Jumat, 05 Juni 2020

Sidang Perdana Dugaan Gratifikasi, Tim JPU KPK Mendakwa Kepala Dinas PUBM Pemkab Mojokerto Terima Rp. 1,2 Miliar

Baca Juga

Terdakwa Zaenal Abidin mantan Kadis PUBM Pemkab Mojokerto saat meminta pertimbangan PH-nya atas Dakwaan yang diajukan Tim JPU KPK, Kamis 04 Juni 2020, di ruang Candra Pengadilan Tipikor Surabaya jalan Juanda, Sidoardjo – Jawa Timur.


Kota SURABAYA – (harianbuana.com).
Sidang perdana perkara dugaan tindak pidana korupsi penerimaan gratifikasi dengan terdakawa Zaenal Abidin selaku Kepala Dinas (Kadis) Pekerjaan Umum dan Bina Marga (PUBM) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Mojokerto digelar hari ini, Kamis 04 Juni 2020, di ruang Candra Kantor Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya, jalan Juanda, Sidoarjo – Jawa Timur.

Persidangan dengan agenda 'Pembacaan Surat Dakwaan' terhadap terdakwa Zaenal Abidin, Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia (RI) yang terdiri dari Eva Yustisana, Arif Suhermanto, Joko Hermawan, Dody Sukmono, Andhi Kurniawan dan Mufti Mur Irawan menghadirkan terdakwa Zaenal Abidin selaku Kadis PUBM Pemkab Mojokerto dihadapan Majelis Hakim yang diketuai Dede Suryaman, SH., MH. dibantu 2 (dua) Hakim Anggota (Ad Hock), yakni Dr. Andriano, SH., MH. dan John Desta, SH., MH. serta Panitra Pengganti (PP) Wantiyah, SH. dengan Nomor Perkara 39/Pid.Sus/TPK/2020/PN.Sby.

Dalam persidangan, Zaenal Abidin selaku Kadis PUBM Pemkab Mojokerto didudukkan di kursi Terdakwa dengan didampingi tim Penasehat Hukum (PH)-nya yang terdiri dari Beny Hardjono, Nanik Nurhayati dan M. Tahir, untuk mendengarkan Surat Dakwaan yang dibacakan tim JPU KPK secara bergantian dihadapan Majelis Hakim yang memimpin jalannya persidangan.

Membacakan Surat Dakwaannya, tim JPU KPK mendakwa, bahwa terdakwa Zaenal Abidin selaku Kadis PUBM Pemkab Mojokerto diduga telah menerima pemberian uang ratusan juta rupiah dari Hedrawan Maruszma melalui Ridwan Arif Abdulah orang kepercayaan Terdakwa.

"Pada bulan Desember 2015, terdakwa Zaenal Abidin diduga menerima uang dari Hedrawan Maruszma melalui Ridwan Arif Abdullah (orang kepercayaan Terdakwa) sejumlah Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) di halaman parkir belakang kantor Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Kabupaten Mojokerto", dakwa JPU KPK Arif Suhermanto, membacakan Surat Dakwaan Tim JPU KPK dalam persidangan di ruang Candra Pengadilan Tipikor Surabaya, Kamis 04 Juni 2020.

"Pada bulan Januari 2016, Terdakwa menerima cek sejumlah Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dari Hedrawan Maruszma di Kantor Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Kabupaten Mojokerto", lanjut JPU KPK Arif Suhermanto.

Membacakan Surat Dakwaannya, Tim JPU KPK juga menyebut, bahwa Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto diduga juga menikmati uang gratifikasi sebesar Rp. 2.750.000.000,00 (dua miliar tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Lebih lanjut, Tim JPU KPK memaparkan, bahwa uang gratifikasi yang nilai totalnya sebesar Rp. 4.020.000.000,00 (empat milyar dua puluh juta rupiah) itu, diduga merupakan pemberian dari Hedrawan Maruszma, anak almarhum mantan Jaksa Agung Bidang Pengawasan Kejaksaan Agung RI kepada terdakwa Zaenal Abidin selaku Kadis PUBM Pemkab Mojokerto dan Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto. Diduga, uang-uang pemberian sebesar itu terkait proyek-proyek pada APBD Kabupaten Mojokerto yang dikerjakan Hedrawan Maruszma.

