Kamis, 21 Mei 2020

KPK Awasi 4 Titik Rawan Penggunaan Anggaran Penanganan Covid–19

Baca Juga

Ketua KPK Firli Bahuri didampingi dua Plt. Jubir KPK Ali Fikri dan Ipi Maryati saat memberi keterangan pers di Kantor KPK.


Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengawasi titik rawan dalam penggunaan anggaran penanganan virus Corona atau Corona Virus Disease – 2019 (Covid-19). Titik rawan itu, yang pertama adalah terkait soal penggunaan anggaran untuk pengadaan barang dan jasa.

"Ini sangat rawan, untuk itu kami memberikannya perhatian khusus untuk pengadaan barang dan jasa. Langkah awal yang kami lakukan, berkoordinasi dengan LKPP dan BPKP", kata Ketua KPK Firli Bahuri saat rapat virtual dengan Timwas DPR-RI, Rabu (20/05/2020).

"Prinsipnya adalah tidak boleh ada korupsi tidak boleh ada mark up, feed back dan juga tidak ada benturan kepentingan di dalam pengadaan barang dan jasa dan juga tidak ada kecurangan", tambahnya.

Selanjutnya, KPK akan terus mengikuti dan mengawasi sumbangan dari pihak ke-tiga atau donasi dana penanganan Covid–19. KPK pun telah membuat Surat Edaran (SE) agar donasi tersebut bisa dipertanggung-jawabkan.

Kemudian, KPK melakukan monitoring terkait refocusing atau realokasi anggaran yang ada di APBD. Berikutnya, pengawasan dana dari APBN sebesar Rp. 405 triliun untuk penanganan Covid–19.

"Selanjutnya terkait bantuan sosial safety net, ini pun kami lakukan. Khusus untuk Bansos, kami dari awal sudah bekerja sama dengan Menteri Sosial, karena menurut kami ada titik rawan", tegasnya.

Ditandaskannya, bahwa KPK juga melakukan pendampingan supaya bisa mencegah, menghilangkan unsur-unsur korupsi dan tidak memiliki kesempatan untuk korupsi. Ditansaskannya pula, bahwa KPK saat ini mengembangkan 3 (tiga) pendekatan dalan pemberantasan korupsi.

Pertama, pendekatan pendidikan masyarakat yang sasarannya agar ada ketidak-inginan masyarakat melakukan korupsi. Kedua penekanan pencegahan, KPK terus berupaya memperbaiki sistem sehingga tidak ada peluang dan tidak ada kesempatan bagi orang untuk melakukan korupsi.

"Terakhir law enforcement atau penegakan hukum, tentu ini adalah pendekatan terakhir karena pendekatan pidana", tandas Firli.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron menjabarkan, penanganan bencana sering-kali saling berhimpitan dengan tindak pidana korupsi. Hal tersebut berdasarkan tindak pidana korupsi yang dilakukan sejumlah pejabat terkait Dana Bantuan Bencana.

Seperti yang dilakukan Binahati Benedictus Baeha selaku Bupati Nias. Ia terjerat dalam perkara tindak pidana korupsi dana bantuan bencana tsunami Nias.

Seperti halnya juga Anggota DPRD Mataram Fraksi Golkar Muhir yang terjerat dalam perkara tundak pidana korupsi dana bantuan bencana gempa bumi Lombok. 

Demikian juga Bendahara Pembantu Program Rekonstruksi dan Rehabilitasi Pasca Bencana, BNPBD Kabupaten Mojokerto Joko Sukartika yang terjerat korupsi dana rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana yang menjerat

"Sehingga kemudian antara bencana dan korupsi di Indonesia berimpitan", jabar Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam diskusi virtual, Rabu (20/05/2020).

Lebih lanjut, Ghufron mengungkap 4 (empat) titik rawan dalam penanganan bencana, yakni pengadaan barang dan jasa, refocusing dan realokasi anggaran pada APBN dan APBD, pengelolaan filantropi atau sumbangan pihak ketiga yang dikategorikan bukan gratifikasi dan penyelenggaraan Bansos.

Ditandaskannya, bahwa terkait pandemi Covid–19, lembaganya sudah membuat sistem pencegahan agar korupsi tidak terjadi. Satu di antaranya adalah menerbitkan Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2020 tentang Penggunaan Anggaran Pelaksanaan PBJ (pengadaan barang/jasa) dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 terkait dengan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi.

"KPK membentuk tim khusus untuk mengawal dan mengawasi proses percepatan penanganan virus Corona (Covid-19) dalam hal penggunaan anggaran untuk PBJ", tandasnya.

Menurut Gufron, dalam kajian yang pernah dilakukan maupun penanganan perkara oleh KPK, ditemukan sejumlah modus dan potensi korupsi dalam PBJ. Di antaranya berupa persekongkolan atau kolusi dengan penyedia barang jasa, menerima uang pelicin (kick back), penyuapan, dan gratifikasi.

"Kemudian benturan kepentingan, perbuatan curang, berniat jahat memanfaatkan kondisi darurat, hingga membiarkan terjadinya tindak pidana", pungkas Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron *(Ys/Hb)*