Selasa, 21 Agustus 2018

Sidang Ke-5 Terdakwa Wali Kota Non Aktif Mojokerto, Hakim : Jadi Para Anggota Dewan Ini Asalkan Ada Uang Langsung Caplok !?

Baca Juga


Salah-satu suasana berlangsungnya sidang ke-5 dengan dengan terdakwa Mas'ud Yunus selaku Wali Kota Mojokerto atas perkara dugaan tindak pidana korupsi suap pengalihan anggaran proyek pembangunan kampus PENS pada Dinas PUPR Pemkot) Mojokerto Tahun Anggaran (TA) 2017, di ruang Cakra kantor Pengadilan Tipikor Surabaya, Selasa (21/08/2018).

Kota SURABAYA - (harianbuana.com).
Sidang ke-5 (lima) terdakwa Mas'ud Yunus selaku Wali Kota Mojokerto atas perkara dugaan tindak pidana korupsi suap pengalihan anggaran proyek pembangunan kampus Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Pemerintah Kota (Pemkot) Mojokerto Tahun Anggaran (TA) 2017, yang di gelar hari ini, Selasa 21 Agustus 2018, di ruang Cakra kantor Pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) Surabaya jalan Juanda Sidoarjo - Jawa Timur, Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan terdakwa Mas'ud Yunus dengan didampingi Tim Penasehat Hukum dari Kantor Advokat "MAHFUD & REKAN" jalan Babatan Pilang XI/I (Blok E1/1) Surabaya-60227 yang beranggotan Mahfud, SH., Iko Kurniawan, SH., MHum. dan Mazza Muhandi, SH., MH.

Persidangan beragendakan mendengarkan keterangan saksi yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Dede Suryaman ini, tim JPU KPK yang beanggotakan Tri Anggoro Mukti dan Arin Karniasari juga menghadirkan 8 (delapan) orang saksi dari kalangan Anggota DPRD Kota Mojokerto, yang terdiri dari 5 (lima) orang saksi dari Fraksi PDI-Perjuangan dan 3 (tiga) orang saksi dari Fraksi Gerindra. 5 orang saksi dari Fraksi PDI-Perjuangan itu masing-masing adalah Febriana Meldyawati (Ketua Fraksi), Yunus Suprayitno, Suliyat, V. Darwanto dan Gusti Patmawati. Sedangkan 3 orang saksi dari Fraksi Gerindra itu masing-masing adalah Dwi Edwin Endra Praja (Ketua Fraksi), Mohammad Harun dan Ita Primaria Lestari.

Bermula dari Majelis Hakim membacakan Identitas Diri masing-masing 8 orang saksi dari kalangan Anggota DPRD Kota Mojokerto yang dihadirkan JPU KPK dalam persidangan, dan lantas menyatakan sidang dibuka dan terbuka untuk umum.

"... Baiklah, sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum", ujar Ketua Majelis Hakin Dede Suryaman seraya menggedokkan palu sebanyak 3 kali tanda dimulainya acara persidangan atas perkara dugaan tindak pidana korupsi suap pengalihan anggaran proyek pembangunan kampus PENS pada Dinas PUPR Pemkot Mojokerto TA 2017 dengan terdakwa Mas'ud Yunus selaku Wali Kota Mojokerto periode 2013 - 2018, Selasa (21/08/2018).


Salah-satu suasana berlangsungnya sidang ke-5 dengan dengan terdakwa Mas'ud Yunus selaku Wali Kota Mojokerto atas perkara dugaan tindak pidana korupsi suap pengalihan anggaran proyek pembangunan kampus PENS pada Dinas PUPR Pemkot) Mojokerto Tahun Anggaran (TA) 2017, di ruang Cakra kantor Pengadilan Tipikor Surabaya, saat JPU KPK menunjukkan bukti setoran para saksi telah mengembalikan uang suap yang mereka terima sebelumnya,  Selasa (21/08/2018).