Tim JPU KPK pun memapar beberapa nama yang diduga terlibat dalam perkara ini. Di antaranya Eryk Aramdo Talla, Ridwan Arif Abdullah, Fikriyoso, Ramadhani Kusuma Akbar, Luthfi Arief Mutaqin, Samsul Arif (pegawai CV. Musika), Nisham Fikriyoso dan Chandri.

Dipaparkannya pula, bahwa terdakwa Zaenal Abidin selaku Kadis PUBM Pemkab Mojokerto periode tahun 2011–2016 bersama Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto periode tahun 2010–2015 dan periode 2016–2021 diduga telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa pertemuan pada waktu-waktu yang tidak dapat ditentukan secara pasti antara bulan Maret 2015 sampai dengan bulan Agustus 2016 atau pada waktu lain dalam tahun 2015 dan tahun 2016, bertempat di Hotel 8 FASHION Taman Anggrek – Jakarta Barat, di Kantor Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Pemkab Mojokerto, di Kantor Bupati Mojokerto, di sekitar KFC dekat dealer Ford Surabaya, di pendopo Pemkab Mojokerto, di restaurant Club House Taman Dayu Golf and Resort di Pandaan Kabupaten Pasuruan atau setidak-tidaknya di tempat-tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Surabaya.

Tim JPU KPK menegaskan, bahwa terdakwa Zaenal Abidin selaku Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Penyelenggara Negara yang dalam hal ini selaku Kadis PUBM Pemkab Mojokerto periode tahun 2011–2016 bersama Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto periode tahun 2010–2015 dan periode 2016–2021, diduga telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa, sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut.

Ditegaskannya  pula, bahwa terdakwa Zaenal Abidin selaku Kadis UBM Pemkab Mojokerto periode tahun 2011–2016 bersama Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto periode tahun 2010–2015 dan periode 2016–2021, diduga telah menerima gratifikasi berupa uang tunai seluruhnya sejumlah Rp. 4.020.000.000,00 (empat milyar dua puluh juta rupiah) dengan rincian, yaitu diterima terdakwa Zaenal Abidin sejumlah Rp. 1.270.000.000,00 (satu milyar dua ratus tujuh puluhjuta rupiah) dan diterima oleh Mustofa Kamal Pasa sejumlah Rp. 2.750.000.000,00 (dua miliar tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Lebih lanjut, Tim JPU KPK menguraikan, bahwa penerimaan uang tersebut berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas jabatan Terdakwa selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Kabupaten Mojokerto Tahun 2011–2016 dan berhubungan dengan jabatan Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto periode tahun 2010–2015 dan periode 2016–2021 serta berlawanan dengan kewajiban atau tugas terdakwa Zaenal Abidin dan Mustofa Kamal Pasa sebagaimana diatur dalam Pasal 4 angka 8 Peraturan Pemerintah Republik lndonesia Nomor 53 tahun 2010 dan Pasal 5 angka 4 dan angka 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang dilakukan dengan cara sebagai berikut:
• Pada tahun 2011, Terdakwa diangkat oleh Mustofa Kamal Pasasebagai Kepala Dinas PUBM dengan Surat Keputusan Bupati Mojokerto Nomor. 821 .2/3625/HK/41 6-208/2011 tanggal 4 Nopember 2011.
• Pada sekira awal Desember 2013, Hedrawan Maruszma menemui Terdakwa di Surabaya Town Square. Yang mana, dalam pertemuan tersebut Hedrawan Maruszma menyampaikan kepada Terdakwa, bahwa Hedrawan Maruszma mempunyai  keinginan untuk mengerjakan proyek di Kabupaten Mojokerto. Atas penyampaian tersebut, Terdakwa mengatakan akan menunggu petunjuk dari Mustofa Kamal Pasaterlebih dahulu.
• Pada awal bulan Oktober 2014, Hedrawan Maruszma bertemu dengan Eryk Armando Talla guna membicarakan proses pemenangan lelang pekerjaan dan pelaksanaan proyek yang akan dikerjakan oleh Hedrawan Maruszma.
• Sekitar awal tahun 2015, Hedrawan Maruszma mendapat Informasi dari Eryk Armando Talla, bahwa Mustofa Kamal Pasa mengumpulkan semua pengusaha yang akan mengerjakan proyek Dinas PU Binamarga Mojokerto di Pacet dan pada pertemuan itu disepakati komitmen fee sebesar 12,5 %.
• Pada tanggal 2 April 2015 sore hari, dilakukan pertemuan di pendopo Bupati Mojokerto antara Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto, Hedrawan Maruszma dan Nisham Fikriyoso. Yang mana, dalam pertemuan tersebut Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto menyampaikan kepada Hedrawan Maruszma, bahwa untuk mendapatkan 2 (dua) proyek yaitu proyek di Ngranggon Kutorejo dan di Kedungsari Kemlagi harus menyerahkan fee di awal sejumlah Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) atau setara dengan 17% dari nilai pekerjaan setelah PPN dan PPh.

