Baca Juga
Tim JPU KPK saat membacakan Surat Tuntutan untuk terdakwa Nurdin Abdullah selaku Gubernur Sulawesi Selatan yang diajukan kepada Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Makassar, Senin (15/11/2021).
Surat Tuntutan terhadap Nurdin Abdullah selaku Gubernut Sulsel tersebut dibacakan Tim JPU KPK secara bergantian dalam persidangan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Makassar. Adapun persidangan itu digelar secara virtual karena Nurdin Abdullah masih ditahan di Rumah Tahan (Rutan) KPK di Jakarta.
Usai mengikuti persidangan secara virtual dari Gedung Merah Putih KPK, tidak banyak yang disampaikan kepada wartawan. Dikatajannya, tuntutan Tim JPU KPK itu bukan final dan ia pun minta didoakan untuk kelancaran proses hukum yang tengah dijalani.
"Belum, belum, tunggu saja nanti. Itu kan masih tuntutan. Ya sudah tunggu saja, doain ya", ujar Nurdin di Gedung Merah Putih KPK jalan Kuningan Persada – Jakarta Selatan, Senin (15/11/2021).
Tim JPU KPK menegaskan, tuntutan yang diajukan terhadap Gubernur Sulawesi Selatan non-aktif Nurdin Abdullah telah melalui suatu analisa fakta yang muncul selama persidangan serta barang bukti yang ada.
“Dalam menuntut pidana terhadap terdakwa, kita menganalisa seluruh fakta persidngan. Kemudian analisa sesuai barang bukti. Jaksa penuntut umum (JPU), menyimpulkan bahwa terdakwa dapat pidana penjara selama 6 tahun dan denda Rp. 500 Juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti pidana kurungan selama enam bulan", tegas JPU KPK Zainal Abidin.
JPU KPK Zainal Abidin menandaskan, terdakwa Nurdin Abdullah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP, juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
“Pertimbangan jaksa, hal memberatkan terdakwa Nurdin Abdullah yakni perbuatannya telah mencederai kepercayaan masyarakat. Apalagi terdakwa pernah meraih penghargaan Bung Hatta Award yang seharusnya tidak melakukan tindak pidana korupsi", tandas JPU KPK Zainal Abidin.
Sebelum membacakan kesimpulan tuntutan, Tim JPU KPK terlebih dahulu membacakan fakta persidangan terkait dugaan TPK suap dan penerimaan gratifikasi terkait proyek infrastruktur di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Selatan (Sulsel) yang mencapai Rp. 13 miliar yang diduga kuat telah diterima oleh Nurdin Abdullah selaku Gubernur Sulsel.
Tim JPU KPK pun membacakan daftar dugaan suap dan gratifikasi yang diduga kuat telah diterima oleh terdakwa Nurdin Abdullah selaku Gubernur Sulsel, yakni diduga menerima suap dari kontraktor Agung Sucipto alias Angguk senilai 150.000 dollar Singapura di Rumah Dinas Gubernur Sulawesi Selatan dan sebesar Rp 2,5 miliar saat dilakukannya Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Februari 2021.
“Nurdin Abdullah juga diyakini menerima gratifikasi dari sejumlah pengusaha untuk kepentingan proyek, di antaranya Rp. 2,2 miliar dari kontraktor Ferry Tanriadi. Uang itu diakui Terdakwa sebagai uang sumbangan masjid. Selain itu, Terdakwa juga mengaku menerima 200.000 dolar Singapura dari kontraktor Nurwadi alias H. Momo", beber JPU KPK Zainal Abidin.
Zainal Abidin kembali menegaskan, Tim JPU KPK meyakini, terdakwa Nurdin Abdulah selaku Gubernur Sulawesi Selatan juga diduga kuat telah meminta dana operasional kepada kontraktor H. Momo dan Hj. Indar. Masing-masing kontraktor ini memberikan uang Rp. 1 miliar melalui mantan Kepala Biro Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan.
“Terdakwa juga selalu minta sumbangan hingga Bansos dari kontraktor lainnya. Ada beberapa kontraktor yang memberikan uang dengan modus sumbangan", bebernya JPU KPK Zainal Abidin pula.
Selain hukuman pidana penjara dan denda tersebut, Tim JPU KPK pun mengajukan tuntutan supaya Majelis Hakim juga menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa Nurdin Abdulllah wajib membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp. 3 miliar serta hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik Nurdin Abdullah untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 (lima) tahun terhitung sejak Terdakwa selesai menjalani hukuman pidananya.
“Hitungannya, nanti berlaku setelah terdakwa selasai menjalani pidana, maka ia tidak dapat dipilih publik dalam jabatan apa pun, apalagi pemilihan kepala daerah (pilkada). Selain itu, ada tambahan aset yang sudah dirampas atas nama negara", tandasnya pula. *(Ys/HB)*