Disusul JPU KPK Arin Kurniasari menanya saksi V. Darwanto tentang kehadirannya di ruang Cakra Pengadilan Tipikor Surabaya pada hari ini (Selasa, 21 Agustus 2018), yang dijawab oleh saksi V. Darwanto karena kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK pada pertengahan Juni 2017 silam tetkait perkara dugaan tindak pidana korupsi suap pengalihan anggaran proyek pembangunan kampus Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) pada Dinas Pendidikan (Dispendik) Pemerintah Kota (Pemkot) Mojokerto Tahun Anggaran (TA) 2017 ke Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Pemkot Mojokerto TA 2017 bernilai sekitar Rp. 13 miliar.

"Tahu. Soal OTT KPK terkait PENS. Ya, yang awalnya proyek PENS sudah dianggarkan dalam APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) pada Dinas Pendidikan ada masalah, lalu dilakukan pembahasan untuk dialihkan ke Dinas PUPR. Tapi ada masalah lain, sebab kalau di alihkan ke Dinas PUPR, maka anggaran pada Dinas Pendidikan menjadi kurang dari 20 persen dari total APBD", jawab saksi V. Darwanto, Anggota DPRD Kota Mojokerto dari Fraksi PDI-Perjuangan.

Dimintai kesaksian atas keberadaannya dalam pertemuan informal antara Pimpinan dengan Anggota Dewan di hotel Santika dan Grand Mercure Jakarta untuk membahas 'komitmen fee proyek Jasmas 8 persen dan penghasilan tambahan bagi dewan yang diistilahkan uang 7 (tujuh) sumur' yang akhirnya diganti istilah "uang triwulan' yang jumlahnya mencapai Rp. 65 juta per Anggota Dewan per-tahun yang akan diajukan ke Wali Kota Mojokerto Mas’ud Yunus, meski diakui bahwa pertemuan itu memang terjadi, akan tetapi saksi V. Darwanto mengaku jika dirinya tidak tahu persis maksud kedua bahasan itu.

“Ya saya ada di pertemuan itu, tapi saya tidak tahu secara pasti maksud dari komitmen fee atau triwulan itu. Waktu itu (dalam pertemuan itu) saya katakan, sudahlah... kita bekerja sesuai Tupoksi (Red: tugas pokok dan fungsi) kita saja", kelit V. Darwanto menjawab pertanyaan JPU KPK Arin Karniasari.

Demikian halnya dengan kesaksian yang diberikan oleh Anggota DPRD Kota Mojokerto Moh. Harun dari Fraksi Gerindra, Yunus Suprayitno dari Fraksi PDI- Perjuangan maupun Suliyat dari Fraksi PDI- Pejuangan. Kesaksian mereka bertiga pun seolah kompak menyatakan tidak-tahu asal-usul aliran dana 'Komitmen fee' sebesar 8 % dari total jatah nilai proyek Jasmas Rp. 1 miliar per Anggota Dewan sebagai bagaiannya maupun uang 'Tambahan Penghasilan' (tidak resmi) bagi dewan yang diistilahkan dengan 'Uang 7 (tujuh) Sumur' atau yang terakhir kalinya diganti dengan istilah 'Uang Triwulan'.

Terlebih saat diminta JPU KPK untuk memberi keterangan terkait jatah 'uang triwulan dewan', saking berbelit-belitnya kesaksian yang diberikan oleh ke-4 politikus tersebut, hingga pada poin pertanyaan tersebut membuat JPU KPK Arin Kurniasari mengeluarkan teguran (peringatan) terhadap ketiganya dengan membacakan BAP masing-masing saksi terkait poin pertanyaan jatah 'uang triwulan dewan, tatkala mereka memberikan keterangan kepada Penyidik KPK di Jakarta.

“... Itu keterangan yang saudara berikan dalam BAP (Red: Berita Acara Pemeriksaan) ketika diperiksa Penyidik KPK", tegur JPU KPK Arin Karniasari seraya meminta saksi Mochamad Harun untuk memperjelas keterangannya.

Meski demikian, keempat politikus tersebut seolah kompak menyatakan tidak-tahu menahu soal 'uang komitmen fee proyek Jasmas' yang diminta Dewan maupun soal 'uang setoran triwulan jatah dewan' tersebut, yang dalam hal ini Mochamad Harun tetap saja beberapa kali menyatakan jika dirinya tidak tahu-menahu soal 'uang komitmen fee proyek Jasmas' yang diminta Dewan maupun 'uang setoran triwulanan' untuk jatah Dewan.