"Selanjutnya, Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto periode tahun 2010–2015 dan periode 2016–2021 mengeluarkan selembar kertas berisi tabel daftar proyek yang sudah di tulis nama-nama pengusaha yang akan memenangkan paket pekerjaan termasuk Hedrawan Maruszma dan menunjukkan pekerjaan yang akan dimenangkan oleh Hedrawan Maruszma", urai Tim JPU KPK.

Tim JPU KPK juga membeberkan, bahwa untuk memenangkan proyek-proyek yang akan dikerjakan Hedrawan Maruszma, Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto periode tahun 2010–2015 dan periode 2016–2021 menghubungi Terdakwa dan memerintahkan agar Terdakwa mengawal proyek di Pemerintah Kabupaten Mojokerto.

Kemudian, menindak-lanjuti pertemuan pada tanggal 02 April 2015 sore-hari di pendopo Pemkab Mojokerto, antara Mustofa Kamal Pasa selaku selaku Bupati Mojokerto periode tahun 2010–2015 dan periode 2016–2021, Hedrawan Maruszma dan Nisham Fikriyoso, atas perintah Hedrawan Maruszma pada tanggal 03 April 2018, Nisham Fikriyoso menemui Terdakwa di ruang kerjanya dan membicarakan mengenai tindak-lanjut dari pertemuan dengan Bupati Mojokerto Mustofa Kamal Pasa tersebut.

Selanjutnya, Terdakwa memanggil Puguh Hari Setiawan selaku Pokja Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kabupaten Mojokerto dan PNS Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Kabupaten Mojokerto.

Saat itu Terdakwa menyampaikan agar teknis pemenangannya dikoordinasikan dengan Puguh Hari Setiawan. Atas penyampaian Terdakwa tersebut, Puguh Hari Setiawan mengeluarkan selembar kertas daftar proyek yang berisi tabel proyek yang sudah ditulis nama-nama pengusaha yang akan memenangkan paket pekerjaan termasuk Hedrawan Maruszma. Kemudian, Puguh Hari Setiawan memperlihatkan daftar proyek tersebut kepada Terdakwa.

Tim JPU KPK pun membeberkan, bahwa selanjutnya Hedrawan Maruszma    mengikuti proses lelang yang dilakukan secara proforma dengan meminjam perusahaan yang terafiliasi dengan Eryk Armando Talla. Dan pada akhirnya, atas persetujuan Terdakwa, Hedrawan Maruszma memenangkan 6 (enam) paket proyek pekerjaan, yaitu:
1. Peningkatan Jalan Ngranggon – Kuterojo Tahp II, dikerjakan oleh PT. Antigo Agung Pamenang dengan nilai penawaran Rp. 8.079.341.000,–;
2. Peningkatan Jalan Kedungsari – Kemlagi, dikerjakan oleh PT. Antigo Agung Pamenang dengan nilai penawaran Rp. 9.181.754.754,–;
3. Peningkatan Randegan – Benjeng, dikerjakan ole PT. Antigo Agung Pamenang dengan nilai penawaran Rp. 6.996.566.000,–;
4. Peningkatan Jalan Pohjejer – Tumbuk, dikerjakan oleh PT. Dwi Mulai Jaya dengan nilai penawaran Rp. 7.755.386.000,–;
5. Peningkatan  Lakardowo – Randegan, dengan nilai penawaran Rp. 6.243.381.000,–; dan
6. Peningkatan Jalan Banjar Agung – Sooko, dikerjakan oleh PT. Dwi Mulai Jaya dengan nilai penawaran Rp. 5.217.350.000,–.

