Kamis, 01 April 2021

SP3 Perdana KPK Jatuh Di Kasus BLBI Sjamsul Nursalim Dan Istri

Baca Juga

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat konferensi pers di Kantor KPK jalan Kuningan Persada – Jakarta Selatan, Kamis (01/04/2021) sore.


Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) 'Perdana'. SP3 'Perdana' ini, jatuh pada kasus tindak pidana korupsi (Tipikor) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menjerat tersangka Sjamsul Nursalim (SN) dan Itjih Samsul Nursalim (ISN) istri Sjamsul Nursalim.

Penghentikan penyidikan kasus BLBI yang dituangkan dalam SP3 'Perdana' yang ditanda-tangani pada 31 Maret 2021 itu, diumumkan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di Kantor KPK jalan Kuningan Persada – Jakarta Selatan pada Kamis (01/04/2021) sore.

"Penghentian penyidikan terkait kasus dugaan TPK (Tindak Pidana Korupsi) yang dilakukan oleh tersangka SN (Sjamsul Nursalim) selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia dan ISN (Itjih Samsul Nursalim) bersama-sama dengan SAT (Sjafruddin Arsyad Temenggung) selaku Ketua BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dalam proses pemenuhan kewajiban pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia selaku obligor BLBI kepada BPPN", ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di Kantor KPK jalan Kuningan Persada – Jakarta Selatan, Kamis (01/04/2021) sore.

Alex menegaskan, bahwa penerbitan SP3 atas perkara yang telah memakan waktu bertahun-tahun itu telah sesuai dengan Undang-Undang KPK. "Penghentian penyidikan sebagai bagian adanya kepastian hukum sebagaimana Pasal 5 Undang-Undang KPK", tegas Alex.

Adapun beleid pasal tersebut, yakni sebagai berikut:
•KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.
•Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat 1 (satu) minggu terhitung sejak dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan.

Sebagaimana diketahui, kasus BLBI tersebut merupakan kasus yang pananganannya telah berjalan selama tiga periode masa kepresidenan. Yaitu, mulai dari era Presiden Megawati Soekarnoputri hingga saat ini era Presiden Joko Widodo.

Adapum vonis 'bersalah' perdana pada kasus BLBI ini, terjadi pada tahun 2003 silam yang dijatuhkan pada beberapa oknum pejabat Bank Indonesia (BI) yang dinilai oleh Majelis Hakim telah bersekongkol dengan sejumlah oknum pemilik bank. Di antaranya Hendro Budiyanto, Heru Supratomo hingga Paul Sutopo Tjokronegro.

Selain itu, sejumlah oknum pengusaha taipan dan beberapa oknum pejabat bank juga telah divonis 'bersalah' serta dijatuhi sanksi pidana penjara juga denda. Mereka pun telah menjalani sanksi pidananya masing-masing.

Kasus BLBI ini semula ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung). Hingga hampir dua dekade, pengusutan kasus BLBI tersebut terus bergulir. Namun kemudian, kasus itu diambil-alih KPK hingga diterbitkannya SP3 'Perdana' hari ini.

Sjamsul Nursalim dan Itjih sendiri ditetapkan KPK sebagai Tersangka atas perkara dugaan tindak pidana korupsi BLBI untuk BDNI pada 10 Juni 2019 silam. Hanya saja, pasangan suami-istri tersebut tidak pernah memenuhi panggilan KPK baik sebagai Saksi maupun Tersangka.

KPK juga telah memasukkan pasangan suami-istri tersebut dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Namun, bagaikan diselimuti 'Kabut Siluman', hingga sekian lamanya KPK tidak berhasil menangkap pasangan suami-istri tersebut, meski berhembus kabar konon katanya Sjamsul dan Itjih menetap di Singapura sejak beberapa tahun lalu.

Sementara itu, Syafruddin Temanggung yang turut terjerat dalam pusaran kasus BLBI ini telah ditetapkan oleh KPK sebagai Tersangka terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) pada tahun 2017 silam. Namun, dalam proses peradilannya, Syafruddin divonis 'bebas' di tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA).

KPK sendiri mulai memiliki wewenang menghentikan penyelidikan dan/ atau penyidikan suatu kasus Tipikor setelah revisi Undang-Undang KPK disahkan pada akhir tahun 2019 silam.

Kewenangan KPK dalam menerbitkan SP3 ini, saat itu sempat memanen kritik dari banyak pihak. Para pihak menilai, kewenangan KPK menerbitkan SP3 ini sangat rentan menimbulkan suatu konflik, bahkan kepentingan politik. *(Ys/HB)*