"Saya tidak mengetahui itu, hanya mendengar. Tapi dari siapa, saya lupa", kelitnya.

Mendapati kesaksian dari Anggota Komisi I DPRD Kota Mojokerto tersebut, JPU KPK Arin Karniasari menegur Mochamad Harun dengan kembali menyebutkan keterangan yang sudah diberikannya ketika di BAP oleh penyidik KPK. “Kami ingatkan, dalam BAP saudara menyatakan mengetahui tentang komitmen fee, angkanya 7 persen sampai 8 persen”, lontar JPU KPK Arin Kurniasari.

Ketika JPU KPK mempertanyakan soal bagi-bagi uang Rp. 5 juta yang telah diterima oleh setiap anggota DPRD Kota Mojokerto, Mochamad Harun tak bisa menepisnya. Namun demikian, Harun tak mengiyakannya begitu saja. Melainkan, mengaku jika dirinya tak tahu-menahu tentang asal-muasal uang tersebut.

“Diberitahu ketua fraksi (Red: Ketua Fraksi Gerindra DPRD Kota Mojokerto, Dwi Edwin Endar Praja) kalau ada rejeki Rp. 5 juta untuk masing-masing anggota. Dan uang itu kemudian digunakan untuk buka bersama oleh sekitar 200 orang, warga dan konstituen", aku Anggota DPRD Kota mojokerto Mochamad Harun dari Fraksi Gerindra.

Ironisnya, Anggota Komisi I DPRD Kota Mojokerto itu tak mengelak saat JPU KPK membeber data sasaran proyek Jasmas yang diusulkan Mochamad Harun dengan total nilai. Rp 1 miliar. Namun, terkait istilah jatah 'uang triwulan' Dewan tersebut, Mochamad Harun tetap berkelit dengan menyatakan jika istilah triwulan yang ia ketahui adalah merupakan program triwulan.

“Titik sasarannya sudah saya serahkan sekitar bulan Oktober 2016 lalu. Triwulan itu saya kira bentuk program”, kelit Mochamad Harun pula.

Demikian juga dengan kesaksian Yunus Suprayitno maupun Suliyat. JPU KPK Arin Karniasari pun sempat melontarkan peringatan terhadap keduanya dengan kembali menyebutkan keterangan yang sudah diberikannya ketika di BAP oleh penyidik KPK di Jakarta. Peringatan itu dilontarkan, karena kesaksian yang disampaikan dalam sidang tidak-sama dengan keterangan yang diberikan kepada penyidik KPK saat proses pembuatan BAP.

Atas kesaksian yang dirasa masih  berbelit tersebut, membuat JPU KPK kembali membeber BAP Yunus Suprayitno maupun Suliyat di kala keduanya di periksa Penyidik KPK di Jakarta beberapa waktu sebelumnya, seraya berharap keduanya memberi kesaksian yang sebenarnya.

"Ingat, saudara (Red: sebagai saksi) dibawah sumpah. Keterangan saudara yang berbeda dengan BAP akan menyulitkan saudara sendiri", tegur JPU KPK Arin Karniasari.

Atas pengakuan saksi Suliyat, JPU KPK kembali mengingatkan jika kesaksiannya dalam sidang kali ini berbeda dengan BAP ketika dirinya dimintai kererangan oleh penyidik KPK. Bahkan, tim JPU KPK yang kali ini terdiri atas Tri Anggoro Mukti dan Arin Karniasari sempat terlihat geram ketika saksi Suliyat memberikan kesaksiannya dalam sidang kali ini.

Bermula, ketika JPU KPK menanyakan keikut-sertaan saksi Suliyat saat terjadi pertemuan antara tersangka/terpidana Purnomo selaku Ketua DPRD Kota Mojokertobdengan tersangka/terpidana Wiwiet Febryanto selaku Kadis PUPR Pemkot Mojokerto, di Mc. Donald - Sepanjang, pada hari Sabtu 10 Juni 2017 silam. Yang mana, dalam pertemuan tersebut, terjadi 'terjadi penyerahan uang suap sebesar Rp. 150 juta' dari tersangka/terpidana Wiwiet Febryanto selaku Kadis PUPR Pemkot Mojokerto kepada tersangka/terpidana Purnomo selaku Ketua DPRD Kota Mojokerto.