Setelah Hedrawan Maruszma memenangkan proyek tersebut, terdakwa Zaenal Abidin menerima uang sejumlah Rp. 1.270.000.000,– (satu miliar dua ratus tujuh puluh juta rupiah) dengan perincian sebagai berikut:
• Pada 16 September 2015, Terdakwa menerima uang dari Hedrawan Maruszma melalui Nisham Fikriyoso dan Duvadilan Ridwan Sembodo sejumlah Rp. 120.000.000,– di hotel B-Fashion Jakarta Barat.
• Pada bulan November 2015, Terdakwa menerima uang dari Hedrawan Maruszma sejumlah Rp. 150.000.000,– (seratus lima puluh juta rupiah) dl kantor Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Kabupaten Mojokerto.
• Pada bulan Desember 2015, terdakwa Zaenal Abidin menerima uang dari Hedrawan Maruszma melalui Ridwan Arif Abdullah (orang kepercayaan Terdakwa) sejumlah Rp. 750.000.000,– (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) di halaman parkir belakang kantor Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Kabupaten Mojokerto
• Pada bulan Januari 2016, Terdakwa menerima cek sejumlah Rp. 250.000.000,– dari Hedrawan Maruszma di kantor Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Kabupaten Mojokerto.

Dalam Surat Dakwaan yang dibacakannya, Tim JPU KPK juga membeber, bahwa selain Terdakwa Zaenal Abidin selaku Pegawai Negeri Sipil atau Penyelenggara Negara yang dalam hal ini selaku Kepala Dinas PUBM Pemkab Mojokerto periode tahun 2011–2016, Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto periode tahun 2010–2015 dan periode 2016–2021 juga menerima uang dari Hedrawan Maruszma, yaitu:
• Pada tanggal 7 April 2015, Mustofa Kamal Pasa menerima uang sejumlah Rp. 500.000.000,– yang diserahkan oleh Hedrawan Maruszma, Nisham Fikriyoso dan Ramadhani Kusuma Akbar di sekitar KFC dekat dealer Ford Surabaya.
• Pada tanggal 15 April 2015, Mustofa Kamal Pasa menerima uang sejumlah Rp. 500.000.000,– melalui Luthfi Arief Mutaqiem (Ajudan Bupati Mojokerto Mustofa Kamal Pasa) yang diserahkan oleh Ramadhani Kusuma Akbar di pendopo Bupati Mojokerto.
• Pada bulan Agustus 2015, Mustofa Kamal Pasa menerima cek dari CV. Thalita Berkarya sejumlah Rp. 2.000.000.000,–melalui Samsul Arif (pegawai CV. Musika) di Restaurant Club House, Taman Dayu Golf and Resort di Pandaan Kabupaten Pasuruan yang dicairkan tanggal 17 September 2015 sejumlah Rp. 1.000.000.000,–
• Pada tanggal 27 November 2015, Mustofa Kamal Pasa didepan sebuah cafe di Surabaya menerima uang sejumlah Rp. 250.000.000,– dari Nisham Fikriyoso
• Pada sekira pertengahan tahun 2016, Mustofa Kamal Pasa menerima sejumlah Rp. 500.000.000,– yang diserahkan oleh Chandri di Pendopo Bupati Mojokerto.

"Bahwa sejak menerima uang yang seluruhnya sebesar Rp. 4.020.000.000,–(empat miliar dua puluh juta rupiah), Terdakwa dan Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto periode tahun 2010–2015 dan periode 2016–2021 tidak melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI sampai pembacaan Surat Dakwaan atas nama terdakwa Zaenal Abidin, dengan batas waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Padahal, penerimaan itu tidak ada alasan hak yang sah menurut hukum", beber Tim JPU KPK.

Tim JPU KPK menandaskan, bahwa perbuatan terdakwa Zaenal Abidin selaku Kepala Dinas PUBM Pemkab Mojokerto periode tahun 2011–2016 bersama Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto periode tahun 2010–2015 dan periode 2016–2021 menerima gratifikasi dalam bentuk uang yang seluruhnya sejumlah Rp. 4.020.000.000– (empat miliar dua puluh juta rupiah) haruslah dianggap suap, karena berhubungan dengan jabatannya dan beriawanan dengan kewajiban serta tugas Terdakwa selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Kabupaten Mojokerto dan berhubungan dengan jabatan Mustofa Kamal Pasa selaku Penyelenggara Negara yaitu sebagai Bupati Mojokerto, sebagaimana ketentuan yang tertuang dalam :
a. Pasal 5 angka 4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang menyatakan Setiap penyelenggara Negara berkewajiban untuk tidak melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme.
b. Pasal 5 angka 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang menyatakan setiap penyelenggara negara berkewajiban untuk melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung-jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela tanpa pamrih untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni maupun kelompok dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Pasal 4 angka 8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang menyatakan Setiap PNS dilarang menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapapun juga yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya.

"Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHPidana Jo. Pasal 64 KUHPidana", tandas Tim JPU KPK dalam Surat Dakwaannya.

Atas Dakwaan yang disampaikan Tim JPU KPK tersebut, terdakwa Zaenal Abidin melalui Penasehat Hukum (PH)-nya menyatakan keberatan, sehingga akan mengajukan Eksepsi pada persidangan berikutnya. Alasan keberatan Terdakwa, menurut Tim PH Terdakwa adalah bahwa Konstruksi Hukum yang diajukan Tim JPU KPK dalam Surat Dakwaan terhadap Terdakwa 'tidak tepat'.

Bahkan, seluruh dakwaan yang diajukan Tim JPU KPK, dibantah oleh Ben D. Hadjon, SH., Penasehat Hukum (PH) Terdakwa. Ben D. Hadjon, SH. menilai, dakwaan Tim JPU KPK tidak fokus dan kabur.

Menurut Ben D. Hadjon, SH., kaburnya berkas dakwaan itu terlihat dari pengaturan pemenangan lelang proyek. Lelang yang berlangsung  tahun 2016 itu, diatur untuk dimenangkan perusahaan-perusahaan yang berafiliasi dengan Eryk Armando Talla.

"Jaksa mencampur-adukkan tindakan Mustofa Kamal Pasa (MKP) dengan klien kami (Zaenal Abidin). Kewenangan klien kami, tidak sampai di situ", ungkap Ben D. Hadjon, SH.

Ben D. Hadjon, SH. menegaskan, bahwa dakwaan Tim JPU KPK terkait fee proyek yang diterima Zaenal Abidin perlu dibuktikan saat proses persidangan nanti. Pasalnya, ia sangat meyakini bahwa kliennya tidak pernah menerima gratifikasi dari proyek yang dikerjakan.

"Seperti menerima cek, nanti akan kita buktikan. Siapa yang mencairkan? Perlu dilakukan uji forensik lah...!", tegas Ben D. Hadjon, SH., Penasehat Hukum Terdakwa.

Ben D. Hadjon, SH. pun memastikan, bahwa Zaenal Abidin profesional selama menjabat Kadis PUPR Pemkab Mojokerto. Dipastikannya pula, bahwa selama menduduki jabatan tersebut, Zaenal Abidin mampu menyelesaikan berbagai proyek besar di Kabupaten Mojokerto.

Menurut Ben D. Hadjon, SH., profesionalitas Zaenal Abidin juga terlihat dari jabatan strategis  yang pernah diembannya. Di antaranya, setelah menjabat sebagai Kadis PUPR Pemkab Mojokerto, Zaenal Abidin kemudian dilantik sebagai Kepala Dinas Pendidikan (Dispendik) Pemkab Mojokerto.

Sementara itu, Zaenal Abidin selaku Kadis PUPR Pemkab Mojokerto menyandang status Tersangka sejak tahun 2018 silam. Namun, KPK baru melakukan penahanan pada Januari 2020 lalu dengan sangkaan telah menerima fee proyek senilai Rp. 1,2 miliar dari rekanan yang mengerjakan proyek infrastruktur tersebut.

Atas pernyataan Tim PH Terdakwa tersebut, Tim JPU KPK bersikukuh tetap pada Dakwaannya dan menyatakan sudah mempersiapakan jawaban atas keberatan Tim Penasehat Hukum Terdakwa. Majelis Hakim kemudian menutup acara sidang dan menyatakan akan membukanya kembali pada Senin (08/06/2020) pekan depan dengan agenda Pembacaan Eksepsi atau Nota Keberatan Terdakwa.

