Kamis, 03 Februari 2022

Sidang Ke-3 Dugaan Gratifikasi Dan TPPU Bupati Mojokerto MKP, JPU KPK Hadirkan 6 Pejabat Pemberi Gratifikasi Dan 1 Perantara

Baca Juga


Terdakwa Mustofa Kamal Pasa menghadiri persidangan secara teleconference (Zoom) dari Lapas kelas I Surabaya, Porong – Sidoarjo – Jawa Timur dalam sidang ke-3 perkara dugaan TPK Gratifikasi dan TPPU yang berlangsung secara virtual (Zoom) di ruang Candra Pengadilan Tipikor Surabaya jalan Juanda Sidoarjo – Jawa Timur, Kamis (03/02/2022).


Kota SURABAYA – (harianbuana.com).
Sidang lanjutan atau ke-3 (tiga) perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi (TPK) Gratifikasi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan terdakwa Mustofa Kamal Pasa (MKP) selaku Bupati Mojokerto periode 2010–2015 dan 2015–2020 berlangsung secara virtual (Zoom) hari ini, Kamis 03 Februari 2022, di ruang sidang Candra Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Surabaya jalan Juanda Sidoarjo – Jawa Timur.

Sidang dipimpin Majelis Hakim yang diketuai Marper Pandiangan, SH., MH. dibantu 2 (dua) Hakim Ad Hock masing-masing sebagai anggota, yaitu Poster Sitorus, SH., MH. dan Manambus Pasaribu, SH., MH. dengan Panitra Pengganti (PP) Didik Dwi Riyanto, SH., MH.

Penasehat Hukum Terdakwa Dr. Sudiman Sidabuke, SH., MH. dan kawan-kawan hadir secara langsung di ruang sidang. Adapun terdakwa Mustofa Kamal Pasa (MKP) hadir secara teleconference (Zoom) dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) kelas I Surabaya, Porong – Sidoarjo – Jawa Timur, karena tengah menjalani masa hukuman juga dalam kondisi pandemi Covid-19.

Dalam persidangan kali ini, tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang beranggotakan Arif Suhermanto, Eva Yustisiana, Joko Hermawan, Dame Maria Silaban, Arin Karniasari, Hendry Sulistiawan, Erlangga Jayanegara, Ahmad Hidayat Nurdin dan Ihsan menghadirkan 7 (tujuh) Saksi.

Dari 7 Saksi itu, 6 (enam) Saksi di antaranya merupakan pejabat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Mojokerto yang diduga pernah memberi grarifikasi berupa uang kepada terdakwa Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto periode 2010–2015 dan 2015–2020 terkait jabatan mereka. Sedangkan 1 (satu) Saksi lainnya, merupakan orang kepercayaan Terdakwa yang diduga pernah menjadi perantara penerimaan gratifikasi.

Adapun 7 Saksi tersebut, yakni:
1. Mantan Camat Dawar Blandong, Budiono;
2. Asisten III Setdakab Mojokerto, Didik Chusnul Yakin;
3. Sekertaris DPRD Kabupaten Mojokerto, Bambang Wahyuadi;
4. Kepala Dinas Koperasi Pemerintah Kabupaten Mojokerto, Abdulloh Muktar;
5. Pejabat Fungsional Ispektorat Kabupaten Mojokerto, Joko Widjayanto;
6. Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTST) Pemerintah Kabupaten Mojokerto, Lutfi Ariyono; dan
7. Muhammad Faruk alias 'Condro' dari unsur swasta.

Dalam sidang beragenda 'Mendengarkan Keterangan Saksi' kali ini, mantan Camat Pacet Budiono juga mantan Camat Kutorejo dan juga mantan Camat Dawarblandong ini bersaksi, bahwa selama menjabat sebagai Camat hingga pensiun tahun 2020, ia telah memberikan uang kepada MKP selaku Bupati Mojokerto secara bertahap total sebesar Rp. 710 juta.

Bermula pada tahun 2013, saat dirinya masih menjabat sebagai Sekretaris Kecamatan (Sekcam) Dawarblandong, Budionoa ditawari oleh Nano Santoso Hudiarto alias 'Nono' salah-satu orang dekat Bupati Mojokerto MKP dan diminta menyediakan uang sebesar Rp. 200 juta untuk promosi sebagai Camat.

“Tapi, setelah dilantik sebagai Camat Kutorejo, saya dimintai tambahan Rp.10 juta lagi oleh Nono”, ungkap Budiono di ruang sidang Candra Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Surabaya jalan Juanda Sidoarjo – Jawa Timur, Kamis (03/02/2022).

Namun, meski telah memberi uang total Rp. 210 juta, 3 (tiga) bulan kemudian Budiono dimutasi menjadi Camat Pacet. "Pindah ke Pacet tidak bayar", kata Budiono menjawab pertanyaan Ketua Majelis Hakim Marper Pandiangan, SH., MH. 