"Saat saudara Wiwiet Febryanto Kepala Dinas PUPR menyerahkan uang kepada saudara Ketua DPRD Kota Mojokerto Purnomo di Mc. Donald - Sepanjang pada 10 Juni 2017, posisi Saudara dimana...?", tanya JPU KPK Tri Anggoro kepada Suliyat.

Atas pertanyaan JPU KPK tersebut, saksi Suliyat menjawab, bahwa saat itu dirinya tengah tidur di dalam mobil Purnomo yang ditumpanginya  Dan, baru terbangun kemudian ketika dirinya merasakan getaran dan mendengar suara pintu belakang mobil seolah ada yang membuka dan menutupnya, dan saat itulah dia tahu kalau mobil Purnomo yang ditumpanginya berhenti di Mc. Donal -Sepanjang. Namun karena tidak melihat sesuatu, ia pun tidur lagi. Sehingga, ia mengaku jika dirinya tidak mengetahui sama-sekali saat penyerahan uang tersebut.

“Ya. Waktu itu sehabis dari Kunker (Red: kunjungan kerja) ke luar kota. Kebetulan saya ikut numpang mobil Ketua Dewan pak Purnomo. Karena habis Kunker ke luar kota, kondisi saya payah, sehingga waktu dalam mobil saya tidur. Saya sempat terbangun sekejap, karena merasa ada getaran dan suara saat pintu mobil terbuka dan tertutup. Tapi karena tidak melihat apa-apa, saya langsung tidur lagi”, jawab mantan Ketua Komisi I DPRD Kota Mojokerto, Suliyat, SH., yang saat ini duduk sabagai Wakil Ketua Komisi II DPRD Kota Mojokerto.

Atas kesaksian saksi Suliyat tetsebut, JPU KPK menilai, bahwa saksi Suliyat mengingkari beberapa keterangan yang telah disampaikannya dalam BAP saat diperiksa penyidik KPK, terkait keikut-sertaannya dalam pertemuan antara Wiwiet Febryanto selaku Kadis PUPR Pemkot Mojokerto dengan Purnomo selaku Ketua DPRD Kota Mojokerto pada Sabtu 10 Juni 2017 silam, di area tempat parkir MC Donald - Sepanjang.

“Keterangan saudara berbeda dengan BAP. Yang benar mana...!?", lontar JPU KPK Tri Anggoro dengan nada agak meninggi.

Menurut JPU KPK Tri Anggoro, keterangan saksi Suliyat dalam BAP menyatakan, jika dirinya mengetahui kedatangan terdakwa. Bahkan, saksi Suliyat menyatakan mengetahui soal penyerahan uang yang berujung kasus OTT KPK pada pertengahan Juni 2017 silam. Atas hal itu, JPU KPK Tri Anggoro mengingatkan saksi Suliyat agar tidak berbelit-belit dan tidak mengingkari keterangan yang dinyatakannya dalam BAP. “Ada konsekwesi hukum jika saudara memberi kesaksian palsu", tegasnya.

Terkait itu, JPU KPK Tri Anggoro Mukti pun membuka dan membacakan berkas BAP tersangka/terpidana pemberi suap mantan Kadis PUPR Pemkot Mojokerto Wiwiet Febryanto. Dimana, dalam berkas BAP tersangka/terpidana pemberi suap mantan Kadis PUPR Pemkot Mojokerto menyebutkan, jika dirinya yakin saat itu saksi Suliyat terbangun. Bahkan, dalam BAP tersangka/terpidana Wiwiet Febryanto menyebutkan, bahwa ia meyakinu jika saat itu sempat berjabat-tangan dengan saksi Suliyat.

Atas berkas BAP saksi Suliyat dan BAP tersangka/terpidana pemberi suap mantan Kadis PUPR Pemkot Mojokerto Wiwiet Febryanto yang dibacakan JPU KPK Tri Anggoro Mukti tersebut, saksi Suliyat menanggapinya dengan 3 kata, 'Saya Tidak Ingat'. Menurutnya, tersangka/terpidana mantan Kadis PUPR Pemkot Mojokerto Wiwiet Febryanto bisa saja merasa seolah-olah berjabat-tangan dengannya.