Perkara dugaan tindak pidana korupsi gratifikasi yang menjerat Zaenal Abidin selaku Kadis PUBM Pemkab Mojokerto 'bisa jadi' akan menyeret beberapa orang lainnya. Di antaranya Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto, Hedrawan Maruszma anak dari almarhum mantan Jaksa Agung Bidang Pengawasan Kejaksaan Agung RI juga Eryk Armando Talla.

Nama Eryk Armando Talla mungkin tak asing lagi bagi beberapa kalangan pejabat Jawa Timur maupun di kalangan beberapa media dan wartawan. Sebab, Eryk Armando Talla yang disebut-sebut sebagai seorang pengusaha yang dekat dengan pejabat serta banyak mengatur proyek-proyek pemerintahan di sejumlah daerah, termasuk di Pemkot dan Pemkab Malang. Eryk Armando Talla pun sudah berstatus Tersangka atas perkara dugaan tindak pidana korupsi suap yang menjerat Bupati Malang Rendra Kresna.

Sebagai informasi, dalam persidangan perkara dugaan Tipikor suap dan gratifikasi terkait pembahasan dan Perubahan APBD Kota Malang Tahun Anggaran 2015 yang digelar pada tanggal 17 April 2018 silam, terungkap bahwa Eryk Armando Talla diduga 'terlibat' dalam pengaturan proyek Jembatan Kedung Kandang Malang untuk dikerjakan oleh  PT. ENK milik Hedrawan Maruszma. Sementara  Lazuardi Firdaus mantan Pimpinan Redaksi (Pimred) Radar Malang (Group Jawa Pos) berperan mengatur pertemuan Komisiaris PT. ENK Eryk Armando Talla dengan Ketua DPRD Kota Malang bersama beberapa orang lainnya untuk membahas penganggaran proyek Jembatan Kedung Kandang Malang supaya masuk dalam pembahasan Perubahan APBD Kota Malang TA 2015.

Sementara itu pula, mencuatnya nama Zaenal Abidin selaku Kepala Dinas (Kadis) Pekerjaan Umum Bina Marga (PUBM) Pemkab Mojokerto dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi gratifikasi ini, seiring dengan terjeratnya Mustofa Kamal Pasa (MKP) selaku Bupati Mojokerto dalam perkara tindak pidana korupsi suap sebesar Rp. 2,7 miliar terkait pemberian Ijin Prinsip Pemanfataan Ruang (IPPR) dan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) 22 Menara Telekomunikasi atau Tower BTS (Base Transceiver Station) di wilayah Kabupaten Mojokerto tahun 2015.

Atas perkara tersbut, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya yang menangani perkara dugaan tindak pidana korupsi suap pengurusan IPPR dan IMB 22 Tower BTS atau Menara Telekomunikasi di Kabupaten Mojokerto tahun 2015 sebesar Rp. 2,75 miliar memvonis terdakwa Mustofa Kamal Pasa (MKP) selaku Bupati Mojokerto "bersalah" dengan sanksi pidana 8 (delapan) tahun penjara dan denda Rp. 500 juta subsider 4 (empat) bulan penjara juga membayar uang pengganti Rp. 2,75 miliar subsider 1 (satu) tahun penjara serta mencabut hak politiknya 5 (lima) tahun terhitung setelah Terdakwa selesai menjalani hukuman pokok.

Dalam perkara tindak pidana korupsi perijinan 22 Menara Telekomunikasi ini, selain Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto, KPK juga menetapkan 5 (lima) Terasangka lain. Kelimanya, yakni Onggo Wijaya selaku Direktur Pemasaran PT Protelindo, Ockyanto dari PT. Tower Bersama Infrastructure/Tower Bersama Group, Nabiel Titawano selaku penyedia Jasa di PT. Tower Bersama Group, Ahmad Suhawi dan Achmad Subhan (mantan Wakil Bupati Malang).

Hingga pada sidang perkara dugaan tindak pidana korupsi suap pengurusan IPPR dan IMB 22 (dua puluh dua) Tower BTS atau Menara Telekomunikasi di Kabupaten Mojokerto tahun 2015 dengan agenda Putusan Hakim terhadap 5 (lima) Terdakwa penyuap Bupati Mojokerto Mustofa Pasa (MKP) digelar pada Kamis 04 Maret 2019, di Pengadilan Tipikor Surabaya di jalan Juanda, Sidoarjo – Jawa Timur, Ketua Majelis Hakim Cokorda Gede Arthana menyatakan, kelima terdakwa secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana Pasal 5 ayat (1) a Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi.

