Selasa, 24 Mei 2022

KPK Tahan Tersangka Pengadaan Heli AW-101 Yang Diduga Rugikan Negara Rp. 224 Miliar

Baca Juga


Ketua KPK Firli Bahuri saat memberi keterangan dalam konferensi pers pengumuman penahanan Irfan Kurnia Saleh alias Jhon Irfan Kenway sebagai Tersangka perkara dugaan TPK pengadaan helikopter Augusta Westland (AW)-101 di TNI AU tahun 2016–2017, Selasa (24/05/2022) malam, di Gedung Merah Putih KPK jalan Kuningan Persada – Jakarta Selatan.


Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya melakukan upaya paksa penahanan terhadap Tersangka perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi (TPK) pengadaan helikopter Augusta Westland (AW)-101 di TNI AU tahun 2016–2017 Irfan Kurnia Saleh alias Jhon Irfan Kenway, Selasa (24/05/2022) malam.

Irfan Kurnia Saleh (IKS) alias Jhon Irfan Kenway diketahui telah menyandang status hukum sebagai Tersangka perkara tersebut sejak 2017 atau 5 (lima) tahun silam.

Pantauan media, pada Selasa (24/05/2022) malam sekitar pukul 19.35 WIB, Irfan Kurnia Saleh alias Jhon Irfan Kenway terlihat mengenakan rompi khas tahanan KPK warna oranye dengan tangan diborgol dan dikawal petugas dihadirkan di ruang konferensi pers untuk diumumkan status perkara dan penahanannya.

Upaya paksa penahanan dilakukan setelah Irfan Kurnia Saleh (IKS) alias Jhon Irfan Kenway selaku Direktur PT. Diratama Jaya Mandiri dan Pengendali PT. Karsa Cipta Gemilang itu menjalani serangkaian pemeriksaan sebagai Tersangka pada Selasa (24/05/2022).

“Tim Penyidik melakukan upaya paksa terhadap IKS (Irfan Kurnia Saleh) berupa penahanan selama 20 hari terhitung mulai 24 Mei sampai 12 Juni 2022 di Rutan (rumah tahana) KPK pada Gedung Merah Putih", terang Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK jalan Kuningan Persada – Jakarta Selatan, Selasa (25/05/2022).

Firli Bahuri membeberkan, bermula dari sekitar bukan Mei 2015, Irfan bersama salah-seorang pegawai perusahaan AW bernama Lorenzo Pariani menemui Mohammad Syafei yang saat itu menjabat Asisten Perencanaan dan Anggaran TNI Angkatan Udara di wilayah Cilangkap – Jakarta Timur.

Dalam pertemuan itu, di antaranya membahas pengadaan helikopter AW-101 VIP/VVIP TNI AU. Irfan yang juga menjadi agen AW diduga memberikan proposal harga pada Syafei dengan mencantumkan harga untuk satu unit helikopter AW-101 senilai US $ 56,4 juta.

Padahal, harga pembelian yang disepakati Irfan dengan pihak AW untuk satu unit helikopter AW-101 hanya US $ 39,3 juta atau saat itu setara dengan Rp. 514,5 miliar.

“Sekitar November 2015, panitia pengadaan helikopter AW-101 VIP/VVIP TNI AU mengundang IKS untuk hadir dalam tahap prakualifikasi dengan menunjuk langsung PT. DJM (Diratama Jaya Mandiri) sebagai pemenang proyek", beber Firli Bwahuri.

“Dan, hal ini tertunda, karena adanya arahan pemerintah untuk menunda pengadaan ini karena pertimbangan kondisi ekonomi nasional yang belum mendukung", tambahnya.

Pengadaan helikopter AW-101 VIP/VVIP TNI AU tersebut kembali dilanjutkan pada tahun 2016 dengan nilai kontrak Rp. 738,9 miliar dengan metode lelang melalui pemilihan khusus yang hanya diikuti oleh 2 (dua) perusahaan.

Adapun panitia lelang, lanjut Ketua KPK Firli Bahuri, diduga tetap melibatkan dan mempercayakan kepada Irfan dalam menghitung nilai Harga Perkiraan Sendiri (HPS) kontrak pekerjaan.

“Harga penawaran yang diajukan IKS masih sama dengan harga penawaran di tahun 2015 senilai US $ 56,4 juta dan disetujui oleh PPK (Pejabat Pembuat Komitmen)", lanjutnya.

KPK menduga, Irfan diduga sangat aktif melakukan komunikasi dan pembahasan khusus dengan Fachry Adamy selaku PPK. Yang mana, untuk persyaratan lelang yang hanya melibatkan dua perusahaan itu, Irfan diduga menyiapkan dan mengondisikan dua perusahaan miliknya untuk mengikuti proses lelang dan disetujui oleh PPK.

“Untuk proses pembayaran yang diterima IKS diduga telah 100 persen, di mana faktanya ada beberapa item pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi dalam kontrak, di antaranya tidak terpasangnya pintu kargo dan jumlah kursi yang berbeda", ungkap Firli Bahuri.

Tidak ada penyelenggara negara yang ditetapkan sebagai Tersangka dalam perkara ini. Adapun Irfan Kurnia Saleh alias Jhon Irfan Kenway merupakan pihak swasta yang sementara ini ditetapkan sebagai "Tersangka Tunggal" perkara dugaan TPK pembelian helikopter Augusta Westland (AW)-101 di lingkungan TNI Angkatan Udara.

Firli Bahuri menjelaskan, lembaganya dapat menangani siapa pun pihak yang terlibat kasus korupsi berdasarkan aturan Undang-Undang tentang KPK.

Berdasarkan aturan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, KPK dapat mengusut perkara korupsi dengan subyek hukum penyelenggara negara dan aparat penegak hukum.

Akan tetapi, pasal tersebut bukan kumulatif. Menurut Firli, penjelasan Pasal UU KPK tersebut  juga menyebutkan, bahwa KPK dapat menjerat siapa pun pihak yang diduga menyebabkan terjadinya kerugian negara.

"KPK dapat melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Ada syaratnya dua, aparat penegak hukum atau penyelenggara negara atau pihak terkait. Oke, di kalimat berikutnya ada 'dan atau titik koma', menimbulkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp. 1 miliar di ayat (2)-nya", jelas Firli Bahuri.

"Itu di Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019. Kalau bicara dan atau, tentulah kawan-kawan sudah paham, itu bukan kumulatif, boleh alternatif ya", tambahnya.

Dalam perkara ini, KPK menduga, perbuatan Irfan diduga bertentangan dengan Peraturan Menteri Pertahanan RI Nomor 17 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pengadaan Alat Utama Sistem Senjata di lingkungan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia.

“Akibat perbuatan IKS, diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah sekitar Rp. 224 miliar dari nilai kontrak Rp. 738,9 miliar", tandas Ketua KPK Firli Bahuri.

Atas perbuatannya, Irfan disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. *(HB)*