"Saya tidak ingat itu. Benar, saya tidak ingat", kelit saksi Anggota DPRD Kota Mojokerto Suliyat.

Selain itu, Suliyat pun mengaku jika dirinya tidak tahu ikhwal adanya 'komitmen fee proyek Jasmas' maupun 'jatah uang triwulan'. Demikian juga dengan uang Rp. 5 juta yang diterimanya dari tersangka/terpidana mantan Ketua DPRD Kota Mojokerto Purnomo sebagai pembagian-bagian aliran dana Rp. 150 juta yang berasal dari terpidana mantan Kadis PUPR Pemkot Mojokerto Wiwiet Febryanto.

“Waktu itu saya di telepon pak Purnomo. Saya di minta ke rumahnya. Kata pak Purnomo, itu uang rejeki", kelit Suliyat, lagi.

Dimintai kesaksiannya atas adanya pertemuan informal antara Pimpinan Dewan dengan Anggota Dewan di hotel Santika dan Grand Mercure Jakarta untuk membahas 'komitmaen fee proyek Jasmas 8 persen dan jatah triwulan dewan' yang akan diajukan ke Wali Kota Mojokerto Mas’ud Yunus, meski diakui bahwa pertemuan itu memang terjadi, akan tetapi lagi-lagi saksi Suliyat mengaku jika dirinya tidak tahu persis maksud kedua bahasan itu. “Ya saya ada di pertemuan itu, tapi tidak tahu maksud dari komitmen fee atau triwulan itu", kelitnya pula.

Atas pengakuan saksi Suliyat tersebut, JPU KPK kembali mengingatkan Suliyat, jika kesaksiannya tersebut berbeda dengan BAP ketika dirinya dimintai kererangan oleh penyidik KPK. Bahkan, Ketua Majelis Hakim Dede Suryaman sempat menegasi ulah para Anggota Dewan yang terkesan asal ambil

"Jadi para Anggota Dewan ini, asalkan ada uang ini langsung caplok, ada uang itu langsung caplok begitu...!? Tanpa memikirkan sumbernya dari mana, langsung caplok. Untuk JPU KPK, ini supaya ditindak-lanjuti. Untuk para saksi (Red: 4 saksi sidang sesi pertama) supaya ini di jawab, apakah penerimaan uang itu ada kuitansinya...?", tegas Ketua Majelis Hakim Dede Suryaman sembari meminta agar keempat saksi tersebut menjawab terkait keberadaan kuitansi tanda penerimaan penghasilan tambahan yang besarannya Rp. 65 juta per tahun per Anggota Dewan.

Menjawab pertanyaan Ketua Majelis Hakim Dede Suryaman tersebut, keempat saksi sidang sesi pertama tersebut kompak menjawabnya, bahwa tidak ada bukti selembar pun kuitansi resmi bukti penerimaan uang tambahan penghasilan dewan yang mereka terima selama tahun 2016 yang jumlah totalnya mencapai Rp. 65 juta per Anggota Dewan per tahun.

Sementara ketika JPU KPK mempertanyakan soal uang tambahan penghasilan yang besarannya mencapai Rp. 65 juta per-tahun per Anggota Dewan dan pembagi-bagian uang Rp. 5 juta yang telah diterima oleh setiap anggota DPRD Kota Mojokerto, mereka tak bisa menepisnya. Namun demikian, mereka tak mengiyakannya begitu saja. Melainkan, keempatnya pun kompak mengaku jika diri mereka tidak tahu-menahu tentang asal-muasal uang tersebut. *(DI/Red)*

BERITA TERKAIT :
> Sidang Ke-4 Terdakwa Wali Kota Non Aktif Mojokerto, Majelis Hakim Tolak Eksepsi Terdakwa
> KPK Kembali Periksa Wali Kota Mojokerto Non-aktif
Empat Terpidana Kasus OTT Suap Proyek PENS Jadi Warga Binaan Lapas Kelas I Surabaya Di Porong Sidoarjo
> Sidang Ke-23 Kasus OTT Dugaan Suap Proyek PENS, 3 Terdakwa Mantan Pimpinan Dewan Divonis 4 Tahun Penjara Dan Denda Rp. 200 Juta