Senin, 28 Januari 2019

Tolak Vonis Pengadilan Tipikor Surabaya, Bupati Non-aktif Mojokerto Banding

Baca Juga

Maryam Fatimah, Koordinator Penasehat Hukum Bupati non-aktif Mojokerto Mustofa Kamal Pasa saat memberi keterangan pers kepada aejumlah wartawan.



Kota SURABAYA – (harianbuana.com).
Bupati non-aktif Mojokerto Mustofa Kamal Pasa (MKP) menolak Vonis atau Putusan Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya yang dijatuhkan terhadapnya atas perkara dugaan tindak pidana korupsi suap pengurusan Ijin Prinsip Penataan Ruang (IPPR) dan ijin Mendirikan Bangunan (IMB) 22 Tower BTS (Base Transceiver Station) atau Menara Telekomunikasi di Kabupaten Mojokerto tahun 2015 sebesar Rp. 2,75 miliar. Penolakan atas vonis tersebut, menyusul diajukannya Banding oleh terdakwa Bupati non-aktif Mojokerto MKP ke Pengadilan Tinggi Jawa Timur.

Muhajir selaku salah-satu Penasehat Hukum terdakwa Bupati non-aktif Mojokerto Mustofa Kamal Pasa (MKP) menyatakan, selaku PH Terdakwa, pihaknya mengajukan banding atas Vonis maupun Sanksi pidana yang diputuskan Majelis Hakim terhadap kliennya, karena Putusan Hakim itu di rasa tidak adil.


Muhajir memgungkapkan, vonis 'Bersalah' dan sanksi 8 (delapan) tahun penjara dan denda Rp. 500 juta subsider 4 (empat) bulan kurungan serta membayar uang pengganti Rp 2.75 miliar subsider 1 (satu) tahun penjata dan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik selama 5 (lima) tahun terhitung setelah Terdakwa menjalani hukuman pokok, adalah terlalu berat.

"Ada beberapa pertimbangan yang membuat kami mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Timur. Salah-satu yang menjadi pertimbangan itu adalah putusan delapan tahun. Itu terlalu berat bagi Terdakwa", ungkap Muhajir, Senin (28/01/2019).

Lebih lanjut, Muhajir menegaskan, faktor pengembalian uang dan pencabutan hak politik juga menjadi hal yang melandasi pihaknya mengajukan banding. "Yang kedua, bahwa Terdakwa harus mengembalikan uang. Itu berat bagi Terdakwa. Lalu, yang ketiga terkait hak politik Terdakwa juga dicabut selama lima tahun setelah menjalani hukuman pokok", tegasnya.

Menurut Muhajir, dari fakta-fakta yang terungkap di persidangan, vonis tersebut jauh dari rasa keadilan bagi terdakwa. "Bukan hanya masalah berat atau tidak berat saja, tetapi Terdakwa itu tidak merasa bahwa perbuatannya itu terbukti bersalah. Makanya, itu merupkan salah-satu pertimbangan untuk banding di Pengadilan Tinggi Surabaya", pungkasnya.

Hal senada pun disampaikan Maryam Fatimah selaku koordinator Penasehat Hukum Terdakwa. Maryam Fatimah pun membenarkan jika kliennya mengajukan banding atas Keputusan Majelis Hakim memvonis kliennya 'Bersalah' dan menjatuhkan sanksi pidana selama 8 tahun penjara dan denda Rp. 500 juta subsidair 4 (empat) bulan kurungan serta membayar uang pengganti (korupsi) sebesar Rp. 2,75 miliar dan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik selama 5 tahun terhitung setelah Terdakwa selesai menjalani hukuman pokok. "Iya benar, diajukan banding", ujar Maryam Fatimah selaku PH Terdakwa, Senin (28/01/2019).

Lebih lanjut, Maryam Fatimah menjelaskan, keputusan menempuh upaya banding atas vonis maupun sanksi yang dijatuhkan Majelis Hakim terhadap kliennya itu di ambil setelah pihaknya selaku PH Terdakwa bermusyawah dengan pihak keluarga yang akhirnya disepakati, upaya banding ini memang harus di tempuh, lantaran putusan hakim Pengadilan Tipikor dianggap tidak adil. "Vonis maupun sanksi yang diberikan hakim itu terlalu berat menurut yang bersangkutan", jelasnya.

Menurut Maryam Fatimah, dari fakta-fakta yang terungkap di persidangan, vonis tersebut jauh dari rasa keadilan bagi Terdakwa. Menurutnya pula, Terdakwa merasa bahwa perbuatannya itu tidak terbukti bersalah. "Karena itulah, diputuskan banding saja lah", pungkasnya.