Seiring berjalannya waktu, tiba-tiba saja, pada tahun 2015 dirinya di-non-job-kan tanpa alasan yang jelas dan berdinas sebagai Staf di Dinas Sosial Pemkab Mojokerto. "Sampai hari ini, saya juga tidak tahu salah saya apa (hingga di non-job-kan)", ujar Budiono.

Ketika non-job dan berdinas sebagai Staf di Dinas Sosial Pemkab Mojokerto, Budiono akhirnya mengenal beberapa orang dekat Bupati Mojokerto MKP. Di antaranya H. Much. Faroq alias 'Condro'.

Budiono mengaku, ia meminta bantuan 'Condro' untuk bisa menduduki jabatan lagi sebagai Camat. Yang mana, saat itu Budiono mengira harganya masih sama seperti saat dirinya dipromosikan sebagai Camat Kutorejo. Namun, oleh 'Condro' dirinya diberitahu, jika ingin jadi Camat lagi harus menyediakan uang sebesar Rp. 500 juta.

"Lalu, darimana uang sebanyak itu...!?", tanya Dr. Sudiman Sidabuke, SH., MH., Penasehat Hukum mantan Bupati Mojokerto Mustofa Kamal Pasa dalam persidangan.

Budiono mengaku, uang sebesar itu didapat dari uang hasil hajatan (buwuhan), uang dari hasil panen tebu, jual aset dan penghasilan lain pribadinya, total sebesar Rp. 450 juta. Sedangkan yang Rp. 50 juta merupakan uang hasil pinjaman. Uang-uang itu kemudian diberikan kepada 'Condro' supaya bisa kembali menduduki jabatan sebagai Camat.

Budiono pun mengaku, demi status sosial, langkah tersebut harus ia tempuh dan hal itu pun sudah ia rundingkan dengan pihak keluarga. "Saya sudah bilang sama istri saya. Karena ini demi status sosial Pak", aku Budiono.

Setelah uang-uang itu diberikan ke MKP selaku Bupati Mojokerto melalui H. Much. Faroq alias 'Condro' yang dikenal merupakan orang dekat Bupati Mojokerto MKP dan juga dikenal sebagai guru spiritual MKP, akhirnya pada tahun 2016 Budiono di lantik menjadi Camat Dawarblandong.

Tak hanya itu, Budiono pun mengaku, bahwa selama menjabat sebagai Camat, dirinya pun pernah diminta 'urunan' sebanyak 2 (dua) kali yang masing-masing besarannya Rp. 10 juta.

“Dan selama menjadi Camat saya juga pernah Dua kali untuk urunan beli Jet Ski sebesar Rp.10 juta dan tahun 2014 memberikan ke Abdullah Camat Mojosari Rp.10 juta untuk biaya WTP BPK RI”, aku Budiono pula.

Hampir senada dengan keterangan saksi Budiono. Saksi Didik Chusnul Yakin pun bersaksi, bahwa selama menduduki jabatan-jabatan strategis mulai dari Camat kemudian naik jabatan sebagai Kepala Dinas Pemuda Olah-raga Budaya dan Pariwisata (Disporabudpar) Pemkab Mojokerto, kemudian Assisten III Setdakab Mojokerto hingga menjabat Kepala Dinas Kesehatan Pemkab Mojokerto, ia harus mengeluarkan uang dalam jumlah besar.

Didik bersaksi, saat menjabat Kepala Disparporabudpar Pemkab Mojokerto,  uang senilai Rp. 100 juta ia berikan langsung ke MKP selaku Bupati Mojokerto di rumahnya yang berlokasi di Desa Sajen Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto.

Demikian juga saat dimutasi menjadi Kepala Dinas Kesehatan Pemkab Mojokerto tahun 2016 lalu, Didik mengaku harus membayar sebesar Rp. 100 juta. Dan, di tahun 2017, Didik juga mengaku mengeluarkan uang sebesar Rp. 650 juta dan Rp 750 juta.

Selain itu, Didik pun mengaku, bahwa ia juga kena urunan sebesar Rp.15 juta untuk membeli jet-ski serta setiap hari raya Idul Fitri juga memberikan THR untuk MKP selaku Bupati Mojokerto sebesar Rp. 7,5 juta.

’’Ada juga urunan (untuk membeli) jet ski dan urunan untuk (THR) Lebaran Rp. 7,5 juta", aku Didik.

Selain itu, Didik pun bersaksi, saat menjabat kepala Dinas Kesehatan Pemkab Mojokerto, ia juga pernah memberikan uang ke MKP senilai Rp 8,9 miliar. Uang ini merupakan fee proyek dan pengadaan obat-obatan.

’’Kalau uang ini, bukan saya. Tapi, tanggung jawab PPTK. Pak Nanda (Nanda Hasan Solihin)", tandas Didik.

