Kamis, 04 April 2019

5 Penyuap Bupati Mojokerto Divonis Bersalah Dan Dihukum 2 Tahunan

Baca Juga



Kota SURABAYA – (harianbuana.com).
Sidang perkara dugaan tindak pidana korupsi suap pengurusan Ijin Prinsip Pemanfaatan Ruang (IPPR) dan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) 22 (dua puluh dua) Tower BTS (Base Transceiver Station) atau Menara Telekomunikasi di Kabupaten Mojokerto tahun 2015 dengan agenda Pembacaan Vonis atau Putusan Hakim terhadap 5 (lima) Terdakwa  penyuap Bupati Mojokerto Mustofa Pasa (MKP) digelar hari ini, Kamis 04 Maret 2019, di Pengadilan Tipikor Surabaya, jalan Juanda, Sidoarjo – Jawa Timur.


Kelima Terdakwa tersebut, yakni Onggo Wijaya selaku Direktur Operasional PT. Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo), Ockyanto selaku Permit and Regulatory Division Head  PT. Tower Bersama Infrastructure atau PT. Tower Bersama Group (TBG), Achmad Suhawi selaku Direktur PT. Sumanjaya Citra Abadi, mantan Wakil Bupati Malang Ahmad Subhan dan Nabiel Titawano selaku pihak swasta lainnya.

Dalam amar putusannya, Ketua Majelis Hakim Cokorda Gede Arthana menyatakan, kelima terdakwa secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana Pasal 5 ayat (1) a Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi.

"Kepada terdakwa Ockyanto, Majelis Hakim menjatuhkan hukuman pidana selama 2 tahun 3 bulan penjara dan denda Rp. 100 juta subsider 3 bulan kurungan", tegas Ketua Majelis Hakim Cokorda Gede Arthana, Kamis (04/04/2019.

"Untuk terdakwa Nabiel Tirtawano, Majelis Hakim menjatuhkan hukuman pidana selama 2 tahun penjara dan denda Rp. 100 juta, subsider 2 bulan kurungan", tegasnya pula.

"Untuk terdakwa Onggo Wijaya, Majelis Hakim menjatuhkan hukuman pidana 2 tahun penjara dan denda Rp. 100 juta, subsider 3 bulan kurungan", tegas Ketua Majelis juga.

"Untuk terdakwa Achmad Suhawi, Majelis Hakim menjatuhkan hukuman pidana selama 2 tahun 6 bulan penjara dan denda sebesar Rp. 150 juta subsider 4 bulan kurungan. Terdakwa juga wajib mengembalikan uang pengganti sebesar Rp. 250 juta, jika tidak dibayar akan disita hartanya, bila tidak mencukupi maka akan dihukum pidana selama 10 bulan penjara", tandas Ketua Majelis Hakim Cokorda Gede Arthana.

"Untuk terdakwa Achmad Subhan, Majelis Hakim menjatuhkan hukuman pidana 2 tahun 8 bulan penjara dan denda Rp. 150 juta subsider 4 bulan kurungan. Terdakwa juga wajib membayar uang pengganti Rp. 1,37 miliar. Jika tidak dibayar maka harta benda Terdakwa akan disita sesuai dengan jumlah kerugian uang pengganti, bila tidak mencukupi akan dikenakan hukuman pidana selama 1 tahun 6 bulan penjara. Selain itu, Terdakwa dicabut hak politiknya selama 5 tahun terhitung sejak Terdakwa selesai menjalani hukuman pokok", tandas Cokorda Gede Arthana pula.

Putusan Hakim terhadap kelima Terdakwa tersebut, lebih ringan dari Tuntutan tim Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK). Dalam Tuntutannya, tim JPU KPK mengajukan Tuntutan kepada Majelis Hakim agar terdakwa Onggo Wijaya, terdakwa Ockyanto dan terdakwa Nabiel Tirtawano dijatuhi hukuman pidana 3 tahun penjara dan denda Rp. 150 juta subsider 6 bulan kurungan.

Sedangkan untuk terdakwa Achmad Suhawi dan terdakwa Ahmad Subhan, tim JPU KPK mengajukan Tuntutan kepada Mejelis Hakim agar keduanya dijatuhi hukuman pidana 3 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp. 200 Juta subsider 6 bulan kurungan.

Atas Putusan yang telah dijatuhkan Majelis tersebut, tim JPU KPK menyatakan pikir-pikir. "Kami pikir-pikir yang mulia", ujar tim JPU KPK menanggapi tawaran Ketua Majelis Hakim.

Usai sidang, dikonfirmasi tentang tanggapannya atas Putusan Hakim dengan menyatakan 'pikir-pikir', JPU KPK Taufiq Ibnugroho menerangkan, bahwa pihaknya melakukan upaya pikir-pikir karena tim JPU KPK akan mengonsultasikan terlebih dulu kepada pimpinan.

