DPI sendiri, menjadikan program sertifikasi media untuk membangun jaringan media. 

Sertifikasi Media hanyalah alat untuk mendata perusahaan pers bukan sebagai bukti keabsahan media.

Saat ini kita diajak bermain oleh Dewan Pers dan kroni-kroninya untuk melawan pemerintah yang kabarnya sedang menyusun draft revisi Undang-Undang tentang Pers. Beberapa pasal yang dianggap pemerintah ikut campur dalam ruang lingkup kehidupan pers ditentang. Salah satunya soal pemberian sanksi jika melanggar. 

Pada kondisi ini kita abaikan dulu substansi permasalahan yang diprotes oleh organisasi-organisasi konstituen Dewan Pers. Toh investasi media asing yang sepertinya mau dikontrol pemerintah tidaklah berpengaruh langsung bagi kehidupan pers lokal. 

Saat ini, ada dan tidak adanya revisi UU Pers, faktanya media-media lokal yang disebut abal-abal sudah terbiasa ditutup akses ekonominya oleh Dewan Pers lewat propaganda negatifnya. 

Wartawan media yang disebut abal-abal pun sadar betul bahwa keberadaannya tidak se "sexy" wartawan media mainstream. Makanya, untuk "melacurkan diri" tidak mungkin dilirik. Wartawan media-media yang belum terverifikasi sudah terbiasa pula dihina dengan sebutan abal-abal tapi masih lebih terhormat dari pada menjadi "pelacur". 

Kehidupan Pers nasional sebetulnya sudah berada pada titik nadir. Sejumlah media nasional yang menguasai ruang publik sudah dikuasai orang parpol. Sangat sulit mendapatkan informasi yang benar-benar dapat dipercaya. Pers nyaris tidak bisa bebas menjalankan fungsi sosial kontrolnya. 

Saat ini konstituen DPI sebaiknya fokus pada program memperkuat jaringan media. Semakin besar jaringan media DPI maka akan semakin kuat bargaining posisi perusahaan-perusahaan pers lokal. Bersatu akan lebih baik dari pada diam saja. 

Perjuangan bersama harus dimulai dari sekarang. Jangan biarkan perusahaan di Jakarta saja yang menikmati belanja iklan nasional. Perputaran uang di daerah dalam bentuk belanja barang produk nasional harusnya balik ke daerah dalam bentuk belanja iklan. Sehingga perusahaan-perusahaan pers lokal bisa ikut menikmati belanja iklan nasional. Pemerinah Daerah haruslah dibukakan mata bahwa ada ketidak-adilan dalam distribusi belanja iklan nasional. Sebab fakta sesungguhnya adalah masyarakat lokal yang berbelanja tapi perusahaan di Jakarta saja yang menikmati belanja iklan nasional.***