Sebelumnya, dalam sidang beragenda Pembacaan Vonis atau Putusan Hakim yang di gelar di ruang Cakra kantor Pengadilan Tipikor Surabaya jalan Juanda Sidoarjo – Jawa Timur pada Senin 21 Januari 2019 mulai sekitar pukul 18:15 WIB hingga sekitar pukul 19:02 WIB, saat membacakan amar putusannya, Ketua Majelis Hakim I Wayan Sosiawan menegaskan, bahwa terdakwa Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto secara sah dan menyakinkan menurut hukum terbukti 'Bersalah' melanggar Pasal 12 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.

"Menghukum Terdakwa dengan pidana badan selama 8 (delapan) tahun penjara dan denda Rp. 500 juta subsider 4 (empat) bulan penjara juga memberikan sanksi pidana tambahan membayar uang pengganti Rp. 2,75 miliar subsider 1 (satu) tahun penjara serta mencabut hak politiknya selama 5 (lima) tahun terhitung setelah Terdakwa selesai menjalani hukuman pokok", tegas Ketua Majelis Hakim I Wayan Sosiawan, Senin (21/01/2019) malam, di ruang Cakra kantor Pengadilan Tipikor Surabaya jalan Juanda, Sidoarjo – Jawa Timur.

Dalam membacakan amar putusannya, Ketua Majelis I Wayan Sosiawan pun menyebutkan, bahwa Majelis Hakim berkeyakinan, terdakwa Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto terbukti telah menyalah-gunakan jabatannya untuk mengeruk keuntungan pribadi terkait dengan berbagai perizinan yang ada di wilayah kerjanya.

Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim juga mengungkap hal-hal yang memberatkan Terdakwa, yakni perbuatan Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto tidak patut di contoh karena bertentangan dengan program pemerintah terkait pemberantasan tindak pidana korupsi.

Dipenghujung persidangan, Ketua Majelis I Wayan Sosiawan memberikan kesempatan kepada Terdawa untuk memberi tanggapan atas Vonis dan Sanksi yang telah dijatuhkannya. "Atas putusan tersebut, Terdakwa dapat menerima, banding atau pikir-pikir?", ujar Hakim I Wayan Sosiawan.

Kesempatan yang diberikan Majelis Hakim tersebut, langsung ditanggapi oleh terdakwa Mustofa Kamal Pasa dengan menyatakan "Pikir-pikir". Demikian pula dengan Tim JPU KPK. Atas tawaran Ketua Majelis Hakim tersebut, JPU KPK Joko Hermawan pun menyatakan "Pikir-pikir".
Atas tanggapan Terdakwa maupun Tim JPU KPK tersebut, Ketua Majelis memberikan waktu selama 7 (tujuh) hari kepada kedua belah pihak untuk menentukan sikap. Jika tidak ada jawaban, maka secara otomatis Vonis tersebut akan berkekuatan hukum tetap.

Putusan Majelis Hakim tersebut, lebih ringan di banding Tuntutan yang diajukan Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Majelis Hakim pada sidang sebelumnya yang beragendakan Pembacaan Tuntutan Penuntut Umum, yang di gelar pada Jum'at (28/12/2018) lalu, di tempat yang sama.

Dalam sidang yang beragendakan Pembacaan Tuntutan tersebut, Tim JPU KPK mengajukan Tuntutan agar Majelis Hakim menghukum terdakwa Bupati non-aktif Mojokerto Mustofa Kamal Pasa dengan hukuman badan selama 12 tahun penjara dan denda sebesar Rp. 750 juta subsider 6 (enam) bulan penjara serta pidana tambahan membayar uang pengganti senilai Rp. 2,75 miliar yang harus sudah di bayar Terdakwa selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah Putusan yang berkekuatan hukum tetap. Jika dalam waktu yang ditentukan tidak bisa membayar, Jaksa akan menyita harta benda Terdakwa untuk di lelang guna membayar uang pengganti. Dan, apabila tidak memiliki harta benda yang mencukupi, akan di tambah hukumannya selama 2 (dua) tahun penjara.

Selain sanksi tersebut, Tim JPU KPK juga mengajukan Tuntutan agar Majelis Hakim menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Mustofa Kamal Pasa berupa sanksi pidana pencabutan hak politik terdakwa Mustofa Kamal Pasa selama 5 (lima) tahun, terhitung sejak Terdakwa selesai menjalani masa pidana penjara pokok.

Sementara itu, KPK menetapkan Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto sebagai Tersangka atas 3 (tiga) perkara dugaan tindak pidana korupsi.

Dalam perkara pertama, Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto bersama 2 (dua) orang lainnya, yakni Ockyanto dan Onggo Wijaya telah ditetapkan KPK sebagai tersangka atas perkara dugaan tindak pidana korupsi 'suap' pengurusan Ijin Prinsip Pemanfaatan Ruang (IPPR) dan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) 22 (dua puluh dua) Tower BTS (Base Transceiver Station) atau menara telekomunikasi di wilayah Kabupaten Mojokerto tahun 2015 bernilai Rp. 2,75 miliar dan melakukan penahanan atas ketiganya.