"Kepada terdakwa Ockyanto, Majelis Hakim menjatuhkan hukuman pidana selama 2 tahun 3 bulan penjara dan denda Rp. 100 juta subsider 3 bulan kurungan", tegas Ketua Majelis Hakim Cokorda Gede Arthana, Kamis (04/04/2019.

"Untuk terdakwa Nabiel Tirtawano, Majelis Hakim menjatuhkan hukuman pidana selama 2 tahun penjara dan denda Rp. 100 juta, subsider 2 bulan kurungan", tegasnya pula.

"Untuk terdakwa Onggo Wijaya, Majelis Hakim menjatuhkan hukuman pidana 2 tahun penjara dan denda Rp. 100 juta, subsider 3 bulan kurungan", tegas Ketua Majelis juga.

"Untuk terdakwa Achmad Suhawi, Majelis Hakim menjatuhkan hukuman pidana selama 2 tahun 6 bulan penjara dan denda sebesar Rp. 150 juta subsider 4 bulan kurungan. Terdakwa juga wajib mengembalikan uang pengganti sebesar Rp. 250 juta, jika tidak dibayar akan disita hartanya, bila tidak mencukupi maka akan dihukum pidana selama 10 bulan penjara", tandas Ketua Majelis Hakim Cokorda Gede Arthana.

"Untuk terdakwa Achmad Subhan, Majelis Hakim menjatuhkan hukuman pidana 2 tahun 8 bulan penjara dan denda Rp. 150 juta subsider 4 bulan kurungan. Terdakwa juga wajib membayar uang pengganti Rp. 1,37 miliar. Jika tidak dibayar maka harta benda Terdakwa akan disita sesuai dengan jumlah kerugian uang pengganti, bila tidak mencukupi akan dikenakan hukuman pidana selama 1 tahun 6 bulan penjara. Selain itu, Terdakwa dicabut hak politiknya selama 5 tahun terhitung sejak Terdakwa selesai menjalani hukuman pokok", tandas Cokorda Gede Arthana pula.

Putusan Hakim terhadap kelima Terdakwa tersebut, lebih ringan dari Tuntutan tim Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK). Dalam Tuntutannya, tim JPU KPK mengajukan Tuntutan kepada Majelis Hakim agar terdakwa Onggo Wijaya, terdakwa Ockyanto dan terdakwa Nabiel Tirtawano dijatuhi hukuman pidana 3 tahun penjara dan denda Rp. 150 juta subsider 6 bulan kurungan.

Sedangkan untuk terdakwa Achmad Suhawi dan terdakwa Ahmad Subhan, tim JPU KPK mengajukan Tuntutan kepada Mejelis Hakim agar keduanya dijatuhi hukuman pidana 3 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp. 200 Juta subsider 6 bulan kurungan.

Atas Putusan yang telah dijatuhkan Majelis tersebut, tim JPU KPK menyatakan pikir-pikir. "Kami pikir-pikir yang mulia", ujar tim JPU KPK menanggapi tawaran Ketua Majelis Hakim.

Sementara itu, KPK menetapkan Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto sebagai Tersangka atas 3 (tiga) perkara dugaan tindak pidana korupsi.

Dalam perkara pertama, Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto bersama 2 (dua) orang lainnya, yakni Ockyanto dan Onggo Wijaya telah ditetapkan KPK sebagai tersangka atas perkara dugaan tindak pidana korupsi 'suap' pengurusan Ijin Prinsip Pemanfaatan Ruang (IPPR) dan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) 22 (dua puluh dua) Tower BTS (Base Transceiver Station) atau menara telekomunikasi di wilayah Kabupaten Mojokerto tahun 2015 bernilai Rp. 2,75 miliar dan melakukan penahanan atas ketiganya.

Menyusul, penetapan 3 (tiga) Tersangka baru dan dilakukan penahanan terhadap ketiganya oleh KPK pada Rabu 07 Nopember 2018 lalu. Ketiganya yakni Achmad Suhawi (ASH) selaku Direktur PT Sumawijaya serta mantan Wakil Bupati Malang Ahmad Subhan (ASB) dan Nabiel Titawano (NT) selaku pihak swasta. Ketiganya ditetapkan KPK sebagai Tersangka perantara suap. KPK menetapkan ketiganya sebagai Tersangka (baru) dalam perkara ini berdasarkan hasil pengembangan penyidikan dan fakta yang muncul dalam persidangan terdakwa Bupati non-aktif Mojokerto Mustofa Kamal Pasa (MKP).

