Senin, 11 Juni 2018

Wartawan Tewas Dalam Tahanan, SPRI: PPR Dewan Pers Melanggar HAM

Baca Juga

Ketua Umum DPP SPRI Heintje Mandagi.

Kota JAKARTA - (harianbuana.com).
Peristiwa yang menimpa Almarhum Muhammad Yusuf, wartawan Sinar Pagi Baru yang tewas dalam tahanan dengan status tersangka, menjadi satu pelajaran yang sangat berharga bagi insan pers tanah air untuk melihat lebih jauh ke depan, bahwa Pers Indonesia sudah berada dalam status awas dan bahaya. Kriminalisasi terhadap karya jurnalistik kian marak terjadi di berbagai daerah akibat pemberitaan. Dan celakanya, Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Dewan Pers ikut menyeret wartawan ke jeruji besi.

Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI) turut prihatin dan berduka cita yang mendalam atas peristiwa yang dialami Almarhum M. Yusuf yang meninggal dunia dalam sel tahanan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Baru Kalimantan Selatan.

Almarhum M Yusuf yang kerap menulis berita di media SPB mengenai perlakuan perusahaan sawit PT. Multi Sarana Argo Mandiri atau PT. MSAM Joint Perhutani II terhadap masyarakat setempat, sesunguhnya adalah bagian dari implementasi peran pers. Namun, sayangnya harus berujung dikriminalisasi.
Padahal, pemberitaan-pemberitaan itu (oleh M Yusuf) merupakan peristiwa yang benar-benar terjadi. Terbukti, pada Jumat 6 April 2018, perwakilan masyarakat telah mengadukan nasibnya ke Komnas HAM di Jakarta.

Sangat disayangkan dalam penanganan kasus pers ini, Kapolres Kota Baru AKBP Suhasto menyatakan dengan tegas kepada wartawan bahwa penangkapan terhadap M. Yusuf karena yang bersangkutan melanggar undang-undang ITE.


Jenazah almarhum M. Yusuf sebelum dikebumikan.

Polisi merespon laporan Humas PT. Multi Sarana Agro Mandiri, Prasetyo terhadap M. Yusuf dengan tuduhan menyebarkan ujaran kebencian dan pencemaran nama baik. Dan lagi-lagi PPR Dewan Pers menjadi salah satu alasan kuat bagi polisi untuk menangkap M Yusuf.

Dewan Pers menilai produk berita M. Yusuf memang beritikad buruk, melanggar kaidah jurnalistik dan tidak bertujuan untuk kepentingan umum serta tidak sesuai fungsi pers. Parahnya, 'ahli' di Dewan Pers juga menilai jika kasus M. Yusuf dapat dikenakan pidana umum.

"Atas kondisi ini kami DPP SPRI mengecam keras tindakan Dewan Pers mengkriminalisasi hasil karya jurnalistik yang dibuat almarhum M Yusuf", tegas Ketua Umum DPP SPRI, Heintje Mandagi, Miinggu (11/06/2018) pagi.

Heintje Mandagi mengungkapkan, bahwa dalam persolan ini, Dewan Pers sudah bertindak di luar batas kewenangannya dan bahkan menghianati dan melanggar fungsi Dewan Pers itu sendiri sebagaimana diatur dalam UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers pada Pasal 15 Ayat (2) huruf a : melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain.

"Jadi atas dasar itu maka seluruh PPR Dewan Pers yang menyarankan agar pengadu memidanakan wartawan selaku teradu adalah sama halnya dengan tindakan kriminalisasi terhadap pers", ungkap Mandagi.

Heintje Mandagi membeberkan panjang-lebar  perlunya dicamkan dan dipahami secara seksama, bahwa wartawan dalam menjalankan tugas peliputan dilindungi oleh UU Pers. Bahkan secara jelas tugas dan peran pers itu diatur dalam UU Pers.
Pasal 6.
Pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:
a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebinekaan;
c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar;
d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;
e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

"Nah, Almarhum M. Yusuf dalam menulis berita mengenai warga masyarakat setempat yang merasa diperlakukan tidak adil oleh oknum-oknum di PT. MSAM sudah menjalankan peran pers sebagaimana di atur pada pasal 6 UU Pers. Anehnya, Dewan Pers dalam melakukan penilaian tidak memeriksa bukti dan fakta di lapangan terkait kebenaran informasi apa yang dialami warga yang menjadi objek terpenting dalam pemberitaan M. Yusuf di media SPB", bebernya.

Menurut SPRI, tim ahli Dewan Pers hanya melakukan penilaian berdasarkan bukti-bukti sepihak yang dikirim pihak Kepolisian tanpa melakukan konfirmasi berimbang terhadap isi pemberitaan. Terkait persoalan tersebut, SPRI mempertanyakan keahlian tim Ahli Dewan Pers, standar penilaian tim ahli, dan mekanisme penentuan hasil penilaian.

"Berdasarkan fakta, sejumlah PPR Dewan Pers, termasuk kasus M Yusuf, kami berkesimpulan bahwa sistem penilaian T?tim ahli Dewan Pers sangat tidak memenuhi standar dan tidak profesional, melanggar UU Pers, dan terutama melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Kami mendesak Komnas HAM untuk mengusut kasus M Yusuf dan memeriksa Dewan Pers atas pelanggaran HAM", pungkas Ketum DPP SPRI Heintje Mandagi sembari memberi nomor Ponselnya (081349553444) jika akan melakukan konfirmasi. *(Ys/DI/Red)*