Menyusul, penetapan 3 (tiga) Tersangka baru dan dilakukan penahanan terhadap ketiganya oleh KPK pada Rabu 07 Nopember 2018 lalu. Ketiganya yakni Achmad Suhawi (ASH) selaku Direktur PT Sumawijaya serta mantan Wakil Bupati Malang Ahmad Subhan (ASB) dan Nabiel Titawano (NT) selaku pihak swasta. Ketiganya ditetapkan KPK sebagai Tersangka perantara suap. KPK menetapkan ketiganya sebagai Tersangka (baru) dalam perkara ini berdasarkan hasil pengembangan penyidikan dan fakta yang muncul dalam persidangan terdakwa Bupati non-aktif Mojokerto Mustofa Kamal Pasa (MKP).

Dalam perkara pertama, pada Senin (21/01/2019) ini, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya telah memutus perkara tersebut. Dimana, Majelis Hakim menyatakan, bahwa terdakwa Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum "bersalah" telah menerima suap sejumlah Rp. 2,75 miliar terkait pengurusan IPPR dan IMB 22 Tower BTS atau Menara Telekomunikasi di Kabupaten Mojokerto tahun 2015, dengan rincian dari PT. Tower Bersama Group sebesar Rp. 2,2 miliar dan dari PT. Protelindo sebesar Rp. 550 juta.

Dalam perkara pertama, MKP selaku Bupati Mojokerto ditetapkan KPK sebagai Tersangka penerima suap. Sedangkan Ockyanto selaku Permit and Regulatory Division Head  PT. Tower Bersama Infrastructure Tbk (Tower Bersama Group)  dan Onggo Wijaya selaku Direktur Operasional PT. Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo), ditetapkan KPK sebagai tersangka pemberi suap. Sementara Nabiel Titawano, Achmad Suhawi dan Ahmad Subhan ditetapkan KPK sebagai Tersangka perantara suap.

KPK menyangka, MKP selaku Bupati Mojokerto di duga menerima 'suap' dari Ockyanto (OKY) selaku Permit and Regulatory Division Head  PT. Tower Bersama Infrastructure atau PT. Tower Bersama Group (TBG) dan dari Onggo Wijaya (OW) selaku Direktur Operasional PT. Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo) terkait pengurusan IPPR dan IMB 22 tower BTS (Base Transceiver Station) atau Menara Telekomunikasi kedua perusahaan tersebut diwilayah Kabupaten Mojokerto tahun 2015 bernilai sekitar Rp. 2,75 miliar dari yang disepakati sebesar Rp. 4,4 miliar.

Atas pebuatannya, KPK mendakwa, Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
Atas Dakwaan pelanggaran pasal tersebut, Tim JPU KPK mengajukan Tuntutan agar Majelis Hakim menjatuhkan hukuman badan 12 tahun penjara dan denda Rp. 750 juta serta membayar uang pengganti Rp. 2,75 miliar juga mencabut hak politik selama 5 (lima) tahun setelah Terdakwa selesai menjalani hukuman pokok.

Sedangkan terhadahap Ockyanto dan Onggo Wijaya, KPK menyangka, keduanya melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.

Sementara terhadap tersangka Nabiel Titawano, Achmad Suhawi dan Ahmad Subhan, KPK menyangka, mereka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Dalam perkara kedua, MKP selaku Bupati Mojokerto dan Zainal Abidin (ZAB) selaku Kepala Dinas (Kadis) Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Pemkab Mojokerto, ditetapkan oleh KPK sebagai Tersangka atas perkara dugaan tindak pidana korupsi 'gratifikasi' berupa penerimaan fee proyek-proyek infrastruktur Pemkab Mojokerto. Yang dalam hal ini, keduanya diduga menerima fee proyek infrastruktur jalan tahun 2015 sebesar Rp. 3,7 miliar.
Atas perbuatannya, KPK menyangka keduanya melanggar Pasal 12B Undang Undang Republik Indonesia Nomer 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomer 20 Tahun 2001 juncto  Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Dalam perkara ketiga, pada Selasa 18 Desember 2018 lalu, KPK menetapkan Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto sebagai Tersangka TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang). KPK mensinyalir, Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto 2 (dua) periode (2010–2015 dan 2016–2021) di duga menerima gratifikasi setidak-tidaknya sebesar Rp. 34 miliar dari rekanan penggarap proyek-proyek di lingkup Pemkab Mojokerto, dari SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) di lingkup Pemeeintah Daerah (Pemkab) Mojokerto, Camat dan Kepala Sekolah SD–SMA di lingkup Pemkab Mojokerto.

Atas perbuatannya, KPK menyangka, Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto melanggar Pasal 3 dan atau Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang. *(DI/HB)*


BERITA TERKAIT :