Kesaksian hampir senada juga disampaikan oleh Lutfi Ariyono, mantan Kepala Dinas PUPR Pemkab Mojokerto. Lutfi bersaksi, bahwa dirinya pernah beberapa kali memberikan uang kepada MKP selaku Bupati Mojokerto. Namun, tidak secara langsung. Yakni, melalui orang yang telah di tunjuk oleh MKP selaku Bupati Mojokerto.

Seperti halnya pemberian uang pada tahun 2016, ia memberi uang senilai Rp. 170 juta ke orang yang telah tunjuk oleh MKP selaku Bupati Mojokerto di Mal City Moro Surabaya.

Selain itu, Lutfi pun bersaksi, bahwa dirinya juga pernah urunan uang sebanyak 2 (dua) kali untuk kepentingan pridikat WTP dari BPK-RI dan pembelian jet-ski.

”Dan untuk urunan saya juga sama seperti yang lain, Rp. 20 juta untuk biaya WTP dan Rp. 15 juta untuk pembelian jet-ski", ungkap Lutfi Ariyono.

Lutfi juga bersaksi, saat dirinya menjabat sebagai Kepala Dinas PUPR Pemkab Mojokerto juga menyediakan 'Dana Taktis' yang berasal dari potongan perjalanan Dinas ASN di Dinas PUPR serta melakukan pemotongan anggaran dari Konsultan perencana antara 20 % (dua puluh persen) hingga 30 % (tiga puluh persen) dan juga dari Konsultan Pengawas sebesar 10 % (sepuluh persen) hingga 15 % (lima belas persen).

"Anggaran pemotongan itu disiapkan untuk para LSM dan Wartawan”, beber Lutfi.

Tentang Mobil pemberian dari terdakwa Mustofa Kamal Pasa, Lutfi mengaku, bahwa saat itu dirinya dipanggil MKP di pabrik. Di situ, ia ditanya MKP: 'Punya mobil berapa?'. Lutfi menjawab, kalau punya mobil 1 (satu).

"Terus Pak MKP (Mustofa Kamal Pasa) bilang: Wis iki pékên (Bhs. Jawa: sudah ini ambil)", aku Lutfi, seraya menirukan perkataan MKP.

Mobil Nisan Navara itu kemudian dibawa pulang Lutfi Ariyono yang selanjutnya di atas-namakan mertua Lutfi.

“Itu saya atas-namakan mertua bukan maksud yang aneh-aneh, hanya semata-mata untuk pajak saja, karena mertua belum punya mobil dan saat ini mobil itu telah disita oleh KPK”, jelas Lutfi

Saksi lainnya, Joko Widjayanto, Abdulloh Muktar dan Bambang Wahyuadi pun hampir senada. Mereka bersaksi, bahwa pernah memberikan uang kepada MKP selaku Bupati Mojokerto juga urunan untuk pembelian jet-ski dan biaya predikat WTP dari BPK-RI yang diserahkan ke kordinator yang telah di tunjuk.

Dipenghujung persidangan, ketika ditanya oleh Ketua Majelis Hakim Tipikor Marper Pandiangan, SH., MH. tentang tanggapanya atas keterangan yang telah disampaikan oleh para Saksi itu, terdakwa Mustofa Kamal Pasa menyatakan, keterangan para Saksi tidak sepenuhnya benar.

"Keterangan para Saksi 60 % (enam puluh persen) benar dan 40 % (empat puluh persen) tidak jujur yang Mulia. Seperti keterangan Budiono, saya memang menerima uang Rp. 500 juta dari Budiono melalui Condro, tapi uang itu bukan saya yang minta tapi karena memang Budiono pingin menjadi Camat", ungkap terdakwa MKP.

"Sementara keterangan dari Didik Chusnul Yakin bisa iya bisa juga tidak Yang Mulia karena seingat saya, saya menerima uang dari Didik Rp. 650 juta, yang 100 dan 200 juta saya lupa yang mulia", lanjut MKP.

"Dan fee proyek di Dinkes yang 13 % (tiga belas persen), saya memang menerima dari 'Condro' dan 'Nono', namun jumlahnya lupa", tambahnya.

"Dan, untuk Saksi lain hampir benar Yang Mulia. Lutfi itu orang kepercayaan saya. Joko, Muktar dan Bambang, kerja mereka juga bagus Yang Mulia", tandas terdakwa MKP.

Setelah terdakwa Mustofa Kamal Pasa menyampaikan tanggapan atas keterangan para Saksi, Ketua Majelis Hakim Marper Pandiangan, SH., MH. menutup persidangan dan menyatakan akan membuka kembali pada Kamis (10/02/2022) pekan depan dengan agenda yang sama, yaitu 'Mendengarkan Keterangan Saksi'. 

Dalam persidangan ini, Mustofa Kamal Pasa selaku Bupati Mojokerto periode 2010–2015 dan 2015–2020 menghadapi dua dakwaan. Dakwaan ke-satu, yakni diduga telah melanggar Pasal 12 B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP. Dan, dakwaan ke-dua, yakni diduga telah melanggar pertama: Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP,  atau kedua: Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP. *(DI/HB)*