"Karena memang putusannya lebih ringan. Jadi kami memiliki waktu tujuh hari. Akan kami konsultasikan terlebih dulu kepada pimpinan", ujarnya.

Sementara itu, dalam sidang sebelumnya yang di gelar ditempat yang sama pada Rabu 27 Maret 2019 dengan agenda Pembacaan Nota Pembelaan atau Pledoi kelima Terdakwa tersebut, terdakwa Ockyanto mengungkapkan dalam pledoinya, bahwa semula dirinya tidak mempunyai niat untuk menyuap Bupati Mojokerto. Namun pemberian uang itu dilakukan karena Bupati tidak akan mengeluarkan izin Prinsip Pemanfaatan Ruang (IPPR) yang merupakan prasyarat untuk mendapatkan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB).

Diungkapkannya pula, bahwa hal itu juga bisa dibuktikan dari kesaksian para Saksi yang telah dihadirkan dari pihak pejabat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Mojokerto. Dimana, para saksi mengungkapkan bahwa perusahaan diminta memberikan sejumlah uang untuk mempermudah perizinan.

"Pemberian uang itu sama sekali bukan inisiatif saya, melainkan terpaksa dilakukan dengan risiko IMB tidak akan pernah terbit jika menolak permintaan tersebut. Jadi istilahnya saya diperas", ungkap terdakwa Ockyanto dalam persidangn di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya, Rabu (27/03/2019).

Hal senada, juga disampaikan Kuasa Hukum Ockyanto, Stefanus Harjanto, bahwa pada dasarnya kliennya telah berupaya mengurus IMB dengan prosedur yang benar. Tapi usahanya mengurus IMB selama 2 tahun selalu gagal dikarenakan MKP meminta fee Rp. 200 juta per-tower.

"Jadi adalah fakta, bahwa yang terjadi sebenarnya adalah pemerasan dan bukan penyuapan. Mengenai pemerasan ini pun sudah sempat disebutkan oleh salah-satu Majelis Hakim pada sidang sebelumnya", ujar Stefanus dalam persidangan.

Demikian halnya dengan Gunadi, Kuasa Hukum Onggo Wijaya juga mengatakan, bahwa kliennya juga mengalami pemerasan. Karena dari fakta persidangan ditemukan sejumlah surat elektronik yang menyatakan MKP meminta sejumlah uang. Karena permintaan itulah, kliennya akhirnya memenuhi apa yang dimintanya.

"Pak Onggo menjadi korban dari perilaku pejabat yang koruptif. Dakwaan JPU mengenakan pasal yang tidak terbukti, dimana klien kami tidak melakukan dan tidak terbukti seperti yang dituntutkan JPU", ujar Gunadi saat membacakan pledoi dalam persidangan.

Dipenghujung persidangan, ketika Ketua Majelis Hakim meminta tim JPU KPK untuk memberikan tanggapan atas pledoi yang disampaikan oleh para Terdakwa dan para Kuasa Hukumnya, JPU KPK Taufiq Ibnugroho menyatakan, bahwa pihaknya tetap pada Tuntutannya semula.

"Kami tetap pada tuntutan yang telah kami sampaikan pada 22 maret lalu", tegas Taufiq.

Sementara itu pula, Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto yang dalam perkara ini didakwa sebagai penerima suap, pada sidang dengan agenda Pembacaan Vonis atau Putusan Hakim yang di gelar di ruang Cakra Pengadilan Tipikor Surabaya jalan Juanda, Sidoarjo – Jawa Timur pada Senin 21 Januari 2019 , telah divonis bersalah dan dijatuhi sanksi oleh Majelis Hakim yang memimpin jalannya persidangan.

Dimana, dalam membacakan amar putusannya, Ketua Majelis Hakim I Wayan Sosiawan menegaskan, bahwa terdakwa Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto dinilai terbukti secara sah dan menyakinkan telah melanggar Pasal 12 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.

"Menghukum Terdakwa dengan pidana badan selama 8 (delapan) tahun penjara dan denda Rp. 500 juta subsider 4 (empat) bulan penjara juga memberikan sanksi pidana tambahan membayar uang pengganti Rp. 2,75 miliar subsider 1 (satu) tahun penjara serta mencabut hak politiknya selama 5 (lima) tahun terhitung setelah Terdakwa selesai menjalani hukuman pokok", tegas Ketua Majelis Hakim I Wayan Sosiawan.

Atas Putusan Hakim tersebut, Bupati non-aktif Mojokerto Mustofa Kamal Pasa mengajukan 'Banding' ke Pengadilan Tinggi Surabaya dan berlanjut hingga 'Kasasi' ke Mahkamah Agung. *(DI/HB)*