Dalam perkara pertama, pada Senin (21/01/2019) ini, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya telah memutus perkara tersebut. Dimana, Majelis Hakim menyatakan, bahwa terdakwa Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum "bersalah" telah menerima suap sejumlah Rp. 2,75 miliar terkait pengurusan IPPR dan IMB 22 Tower BTS atau Menara Telekomunikasi di Kabupaten Mojokerto tahun 2015, dengan rincian dari PT. Tower Bersama Group sebesar Rp. 2,2 miliar dan dari PT. Protelindo sebesar Rp. 550 juta.

Dalam perkara pertama, MKP selaku Bupati Mojokerto ditetapkan KPK sebagai Tersangka penerima suap. Sedangkan Ockyanto selaku Permit and Regulatory Division Head  PT. Tower Bersama Infrastructure Tbk (Tower Bersama Group)  dan Onggo Wijaya selaku Direktur Operasional PT. Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo), ditetapkan KPK sebagai tersangka pemberi suap. Sementara Nabiel Titawano, Achmad Suhawi dan Ahmad Subhan ditetapkan KPK sebagai Tersangka perantara suap.

KPK menyangka, MKP selaku Bupati Mojokerto di duga menerima 'suap' dari Ockyanto (OKY) selaku Permit and Regulatory Division Head  PT. Tower Bersama Infrastructure atau PT. Tower Bersama Group (TBG) dan dari Onggo Wijaya (OW) selaku Direktur Operasional PT. Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo) terkait pengurusan IPPR dan IMB 22 tower BTS (Base Transceiver Station) atau Menara Telekomunikasi kedua perusahaan tersebut diwilayah Kabupaten Mojokerto tahun 2015 bernilai sekitar Rp. 2,75 miliar dari yang disepakati sebesar Rp. 4,4 miliar.

Atas pebuatannya, KPK mendakwa, Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.

Atas Dakwaan pelanggaran pasal tersebut, Tim JPU KPK mengajukan Tuntutan agar Majelis Hakim menjatuhkan hukuman badan 12 tahun penjara dan denda Rp. 750 juta serta membayar uang pengganti Rp. 2,75 miliar juga mencabut hak politik selama 5 (lima) tahun setelah Terdakwa selesai menjalani hukuman pokok.

Sedangkan terhadahap Ockyanto dan Onggo Wijaya, KPK menyangka, keduanya melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.

Sementara terhadap tersangka Nabiel Titawano, Achmad Suhawi dan Ahmad Subhan, KPK menyangka, mereka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Dalam perkara kedua, MKP selaku Bupati Mojokerto dan Zainal Abidin (ZAB) selaku Kepala Dinas (Kadis) Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Pemkab Mojokerto, ditetapkan oleh KPK sebagai Tersangka atas perkara dugaan tindak pidana korupsi 'gratifikasi' berupa penerimaan fee proyek-proyek infrastruktur Pemkab Mojokerto. Yang dalam hal ini, keduanya diduga menerima fee proyek infrastruktur jalan tahun 2015 sebesar Rp. 3,7 miliar.

Atas perbuatannya, KPK menyangka keduanya melanggar Pasal 12B Undang Undang Republik Indonesia Nomer 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomer 20 Tahun 2001 juncto  Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Dalam perkara ketiga, pada Selasa 18 Desember 2018 lalu, KPK menetapkan Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto sebagai Tersangka TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang). KPK mensinyalir, Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto 2 (dua) periode (2010–2015 dan 2016–2021) di duga menerima gratifikasi setidak-tidaknya sebesar Rp. 34 miliar dari rekanan penggarap proyek-proyek di lingkup Pemkab Mojokerto, dari SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) di lingkup Pemeeintah Daerah (Pemkab) Mojokerto, Camat dan Kepala Sekolah SD–SMA di lingkup Pemkab Mojokerto.

Atas perbuatannya, KPK menyangka, Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto melanggar Pasal 3 dan atau Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). *(DI/HB)*


BERITA TERKAIT :