Rabu, 27 Mei 2020

Diduga Langgar Kode Etik, MAKI Laporkan Deputi Penindakan KPK Karyoto Ke Dewas

Baca Juga


Kota JAKARTA – (harianbuana.com).Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) telah melaporkan kasus dugaan pelanggaran kode etik yang diduga dilakukan Deputi Penindakan KPK Karyoto ke Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Pada Selasa tanggal 26 Mei 2020 Masyarakat Antikorupsi Indonesia, via email menyampaikan surat kepada Dewan Pengawas KPK berupa laporan dugaan pelanggaran kode etik oleh Karyoto selaku Deputi Bidang Penindakan KPK dalam memberikan release kegiatan tangkap tangan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 20 Mei 2020", kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman melalui keterangan tertulisnya, Rabu 27 Mei 2020.

Boyamin menjelaskan, bahwa Karyoto menyampaikan rilis kegiatan operasi angkap tangan (OTT) itu seorang diri. Hal tersebut bertentangan dengan arahan dan evaluasi Dewan Pengawas KPK yang berisi bahwa yang diperkenankan memberikan pernyataan terkait penanganan suatu perkara atau kasus kepada media adalah pimpinan KPK dan/atau juru bicara KPK.

Dijelaskannya pula, Karyoto melakukan penyebutan nama-nama secara lengkap tanpa inisial terhadap orang-orang yang dilakukan pengamanan dan atau pemeriksaan terkait OTT di Kemendikbud tersebut.

"Padahal semestinya penyebutan nama dengan inisial demi asas praduga tidak bersalah dan selama ini rilis atau konferensi pers KPK atas operasi tangkap tangan (OTT) selalu dengan penyebutan inisial untuk nama-nama yang terkait dengan OTT", jelas Boyamin pula.

Boyamin pun menyoroti pernyataan Karyoto dalam narasi pembukaan awal rilis menyatakan: "Merespons pertanyaan rekan-rekan wartawan soal informasi adanya kegiatan OTT, dapat kami jelaskan sebagai berikut". Menurut Boyamin, hal itu tidak benar. Pasalnya, OTT tidak bocor ke kalangan wartawan.

"Hal ini diduga tidak benar, karena informasi OTT tidak bocor, sehingga tidak ada wartawan yang menanyakan kabar OTT dan diduga OTT diberitahukan oleh Karyoto kepada wartawan dalam bentuk rilis", kata Boyamin.

Selain itu, ia juga menyoroti OTT terhadap staf Universitas Negeri Jakarta (UNJ) di Kemendikbud diduga tanpa perencanaan matang dan tidak detail mulai dari penerimaan pengaduan masyarakat sampai dengan keputusan untuk melakukan kegiatan tangkap tangan.

"Semestinya sebelum melakukan kegiatan tangkap tangan sudah dipastikan apa modusnya apakah suap atau gratifikasi dan siapa penyelenggara negaranya, sehingga ketika sudah dilakukan kegiatan tangkap tangan tidak mungkin tidak ditemukan penyelenggara negaranya", ujar Boyamin.

Boyamin menduga, perencanaan dan analisa perkara terhadap kegiatan OTT tersebut diduga tidak melibatkan jaksa yang bertugas di KPK.

"Hal ini berdasar hasil kegiatan tangkap tangan yang gagal, karena jika OTT dilakukan dengan melibatkan jaksa semestinya tidak gagal sebagaimana selama ini terjadi di KPK", ulasnya.

Menurutnya, setiap perencanaan dan pelaksanaan penanganan perkara termasuk OTT, semestinya melibatkan jaksa sebagai pengendali penanganan perkara untuk memastikan materi substansi peristiwa, kapan eksekusi penangkapan, penahanan serta mempertimbangkan kewenangan para pihak.

Menurutnya pula, pelaksanaan kegiatan OTT diduga tidak tertib dan tidak lengkap administrasi penyelidikan sebagaimana ketentuan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan KUHAP untuk pengamanan seseorang atau penangkapan dan permintaan keterangan para pihak dari staf dan Rektor UNJ.

"Semestinya, jika kegiatan tangkap tangan ini bagus dengan segala administrasinya, maka potensi gagal adalah kecil", ungkapnya.

Ditandaskannya, bahwa kegiatan tangkap tangan sesuai prosedur standar adalah dengan dilakukan penyadapan terhadap pihak-pihak terkait.

"Dalam kegiatan tangkap tangan ini, jika dilakukan penyadapan maka saya yakin tidak ada izin penyadapan dari Dewan Pengawas atau jika tidak dilakukan penyadapan maka telah melanggar SOP KPK", tandasnya. *(Ys/HB)*